Saluuni Yaa Ma’asyiran
Naas
Ketika
Sayidina Ali diangkat menjadi khalifah secara aklamasi (dengan suara mayoritas)
dan umat Islam membaiatnya dengan sukarela, beliau pergi ke masjid dengan
memakai sorban dan selendang Rasulullah saw, memakai sandal Rasulullah saw,
lalu belliau naik mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari
kedua tangannya dan meletakan dekat perut. Kemudian beliau berkata:
"Maasyirannas...bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Inilah
wadah ilmu. Inilah air liur Rasululah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan
padaku berkali-kali. Bertanyalah kepadaku karena aku mempunyai ilmu-ilmu orang
terdahulu dan orang-orang yang akan datang...”
Perkataan Sayidina Ali itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said bin al Musayib berkata, “tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Sayidina Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu diatas mimbar” (Usud al Ghabah 4/22).
Perkataan Sayidina Ali itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said bin al Musayib berkata, “tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Sayidina Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu diatas mimbar” (Usud al Ghabah 4/22).
Sepanjang
sejarah umat Islam ada beberapa orang yang sesumbar seperti perkataan di atas,
tapi akhirnya dipermalukan karenanya, seperti: Muqotil bin Sulaiman, pada suatu
saat duduk dan berkata,”betanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy
sampai Luyana.” Seorang bertanya kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang
memotong rambutnya?” Lalu dia (Muqotil) menjawab, “ini bukan pertanyaanmu,
tetapi Allah berkehendak mempermalukanku atas keujubanku” (Tarikh al Khatib
al Baghdadi 13 hal. 163). Qatadah berkata, “bertanyalah kepadaku tentang al Quran!
(niscaya aku menjawabnya). Abu Hanifah lalu bertanya kepada Qatadah, “bagaimana
pendapatmu tentang Firman Allah: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al
Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip" (Q.S 27:40). Siapakan orang itu?” Qatadah menjawab, “Dia adalah
anak pamannya Sulaiman bin Dawud. Dia mengetahui nama Allah yang Sangat Agung. “Apakah
Sulaiman mengetahui nama (yang sangat agung) itu?” tanya Abu Hanifah lagi. “Tidak”.
Jawab Qatadah yakin. “Subhanallah, berarti di hadapan seorang Nabi ada orang
yang lebih pandai darinya.” Ujar Abu Hanifah. “Tanyakan persoalan lainnya!” kata
Qatadah. “Apakah anda orang yang beriman?” tanya Abu Hanifah. “Saya berharap
seperti itu,” jawab Qatadah. “Mengapa Anda tidak menjawab seperti Nabi Ibrahim
“ya, aku beriman” (Q.S 2:260) “Penganglah tanganku! Demi Allah, aku tidak akan
datang ke kota ini lagi!” ujar Qatadah dengan malu (al Intiqa`, hal. 156).
Riwayat di atas dikutip dari Muhammad Ridha Al-Hakimi, Mengungkap Untaian Kecerdasan Sayidina Ali Bin Abi Thalib (MUKSA), hal 11-16.
Lalu bagaimana dengan Imam Ali sendiri? Beliau berkata, “Sebelum aku meninggalkan kalian, tanyakanlah kepadaku tentang al Quran. Demi Allah! Tidak satupun dari ayat al Quran yang turun, kecuali RAsulullah membacakannya untukku, dan mengajarkan tafsirannya.” Ibnu Abil Hadid menuturkan: Umar Ibnu Khatab berkata kepada Ali bin Abi Thalib,” aku heran kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau tidak pernah mengatakan tidak tahu, dan engkau selalu dapat menjawabnya secara langsung, bahkan tanpa berpikir sejenakpun.” Lalu Imam Ali menunjukan lima jarinya ke hadapan Umar seraya berkata: “wahai Umar, berapakah ini?”
Seketika Umar menjawab, “lima.” “Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab pertanyaanku tadi.” (Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu jelas bagi Ali, seperti jelasnya Umar melihat lima jari tangan Ali).
Ammar
bin Yasir bertutur: Pada satu
peperangan, aku dan Imam Ali bin Abi Thalib as melewati sebuah gurun yang
dipenuhi oleh semut. Akupun berkata kepada imam Ali, “wahai Tuanku, apakah ada
yang mengetahui jumlah semut ini?” “Ya Wahai Ammar, aku mengetahuinya.” Jawab
Imam Ali. “Bagaimana engkau mengetahuinya?”
tanya Ammar lagi. “Wahai Ammar, tidakkah engkau membaca surah Yasin? Yang
mengatakan :
وكل شيء أحصيناه في إمام مبين
“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?” “Demi Allah, jiwaku kukorbankan untukmu, sesungguhnya aku telah membaca surah itu berkali-kali.” Ujar Ammar. “Maksud dari Imamim-mubin yang tersebut dalam surah yasin itu adalah diriku.” (Tafsir Jami’, jilid 5).
وكل شيء أحصيناه في إمام مبين
“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?” “Demi Allah, jiwaku kukorbankan untukmu, sesungguhnya aku telah membaca surah itu berkali-kali.” Ujar Ammar. “Maksud dari Imamim-mubin yang tersebut dalam surah yasin itu adalah diriku.” (Tafsir Jami’, jilid 5).
Anjing atau
Kambing
Saat
itu seseorang datang menghadap Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dan
berkata, “seekor anjing mengawini seekor kambing dan sekarang kambing itu
melahirkan. Kami tidak tahu apakah anak dari keduanya itu anjing atau kambing?”
Imam Ali menjawab, “jika ia makan tulang berarti ia anjing, jika makan rumput
berarti ia kambing”. “Kadang ia makan rumput, kadang makan tulang,” kata orang
itu. “Kalau ia minum air dengan lidah berarti ia anjing, kalau dengan mulut
berarti ia kambing”. “Ia pun kadang melakukan kedua-duanya”, lanjut orang itu.
Imam Ali pun menjawab, “jika ia berjalan di belakang kambing berarti ia anjing,
jika ia berjalan di depan atau di tengah-tengah mereka berarti ia itu kambing”.
“Kadang ia berjalan di depan dan kadang ia berjalan di belakang kawanan
kambing”.
“Lihatlah,
jika ia tidur di atas ekornya, ia adalah anjing. Jika tidurnya seperti kambing
maka ia kambing”. “Ia juga terkadang tidur dengan dua cara ini”, kata orang
itu. “Kalau hewan itu kencing seperti anjing maka ia anjing, jika seperti
kambing maka ia kambing”. “Kadang seperti anjing, kadang seperti kambing”.
Akhirnya, Imam Ali pun berkata, “kalau begitu, sembelihlah hewan itu. Jika ia
punya kantung makanan pemakan rumput maka ia kambing, jika tidak ia adalah
anjing”.
Bulu Itik
Suatu
hari, seseorang menghadap Imam Ali Bin Abi Thalib As dan mengadukan tetangganya
yang selalu mengganggu dan mencuri itiknya. Namun, ia tidak tahu siapa
pencurinya. Imam Ali berkata kepada orang itu, “siang ini, datanglah ke masjid.
Akan kutunjukkan siapa pencurinya”. Imam Ali pun berkhutbah di masjid dan
berkata, “seseorang diantara kalian telah mencuri itik milik tetangganya dan
sekarang berada di sini. Bulu itik itu ada di atas kepalanya sekarang” (maksud
beliau, bulu itik itu berada di atas kepala itik). Saat itu, Imam Ali dengan
jeli melihat salah seorang hadirin mengusap kepala dengan tangannya. Segera,
beliau menyuruh si pemilik untuk mengambil itiknya dari orang tersebut (dari
orang yang ketahuan mengusap kepala dengan tangannya itu).
Nama Rasululullah
dan Ahlulbait dalam al Qur’an
Dalam
berbagai riwayat dikatakan bahwa suatu hari seorang Yahudi bertanya kepada Imam
Ali As, “Apa nama Muhammad, anak paman Anda, nama Anda dan nama putra-putra
Anda di Taurat?, beliau menjawab, “Nama Muhammad Saw di Taurat adalah
Thab-thab, namaku Iliya, nama putra-putraku Syubbar dan Syubair.” Mendengar
jawaban ini, lelaki Yahudi ini segera memeluk agama Islam dan mengucapkan
syahadatain, setelah bersaksi atas ketauhidan Tuhan dan kerisalahan Rasulullah,
ia juga bersaksi atas ke-washi-an dan kewilayahan Imam Ali As. Dari riwayat ini
bisa disimpulkan bahwa kekhalifahan Imam Ali As dan kedudukan beliau sebagai
pelanjut Rasulullah dan washi-nya, secara tegas telah diungkapkan dalam Taurat.
Karena jika yang terjadi adalah selain itu, maka lelaki Yahudi ini tidak akan
segera menerima perkataan Imam Ali As. Demikian juga telah dinukilkan bahwa
nama-nama mulia seluruh para Imam Ahlulbait As juga telah dinukilkan dalam
Turat dengan bahasa Ibrani sebagai berikut: Midzmidz (Mushthafa), Iliya (Ali
Murtadha), Qaidzur (Hasan Mujtaba), Iril (Husain Syahid), Masyfur (Zainal
Abidin), Mashur (Imam Baqir), Masymuth (Ja’far Shadiq), Dzumara (Musa Kazdim),
Hadzad (Ali bin Musa ar-Ridha), Taimura (Muhammad Taqi), Nasthur (Ali an-Naqi),
Nuqasy (Hasan Askari), dan Qadimuniya (Muhammad bin Hasan) Shahibuzzaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar