Label

Father, Forgive me, I will not Fight for your Israel



by Igal Sarna

Omer Goldman, daughter of a former Mossad chief, tells why she prefers jail to the military draft.

Omer Goldman is a pretty girl, slender as a model. Never still, very restless, she is filled with anxiety by the expected loss of her freedom. For months before she refused to be drafted into the Israel Defence Forces, she went to a psychologist every week to prepare for what was to come: incarceration in a cell in a military prison.

I met her several times last month in an apartment with other girls who are conscientious objectors. Together they would hand out flyers against Israel’s occupation of the West Bank and Gaza at the gates of a high school like the one she left a year ago.

On her last day of freedom as a civilian, I saw her at the gates of the intake base to which she had received orders to report for induction into a two-year stint with the defence forces, like every Israeli girl. She had come to refuse the draft, to be tried and to be imprisoned immediately.

Several dozen supporters showed up – members of Anarchists Against the Wall, her mother and a few girlfriends – and she stayed close to them as though she were trying to delay the end, the moment when she would clash all alone with the army.

For Omer, this transition is sharper and more surprising than for most conscientious objectors: she is the daughter of the former deputy head of Mossad, the Israeli intelligence service, the man who nearly became its head.

Omer grew up all her life in the warm bosom of a huge security establishment that has now become an enemy rather than a friend. Her father appears in the newspapers as N. He was a senior intelligence officer who transferred to Mossad and climbed to the top until in 2007 he became the deputy to Mossad’s chief, Meir Dagan, now considered the most powerful mystery man in the Israeli security system.

N, whose speciality is Iran, was spoken of as Dagan’s designated successor, but Dagan had no intention of retiring. Differences of opinion developed between the two strong bosses, and N resigned in June 2007.

This was the time when his 18-year-old daughter Omer, a pampered child of the wealthy suburb of Ramat Hasharon, was beginning to move away from the usual high-school-to-army trajectory.

In parallel to her father’s struggle and his resignation from Mossad, Omer rebelled against the path he had paved for her and went to have a look at Palestinian life on the other side of the wall. Call this an adolescent’s rebellion against her father or a battle for the heart of a father who had left home.

She is one of about 40 pupils who signed a school-leavers’ protest letter this year. Thirty-eight years ago the first such letter – a counterblast against the occupation and the war of attrition, sent by pupils in the final year of my secondary school to Golda Meir, the prime minister – caused an uproar.

There have been other letters since then, and although the furore is not what it was, in Israel conscientious objection still arouses cold, self-righteous wrath.

Omer told me that the crucial moment of her metamorphosis occurred this year when she went to a Palestinian village where the Israeli army had set up a roadblock. Someone she had considered her enemy all her life stood beside her and someone who was supposed to be defending her opened fire at her.

“We were sitting by the roadside talking and soldiers came along and after a few seconds they received an order and fired gas grenades and rubber bullets at us. Then it struck me, to my astonishment, that the soldiers were following an order without thinking. For the first time in my life, an Israeli soldier raised his weapon and fired at me.”

And when you told your father? “Dad was astonished and angry that I had been there and endangered my life. After that we had conversations. He supported me as his daughter and we have a good relationship, but he is decidedly opposed to what I do and even more to my refusal to serve in the army.

“At first he thought this was a passing phase of adolescence and later he understood that this is coming from a place deep inside me. He and I have very similar characters. I, too, fight to the end for what I believe in. But we are opposites ideologically.”

When I ask more about her father, Omer smiles and does not answer. A rare moment of silence.

On September 23 she refused to serve in the army, was tried and was sent to prison for 21 days. This week she will be tried again – and again, until the army tires or she tires.

In two weeks’ time my own son Noam is due to join the army, and I will be accompanying him to the base where I last saw Omer Goldman. Unlike her, Noam intends to do his military service. I understand them both. 


Kenapa Kesadaran Ekologis Sangat Mendesak?



Saya mulai tulisan ini dengan ilustrasi yang tak jauh dari lingkungan saya sendiri. Ketika dua cerobong asap raksasa sebuah pabrik kertas (yang kebetulan tak jauh dari rumah saya) hadir dan berdiri dengan begitu “angkuhnya” sembari mengeluarkan asapnya sejak tahun 90-an, bersamaan itu pula saya merasa ada yang “keliru”, meksi saat itu saya belum mengenal isu-isu ekologi. Saya memandang asap yang keluar dari dua cerobong asap pabrik kertas tersebut sebagai “kotoran” yang mencemari kemurnian udara, udara yang dengannya kita bernafas setiap hari, yang dengan demikian, udara adalah bagian dari kita sendiri yang paling akrab, yang dengannya dan bersamanya kita hidup.

Ketika udara itu tercemari dan terkotori, maka tercemari dan terkotori pula diri kita, sebab kehidupan kita sendiri tak terpisahkan dari dan dengan alam dan lingkungan. Kita adalah bagian dari alam dan lingkungan. Singkatnya, kita hidup dengan dan bersama alam, dan ketika kita bertindak dan berperilaku zhalim terhadap alam dan lingkungan, maka pada saat itu pula kita telah bertindak zhalim terhadap diri kita sendiri. Itu karena kita adalah bagian dan mata-rantai ekosistem, alam, dan lingkungan (yang adalah juga kita bagian dari jagat-raya), dan karena itu prilaku dan tindakan kita di mana kita hidup dengan dan bersama alam dan lingkungan, akan sangat berpengaruh kepada alam dan lingkungan di mana kita hidup dengan dan bersama mereka setiap hari.

Kita pun sadar, dalam konteks saat ini, lahirnya industrialisasi yang disusul kemudian dengan merebaknya budaya konsumsi dalam masyarakat mutakhir kita di era saat ini, telah menghadirkan disharmoni dan ancaman bagi kesehatan alam dan lingkungan, akibat residu (sampah dan limbah) yang besar-besaran misalnya, dan juga emisi serta polusi di udara kita, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup kita sendiri. Itulah kenapa kesadaran ekologis pada segala tingkatan, baik lokal maupun global, adalah mendesak.

Dalam skala global, contohnya, Konferensi Perubahan Iklim ke-20 diselenggarakan pada 1-12 Desember 2014 lalu di Lima, Peru, yang merupakan kelanjutan Protokol Kyoto ke-10. Konferensi tersebut membahas komitmen negara-negara yang tergabung dalam Protokol Kyoto dalam kaitannya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca yang sehubungan dengan proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jauh sebelumnya, jargon “Think Globally, Act Locally”, yang menjadi tema KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 silam, segera menjadi jargon populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati.

Kita tahu bersama, isu lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat penting untuk ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan keniscayaan bagi Utara dan Selatan. Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, tidak semakin membaik. Penanganan dan perbaikan pun belum sebanding dengan peningkatan persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan dan bumi, sebagaimana sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan terjadinya fenomena perubahan iklim (climate change).

Kondisi persoalan lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang juga mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia, menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi tersebut, misalnya, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.

Isi Dokumen yang disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara maju maupun negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan dari KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Pada saat itu, negara-negara yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan. Namun, yang disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi akan apa saja hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji tersebut dari 1992 sampai sekarang.

Konservasi Tradisional dan Kearifan Lokal

Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumber daya alam –khususnya hutan di sekitarnya, bahwa “kearifan lokal” identik dengan pengetahuan tradisional. Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup pengetahuan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Pengetahuan yang dimaksud itu merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi (kepercayaan dan keagamaan) dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri (kosmik kepercayaan, nilai, dan sistem pengetahuan masyarakat bersangkutan), dimana, sebagai contohnya, terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya, untuk menghindari bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia (dalam kepercayaan atau kearifan lokal-tradisional) itu, wajib menjaga hubungan dengan alam semesta, termasuk dalam pemanfaatannya yang harus bijaksana dan bertanggung jawab.  

Praktek konservasi tradisional tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sistem pengetahuan masyarakat lokal, sebagaimana telah disebutkan, karena berdasarkan pengetahuan itulah masyarakat mempraktekkan aspek-aspek konservasi yang khas di daerahnya. Dengan demikian, konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional, baik secara langsung maupun tidak langsung –dalam mempraktekkan kaidah-kaidah konservasi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam guna kelestarian pemanfaatannya. Praktek-praktek tersebut umumnya merupakan warisan dari nenek moyang (karuhun atau leluhur) mereka, dan bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan alam, semisal dalam masyarakat Kanekes (Baduy, Banten), di mana praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional tersebut memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, yang kemudian oleh kita dikenal dan dinamakan sebagai kearifan tradisional.

Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari antara lain: [1] Kepercayaan dan/atau pantangan, misalnya (a) manusia berkaitan erat dengan unsur (tumbuhan, binatang dan faktor non-hayati lainnya) dalam proses alam, sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan, (b) pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon penghasil madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting (hamil atau mengandung), atau memotong rotan terlalu rendah. [2] Etika dan aturan, yang contohnya (a) menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali, (b) tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom, (c) mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi hama ladang.

Selanjutnya, teknik dan teknologi, yang contohnya (a) membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun atau tanaman pertanian lainnya, (b) menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), warna tanah, diameter pohon dan warna tumbuhannya. (c) membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian-bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna, dan lain-lain. Praktek dan tradisi pengelolaan hutan atau lahan, yang contohnya (a) menetapkan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama, (b) melakukan koleksi berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman, (c) mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman atau hasil hutan yang berharga.

Bagi kita saat ini, mempelajari kearifan lokal, tentu saja, tidak berarti mengajak kita kembali pada periode zaman batu. Akan tetapi hal itu justru penting tidak saja dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam di sekitarnya juga memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi mendatang.

Konservasi tradisional merupakan aturan-aturan yang berjalan dan berlaku di dalam masyarakat pedesaan secara tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya untuk tetap menjaga keberlanjutan nilai kualitas lingkungan dan sumber daya alam. Pada masyarakat tradisional (pedesaan atau masyarakat adat) biasanya terdapat aturan-aturan tertentu yang dapat mencegah dan melindungi penggunaan sumber daya alam yang tak beraturan, atau melakukan eksploitasi yang mubazir dan membahayakan masa depan lingkungan sekitar kita tempat kita hidup dan hidup anak cucu kita sendiri kelak.

Singkatnya, masyarakat tradisional kita sendiri telah menyadari kebutuhan “mendesak” kesadaran ekologis, dan merasa diri sebagai bagian dari semesta.


@ Sulaiman Djaya


Fisika Kuantum dan Kosmologi al Qur’an





Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dia yang Maha halus lagi Maha mengetahui” (Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 103).

Dalam tulisannya yang membahas tentang nilai penting fisika dan kerja saintifik Albert Einstein, Kim Michaels menyatakan: “Fisikawan Kuantum telah menunjukkan (melalui percobaan yang tak terhitung jumlahnya) bahwa apa yang kita sebut partikel sub-atomik dapat berperilaku baik sebagai gelombang maupun partikel. Apakah mereka berperilaku sebagai satu atau yang lain, tampaknya tergantung pada bagaimana kita ingin mengamati mereka. Dengan kata lain, jika seorang fisikawan sedang mencari sebuah partikel, entitas sub-atomik berperilaku sebagai sebuah partikel. Jika fisikawan sedang mencari gelombang, entitas sub-atomik berperilaku sebagai gelombang”.

Kita tahu, dalam dunia fisika kita mengenal adanya dimensi ekstra, di mana menurut fisika partikel setidaknya ada sepuluh dimensi ruang dan demensi waktu yang ada dalam penciptaan alam semesta. Jika ruang yang kita tempati ini adalah ruang material tempat planet-planet dan galaksi-galaksi, maka dimensi di luar dimensi kita adalah ruang immaterial. Sementara itu dunia kita adalah tiga dimensi ruang dan waktu –dunia yang kita tempati saat ini, hingga kita bisa melihat benda-benda yang berada di dimensi kita. Sedangkan enam dimensi lainnya ada di alam semesta sebagai dimensi yang sangat kompak yang membungkus dimensi kita.  

Ruang 3 dimensi dibungkus oleh ruang 4 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan pertama. Ruang 4 dimensi dibungkus oleh ruang 5 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan kedua. Ruang 5 dimensi dibungkus oleh ruang 6 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan ketiga. Ruang 6 dimensi dibungkus oleh ruang 7 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan keempat. Ruang 7 dimensi dibungkus oleh ruang 8 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan kelima. Ruang 8 dimensi dibungkus oleh ruang 9 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan keenam. Ruang 9 dimensi dibungkus oleh ruang 10 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan ketujuh.

Berdasarkan hal itu, misalnya, makhluk di ruang dimensi 3 tidak akan bisa melihat makhluk yang ada di ruang dimensi 4, tetapi ini tidak berlaku sebaliknya, sedangkan makhluk di ruang dimensi 4 bisa melihat makhluk di ruang dimensi 3, begitu seterusnya –yang pada dasarnya makhluk di suatu dimensi tidak akan mampu melihat makhluk yang berada di dimensi yang lebih tinggi, sedangkan makhluk di dimensi yang lebih tinggi akan mampu melihat makhluk yang berada di dimensi lebih rendah. Dengan demikian misalnya ada makhluk di ruang dimensi 5, maka dia bisa melihat makhluk di ruang dimensi 4 dan 3. Dan begitulah seterusnya.

Untuk Mempermudah Memahaminya Dapat Kita Uraikan Seperti Ini: Bayangkan kita sebagai pengamat alam semesta yang di dalamnya hanya berisi dua dimensi ruang (katakanlah x dan y), sehingga perlu satu dimensi lagi (katakanlah z) dari pada makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya di dua alam dimensional ini. Katakanlah Budi memandang Roni, maka Budi hanya melihat satu sisi Roni dalam satu waktu (bagian depan, bagian belakang, samping kiri ataukah samping kanan) tergantung di mana posisi Budi, yang bentuknya hanya bidang, Budi tidak akan mampu melihat Roni secara utuh dalam satu waktu. Untuk mengetahui Roni secara utuh maka Budi harus mengelilingi Tubuh Roni, sehingga gambaran tubuh Roni secara utuh hanya ada pada pikiran Budi. Meskipun demikian, sebagai pengamat, dari dunia tiga dimensional kita bisa melihat Budi dan Roni secara keseluruhan. Andai Budi atau Roni bersembunyi di dalam kamar, maka kita sebagai pengamat masih bisa melihatnya karena dinding temboknya tidak meluas ke dimensi kita, tetapi mereka tidak bisa melihat kita sebagai pengamat.

Dengan memahami tentang ruang dimensional ini, kita bisa memahami mengapa malaikat dan Tuhan tidak bisa kita lihat. Sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-An’am ayat 103 Allah SWT berfirman: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dia yang Maha halus lagi Maha mengetahui.” Demikianlah, jika kita percaya dan menyakini bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, maka kesepuluh dimensi yang membentuk alam semesta dijalankan oleh Tuhan. Karena Dia yang telah menciptakan Dimensi Ruang dan Dimensi Waktu di alam semesta ini. Kita yang berada di ruang dimensi 3 dan waktu, tidak akan mampu melihat segala sesuatu yang berada di ruang dimensi 4 sampai dengan 10, kecuali jika ada makhluk dari dimensi lain yang masuk ke dalam dimensi kita. Apalagi melihat yang menjalankan dan menciptakan dimensi-dimensi ruang dan waktu tersebut, yaitu Tuhan. Tuhan tidak butuh dimensi untuk memempatkan di mana diri-Nya, karena Dia ada sebelum dimensi ruang dan waktu tercipta dan Tuhan Kuasa untuk melihat seluruh makhluknya tanpa terkecuali. 

Hal itu pun selaras dengan Teori Medan Kuantum yang menggambarkan bahwa semua benda yang ada merupakan keadaan atau pola dari energi yang terisolasi dan dinamis. Keadaan latar belakang dari energi yang tidak tereksitasi juga disebut hampa kuantum (Quantum Vacuum). Suatu benda ketika diikat menjadi banyak ikatan (dieksitasi menjadi berbagai energi), akan tampak sebagai manifestasi yang banyak. Semua benda yang ada adalah hasil eksitasi ruangan hampa kuantum, sehingga ruang hampa ada sebagai pusat dari segala benda. Energi ruangan hampa mendasari sekaligus menembus kosmos. Karena diri kita sendiri bagian dari kosmos, energi ruang hampa pasti mendasari dan memasuki diri kita. Tidak ada pusat kosmik tertentu dalam fisika Newton, gaya gravitasi hanyalah kekuatan yang hadir di antara benda atau materi di mana pun berada. Di sini, kita perlu merenungkan firman Allah swt yang (terjemahannya) berbunyi: “Sesungguhnya urusan (–perintahNya), apabila Dia menghendaki sesuatu (terjadi dan menjadi), Dia berfirman, “Jadilah!”. Maka jadilah" (–sesuatu itu) (al Qur’an Surah Yaasin: 82).

Singkatnya, sebelum menyudahi tulisan ini, kita perlu merenungkan sabda Nabi Muhammad saw yang menegaskan bahwa kita, ummat Islam, dapat mengenali Tuhan kita dengan melihat dan memikirkan atau merenungkan ayat-ayat (tanda-tandaNya), baik yang tekstual maupun yang kauniyah, bukan dengan memikirkan zat-Nya.

Sulaiman Djaya