Label

Imam Ja'far as Sadiq, Pencetak Ulama, Fuqoha, dan Ilmuwan




Keluasan ilmu, pemahaman, dan pengetahuan Imam Jafar as Sadiq membuat banyak orang berduyun datang kepada beliau untuk mendapatkan cahaya ilmunya, yang seakan mewarisi samudra ilmunya Sayyidina Ali dan Nabi SAW, dua leluhur beliau. Cahaya ilmu yang dimiliki oleh Imam Jafar as Sadiq, tak hanya ilmu keagamaan namun juga menguasai fisika, kimia, matematika, dan ilmu pengobatan. Imam Jafar al-Sadiq adalah putra tertua Imam Muhamad Baqir yang merupakan ahlul bait Nabi Muhammad. Nama pendeknya adalah Jafar, namun kemudian ia dikenal pula dengan sebutan al-Sadiq dan Abu Abd Allah. Lalu ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Imam Jafar al-Sadiq.

Ia lahir di Madinah, pada Senin, 17 Rabiul Awwal 83 H atau 20 April 702 M. Baik tanggal, hari dan bulan kelahiran Jafar al-Sadiq sama dengan masa kelahiran Nabi Muhammad. Ibunya adalah Umm Farwah yang biasa dipanggil Fatimah, putri dari al-Qassim putra Muhammad bin Abu Bakar. Dengan demikian, Umm Farwah ini merupakan keturunan sahabat Nabi Muhammad, Abu Bakar Siddik.

Pada saat kelahiran Jafar, ayahnya, Imam al-Baqir berusia 26 tahun dan kakeknya, Imam Zainal Abidin masih hidup. Hingga umur 12 tahun, Jafar mendapatkan tempaan ilmu ketuhanan dari kakeknya, Imam Zainal Abidin. Setelah itu, hingga berumur 31 tahun ia mendapatkan bimbingan dari ayahnya sendiri, Imam al-Baqir yang mengajarkannya ilmu hadis. Untuk ilmu hadis, ia memiliki dua sumber pengetahuan yaitu dari ayahnya melalui Ali bin Abi Thalib dan kakek ibunya al-Qassim. Kemudian ia memperluas ilmu pengetahuan hadisnya dengan berguru pada ulama lainnya yaitu Urwa, Aata, Nafi, dan Zuhri. Dua Sufyan yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan ibn Uyayna.

Imam Malik, Imam Abu Hanifa, dan al-Qattan di kemudian hari banyak meriwayatkan hadis melalui dirinya, demikian pula dengan ulama lainnya. Ia juga dikenal sebagai mufasir Al-Qur'an, ahli hukum Islam, dan salah satu mujtahid terbesar di Madinah.

Dengan keluasan ilmu agamanya, tak heran jika banyak kalangan yang belajar dari Jafar al-Sadiq seperti Abu Hanafi, pendiri mazhab Hanafi yang menimba ilmu darinya selama dua tahun dan menyatakan bahwa Jafar Sadiq memiliki ketinggian ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula dengan Imam Malik bin Anas yang merupakan pendiri mazhab Maliki. Tak ayal jika dikatakan bahwa Jafar Sadiq telah melahirkan ribuan ulama hadis dan sarjana agama.

Pengetahuannya tentang agama memang ia ajarkan ke semua orang bahkan kepada mereka yang datang dari negeri yang jauh. Jumlah muridnya suatu waktu mencapai empat ribu orang. Di antara mereka adalah ahli hukum Islam, tafsir, hadis dan sebagainya. Imam Jafar as-Sadiq juga dianugerahi Tuhan jiwa yang memesona yang menjadi model bagi orang lain. Banyak sifat yang dapat direkam oleh para sejarawan dari dirinya. Ia adalah orang yang dermawan, sabar, pemaaf dan suka menolong orang lain.

Suatu ketika paceklik melanda Madinah, ia yang memiliki persediaan bahan makanan berupa gandum yang memang tak mengkhawatirkan hal itu. Namun kemudian, ia menjualnya dan menyatakan bahwa gandum tak akan digunakan di dapurnya, dan kemudian tepung gandum ia bagikan kepada mereka yang memerlukannya. Pemimpin agama lain juga kerap datang untuk beradu argumentasi mengenai keyakinan yang mereka miliki. Ia selalu dapat mengalahkan mereka. Ketika mereka pergi dengan menanggung kekalahan kemudian Imam Jafar Sadiq menceritakan kepada muridnya agar berhati-hati dengan titik lemah umat Islam terhadap agamanya.

Kadangkala dia juga beradu argumentasi dengan orang-orang yang tak mempercayai keberadaan Tuhan. Kedalamannya dalam ilmu agama kemudian membuatnya merintis sebuah mazhab yang disebut Mazhab Jafariyah. Mazhab ini menempatkan Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam, kemudian sunnah, ijma, dan akal.

Dalam menggali hukum dari Al-Qur'an mereka tidak harus berpegang pada makna lahirnya melainkan juga makna batinnya. Selain agama dia juga mengajarkan fisika, matematika, kimia, maupun ilmu pengobatan. Jabir ibn Hayyan dari Tarus yang merupakan pionir dalam fisika, kimia, dan matematika adalah salah satu muridnya yang menuliskan tentang ratusan subjek kajian berdasarkan ajaran yang diberikan Jafar al-Sadiq.

Penguasaan yang luas terhadap sejumlah ilmu itu memang didukung oleh kondisi di masa ia hidup. Kala itu, terjadi interaksi yang dalam antara pemikiran Islam dan ilmu pengetahuan serta orang-orang yang berasal dari bangsa lain. Selama masa tersebut berbagai karya dari banyak sarjana dan pemikir secara luas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sains, filsafat, dan pemikiran dari bangsa lain, terutama Yunani, diterjemahkan dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Arab. Kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, menambahkan, memperkaya dan memperluas cakupannya. Hasilnya, mewujudlah gerakan saintifik dan ideologi yang aktif.

Kaum Muslim kemudian menguasai dengan baik ilmu pengobatan, astronomi, kimia, fisika, dan matematika dibandingkan lainnya. Filsafat, logika, dan ilmu lainnya diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Persia. Selain adanya perkembangan saintifik dan kultural selama hidup Imam Jafar Sadiq, juga terdapat gerakan dalam berbagai bidang. Kejadian politik, ekonomi, dan sosial memerlukan pemecahan yang sesuai dengan hukum Islam. Hal ini menyebabkan munculnya pandangan lembaga pemikiran. sarjana atau ulama secara aktif terlibat dalam mencoba menemukan jawaban yang benar untuk menjawab permasalahan tersebut.

Dengan keadaan seperti itulah serta aktivitas kultural dan saintifik Imam Jafar Sadiq hidup dan memiliki tanggung jawab yang besar sebagai seorang ulama, guru dalam domain kultural dan agama. Seluruh hidupnya ia isi dengan mengajarkan ilmu yang dimiliki. Hingga ia memiliki kedudukan yang kuat di kalangan masyarakat tetapi ia tak tergiur untuk meraih kekuasaan.

Namun popularitas Jafar al-Sadiq di kalangan masyarakat membuat penguasa Abbasid, Mansur Ad-Dawaniqi, merasa khawatir. Kemudian membuat rencana untuk mengenyahkannya. Khalifah Abbasid sebelumnya, Abdul-Abbas al-Saffah, sebenarnya telah membawanya ke Irak, namun tak lama kemudian Jafar al-Sadiq dikembalikan lagi ke tanah kelahirannya, Madinah. Dan pada saat kekuasaan di tangan Mansur ad-Dawaniqi, dilakukan pengawasan ketat terhadap Jafar al-Sadiq. Merasa tak puas, Mansur memerintahkan Gubernur Madinah, Muhammad bin Suleiman, untuk membunuhnya dengan menggunakan racun. Dan ternyata usahanya berhasil. Imam Jafar Sadiq meninggal pada 15 Syawal 148 H atau 4 Desember 765 pada usia 65 tahun. Pemakamannya dipimpin oleh putranya Imam Musa al-Kazim. Jafar al-Sadiq dimakamkan di pemakaman Jannat al-Baqi di mana Imam Hasan, Imam Zainal Abidin dan Imam al-Baqir dimakamkan. (*)

Ali bin Abi Thalib KW, Pengarang dan Penulis Muslim Pertama



Oleh Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr

Ketahuilah bahwasanya muslim pertama yang mengarang di bidang ini (bidang akhlaq) ialah Amiril Mukminin Ali ibn Abu Thalib a.s. Beliau telah menulis sebuah kitab yang memuat ilmu Akhlak, yaitu dalam perjalanannya dari Shiffin lalu mengirimkannya kepada putranya; Imam Hasan a.s. atau kepada Muhammad ibn Al- Hanafiyah. Kitab tersebut berukuran besar dan mengimpun berbagai pasal-pasal ilmu ini, termasuk di dalamnya ialah metode-metode berperilaku mulia, serangkaian sifat-sifat luhur, letak-letak keselamatan dan kecelakaan, dan cara-cara melepaskan diri dari kecelakaan.

Para ulama dari Syiah dan Ahli Sunnah telah meriwayatkan kitab tersebut dan memujinya sebagaimana layaknya. Al-Kulaini juga telah meriwayatkan dari bebarapa jalur di dalam kitab Ar-Rasail. Begitu pula Imam Abul Hasan ibn Abdullah ibn Said Al-Askari telah memberitahukan Kitab itu dan menyalinnya secara lengkap di dalam kitab Az-Zawajir wal Mawa’idz. Ia mengatakan: “Seandainya ada kebenaran yang harus  ditulis dengan cairan emas, maka di dalam kitab inilah”. Sekelompok ulama juga telah menyebutkan ihwal kitab Imam Ali a.s. ini kepadaku, beserta jalur-jalur pemberitaan akan keberadaannya.

Namun, orang pertama dari Syiah yang mengarang kitab di bidang ilmu Akhlak ialah Ismail ibn Mehran ibn Abu Nashr Abu Ya’qub As-Sukuni. Kitab yang ditulisnya berjudul Kitab Shifatul Mu’min wal Fajir. Ismail juga menyusun sebuah kitab yang mencatat kumpulan teks khutbah-khutbah dan kata-kata mutiara Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. kedua kitabnya diberitakan oleh Abu Amer Al-Kasyi dan Abul Abbas An-Najasyi di dalam Asma Mushannifisy Syi’ah. Para ulama menyatakan bahwa Ismail telah meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., dan dianugerahi umur panjang hingga dapat menjumpai Imam Ali Ar-Ridha a.s. serta meriwayatkan hadis dari beliau. Ia termasuk ulama yang hidup di abad kedua hijriyah.   

Begitu pula, terdapat ulama-ulama besar Syiah yang mengarang kitab di bidang Akhlak. Di antara mereka ialah Abu Muhammad Al-Hasan ibn Ali ibn Al-Hasan ibn Syu’bah Al-Harrani ra. Ia adalah seorang ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Al-Harrani mengarang kitab Tuhaful ‘Uqul. Di dalamnya terdapat kata mutiara, nasihat dan keterangan mengenai sifat-sifat mulia akhlak yang datang dari Ahlulbait a.s. Kitab Al-Harrani ini sebuah kitab yang mulia, yang belum pernah dikarang sepertinya. Banyak dari guru ulama-ulama Syiah yang merujuk kepadanya, seperti Syeikh Mufid yang telah banyak menukil hadis darinya. Sebagian ulama kami mengatakan: “Kitab itu tidak mengizinkan jaman untuk mendatangkan sepertinya”.

Lalu, Ali ibn Ahmad Al-Kufi yang mengarang kitab Al-Adab dan kitab Makarimul Akhlaq. Ia wafat pada tahun 352 H. Lalu, Abu Ali ibn Maskaweih yang telah saya singgung sebelum ini. Ia telah mengarang Tahdzibul Akhlaq wa Tathirul A’raq; sebuah kitab yang mencakup enam bagian, yang bila dicermati sungguh tak ada bandingannya. Sekali lagi, saya telah menyinggung ihwal Ibn Maskaweih. Dan di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya juga telah menyebutkan generasi-generasi para tokoh ilmu Akhlak serta karya-karya mereka masing-masing. (*)

Nabi SAW dan Nenek Tua



Nabi Muhammad Saw merupakan seorang yang sangat baik hati dan tidak pernah marah kepada siapapun meskipun orang-orang berlaku buruk terhadapnya.

Konon pada suatu waktu, terdapat seorang wanita tua yang sangat buruk perangainya. Ia selalu melemparkan sampah ke arah Nabi Muhammad Saw bilamana Nabi Saw lewat di hadapan rumahnya.

Nabi Saw biasa lewat di hadapan rumah nenek tua tersebut setiap pagi bilamana beliau bertolak menuju ke masjid dan setiap pagi wanita jahat ini biasa melemparkan sampah ke arah Nabi Saw akan tetapi Nabi Saw tidak pernah marah kepadanya.

Tapi suatu hari, keadaan berubah. Kali ini Nabi Saw melewati rumah wanita tua tersebut, tidak ada lemparan sampah yang ditujukan kepada sang Nabi Saw. Nabi Saw merasa heran atas perubahan ini.

Dia berhenti dan bertanya perihal wanita tersebut kepada tetangganya apakah dia baik-baik saja karena dia tidak hadir untuk melemparkan sampah kepada Nabi Saw.

Tetangga wanita tersebut berkata bahwa wanita tua tersebut jatuh sakit dan terbaring di pembaringan.

Tatkala wanita tua tersebut melihat Nabi Muhamamad Saw, dia berpikir bahwa Nabi datang untuk menuntut balas atas perbuatanya.

Ia berkata “Mengapa Anda tidak menantikan aku hingga sembuh dan kuat?”

Nabi Muhamamad Saw berkata bahwa ia tidak datang untuk menuntut balas, tetapi untuk melihat keadaan wanita tersebut sekiranya ia memerlukan pertolongan karena ia sakit. Beliau berkata bahwa Allah memerintahkan kepada kita manusia untuk merawat orang-orang sakit.

Wanita tua tersebut sangat terkejut mendapatkan Nabi Muhamamd Saw demikian baik terhadapnya setelah dia memperlakukan Nabi Saw secara buruk. Dia memutuskan untuk mendengarkan Nabi Saw dan menjadi seorang muslim.

Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah teladan Nabi Muhammad Saw di atas adalah:

Berbuat baik kepada orang meskipun mereka jahat terhadap kalian. Sehingga mereka menyesali atas perlakuan buruk mereka dan menjadi orang yang baik.

Datang dan jenguklah orang-orang sakit dan tanyakan kepada mereka sekiranya mereka memerlukan pertolonganmu. Jika kalian sakit, tidakkah kalian akan merasa senang jika teman-teman kalian datang menjegukmu?

Sumber: Majlisi, Biharul Anwar, Bagian Kehidupan Nabi Muhammad Saw.

Perbandingan antara para Habib di Indonesia dan para Sayyid di Iran



“Dapat disimpulkan bahwa kerajaan Perlak merupakan kerajaan Syiah yang berdiri pertamakali di dunia, dan ada keturunan para Sayyid dalam masyarakat Nusantara sebelum kehadiran Walisanga, semisal ada orang Persia seperti Maulana Muhammad Ali Akbar yang menyebarkan Islam di Banten, jauh sebelum kehadiran Walisongo.”          

Salah satu fakta yang memperkuat indikasi bahwa pribumi Nusantara sebenarnya merupakan keturunan Rasulullah yang pada awalnya bermazhab Syiah, adalah membandingkan keadaan di Indonesia dengan keadaan di situasi wilayah di belahan bumi lain yang mana di daerah tersebut juga terdapat para Habib/Sayyid. Contoh yang paling cocok adalah di Iran misalnya, yang mana di Iran sebelum perang Syiraz penduduknya masih Sunni, di Iran juga terdapat interaksi Sunni-Syiah sebelumnya. Para Sayyid di Nusantara atau oleh masyarakat pribumi lebih familier mendapatkan sebutan gelar: “Habib” kebanyakan adalah masyarakat keturunan Hadhramaut yang tinggal di wilayah-wilayah pesisir utara Jawa. Akan tetapi kedudukan para habib di Nusantara ini dalam peradaban dan kancah percaturan sosial maupun politik masyarakat di Nusantara sepertinya kurang berhasil. Memang awalnya mereka berhasil yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kakek-kakek mereka dahulu, yaitu para Walisanga misalnya. Para Walisanga adalah mubaligh yang mengajarkan ajaran Sunni-Syafii di Nusantara, oleh karena itu besar kemungkinan bahwa asal-usul mereka sebenarnya dari Yaman. Mazhab Islam Syafi’i hanya ada di Yaman dan Nusantara. 

Dari sudut pandang gerakan para Walisanga, dan di luar pembahasan mengenai sasaran dakwah yang menjadi target dakwah mereka, sebenarnya patut diajukan sebuah pertanyaan, yaitu: apakah para Walisanga memang berdakwah Islam kepada masyarakat Nusantara yang masih beragama Hindu dan Budha, ataukah mereka berdakwah kepada masyarakat Nusantara yang sudah memeluk Islam, akan tetapi Islam mazhab ahlul bayt? Secara umum, misi dakwah para Walisanga mengajarkan mazhab Sunni-Syafii dapat dikatakan berhasil di Nusantara. Hingga saat ini mayoritas muslim di Nusantara menganut mazhab Syafii yang dibawa Walisanga. 

Pada abad ke-16 masyarakat di Nusantara mengalami penjajahan, kemudian pada abad ke 20 berhasil terlepas dari penjajahan tersebut dan mencapai kemerdekaan bahkan menyatukan diri menjadi sebuah Negara Kesatuan. Akan tetapi selain berdakwah Islam mazhab Sunni-Syafii di Nusantara pada awal kedatangannya oleh para Walisanga, praktis pada masa-masa setelahnya, partisipasi para habib keturunan pendatang dari Hadhramaut ini dapat dikatakan tidak mampu berkembang. Bahkan mereka hampir tidak mempunyai partisipasi sama sekali dalam perjuangan membebaskan diri dari penjajahan atau perjuangan melawan penjajahan di awal kedatangan Belanda ke wilayah Nusantara. 

Hampir semua pahlawan melawan penjajahan di Nusantara ini adalah pribumi. Padahal penjajahan Belanda sangat mengancam keislaman penduduk Nusantara. Seperti misalnya Pangeran Diponegoro yang dalam babadnya secara tidak langsung mengungkapkan bahwa misi perjuangan beliau sebenarnya bukanlah mengusir penjajahan Belanda. Akan tetapi lebih kepada mempertahankan keislaman masyarakat Jawa. Dan menurut pangeran Diponegoro, beliau berhasil dalam perjuangannya mempertahankan keislaman masyarakat. Hal ini yang mendasari pertanyaan besar dari kita
: apakah benar mereka jugalah yang menyebarkan Islam di Nusantara untuk pertamakali, atau mereka sebenarnya tidak berdakwah Islam akan tetapi hanya mengganti mazhabnya saja?

Kemudian pada masa-masa setelahnya lagi. Pada masa sekarang di
mana masyarakat Nusantara melalui pemerintah Republik Indonesia mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua elemen masyarakat tanpa melihat golongan dan ras untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Semua warga Negara diberi kesempatan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Masyarakat juga diberi kesempatan mengembangkan diri berkarir sesuai dengan profesi dan bidang kerjanya masing-masing. Pada masa pembangunan ini di mana kesempatan yang besar terbuka, ternyata para habaib di Nusantara juga kurang berhasil memanfaatkan kesempatan. Para habaib kurang mampu dalam memanfaatkan peluang pendidikan. Demikian pula jarang diantara para habaib di Nusantara yang sukses menjadi para sarjana, ahli matematika, pemikir, insinyur dan para intelektual negeri ini. Juga para politisi sukses dan pejabat pemerintahannya. Memang ada beberapa habaib yang mampu mencapai kedudukan politis, pejabat atas dan kedudukan akademik yang tinggi akan tetapi prosentasenya amat sangat sedikit, jauh sekali apabila dibandingkan dengan pencapaian dari berbagai bidang oleh para Sayyid di Iran yang mana jumlah mereka yang berpartisipasi dalam kemajuan bangsa Iran sangat massif.

Para Sayyid di Indonesia dan Para Sayyid di Iran: Sebuah Perbandingan

Keadaan para habaib di Nusantara masa kini amat berbeda jauh dengan keadaan saudaranya yaitu para Sayyid di suatu tempat berbeda pada bagian lain belahan bumi, yaitu para Sayyid yang berada di wilayah Persia di mana para Sayyid yang memasuki wilayah tersebut di masa awal pada perang Syiraz, pada akhirnya mampu mengembangkan segala potensinya. Mereka bahkan mampu menjadi motivator dan dinamisator gerakan-gerakan intelektual, sosial, keagamaan, politik dan pendidikan masyarakat. Iran adalah sebuah negara yang menempati wilayah Persia sekarang ini. Saat ini negara tersebut mengalami kemajuan yang amat pesat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, pendidikan keagamaan, politik, sosial, pendidikan masyarakat, teknologi, sains dan lain sebagainya. 

Prestasi-prestasi yang berhasil dicapai para Sayyid di Iran sangat impresif, banyak diantara mereka yang menemukan penemuan-penemuan baru dari berbagai bidang disiplin ilmu. Penemuan-penemuan mereka sarat kualitas dan mencengangkan publik internasional. Dengan berbagai pencapaian mereka yang sarat prestasi inipun tidak menjadikan mereka menjadi sombong dan membanggakan diri, situasi yang sangat jauh jika tidak mau dikatakan berkebalikan apabila kita bandingkan akhlak mereka ini dengan yang dilakukan oleh para Habib di Nusantara dengan prestasinya yang justru sangat minim. 

Gerakan maju bangsa Iran saat ini bersumber dari para Sayyid, dan dipelopori serta dimotori oleh mereka pula. Sejak masa perang Syiraz, maka dakwah akidah Islam Syiah kepada masyarakat Persia y
ang bermazhab Islam Sunni, secara perlahan tapi pasti mengalami kemajuan. Setelah memeluk Islam Syiah, secara perlahan tapi pasti, bangsa Persia terus mengalami kemajuan. Kesuksesan yang berhasil diraih pada awalnya adalah dakwah tauhid dan akhlak Islam Syiah, kemudian mereka mampu mendirikan kerajaan Islam Syiah yang ketiga setelah Perlak dan Fatimiyyin, yaitu kerajaan dinasti Safawi. Setelah itu mereka mampu mengembangkan berbagai Husainiyyah di masa dinasti Safawi, para Sayyid-lah yang menjadi penggerak dan sumber ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan masyarakat Persia. Kemudian pada masa-masa setelahnya pada masa dinasti Qajar yang represif kepada masyarakat, para Sayyid-lah yang menjadi pelindung rakyat sekaligus motivator untuk melawan penindasan. 

Hingga puncaknya pada masa revolusi yang menggulingkan kezaliman dan penindasan monarki Syah Iran yang di belakangnya terdapat kekuatan Amerika dan Israel. Masyarakat Iran yang dipimpin oleh seorang Sayyid kharismatik yaitu Ayatullah Khomeini. Dengan bimbingan dan motivasi Imam Khomeini, bangsa Iran dapat membebaskan diri dari pemimpin boneka yang tunduk pada kekuatan asing tetapi tega menindas bangsanya sendiri. Lalu pada masa-masa sekarang ini, di mana bangsa Iran sedang giat membangun bangsanya, tidak seperti para Habib di Nusantara, para Sayyid di Iran selalu berhasil dalam mempelopori berbagai bidang akademik, keagamaan, ilmu pengetahuan, teknologi, disiplin-disiplin ilmu pada berbagai bidang seperti kedokteran, pendidikan, teknik, humaniora, sains, lingkungan dan lain-lain. Prestasi para Sayyid pada berbagai bidang tersebut selalu pada posisi teratas. 

Keadaan di
atas sedikit banyak menyimpulkan; bahwa prestasi para Sayyid di Persia/Iran sejak mereka memasuki daerah itu pada perang Syiraz dalam keadaan tertindas, hingga akhirnya mereka mampu membalikan keadaan, sangat jauh berbeda dengan keadaan para Sayyid dari Hadhramaut yang memasuki wilayah Nusantara pada abad ke 15 hingga sekarang ini. Para Habib dari Hadhramaut keadaannya berangsur menurun dibandingkan pribumi Nusantara. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, yaitu; apa sebab yang membedakan kedua keadaan di atas sehingga hasilnya bisa berbeda? Mengapa hal ini dapat terjadi? 

Kemungkinan jawaban dari pertanyaan di
atas bermacam-macam, akan tetapi tidak bisa lepas dari fakta bahwa kedudukan para Sayyid eks perang Syiraz pada saat ini di wilayah Persia lebih superior dibandingkan penduduk pribumi Persia. Mereka bahkan juga dapat menarik dan mempelopori para pribumi setempat untuk mencapai perkembangan potensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Peristiwa di Syiraz berlangsung lebih awal daripada di Nusantara. 

Maka dapat diajukan pertanyaan lanjutan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan pertama yaitu apakah situasi di Nusantara adalah keadaan yang sebenarnya? Yaitu apakah para habaib dari Hadhramaut di Nusantara adalah benar-benar Sayyid yang sesungguhnya? Pertanyaan ini wajar diajukan, karena keadaan mereka berbeda dengan peristiwa pada tempat lain di Syiraz, di Syiraz para Sayyid menunjukkan superioritas atas pribumi Persia. Superioritas ini sampai sekarang masih terjaga. Sedangkan keturunan-keturunan para habib dari Hadhramaut yang masuk wilayah Nusantara justru kalah bersaing dari pribumi Nusantara dalam berbagai bidang kemajuan, baik bidang keagamaan, politik, ilmu pengetahuan, sains, dll.

Apabila kita lacak jalur periwayatan untuk mengecek keshahihan dokumen pernasaban para Sayyid di Nusantara yang berasal dari Hadhramaut atau Yaman, maka mustahil diragukan akan status kesayyidan para Habaib di Nusantara. Beberapa ciri-ciri dan karakter mereka juga menunjukkan bahwa mereka memang para Sayyid keturunan Rasululah. Lalu kenapa mereka bisa inferior dibandingkan pribumi? Situasi yang jauh berbeda dengan yang dialami oleh saudara mereka di Syiraz? Maka jawaban yang mungkin tertinggal hanyalah bahwa: para pribumi Nusantara juga sebenarnya merupakan para Sayyid.

Perang Syiraz

Suatu peristiwa yang penting telah terjadi di Timur Tengah menurut periwayatan sejarah mazhab Ja’fari terjadi pada abad ke-2 Hijriah. Peristiwa ini penting diurai karena berimbas terhadap penyebaran dan dakwah agama Islam di Nusantara. Peristiwa tersebut adalah perang Syiraz. Pada masa keemasan di mana dinasti Abbasyiah mendirikan kekhalifahan yang paling berpengaruh. Kekhalifahan dinasti Abbasyiah saat itu mendapatkan lawan berat untuk mendapatkan simpati masyarakat dari Imam ke-8 mazhab Ja’fari Ali Bin Musa Ar Ridha dan para pengikut beliau. Khalifah dinasti Abbasyiah saat itu, al Ma’mun bin Harun memindahkan ibukota kekhalifahan dari Baghdad ke Masyhad. 

Peristiwa sejarah yang mendasari perang Syiraz dapat dinukil dari buku Mazhab Pecinta Keluarga Nabi karangan Ayatullah Sayyid Muhammad al-Musawi terbutan Tim Muthahari Press dibawah ini:

Menurut ahli sejarah mazhab ahlul bayt pemindahan ibukota kekhalifahan yang dilakukan oleh Ma’mun ini bukannya tanpa alasan. Ada unsur politik yang mendasari perpindahan ibukota kekhalifahan dinasti
Abbasyiah. Ma’mun melihat bahwa ketertarikan dan kecintaan masyarakat di sekitar ibukota Baghdad pada para imam ahlul bayt membahayakan kedudukannya. Langkah awal yang dilakukan Ma’mun adalah memindahkan ibukota. Tetapi konsentrasi masyarakat tetap tertuju pada imam ahlul bayt yang pada masa itu dipegang oleh Imam Ali bin Musa yang juga digelari oleh masyarakat dengan nama Ar-Ridha. Hal ini menyebabkan Ma’mun menempuh langkah yang lebih ekstrem lagi. Ma’mun akhirnya memaksa Imam Ali Ar-Ridha untuk menjadi menantunya. Ma’mun memaksa Imam Ali Ar-Ridha untuk menjadi putra mahkota dengan dinikahkan pada salah satu putrinya. Awalnya Imam Ali Ar-Ridha menolak pinangannya tersebut. Akan tapi Ma’mun memerintahkan utusan dengan dikawal segenap pasukan untuk menemui Imam Ali Ar-Ridha supaya membunuh beliau jikalau Imam menolaknya. Akhirnya Imam menerima usulan Ma’mun. Imam dengan dikawal pasukan Ma’mun pindah dari Madinah menuju ke Thus, Khurasan. Masyarakat dan para alawiyyin saudara-saudara imam (orang-orang keturunan Rasulullah) resah dengan kepindahan Imam ini. Mereka merasa diputuskan hubunganya dengan Imam Ali Ar-Ridha. Maka para (alawiyyin) yang berfungsi sebagai penghubung antara Imam dengan kaum muslimin merasa bertanggung jawab atas putusnya rantai komunikasi, sosial dan politik dengan perpindahan Imam ini. Situasi ini oleh para alawiyyin dianggap sangat membahayakan kelangsungan kebenaran risalah Islam yang sejati. Oleh karena itu sebagian besar para alawiyyin bertekad untuk menyusul Imam ke Masyhad. Rantai komunikasi antara kepemimpinan spiritual Islam dengan masyarakat yang terputus harus disambung lagi. 

Para alawiyyin kemudian mengirimkan surat kepada al-Ma’mun meminta persetujuan atas perjalanan mereka ke Thus Khurasan.

Tujuan perjalanan itu adalah mendekati saudara yang menjadi pemimpin mereka; Ali Ar-Ridha. Hal ini dimaksudkan supaya
al Ma’mun dan pasukannya tidak menghalangi maksud mereka dan tidak menimpakan keburukan kepada mereka. Al Ma’mun menyetujuinya. Semakin kuatlah keinginan mereka untuk berangkat. Mereka sudah bertekad untuk melakukan perjalanan guna mengunjungi Imam Ali Ar-Ridha. Maka sebuah kafilah besar yang terdiri dari anak-cucu keturunan Rasulullah berangkat dari Hijaz dan Irak menuju Khurasan. Perjalanan mereka dilakukan melalui Basrah, Ahwaz, Busyahr, Syiraz dan seterusnya. 

Ketika kafilah itu melewati sebuah negeri yang dihuni para pengikut ahlul bayt yang setia kepada keluarga Rasulullah Saw, bergabunglah mereka ke dalam kafilah Bani Hasyim tersebut. Kafilah para sayyid (julukan untuk keturunan
Rasulullah) ini dipimpin oleh saudara-saudara Imam Ali ar-Ridha, diantaranya Sayyid Ahmad yang lebih dikenal dengan “Syah Chiragh”, Sayyid Muhammad Al Abid yang dikenal dengan Jadduna Al-A’la, Sayyid Alaudin Husain. Mereka adalah para sayyid keturunan Rasulullah yang seayah dengan Imam Ali Ar-Ridha, yaitu sama-sama putra-putra dari Imam Musa al Kazhim.

Berkenaan dengan hijrah rombongan alawiyyin ini para sejarawan berkata, “Ketika mendekati Syiraz, kafilah ini telah beranggotakan lebih dari 15000 orang baik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa. 

Para mata-mata dan pejabat pemerintahan al
Ma’mun di Thus memberitahukan banyaknya anggota kafilah tersebut. Mereka mengingatkan Ma’mun akan akibat yang ditimbulkan dengan sampainya mereka di pusat pemerintahan di Thus Khurasan. Maka al Ma’mun, setelah mendengar berita tentang khafilah Bani Hasyim itu, merasa takut. Ia merasakan bahaya yang mengancam rencananya selama ini memisahkan Imam Ridha dari masyarakat. Simpati masyarakat yang lebih besar kepada para Imam daripada penguasa politik kepemimpinan Islam dapat membahayakan kedudukannya. 

Maka kemudian
al Ma’mun memerintahkan kepada para mata-mata di jalan-jalan dan kota-kota yang dilalui khafilah Bani Hasyim untuk menghalangi dan mensabotase perjalanan tersebut. Mereka harus mencegah perjalanan kafilah tersebut tidak sampai pada tujuannya di kota Thus. Padahal ketika perintah khalifah itu sampai pada gubernur, rombongan kafilah itu sudah hampir sampai ke Syiraz. Segera gubernur Syiraz menunjuk komandan pasukannya yang bernama Qatlagh Khan. Gubernur memerintahkan Qatlagh Khan untuk menyiapkan 40.000 orang tentara untuk menghadang rombongan kafilah para alawiyyin dan menghalau mereka kembali ke Hijaz. 

Pasukan Qatlagh Khan itu berangkat dari Syiraz menuju jalan yang dilewati kafilah di Khan Zaniyun, sebuah tempat yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Syiraz. Mereka diam di
situ menunggu kafilah lewat. Tidak lama kemudian kafilah melewati daerah itu, jalan menuju Thus yang melewati Syiraz. Segera komandan pasukan Qatlagh khan, mengirim seorang utusan kepada para sayyid, dan menyampaikan perintah khalifah. Ia meminta mereka agar segera kembali ke Hijaz. 

Maka Syah Chiragh, sebagai yang tertua diantara mereka----berkata: Pertama, dengan perjalanan kami ini, kami tidak bermaksud apa pun kecuali mengunjungi saudara kami Imam Ali Ar-Ridha di Thus. Kedua, kami tidak keluar dari Madinah dan tidak menempuh perjalanan panjang ini kecuali dengan izin dan persetujuan dari khalifah. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menghalangi perjalanan kami. 

Utusan itu pergi dan menyampaikan jawaban ketua rombongan kafilah kepada Qatlagh. Kemudian ia datang lagi dan berkata, “Komandan Qatlagh memberikan jawaban bahwa khalifah mengeluarkan perintah baru dan memastikan kepadaku serta dengan segala kekuatan, kami akan menghadang perjalanan ini ke Thus. Barangkali itu merupakan perintah baru karena tuntutan keadaan. Karenanya Anda semua harus kembali ke Hijaz. 

Menyikapi situasi baru ini Syah Chiragh bermusyawarah dengan saudara-saudaranya dan anggota-anggota kafilah yang memiliki pandangan dan pendapat tentang perintah itu. Tak seorang pun di antara mereka yang setuju untuk kembali. Mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke Khurasan meskipun hal itu memberatkan mereka. Mereka menempatkan kaum wanita di barisan belakang sedangkan kaum laki-laki di barisan depan. Mereka mulai melanjutkan perjalanan. 

Qatlagh pun memberangkatkan pasukannya guna menghadang kafilah itu. Setiap para sayyid keturunan Rasulullah menasihati mereka untuk memberi jalan, mereka tidak mempedulikannya. Sikap itu menyebabkan terjadinya peperangan dan pertempuran. Berkobarlah api peperangan di antara kedua belah pihak. Pasukan al
Ma’mun menderita kekalahan dalam melawan kafilah para sayyid.

Karenanya Qatlagh menggunakan tipu daya. Ia memerintahkan orang-orangnya agar naik ke atas bukit dan berseru dengan suara keras, “Hai anak cucu Ali dan para pengikutnya, jika kalian mengira bahwa Ar-Ridha akan memberikan pertolongan di samping khalifah, ketahuilah bahwa telah sampai berita wafatnya kepada kami. Khalifah pun telah menyatakan bela sungkawa kepadanya. Oleh karena itu, untuk apa kalian berperang? Ar-Ridha telah tiada. Tipuan ini berpengaruh besar terhadap semangat para mujahid perang. Mereka pun bercerai-berai di tengah malam dan meninggalkan medan perang. Maka Syah Chiragh memerintahkan saudara-saudaranya dan orang-orang yang masih menyertainya agar mengenakan pakaian penduduk setempat. Mereka berpencar di tengah malam gulita. Mereka menapaki jalan umum sehingga dapat menyelamatkan diri dan tidak jatuh ke tangan Qatlagh dan pasukannya. Mereka berpencar ke bukit-bukit dan lembah-lembah dalam keadaan terusir. Dalam sejarah para alawiyyin dalam rombongan Syah Chiragh ini setelah pecah berantakan terus berlari dan berlari. Pasukan kekhalifahan Baghdad juga terus tak bosan-bosannya mencari-cari mereka dan keturuna
nnya selama beratus-ratus tahun. 

Adapun Syah Chiragh, demikian pula adik-adiknya Sayyid Muhammad al-Abid dan Sayyid Alaudin masuk ke Syiraz secara sembunyi-sembunyi. Masing-masin
g dari mereka mengasingkan diri di tempat yang terpencil dan menyibukkan diri dengan beribadat kepada Allah SWT.

Pada akhirnya nanti para Sayyid pelarian Perang Syiraz yang tertindas ini secara perlahan-lahan mampu keluar dari persembunyiannya. Mereka y
ang awalnya taqiyyah perlahan-lahan berani berkomunikasi dengan masyarakat sekitar mereka yang membenci mereka karena perbedaan mazhab. Lambat laun bahkan mulai berani dakwah, akhirnya mereka mampu men-Syiah-kan hampir semua penduduk Iran yang sebelumnya memeluk Islam Sunni. Sejak Perang Syiraz ini kaum Syiah mulai ada yang keluar dari tekanan Sunni

Hubungan antara Perang Syiraz dengan Kerajaan Perlak Syiah

Kerajaan Perlak berdiri pada masa yang tidak begitu jauh kurun waktunya dengan peperangan di Syiraz antara rombongan alawiyyin yang dipimpin oleh Syah Chiragh dengan pasukan al Ma’mun yang dipimpin oleh Qatlagh Khan. Kerajaan Perlak disinyalir berdiri pada tahun 840 Masehi. Sedangkan peperangan antara rombongan alawiyyin berlangsung sekitar tahun 823 Masehi. Terdapat selisih kurang lebih 13 tahun antara peperangan Syiraz dengan berdirinya kerajaan Perlak, dengan kerajaan Perlak berdiri sesudah terjadinya peperangan di Syiraz. Suatu jarak yang bisa dikatakan berurutan, antara perang Syiraz dengan berdirinya kerajaan Perlak. Apabila hal ini dikatakan suatu kebetulan maka suatu kebetulan yang luar biasa. Karena Perlak adalah tradisi Islam yang terjauh pertama dari tempat kelahiran Islam itu sendiri. Bahkan di wilayah-wilayah yang relatif lebih dekat jaraknya dengan jazirah Arab seperti India pun masih banyak yang belum memeluk Islam.

Kerajaan Perlak juga ternyata di masa awalnya adalah kerajaan berdasar pada Islam mazhab Syiah (Ahlul Bayt). Sama dengan mazhab Islam yang dianut oleh para rombongan alawiyyin di perang Syiraz. Oleh karena itu tidak mungkin kerajaan Perlak mendapatkan paham Syiah di
luar dari para Sayyid peserta perang Syiraz, karena pada saat itu hanya kelompok Perang Syiraz sajalah yang merupakan kaum muslimin yang bermazhab Syiah. 

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kerajaan Perlak merupakan kerajaan Syiah yang berdiri pertamakali di dunia, bahkan lebih dahulu dari kesultanan Syiah yang didirikan oleh bangsa Iran sendiri, bangsa Iran mendirikan kesultanan Safawi yang bermazhab Syiah pada abad ke
-15. Orang-orang yang tercerai-berai dalam perang Syiraz adalah para keturunan Nabi SAW yang bermazhab Syiah. Bisa dikatakan bahwa pada saat itu hanya mereka saja kelompok manusia yang menganut mazhab Islam Syiah di dunia ini. Sejak perang Syiraz itu mereka (para keturunan Nabi SAW yang bermazhab Syiah) yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di jazirah Arab, kemudian tersebar ke wilayah-wilayah di luar jazirah Arab. Mereka sampai mengembara ke wilayah-wilayah barat yang tidak berada dalam naungan kekuasaan daulah Abbasyah. Ketidakpergian mereka berhijrah ke arah timur melainkan malah berhijrah ke arah barat disebabkan karena arah kehijrahannya mengikuti Imam Ali Ridha yang bergerak ke barat. Setelah tercerai-berai, mereka juga memberanikan diri untuk melarikan diri ke wilayah-wilayah barat diluar wilayah Daulah Abbasyah. Hal ini terpaksa mereka lakukan karena keadaan pada wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan kesultanan Baghdad membahayakan keselamatan mereka. Wilayah-wilayah timur jauh seperti Nusantara adalah tempat yang aman dari kejaran orang-orang Bani Abbas, bisa dipastikan bahwa Perlak/Lamuri berada di suatu wilayah yang tidak terjangkau pengaruh dari kesultanan Bani Abbas.

Ketika melihat riwayat sejarah di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa besar kemungkinan bahwa penyebar Islam di Nusantara pertama yang mendirikan Kerajaan Perlak/Lamuri adalah para Sayyid pelarian perang Syiraz. Nama orang-orang yang menjadi cikal-bakal kesultanan Perlak/Lamuri adalah Ali Bin Muhammad Ja’far Shadiq. Nama tersebut sangat bernuansa Syiah atau mazhab ahlul bayt. Ali adalah nama Imam Syiah yang pertama. Sedangkan Ja’far Shadiq adalah nama Imam ke-6 mazhab ahlul bayt. Pada masa itu hanya para keturunan Nabi SAW yang memeluk Syiah berani memakai nama-nama yang bernuansa imam-imam Syiah. Baru sekitar abad ke-13 saja ketika Bani Abbas runtuh, maka masyarakat Islam mazhab Sunni mulai memberanikan diri menggunakan nama-nama itu untuk disematkan pada anak-anak mereka. Pada masa itu bahkan para pengikut Syiah pun, jika dia bukan orang yang masih merupakan keturunan Rasulullah maka tidak akan berani menggunakan nama-nama tersebut. Oleh karena itu pada masa Daulah Abbasyah banyak para penganut Syiah tinggalnya di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut justru memakai nama-nama orang-orang yang merupakan musuh para Imam Syiah, seperti Mu’awiyah, Yazid, dll. 

Berdasar uraian sejarah di
atas maka bisa ditarik hipotesa bahwa penduduk Nusantara masuk Islam karena jasa para keturunan Rasulullah. Pengislaman yang terjadi di Nusantara dilaksanakan oleh para keturunan Nabi yang berasal dari Persia bukan dari Yaman, semisal Maulana Muhammad Ali Akbar yang menyebarkan Islam di Banten, jauh sebelum kedatangan para Walisongo. Selama ini kesimpulan yang lebih popular adalah bahwa pengislaman di Nusantara dilakukan oleh para keturunan Nabi yang berasal dari Gujarat atau Yaman. Berbeda dengan para sayyid yang berasal dari Yaman pada abad ke-15. Para Sayyid dari Syiraz/Persia sudah masuk ke Nusantara sekitar kurang lebih 600 tahun lebih awal dari para Sayyid yang berasal dari Yaman/Hadramaut. Para Sayyid yang dari Syiraz Persia yang masuk ke Nusantara pada masa awal Islam tidak terlalu mementingkan identitas dan jati diri karena mereka dalam pelarian. Begitu besarnya tekanan terhadap mereka sampai dalam sejarah ada di antara mereka yang masuk agama Hindu, terdapat riwayatnya pada buku ''Kisah-kisah ajaib'' karya Ayatullah Sayyid Dasteghib diterbitkan Qorina. (*)