Label

Perintah Ayatullah Nasruddin


Di sore itu, ketika Ayatullah Nasruddin sedang mengajar murid-muridnya, ada dua orang tamu datang ke rumahnya, yang seorang adalah wanita tua penjual kopi dan satunya lagi seorang pemuda Mesir. Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Ayatullah Nasruddin menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka. ‘Sekarang pulanglah kalian dan tinggalkan Hauzah Ilmiah ini. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu.

Murid-murid Ayatullah Nasruddin merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Ayatullah Nasruddin. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu membuat kejutan dan berada di pihak yang benar. Di malam harinya mereka pun datang ke rumah Ayatullah Nasruddin dengan membawa peralatan yang diminta.

Ayatullah Nasruddin berkata, ‘Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak rumah Tuan Hakim yang baru!’ ‘Hah? Merusak rumah Tuan Hakim?’ gumam semua muridnya keheranan. ‘Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini! Barangsiapa yang mencegahmu, jangan pedulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Hakim yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan lemparilah dengan batu.’

Setelah berkata demikian, murid-murid Ayatullah Nasruddin bergerak ke arah rumah Tuan Hakim. Layaknya para demonstran, mereka berteriak-teriak sembari menghancurkan rumah Tuan Hakim. Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakuan mereka, terlebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah Tua Hakim. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Ayatullah Nasruddin terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah.

Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Hakim segera keluar dan bertanya, ‘Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?’ Murid-murid itu menjawab, ‘Guru kami, Ayatullah Nasruddin!

Mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah itu hingga roboh dan rata dengan tanah. Tuan Hakim hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya. ‘Aku akan melaporkannya kepada Sultan di Baghdad’ gumam Tuan Hakim. Benar saja, esok harinya Tuan Hakim mengadukan hal itu, sehingga Ayatullah Nasruddin dipanggil menghadap Sultan. ‘Hai Ayatullah Nasruddin, apa sebabnya kau merusak rumah Hakim itu?’ ‘Wahai Sultan’, jawab Ayatullah Nasrudin, ‘sebabnya ialah pada suatu malam aku bermimpi, bahwasannya Tuan Hakim menyuruhku merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus lagi. Ya, karena mimpi itu maka aku merusak rumah Tuan Hakim.’

Hai Ayatullah Nasruddin, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?’ Dengan tenang Ayatullah Nasruddin menjawab, ‘Aku juga memakai hukum Tuan Hakim yang baru ini!’ Mendengar hal itu seketika wajah Tuan Hakim menjadi pucat, terdiam kaku. ‘Hai Hakim, benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?’ ujar Sultan. Tapi Tuan Hakim diam saja. ‘Ayatullah Nasruddin! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini!’. ‘Baiklah!’ ujar Ayatullah Nasruddin, ‘beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Hakim dengan mas kawin sekian banyak. Tetapi Tuan Hakim yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mas kawin anaknya. Tentu saja pemuda Mesir itu tak mau membayar mas kawin hanya karena mimpi. Nah, di sinilah terlihat arogansi Tuan Hakim, ia ternyata merampas semua harta benda milik pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kopi.’

Sultan terkejut mendengar penuturan Ayatullah Nasruddin, tapi masih belum percaya, maka ia memerintahkan Ayatullah Nasruddin agar memanggil si pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Ayatullah Nasruddin menunggu di depan istana, jadi mudah saja baginya memanggil pemuda itu ke hadapan Sultan.

Hai pemuda Mesir, ceritakanlah tentang dirimu sejak kau datang ke negeri ini.’ Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Ayatullah Nasruddin, bahkan pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik rumah sewa tempat dia menginap.

Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Hakim yang bejad moralnya." Hakim baru itu pun dipecat dan seluruh harta bendanya diberikan kepada si pemuda Mesir. Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Ayatullah Nasruddin pulang ke rumah Ayatullah Nasruddin. Pemuda Mesir itu ingin membalas kebaikan Ayatullah Nasruddin. ‘Janganlah kau memberiku barang sesuatu pun kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua.’


Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Ayatullah Nasruddin. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Ayatullah Nasruddin itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Ayatullah Nasruddin menjadi sangat terkenal.

Di Manakah Kita Bisa Kembali Menemukan Illuminasi? Bagian Kelima

Menafsir Iman Melalui Puisi oleh Sulaiman Djaya (2007)

Di Antara Keabadian dan Kefanaan: Burung-Burungnya Fariduddin Attar
Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah,
tanpa suara. Perdengarkan nyanyi ratapmu
yang timbul karena luka dan kepedihan cinta.
Dan kau pun melihat mata air nurani
yang tercelup di lautan cahaya
sementara kau tinggal di sumur kegelapan
dan penjara ketakpastian.
Kau terikat pada tubuh dunia ini dan dari
semesta dunia, kini dan nanti.
Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri,
 kau pun tak akan ada lagi......” (Fariduddin Attar).[18]

Pada suatu pengalaman dan pencaharian tertentu, moment religius adalah moment puitik, dan seorang penyair mendapatkan keterbatasan sekaligus kekayaannya dalam kesunyian dan pengasingan. Ia menjadi peziarah spiritual untuk menualangi kefanaan-nya, dan keabadiannya adalah sebentuk kerinduan pada ketiadaan (eskatologi):

Bagaimana mengukur bulan dari ikan?
Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari
dan hanya ratap dan keluh saja yang terdengar.
Tak adakah Daud yang malang tempat aku
menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan?[19]

Antara kerinduan dan ketakberdayaan kemudian menjadi sebentuk rima dan nyanyian. Ikhtiar ini mendapatkan momentnya dalam sebuah upaya menyamarkan lewat lagu kerinduan. Pada konteks ini seorang penyair tengah berdusta untuk melawan mereka-mereka yang dengan mudah telah mampu melakukan penggenapan pada pengetahuan dan kebenaran.

Dusta seorang penyair menjadi sebentuk kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui ketakberdayaannya sendiri di hadapan keabadian. Atau ia berusaha untuk menertawakan upaya menemukan keabadian tersebut, karena kefanaannya jauh lebih nyata seperti halnya siang dan malam. Dan usaha untuk menertawai adalah juga ikhtiar untuk mendustai.

Tidaklah berlebihan bila Jalaluddin Rumi berkata tentang Fariduddin Attar: ‘Bila aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa[20]. Bila raga yang fana rentan terkapar, maka jiwa yang abadi senantiasa berkelana, dan petualangan seorang penyair dan mistikus menjadi sebentuk ziarah spiritual. Lalu iman? Mungkin sejenis keraguan dan skeptisisme yang meradang, tapi justru dengan itu iman senantiasa mencari dan kritis. Iman menjadi sebentuk interupsi. Iman di hati para penyair-mistik menjadi ikhtiar pencarian dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan.

Iman yang puitis ini kemudian terasa lebih lembut ketimbang imannya para fuqaha dan teolog. Menjadi sebentuk penghayatan personal seperti halnya Kierkegaard dan Al-Hallaj. Iman seperti ini disulam dari rasa rindu dan kasih-sayang, lahir dari kepekaan seorang penyair dan mistikus. Kadang-kadang iman puitis ini adalah ikhtiar untuk menertawai sekaligus mendustai ketakberdayaan di hadapan kefanaan, lalu mencari ilusi keabadian. Menjelma iman eskatologis. Kesadarannya pada ketiadaan adalah upaya untuk menghibur sekaligus menghidupi realitas kefanaan.

Akan tetapi pada sisi yang lain, iman para penyair dan mistikus ini adalah sebentuk komitmen dan keintiman yang kuat pada hidup dan takdir-esksistensial manusia itu sendiri. Ia meresapi bahwa nasib dan takdirnya juga dialami oleh semua manusia. Karena itu iman para penyair dan mistikus hanya mengenal kesalehan, bukan iman yang dikumandangkan untuk membenarkan penghalalan darah manusia.

Ketika seorang penyair dan mistikus menyadari kefanaannya sendiri, ketika itu pulalah ia memaklumi kefanaan yang lainnya. Iman yang lembut dan puitis ini memanglah pertama-tama lahir dari kerendahan hati seorang mistikus dan penyair. Ia tak pernah tahu apakah dirinya saleh atau tidak. Yang ia tahu bahwa dirinya kelak tiada: “bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau tak akan ada lagi”.

Iman para mistikus dan penyair menjadi permenungan dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan. Sebentuk teodisi dan ikthtiar untuk menemukan illuminasi. Iman seperti inilah yang akan menumbuhkan sikap toleransi. Iman yang yang menegur diri sendiri. Menginvestigasi kerentanan subjek.

Imannya Fariduddin Attar yang mencari dan berziarah adalah metafor burung-burungnya yang bermusyawarah, berdialog. Tapi di saat yang sama juga terbang berpetualang mencari musim, berkelana dalam kefanaan. Dalam ikhtiar untuk menertawai ilusi keabadian. Sebentuk kerinduan pada ketiadaan.

Iman pada konteks ini adalah iman memiliki komitmen pada kefanaan itu sendiri sebagai realitas kehidupan manusia. Iman yang mengabdi pada sejarah sekaligus iman yang berikhtiar untuk memperbaiki sejarah. Iman yang memiliki tanggungjawab pada sejarah. Sekaligus yang mencari kemungkinan-kemungkinan bagi sejarah dan masa depan. Iman yang berikhtiar untuk menemukan masa depan dalam kubangan kefanaan. Sebentuk iman yang berdialog dan bermusyawarah. Seperti The Conference of the Birds-nya Fariduddin Attar.

Iman Pencarian Sebagai Interupsi dan Investigasi: Membaca Kembali Eulogy-nya Si Pengkhotbah
“Segala perkataan tak mencukupi,
tak seorang jua pun sanggup untuk mengatakannya.
Dengan tiada sangguplah manusia untuk menyelami
dari permulaan sampai penghabisan.
Begitu juga pengertian akan keabadian
dalam hati mereka. Sebab samalah nasib manusia
dan binatang, berakhir pada kematian.
Karena itu lebih baik anjing yang hidup
daripada singa yang mati. Maka minumlah anggurmu
dengan sukahati” (Si Pengchotbah).[21]

Mungkin iman yang sesungguhnya adalah iman yang sadar dengan ketidaktahuan, lalu Si Pengkhotbah pun melanjutkan: ‘dari yang lampau tak ada peringatan, dan dari yang kemudian pun tak ada peringatan[22]. Si Pengkhotbah adalah subjek yang sadar dengan kedhaifannya untuk merengkuh apa yang disebut hakikat. Si Pengchotbah pun melanjutkan: ‘dan apa yang kurang tak dapat dibilang[23]. Karena Si Pengchotbah sadar bahwa ikhtiar pencarian ini pun bermuara pada enigma: ‘dan barangsiapa menambah pengetahuan, ia pun hanya menambah duka’. Sebab itulah Si Pengchotbah bermuram:

Kubangun rumah-rumah dan kutanam segala pohon dan buah-buah. Orang bijak mempunyai mata di kepalanya dan kedunguan berjalan dalam kegelapan. Tapi apa gunanya aku menjadi bijak? Sebab nasib si dungu pun menimpaku juga![24]

Terkadang pesimisme memang lebih mampu mengungkapkan kerentanan subjek sekaligus kedalamannya ketimbang optimisme yang banal yang justru abai pada sisi yang lain dari kehidupan. Menurutku Si Pengkhotbah adalah sebentuk teguran atas iman yang menafikan pengetahuan dan kepekaan, sebab manusia senantiasa terjebak di antara ketakterbatasan dan keterbatasan.

Di Antara Ketakterbatasan dan Keterbatasan
Pada konteks ini Kierkegaard menulis: kehidupan manusia adalah sebentuk sintesis antara ketakterbatasan dan keterbatasan, di antara kefanaan dan keabadian, di antara kebebasan dan keharusan[25]. Kesadaran akan kenyataan ini mungkin bisa menjadi wawasan yang lebih toleran pada diri sendiri atau pada orang lain sejauh menyangkut pandangan religius atau keimanan seseorang. Pada konteks ini mungkin seseorang akan senantiasa menyadari bahwa dirinya terus-menerus berada dalam kerentanan dan keterbatasan untuk merengkuh kebenaran hakikat. Sebab keimanan dan sikap religius pada dasarnya adalah mungkin sebentuk keragu-raguan itu sendiri, tapi justru dengan itu iman terus mencari dan berziarah.

Catatan:
[17] Sumber: 1. Jacques Derrida, Hostipitality dalam Acts Of Religion, translated and introduced by Gil Anidjar, Routledge 2002, pp.359-420, 2.Giovanna Borradori, Philosphy In A Time Of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005, 3.Geoffrey Bennington, Forever Friends dalam Interupting Derrida, Routledge 2002, pp.110-127, 4.Al Kitab Perjanjian Lama, 5.Al Qur’an
[18] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003:16-19
[19] Ibid, h.27
[20] Ibid, h.vii
[21] Kitab-Kitab Kebijaksanaan, Nusa Indah Flores 1960, h.192-212
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Soren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, transl. Alastair Hannay, Penguin Books 1989:43 


Di Manakah Kita Bisa Kembali Menemukan Illuminasi? Bagian Keempat

Menafsir Iman Melalui Puisi oleh Sulaiman Djaya (2007)

Toleransi, Kesanggrahan, dan Derrida[17]
“Dan Tuhan pun berkata kepada Musa, Dan sebelum engkau menghadap-Ku, tanggalkan kasutmu (identitas-politismu). Karena engkau menginjak tanah suci.” “Dan Ibrahim pun berkata kepada tamu-tamunya: Aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku). Tapi ingat kalau ini adalah rumahku (kekuasaanku)

Asal-usul toleransi sesungguhnya bersifat keagamaan (religius) yang kemudian diappropriasi politik-sekuler. Pada konteks inilah ikhtiar Jacques Derrida diniatkan untuk melampaui semangat keagamaan tersebut sekaligus melampaui penalaran dan argumentasi Kantian tentang toleransi. Membersihkannya dari bubuhan teologiko-politik yang menyebabkan toleransi menyimpang dari semangat yang dimaksudkannya.

Yang pertama menadikan toleransi sebagai laku dan sikap paternalistis. Sementara yang kedua membubuhinya dengan segugus persyaratan. Dengan ini Derrida mengajukan toleransi tanpa-syarat atau kesanggrahan (hostipitality) sebagai penggantinya. Dengan kesanggrahan inilah kita mendapatkan suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dan toleransi. Sejauh menyangkut sumbangan pemikiran Kant, Derrida melihat Kant masih memahami toleransi sebagai kesanggrahan bersyarat.

Menyangkut gugus pertama atau toleransi dalam semangat teologiko-politik, Derrida menganjurkan untuk melakukan ikhtiar pembongkaran pada matriks kristiani yang menyebabkan toleransi menjadi sebuah konsep politik dan etik yang justru malah tidak netral dari semangat yang menjadi klaim toleransi itu sendiri. Muasal dan fokus keagamaannya malah menjadikan kata dan pengertian toleransi lebih diterima sebagai sisa dari sikap paternalistis. Di mana orang lain tidak diterima secara setara dan sepadan melainkan sebagai bawahan. Kant dalam pandangan Derrida belum bisa keluar dari bubuhan teologiko-politik tersebut ketika memahami toleransi.

Kant memahami toleransi sebagai janji emansipatoris jaman modern yang memiliki muatan retriksi ganda. Pertama, toleransi sebagai sifat netral keagamaan. Akan tetapi di sisi lain di dalamnya terkandung komponen kristiani yang amat kuat. Inilah retriksi yang Kedua sejauh menyangkut toleransi yang dimengerti Kant.

Karena itulah tak jarang sejarah konsep toleransi selalu memihak dan diappropriasi sebagai dalih, alasan, dan argumentasi pihak dan kekuasaan yang lebih kuat. Toleransi dalam sejarahnya terkontaminasi oleh nada bubuhan politik dan kekuasaan yang dalam istilah Derrida disebut sebagai semangat teologiko-politik: aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku), tetapi engkau harus ingat bahwa ini rumahku (kekuasaanku). Karena itulah toleransi tidak lagi memadai sebagai sebuah sikap dan pandangan terhadap orang asing atau di hadapan alteritas (keberlainan). Ia mesti diganti dengan sikap keramahtamahan.

Semangat kesanggrahan sendiri menurut Derrida adalah sungkawa (mourning). Keprihatinan terhadap penderitaan orang lain. Yang lainnya dalah suatu penerimaan terhadap orang asing dan yang datang tak terduga. Pada tingkatan messinistik, kesanggrahan adalah sebentuk penantian. Sebentuk tunggu melampaui waktu. Kesanggrahan adalah tentang perjumpaan dan senyuman kepada sesama. Penantian dan harapan itu sendiri untuk menerima orang asing. Sebentuk penyampaian undangan yang didasarkan pada ketulusan. Dan kesanggrahan yang paling religius adalah penerimaan terhadap orang yang tidak pernah kita undang. Atau yang datang tiba-tiba.

Identitas dan Batas-Batas Filsafat
Latar-belakang kultural Derrida telah memberikan suatu kerangka baru untuk menginvestigasi kembali gagasan humanisme dan pencerahan. Sesuai dengan pengalaman mengadanya, identitas muncul bagi Derrida sebagai batas-batas yang tidak stabil, tidak subtil, dan tidak ajeg. Latar-belakang ini pada akhirnya menggarisbawahi tantangan pada perbatasan ragam territori: Eropa dan non-Eropa, dunia pertama dan dunia ketiga, Judaisme dan Kristianitas, Judaisme dan Islam. Dan dalam pandangannya tantangan yang sama sesungguhnya tengah dihadapkan kepada filsafat.

Pada titik ini intervensi-politis Derrida seringkali ditujukan sebagai sebuah ikhtiar untuk menemukan cahaya baru atas benua-benua yang tersembunyi. Melampaui konsep negara-kebangsaan. Karena menurutnya negara kebangsaan memiliki fungsi ganda: melindungi warga-negara sekaligus menghancurkannya. Negara melindungi diri sekaligus menghancurkan diri. Pandangannya tersebut tidak lepas dari pengalaman negatif tentang politik dan negara dalam dunia modern yang nyatanya menjadi tragedi pembantaian warga-negara seperti kasus holocaust dan genocide. Dan karena itu tugas filsuf menurutnya adalah senantiasa bersikap kritis untuk menganalisa dan kemudian menarik konsekuensi-konsekuensi praktis antara warisan filsofis dan struktur juridis-politis.

Dekonstruksi dan Pengampunan
Intervensi dekonstruktifnya Derrida adalah suatu ikhtiar untuk membedah setiap diskursus yang tegak sebagai sebuah konstruksi filsafat. Ikhtiar ini sangat berciri individual dan bertujuan menggoncang stabilitas prioritas-prioritas struktural masing-masing konstruksi yang khusus. Dalam telisik-investigatif ini, konstruksi-konstruksi filsafat modern bergantung pada oposisi dan pasangan-pasangan konseptual yang tak tereduksikan seperti spiritual-material, universal-khusus, kekal-temporal, dan lelaki-perempuan.

Oposisi-oposisi tersebut dalam pandangan Derrida mendesakkan suatu tatanan hirarkis dan mengucilkan serta menyingkirkan apa atau sesuatu yang tidak sesuai dengan kategorisasinya. Contohnya adalah kebajikan di dalam skema kristiani seringkali diidentikkan dengan yang spiritual dan yang lelaki. Sementara keburukan berkenaan dengan perempuan dan yang material. Terlebih apa yang tidak tercakup dalam kategori hirarki oposisi-biner tersebut semisal lesbian dan homoseksual.

Selanjutnya apa yang didekonstruksi adalah segala kepercayaan, nilai, dan ide yang dikonstruksikan filsafat modern dan dijaga kesatuannya dalam skema konseptual hirarki oposisi-biner tersebut. Pertama, intervensi-dekonstruksi diawali dengan mengidentifikasi konstruksi-konseptual suatu bidang teoritis tertentu baik agama, etika, metafisika, atau pun teori politik yang menggunakan skema hirarki oposisi-biner.

Kedua, intervensi-dekonstruksi menginvestigasi penataan hirarki oposisi-biner tersebut. Ketiga, intervensi-dekonstruksi diteruskan dengan membalikkan atau menjungkirbalikkan tatanan hirarki oposisi-biner tersebut dengan cara menempatkan hirarki yang pada awalnya di bawah menuju ke atas, karena menurut Derrida seringkali penataan hirarki oposisi-biner tersebut lebih sebagai cerminan pilihan-pilihan strategis dan seksis atau pun ideologis ketimbang suatu deskripsi sifat-sifat yang intrinsik.

Yang terakhir atau yang keempat, intervensi-dekonstruksi kemudian memproduksi istilah ketiga untuk melampaui hirarki oposisi-biner tersebut, hingga tidak dapat dikenali lagi dengan cara membongkar struktur yang menyangganya yang dijadikan dasar penataan hirarki oposisi-biner tersebut. Dua gerakan intervensi-dekonstruksi yang pertama diikhtiarkan untuk menantang deskripsi konstruksi-konseptual. Sementara itu dua gerakannya yang terakhir bertujuan untuk merusak bentuknya dan kemudian membentuknya kembali dengan muatan cara pandang yang baru dan kemudian mentransformasinya.

Ikhtiar Derrida tersebut diniatkan untuk membawa filsafat pada kemungkinan batas-batasnya sebagaimana yang telah dilakukan Socrates dan Nietzsche dengan tujuan untuk menghindari sikap dogmatik dalam pemikiran. Pada konteks inilah Derrida sering dijuluki Penelope modern, Nietzsche-Socrates kontemporer.

Dengan kerangka itu pulalah Derrida membongkar konseptualisasi pengampunan yang selama ini dipahami dan dimengerti. Ia melangkah ke depan dengan mengatakan bahwa pengampunan seharusnya dimengerti sebagai tugas mokal untuk mengampuni sesuatu yang tidak terampuni. Karena menurutnya tanpa mengampuni sesuatu yang tidak mungkin terampuni, maka tak akan pernah ada kosa-kata pengampunan sama sekali. Sebab baginya pengampunan tidak dapat direduksi kepada batas legal dan moral yang manapun, akan tetapi hanya mungkin diapresiasi ketika dan bagaimana hal itu muncul.

Dengan demikian Derrida menghindari kerangka teologiko-politik untuk membincang pengampunan yang diakuinya sangat berakar pada tradisi Abrahamik yang diwariskan dalam politik sekuler Barat. Derrida menganjurkan suatu refleksi yang ketat tentang konsep pengampunan sejauh menyangkut perujukan dan penggunaannya dalam konteks-konteks sejarah dan budaya yang konkrit ketimbang sebagai entitas abstrak. Dengannya ia menamai ulang geo-politik pengampunan.

Lebih lanjut ia mengatakan ada dua jenis pengampunan. Pertama, pengampunan bersyarat yang syaratnya adalah dapat dikalkulasikannya hukuman. Yang kedua, pengampunan tanpa-syarat atau mengampuni hal yang tidak dapat diampuni. Pengampunan yang terakhir masuk dalam wilayah yang tak terukur dan tentu saja bersifat mokal. Yang datang dari ketakterdugaan atau pun keterkejutan yang menjungkirbalikkan garis perjalanan lazim yang ditempuh oleh sejarah, hukum, dan politik. Menurutnya tanpa pengalaman pengampunan tak bersyarat sesungguhnya tidak akan ada pengampunan sama sekali.

Langkah pertama intervensi-dekonstruksi untuk membongkar konsep pengampunan ini diawali dengan membongkar akar ke-Abrahaman tersebut sejauh menyangkut dimengerti dan dipahaminya pengampunan dan kemungkinan silih gantinya. Yang kedua adalah membongkar dan menginvestigasi sejumlah pasangan hirarki oposisi-biner yang memungkinkan standar-standar pembentukan konseptualisasi dan pemahamannya seperti: terbatas-tak terbatas, transenden-immanen, kekal-temporal, yang dapat diperbaiki-yang tidak dapat diperbaiki, yang dapat ditebus dan yang tidak dapat ditebus, yang mungkin-yang tidak mungkin.

Setelah memetakan pasangan hirarki oposisi-biner tersebut kemudian diteruskan dengan gerakannya yang ketiga: menunjukkan bahwa pasangan-pasangan tersebut disusun dan ditata secara hirarkis sesuai dengan motif dan semangat filsafat tradisional. Filsafat identitas atau filsafat subjek.

Dan hasilnya yang dipahami selama ini tentang konsep pengampunan diberikan secara terbatas pada kasus-kasus yang dapat ditebus atau kasus-kasus yang dapat diberikan silih gantinya, dan yang dapat diperbaiki. Setelah mengetahui ini Derrida melangkah pada gerakan intervensi-dekonstruksinya yang ketiga, yaitu dengan menyatakan bahwa aksioma ke-Abrahaman yang hanya mengampuni yang dapat diperbaiki dan dapat ditebus sungguh-sungguh didasarkan pada sebuah paradoks. Di satu sisi meniscayakan suatu pengampunan, tetapi di sisi lain mengandaikan silih ganti atau tebusan. Derrida kemudian menolak simetri pandangan tersebut, karena mengampuni dalam pandangannya adalah mengampuni intensi jahat (siapa) dan tindakan jahat (apa) persis seperti apa adanya (jahat itu sendiri).

Derrida kemudian membedah dan membongkar kembali kategorisasi apa yang disebut pengampunan bersyarat dan pengampunan tanpa syarat. Yang pertama memang cocok dengan hukum dan politik, akan tetapi menurutnya pengampunan jenis ini tereduksi dalam suatu terapi rekonsiliasi. Karena menurutnya ada suatu distingsi antara rekonsiliasi legal dan pengampunan. Dan mungkin saja ada korban yang tak dapat mengampuni meski setelah amnesti atau pun pembebasan. Pada konteks ini pengampunan merupakan teka-teki. Dengannya kita akan memahami dan menerima jenis pengampunan yang kedua, pengampunan tanpa-syarat.

Pun Derrida mengekspose dan membongkar ketidakmemadainya konsep pengampunan yang selama ini dimengerti dalam geo-politik sekuler Barat yang didesakkan oleh warisan ke-Abrahamannya. Pengampunan bersyarat dalam pandangannya hanya cocok dalam tataran hukum dan politik sekuler saat ini yang seringkali jatuh pada negosiasi-negosiasi pragmatis dan pertukaran yang setara. Argumen penalaran tersebut sebenarnya menawarkan suatu kemungkinan bagi penciptaan situasi kemanusiaan di masa yang akan datang (to come).

Melampaui Negara-Kebangsaan dan Kosmopolitanisme Politik
Perbincangan dan penalaran Derrida tersebut pada akhirnya adalah suatu ikhtiar untuk melampaui konsep negara-kebangsaan yang selama ini diterima, dipraktekkan, dan diapropriasi politik sekuler. Pun ketika ia membincang demokrasi, maka yang dimaksudkannya adalah demokrasi yang mungkin, yang secara simultan selalu merujuk kepada kemasadepanan. Demokrasi yang akan datang.

Akan tetapi demokrasi dalam artian ini menurutnya bukannya suatu bentuk demokrasi yang suatu hari akan hadir, juga bukan dalam artian ide regulatif dalam pengertian Kantian. Demokrasi bukanlah kategori rezim politik. Sebab bila dikatakan sebagai kategori rezim politik, demokrasi tidak lebih dari nama sebuah rezim. Karena menurutnya tetap terdapat sesuatu yang tidak mungkin dkarenakan aporia yang terkandung dalam kata demos, yang menurutnya merujuk pada pengertian keunikan setiap orang yang tak terkalkulasikan.

Demokrasi yang dimaksudkannya pada titik ini adalah membiarkan makhluk tunggal, di mana setiap orang hidup bersama tanpa harus ditentukan oleh kewargaan atau sebuah kondisi mereka sebagai subjek-subjek yang sah menurut hukum di dalam sebuah negara-kebangsaan. Cita-cita demokrasi yang dimengerti Derrida terletak diluar kosmopolitanisme politik dan kewargaan negara-kebangsaan. Demokrasinya Derrida adalah suatu ikhtiar untuk melampaui kosmopolitanisme politik.

Di Perbatasan Filsafat
Dalam konteks ini Derrida masih tetap konsisten dengan komitmen filsafatnya untuk menyingkapkan batas-batas demarkasi pemikiran. Dengan menggunakan analogi geografi sekitar batas dan perbatasan dalam fungsinya yang ganda: merangkul yang satu sembari menyingkirkan yang lain. Ia pun menganjurkan perlunya untuk disisakan sebuah ruang yang ditempatkan di luar politik dan hukum, untuk mengantisipasi ketakterdugaan atau apa yang datang tidak teramalkan. Sesuatu yang asing. Orang asing dan peziarah.

Cita-cita demokrasi Derrida terletak dan melampaui kekuasan ekonomi, yuridis, dan politik. Dengan ikhtiarnya tersebut ia meniatkan untuk mendetotalisasikan totalitas-totalitas yang selama ini tertutup terhadap suara “yang lain, the other”.

Ia pun memandang keadilan yang sesungguhnya berada di luar hukum dan politik. Sebab sebagaimana juga pengampunan, keadilan di tangan hukum direduksikan kepada ciri kesederhanaan hukum, karena menurutnya hukum dan keadilan adalah dua dimensi yang berbeda. Yang pertama bersifat terbatas, relatif, dan didasarkan pada sejarah karena merupakan produk dinamika sosial-politik. Sementara yang kedua mentransen lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis, karenanya tak terbatas dan absolut.

Pada konteks ini ia mengembangkan tulisan Walter Benjamin menyangkut distingsi antara kekuatan membuat hukum dan kekuatan memelihara hukum. Yang pertama merujuk kepada pembentukan sistem legal. Sementara yang kedua bersesuaian dengan sifat dapat dilaksanakannya hukum. Ranah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung di dalam aturan, norma, dan hal-hal imperatif universal. Keadilan menyangkut pada individu dan situasi mereka.

Ia memandang kosmopolitanisme Kant masih mengandaikan bentuk kedaulatan negara. Ide dan semangat kosmopolitanisme sendiri menurutnya bukan semata-mata sumbangan Kant, tetapi juga dari Santo Paulus dalam suratnya kepada ummat di Ephesus, dan dari kaum Stoa.

Atas pembacaan atas ide-ide Kant dan Arendt, Derrida menawarkan suatu demokrasi yang melampaui ide kosmopolitanisme Kant tentang konsep kewargaan dunia. Karena pada kenyataannya ada ragam territori yang tidak mungkin direduksikan. Melampaui aliansi politis. Yang dimaksud Derrida adalah mereka yang tidak memiliki status kewargaan entah disebabkan oleh sebentuk penolakan atau pun pelarian. Tentang para pengungsi dan orang asing. Suatu sikap penerimaan dan sapaan terhadap orang yang tak pernah diduga kedatangannya. Yang tak teramalkan. Hantu! Merujuk kepada kemasadepanan. Suatu penantian dan penungguan terhadap mereka yang sewaktu-waktu akan datang. Suatu sikap menunggu. Tetapi pada saat yang sama juga tidak menunggu. Suatu ziarah dan menyambut para peziarah. Seperti tawanya Sarah ketika Tuhan mengatakan bahwa ia akan memiliki anak di usianya yang renta. 


Di Manakah Kita Bisa Kembali Menemukan Illuminasi? Bagian Ketiga

Menafsir Iman Melalui Puisi oleh Sulaiman Djaya (2007)

Tentang Iman dan Persoalan Tafsir [7]
O Lord, increase my perplexity concerning Thee” (Ibn Araby). “O! Kearifan! Engkau tidak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini” (Fariduddin Attar)[8]

Ikhtiar manusia untuk mengetahui hakikat adalah sebentuk ironi menara Babel. Pendirian dan pembangunan menara Babel yang hendak menyentuh langit (surga) adalah metafor dari keangkuhan manusia itu sendiri yang hendak mencari bahasa universal dan kebenaran hakikat. Sekaligus sebentuk allegori dari ketakmungkinan tersebut. Kehendak untuk mengetahui bahasa dan maksud Tuhan itu sendiri pada akhirnya akan bermuara pada kebingungan. Sebagaimana kebingungan Ibn Araby dan Fariduddin Attar yang sadar pada kerentanan subjektivitasnya untuk mengetahui misteri dan hakikat Tuhan dan perbuatan-Nya.

Ketika Tuhan menghancurkan menara Babel sesungguhnya Tuhan telah melakukan detotalisasi atau dekonstruksi. Dan hasil dari detotalisasi (penghancuran totalitas) itu tak lain adalah kebingungan. Kehendak manusia untuk melakukan homogenisasi adalah tindak kekerasan terhadap keberlainan. Kebingungan dan keheranan itu mendapatkan konteksnya pada soal kemungkinan sekaligus ketakmungkinan untuk menafsir atau menemukan hakikat. Karena kata Babel berarti kebingungan itu sendiri. Penghancuran menara Babel adalah sebentuk disseminasi (suatu ikhtiar untuk melampaui makna). Sejenis dosa.

Lalu di mana seorang pemikir atau penyair? Wittgenstein berujar: the philosopher goes wild, screaming helplessly, until he gets to the heart of his confusion. Begitu juga ‘Ayn Al-Qudat Hamadani bermuram: my heart was tumultuous a sea with no shores, in it was drowned all the ends and all the beginnings. Tuhan itu sendiri adalah Sang Penunjuk (Al-Haadi) sekaligus Sang Penyesat (Al-Mudhillu). Seperti halnya kebingungan Nuh yang merindu daratan dan kesudahan malapetaka bah-Nya.

Kebingungan adalah differance sekaligus disseminasi. Dan disseminasi tak lain: endlessly opens up a snag (accroc) in writing that can no longer be mended. Ibnu Arabi pun berkeluh: how every group has believed something about God, what he means is that every group has tied a certain knot about God? Lalu ia menawarkan paradigma plural: God is the root of every diversity in beliefs within the cosmos.

Moment penghancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan perspektif yang majemuk (plural). Moment fragmentasi. Moment puisi. Tapi pada saat yang sama juga adalah penolakan pada otoritas. Pada author (pengarang). Sebentuk moment Jeremiah. Sejenis diaspora. Pengalaman exile atau exodus. Ketakmungkinan untuk menggenapi. Ketakberdayaan untuk menemukan tafsir tunggal atas teks atau doktrin. Karena Tuhan itu sendiri adalah keganjilan dan keanehan (keberlainan) itu sendiri. God who is everywhere and nowhere.

Tuhan sendirilah yang menolak dan menghancurkan kesombongan manusia untuk menemukan tafsir tunggal. Sebab Tuhan sendirilah sang penghancur menara Babel. Dan para pendiri menara itu pun kebingungan. Dan ketika itu pula Tuhan mendekonstruksi dan mendisseminasi dirinya sendiri. Dan karena itulah dalam tradisi Semitik ada larangan menyuarakan dan menyebutkan nama Tuhan.

Dan di bukit Tursina itu pun Tuhan berkata pada Musa: Aku adalah Aku. Atau Dia Yang Bernama (Elohim). Sebentuk penegasan identitas tapi di saat yang sama juga penegasan non-identitas. Dan ketika itu pula Musa ditegur: Dan sebelum engkau menghadapku, tanggalkan kasutmu (sandalmu: identitas politismu). Fahla’ Na’layk!

Juga ketika Tuhan menampakkan dirinya dalam wajah api, pada saat itu juga Tuhan memperkenalkan kesakralan dan keabadian wahyu dan diri-Nya. Kata-kata dan bahasa adalah api yang abadi. Dan sekali-kali engkau tak akan menemukan arti. Dan semakin sering engkau menyebut nama-Ku dengan mulutmu sendiri (identitas dan klaim politismu) untuk kepentingan dirimu sendiri, maka semakin sering pula engkau melanggar dan menghancurkan kesakralan-Ku. Maka cukuplah nama-Ku ada di hatimu.

Begitulah pada akhirnya, kebingungan bermuara pada keheranan dan tawa. Pada konteks inilah mungkin menurutku orang-orang yang sering meneriakkan nama (simbol) Tuhan dengan lantang adalah orang-orang sekuler dalam pengertian genealogisnya.

Kierkegaard, Metafor, Peristiwa Atau Tentang Batas – Batas Penafsiran
Dengan Kierkegaard saya ingin berbicara tentang “Komunikasi Tak Langsung”. Dalam pembacaan saya dengan komunikasi tak langsung ini Kierkegaard mengijinkan tulisannya menjadi subjek tersendiri, yang kemudian menjadi teman dialog dengan pengarang itu sendiri. Seperti yang diutarakan Kierkegaard:

....dalam karya-karya bernama samaran itu tak ada satu kata pun yang merupakan kataku. Aku tidak mempunyai pendapat tentang karya kecuali sebagai orang ketiga, tidak mengetahui artinya kecuali sebagai pembaca, tak ada hubungan pribadi yang paling jauh sekalipun dengan karya-karya itu[9].

Yang saya maksud di sini adalah Kierkegaard menggunakan gaya dan bentuk surat cinta, yang sebenarnya tulisannya tidak dimaksudkan untuk seseorang tertentu. Hanya saja dengan ini pembaca kemudian menjadi terlibat dan bergulat langsung, lazimnya setiap surat cinta akan selalu memungkinkan pembacanya lebih istimewa dari penulisnya sendiri.

Komunikasi tak langsung inilah yang menjadi salah satu alasan Kierkegaard menggandrungi nama-nama samaran. Tulisan yang ditulis dengan nama samaran itu pun kemudian dikutip pada tulisan berikutnya dengan nama samaran yang lain. Kierkegaard telah mebebaskan tulisan-tulisannya (anak-anaknya) tersebut dari “the father” (pengarang) dan menjadi teman-teman dialog bagi Kierkegaard sendiri. Ia telah memberikan otonomi pada tulisannya.

Komunikasi tak lansung yang dimaksud Kierkegaard sendiri merujuk pada kitab suci yaitu Yesus dan filsuf Yunani, Sokrates. Komunikasi tak langsung berarti juga ada yang tidak bisa dikomunikasikan dengan bahasa biasa, konsep, atau metafor. Konsep itu sendiri adalah metafor. Dan metafor itu sendiri adalah konsep. Dan metafor itu sendiri malah akan semakin mengaburkan apa yang ingin dipinjamkan sebagai makna, sebagaimana konsep mereduksinya dalam simplisitas, koherensi, dan universalisasi.

Laku Kierkegaard memperlakukan konsep-konsep objektif secara regressif yang tidak lain adalah sifat swadestruktif bahasa untuk menyibakkan kemiskinan bahasa hanyalah untuk menjelaskan ironi dan paradoks yang melekat pada subjek. Derrida menyebutnya sebagai aporia. Klaim objektivitas dan universalitas tidak lebih dari laku pengingkaran ironi dan paradoks tersebut.

Dalam kesusasteraan Timur saya teringat Fariduddin Attar: O! Engkau yang menghargai kebenaran, janganlah mencari kias[10]. Dan: O! Kearifan! Engkau tak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini[11]. Dan Ibnu Arabi: O, Lord, Increase my perplexity concerning Thee[12]. Baik metafor atau pun konsep sama-sama reduktif. Cerminan langsung dari upaya yang gagal untuk mengatasi kemiskinan bahasa.

Lebih lanjut menurut Kierkegaard, baik Yesus atau pun Sokrates menginvestigasi setiap orang secara personal, melucuti segala sesuatu dari orang tersebut, dan menyuruhnya pergi dengan tangan kosong tanpa ada satu pun kebenaran yang dimilikinya kecuali kebenaran subjektif yang disebutnya sebagai kebenaran eksistensial. Kebenaran jenis ini menurutnya tidak dapat dikomunikasikan. Dengan menyadari ini Sokrates mengemukakan diktumnya yang terkenal: Aku tidak tahu apa-apa! Dan ketidak tahuan ini jauh lebih banyak dari yang diketahui.

Menurut Kierkegaard apa yang diajarkan Sokrates dan Yesus tidak memiliki isi objektif dan menjadi kondisi negatif yang menjadi jalan untuk belajar tentang individu itu sendiri. Metode seperti ini dengan sendirinya akan mengguncang keseimbangan. Dan di tangan Derrida metode ini beralih nama menjadi dekonstruksi.

Semangat ini saya temukan juga pada pemikiran Nietzsche: ....man has for long ages believed in the concept and name of things as in the aeternae veritates he has appropriated to himself....he really thought that in language he possesed knowledge of the world[13]. Bahwa tafsir atas peristiwa, fakta, atau bahkan teks, jika saya menggabungkan fakta dan peristiwa atau keseluruhan kenyataan itu sendiri hanyalah sebuah usaha untuk melakukan metonimi, penamaan, bahkan dogmatisasi.

Tentang hal ini Derrida menyatakan peristiwa sebagai:....another name for experience, which always experience of the other, the event is what does not allow itself to be subsumed under any other concept, not even that being. A ‘there is’ or ‘let there be something rather than nothing’ arises from the experience of the event, rather from thinking of being. The happening of the event is what cannot and should not be prevented: it is another name for the future itself[14].

Dalam pandangan Derrida jika peristiwa adalah apa yang datang menuju, maka peristiwa tidak dapat direduksikan ke dalam kategori esksistensi. Dengan inilah terjadi kemungkinan tentang apa yang akan datang, differance, tidak dapat diapropriasi, tak dapat diramalkan, dan melampaui antisipasi. Differance berpangkal pada sesuatu yang lain, dalam pengertian alteritas. Pada singularitas yang lain. Pada yang akan datang dan yang tak terduga[15]. Sementara itu Kierkegaard memandang eksistensi sebagai kebisuan setelah ketakberdayaan analisis.

Kierkegaard sebenarnya tengah mengkritik filsafat Plato yang melulu melakukan konseptualisasi dalam filsafat forma-nya. Bagi Kierkegaard jika hanya apa yang dapat dikonseptualisasikan itu dapat dipikirkan, maka eksistensi tidak dapat dipikirkan. Sebab eksistensi selalu konkrit dan tidak pernah abstrak.

Pada akhirnya berbicara tentang pengetahuan dan kebenaran tidak bisa dilepaskan dari subjek dan bahasa. Sebentuk aporia. Tentang ketakberdayaan untuk merengkuh kebenaran. Pada Derrida dan Heidegger hal ini memiliki semangat teologis atau juga religius dengan kentalnya nuansa messianistik: kemasadepanan yang tak teramalkan dan tak dapat diprediksi. Sebagaimana Nietzsche layaknya sang biarawan, yang kemudian memberikan konsekuensi kenabian untuk mengatasi agama. Mengalihkan orientasi dari dunia sana pada dunia sini.

Heidegger dan Foucault misalnya bersikap kritis terhadap gagasan tentang “diri” Cartesian dan “otonomi-agensi” Kantian. Menurut Foucault subjek tereduksi dalam sejumlah fungsi wacana. Dan kebebasan harus dipahami sebagai kekuatan untuk mempertanyakan apa yang nyata-nyatanya terberi begitu saja. Dan untuk menemukan dunia-dunia baru yang sebelumnya tidak ditemukan hanya dapat dilakukan lewat menulis. Subjek harus dibaca sebagai produk tradisi atau pemikiran sebelumnya. Subjek terlempar dalam dunia yang sudah terdefinisi dan terberi.

Jika mau dicermati dengan keprihatinan yang sungguh-sungguh, perbincangan tentang subjek dan bahasa ini mendapatkan tempat yang istimewa dalam eksistensialisme dan filsafat kontemporer. Dalam eksistensialisme pengaminan ke-aku-an begitu kental. Sementara dalam filsafat kontemporer, ke-aku-an dan otentisitas individual ini dicurigai sebagai sumber kekerasan dan otoritarianisme. Tetapi eksistensialisme telah menyumbangkan suatu wawasan baru dalam pemikiran dan filsafat: kebenaran sangat terkait erat dengan persoalan bahasa dan modus mengada manusia seperti yang ditegaskan Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger.

Menurut Nietzsche misalnya selama berabad-abad manusia mengira dirinya telah menemukan kebenaran, padahal yang sesungguhnya adalah mereka hanya berusaha mengatasi bahasa. Mereka mengira telah merengkuh kebenaran, padahal hanya mengemukakan segugus prasangka yang dikiranya sebagai kebenaran.

Pada Kierkegaard dasar eksistensi atau pengalaman bukan hanya kesadaran, akan tetapi juga kekaburan. Jika saja kesadaran ada dalam kelangsungan, maka kelangsungan adalah aktualitas itu sendiri. Sementara ujaran atau konsep hanya idealitas tentangnya. Kesadaran adalah oposisi dan kontradiksi. Pada saat seseorang mengekspresikan realitas, oposisi ada di sana. Karena itu kemungkinan keragu-raguan terletak dalam kesadaran. Dan kemungkinan keragu-raguan itu dihasilkan oleh dan menghasilkan duplisitas. Memang ada kepastian dan kelangsungan dalam sensasi, tetapi kepastian langsung ini akan hilang segera ketika pengalaman diekspresikan dengan bahasa dan pikiran.

Pada titik ini filsafat Kierkegaard koheren dengan filsafat Nietzsche. Bahasa bukanlah realitas. Ada suatu pengalaman yang tidak dapat direngkuh oleh bahasa dan pikiran. Berpikir tentang sesuatu atau membahasakannya (menamainya) adalah memperlawankannya dengan yang lain. Dalam kesadaran, aktualitas dihadapkan pada apa yang tidak ada (kemungkinan) . Dengan sendirinya kesadaran adalah perbenturan antara aktualitas dan kemungkinan.

Menurut Kierkegaard kata doubt (keraguan) secara etimologis berkaitan dengan doubleness (kerangkapan). Kesadaran bukanlah bentuk kepastian sebagaimana yang diandaikan Descartes, melainkan suatu bentuk ketidakpastian. Kesadaran bukanlah mengatasi keragu-raguan. Melainkan suatu bentuk keragu-raguan itu sendiri. Karena dalam kesadaran apa yang ada dipertanyakan[16].

Kesadaran seperti yang dikemukakan Kierkegaard tersebut merupakan artian Heraklitus: Anda tidak mungkin berdiri di sungai yang sama dua kali pada waktu yang sama, yang disebut Sartre sebagai ketidakjujuran. Karena ada sejenis ketakutan dalam kesadaran. Menurut Sartre kesadaran adalah suatu spontanitas tak berpribadi. Kesadaran ditakuti oleh spontanitasnya sendiri.

Dalam eksistensialisme isu kemewaktuan dan kemengadaan dalam dunia begitu kentalnya. Dan pemikiran atau pun pengetahuan sesungguhnya dihidupi oleh bahasa sekaligus oleh kemiskinan bahasa itu sendiri.

Pada Nietzsche kebenaran adalah subjektivitas dan perspektivitas. Muncul dari segugus horison yang berbeda-beda yang jumlahnya bertebaran. Kebenaran hanyalah fungsi ‘mengada’ dan harus dilihat sebagai hubungan-hubungan. Kebenaran adalah sesuatu yang tanpanya manusia tak bisa hidup. Tak lebih sebagai fungsi pelestarian manusia. Dan mengalami puncaknya pada hasrat untuk berkuasa (Will to Power). Nietzsche sendiri dengan gamblang menyatakan bahwa hasrat yang paling kuat pada manusia bukanlah hasrat untuk hidup dan mengada, akan tetapi hasrat untuk berkuasa. Sementara kebenaran dan pengetahuan hanya kedok dan fungsi untuk berkuasa.

Tetapi di mata Heidegger baik filsafat modern atau pun eksistensialisme masih menjadikan manusia sebagai pusat untuk berfilsafat, yang pada akhirnya melahirkan cara pandang teknologis. Dunia ada hanya untuk manusia, bukan untuk yang lainnya. Dan cara pandang ini pada akhirnya berujung pada kekerasan dan kerusakan lingkungan.

Dan akhirnya, kebenaran menurut saya adalah segugus pengalaman yang tidak pernah menemukan rumah dan terminalnya. Terus-menerus hidup dalam fase keberangkatan bagi awal mula yang cepat menjadi lalu. Tidak pernah menemukan moment yang bisa merengkuh seluruh pengalaman atau pun peristiwa. Selamanya ia tetap berserakan. Sebentuk puisi! 



[1] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Yogyakarta 2003:14
[2] Ibid, h.14
[3] Ibid, h.14
[4] Ibid, h.12
[5] Ibid, h.10
[6] Giovanna Borradori, Philosophy In A Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005. h. 230-233 dan h. 154-5
[7] Sumber: 1. Jacques Derrida, Acts Of Religion, Routledge 2002. pp. 104-133, 2. Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515-537, 3. Al Kitab Perjanjian Lama, 4. Al-Qur’an
[8] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Terawang Press 2003:14
[9] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001, h.26
[10] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003, h.9
[11] Ibid, h. 14
[12] Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515
[13] Friedrich Nietzsche, Human, All Too Human, transl. R. J. Hollingdale, Cambridge University Press 2002, pp. 16
[14] Martin McQuillan, The Deconstruction of Actuality: An Interview With Jacques Derrida dalam Deconstruction, A Reader, Edinburgh University Press 2000, pp.534
[15] Ibid, pp.533
[16] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001:52-3

(Lukisan karya Bischak)