Label

Kisah Yunus Emre


Suatu ketika, di sebuah desa kecil di Anatolia, tahun 1230-an, seluruh Anatolia sedang terkena bencana kelaparan, tak terkecuali di desa kecil itu. Warga desa meminta Yunus kecil, seorang anak gembala, untuk pergi meminta sedikit biji-bijian bagi warga kampungnya ke Desa Bektasi, satu dari sedikit tempat di Anatolia yang masih memiliki makanan. Hanya ia lelaki di kampungnya yang masih cukup sehat untuk bepergian jauh.

‘Desa Bektasi’ di Turki sebenarnya merupakan sebuah paguyuban sufi yang dipimpin oleh Haji Bektasi, seorang wali (keturunan Persia yang bermazhab Ahlulbait atau Syi’ah) yang terkenal di Turki pada masa itu. Paguyuban ini setelah sekian lama berkembang menjadi sebuah desa kecil. Yunus, seorang anak kecil yang pekerjaannya menggembala kambing, dipinjami seekor keledai, dan berangkatlah ia ke sana. Tak lupa, selama dalam perjalanan ia mengumpulkan buah-buahan liar yang masih tersisa, sekedar sebagai penukar biji-bijian di desa Bektasi nanti.

Haji Bektasi, sebelum Yunus tiba, telah mengetahui siapa anak kecil yang akan mendatangi pintu kampungnya ini. Ia berpesan kepada penjaga pintu kampung, bahwa jika Yunus tiba, tawarilah ia satu dari dua hal: mau biji-bijian atau ‘barokah’ dari mursyid mereka, Haji Bektasi.

Setelah perjalanan panjang, sampailah Yunus ke pintu kampung Bektasi. Sebagaimana diperintahkan, penjaga pun menanyakan padanya, mana yang ia lebih suka: biji-bijian atau ‘barokah’ khusus dari Haji Bektasi. Yunus kecil, belum pernah mendengar kata ‘barokah’ sebelumnya. Ia tidak paham ‘kewalian’ atau apa pun mengenai sufi. Lalu dengan polosnya, ia bertanya, apakah ‘barokah’ ini berat, sebanyak apakah ‘barokah’ jika ditukar dengan buah-buahan liar, dan kalau terlalu berat ia ragu apakah keledainya akan kuat membawanya, karena ia hanya membawa satu keledai.

Penjaga mengatakan bahwa ‘barokah’ ini tidak akan memberatkan keledainya. Yunus berfikir, dan kemudian memutuskan bahwa ia memilih biji-bijian saja. Ia mengatakan bahwa penduduk kampungnya hanya meminta ia pulang dengan membawa biji-bijian. Maka ia meminta biji-bijian saja.

Mendengar hal ini, penjaga menemui Haji Bektasi. Haji Bektasi kemudian menawarkan pada Yunus kecil, bahwa untuk setiap genggam buah-buahan yang Yunus bawa, ia menawarkan ‘sepuluh barokah’ sebagai gantinya. Yunus dengan sopan tetap menolak. Ia hanya dikirim untuk membawa pulang biji-bijian, katanya tanpa sama sekali mengetahui apa sebenarnya ‘barokah’ itu. Pada akhirnya, Haji Bektasi memerintahkan untuk memenuhi keledai Yunus dengan biji-bijian yang banyak sekali, sebanyak si keledai kuat membawanya.

Yunus kecil pun pulang dengan senang. ‘Betapa baiknya orang itu,’ pikirnya. Tapi di tengah perjalanan ia menjadi ragu, mungkin ‘barokah’ itu lebih berharga dari biji-bijian? Mungkin ia seharga emas? Kalau demikian mungkin ‘barokah’ akan lebih bermanfaat bagi penduduk kampung, pikirnya. Lalu ia pun kembali ke desa Bektasi, ingin menukar biji-bijian ini dengan ‘barokah’ saja.

Sesampainya di sana, kata Haji Bektasi, “Tapi nak, aku sudah tidak bisa memberikannya. Hakku memberi ‘barokah’ untukmu, membuka kunci dirimu, dan takdir untuk membimbingmu, baru saja aku kirimkan ke Taptuk Emre” (seorang murid Haji Bektasi, yang tidak seterkenal beliau).

Bertahun-tahun kemudian, takdir itu terjadilah. Yunus sekarang menjadi murid di tempat Taptuk Emre mengajar. Sampai suatu ketika, tanpa alasan yang jelas, Taptuk Emre menyuruhnya pergi. “Pergilah. Sudah saatnya kau ajarkan apa yang kau miliki kepada orang lain.”

Yunus tidak mengerti. Lagipula ia hanya seorang gembala, dan dengan demikian apa yang bisa ia ajarkan pada orang lain? Tapi ia pun pergi, dengan sangat sedih. Walaupun ia tidak memahami perintah gurunya ini, ia tetap mencoba taat pada guru yang sangat dihormatinya itu. Maka ia pun berkelana. Dalam pengelanaannya, ia terus mendapatkan pengalaman-pengalaman spiritual, dan bertemu banyak orang, dan mulailah karya-karyanya tersebar lembar demi lembar hingga sampai di masa sekarang ini.

Sumber: ‘The Drop That Became The Sea: Lyric Poems of Yunus Emre’ by Kabir Helminski. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Herry Mardian.

Elie Wiesel dan Tuhan yang Terbunuh


Malam
Suatu hari, sentral listrik di Buna diledakkan. Gestapo (Geheime Staatspolizei, polisi rahasia Jerman pada masa Nazi berkuasa), yang langsung dipanggil, menduga bahwa ada sabotase. Mereka temukan suatu jejak. Akhirnya Jejak ini mengantarnya ke Oberkapo (kepala polisi kamp) Belanda itu. Dan di situ, sesudah penggeledahan, mereka temukan sctumpuk senjata penting.

Oberkapo itu langsung ditangkap. Ia disiksa selama beberapa minggu, tetapi tak ada gunanya. Ia tak membuka satu nama pun. Ia dipindahkan ke Auschwitz. Kami tak pernah lagi menerima sesuatu kabar tentangnya.

Tetapi pelayannya yang cilik ditinggalkan dalam penjara kamp. Ia pun disiksa, ia pun tak mau berbicara. Lalu SS (korps elite Nazi di bawah pimpinan Hitler; merupakan kependekan dari Schutzstaffel, eselon pelindung) menghukum mati anak kecil ini, bersama dua tahanan lainnya, yang telah tertangkap basah memiliki senjata.

Suatu hari ketika kami kembali dari pekerjaan, kami melihat dua tiang gantungan terjal di tempat pertemuan, tiga burung gagak hitam. Absen. SS di sekitar kami, senapan mesin membidik ke arah kami: upacara yang sudah tradisional. Tiga korban dibelenggu - dan seorang di antaranya, si pelayan cilik, si malaikat bermata sayu.

SS agaknya lebih tegang dari biasanya, lebih bingung. Menggantung seorang anak kecil di muka ribuan saksi bukan suatu hal sepele. Kepala kamp membaca vonis. Semua orang memandang anak itu. Ia teramat pucat, hampir tenang, menggigit bibirnya. Tiang gantungan itu menjatuhkan bayangannya di atasnya.

Kali ini si Lagerkapo menolak menjadi algojo. Tiga orang SS menggantinya. Tiga korban itu bersama-sama naik ke alas kursi-kursi yang disediakan. "Hidup kemerdekaan!" teriak kedua orang dewasa.

Tetapi anak itu diam.

"Di mana Tuhan? Di mana Dia?" tanya seseorang di belakangku.

Atas isyarat dari kepala kamp, ketiga kursi itu ditumbangkan.

Kesunyian mutlak dalam kamp. Di ufuk Barat, matahart terbenam.

"Buka topi!" teriak kepala kamp. Suaranya parau. Kami semua menangis. "Tutup kepala!"

Lalu mulailah kami berbaris melewati tiang gantungan itu. Kedua orang dewasa itu sudah tidak bernyawa lagi. Lidahnya terjulur, kebiru-biruan. Tetapi tali ketiga masih bergerak-gerak. Karena tubuhnya begitu ringan, anak itu masih hidup

Sekitar setengah jam anak ttu tergantung seperti itu, menggelepak-gelepak di antara hidup dan mati. Pelan, begitu pelan dan begitu tersiksa, ia mati di hadapan mata kami.

Di belakangku, kudengar orang yang sama bertanya, "Di mana Tuhan sekarang?” Dan kudengar suara di dalam hati sanubariku menjawabnya, "Di mana Tuhan? Tuhan ada di sini - dibunuh di tiang gantungan ...."

Malam itu sup rasanya seperti bangkai.

Sumber: "Malam" ["La Nuit"), Elie Wiesel, diterjemahkan oleh Marianne Katoppo, Yayasan Obor Indonesia, cetakan ketiga, 2005, halaman 96-99)

Elie Wiesel dan François Mauriac
Mari ikut saya ke Paris, Perancis, pada tahun 1954. Saat itu Elie Wiesel adalah seorang koresponden untuk sebuah koran Yahudi. Satu dekade sebelumnya ia adalah seorang tawanan di kamp konsentrasi Yahudi. Satu dekade kemudian ia akan dikenal sebagai penulis dari "Night" yang bercerita tentang holocoust, dan memenangkan hadiah Pulitzer. Akhirnya dia dianugerahi Medali Prestasi oleh kongres dan Hadiah Nobel Perdamaian.

Tapi malam itu Elie Wiesel adalah bukan siapa-siapa dan hanya pria berusia 26 yang bekerja sebagai wartawan koresponden untuk sebuah koran. Dia hendak mewawancarai penulis Perancis François Mauriac, yang adalah seorang Kristen yang saleh. Mauriac saat itu adalah orang Prancis yang baru saja memenangkan Nobel untuk sastra dan juga merupakan ahli tentang kehidupan politik Perancis.

Wiesel muncul di apartemen Mauriac dalam keadaan gugup - emosinya masih berjumbai dari kengerian Jerman, dan sebagai penulis ia masih mentah. Mauriac yang lebih tua mencoba membuatnya tenang. Dia mengundang Wiesel masuk ke dalam, dan duduk berdua di ruangan kecil. Sebelum Wiesel dapat mengajukan pertanyaan, bagaimanapun, Mauriac, seorang penganut Katolik Roma yang setia, mulai berbicara tentang topik kesukaannya: Yesus. Wiesel tambah gelisah. Nama Yesus seperti menekan jempol di mana ada luka yang terinfeksi.

Wiesel mencoba untuk mengubah rute percakapan tapi tidak bisa. Seolah-olah segala sesuatu diciptakan mengarah kembali kepada Yesus dan Yerusalem? Yerusalem adalah tempat di mana Yesus melayani. Perjanjian Lama? Karena Yesus, dan kini diperkaya oleh Perjanjian Baru. Mauriac berbicara dengan setiap topik ke arah Mesias. Kemarahan di Wiesel mulai memuncak. Ia dibesarkan dengan pemikiran Kristen anti-Semitisme, lapisan-lapisan kesedihan dari Sighet, Auschwitz, dan Buchenwald - semuanya meluap.
Dia meletakkan pena, menutup buku catatannya, dan berdiri dengan marah.

"Tuan," katanya kepada Mauriac yang masih duduk , "Anda berbicara tentang Kristus. Orang Kristen senang berbicara tentang dirinya. Sengsara Kristus, penderitaan Kristus, kematian Kristus. Dalam agama, itu saja yang Anda bicarakan. Yah, aku ingin kau tahu bahwa puluhan tahun yang lalu, tidak terlalu jauh dari sini, saya tahu ada enam juta lebih anak-anak Yahudi menderita seribu kali lebih daripada Kristus di salib. Dan kita tidak berbicara tentang mereka. Dapatkah Anda mengerti tentang hal ini tuan? Kita tidak bicara tentang mereka. "(David Aikman, Great Souls: Six Who Changed the Century, Nashville: Word Publishing, 1998, p. 341-342.)

Mauriac tertegun. Wiesel berbalik dan berjalan keluar pintu. Mauriac duduk dalam keadaan shock, selimut wol-nya masih di sekelilingnya. Reporter muda itu telah menekan tombol lift ketika Mauriac muncul di lorong. Dengan lembut ia meraih lengan Wiesel. "Kembalilah," ia mohon. Wiesel setuju, dan keduanya duduk di sofa. Pada titik ini Mauriac mulai menangis. Dia memandang Wiesel tetapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya air mata.

Wiesel mulai minta maaf. Mauriac berkata tidak apa-apa. Sebaliknya, ia mendesak teman mudanya itu untuk berbicara. Dia ingin mendengar tentang hal itu - kamp-kamp, kereta, kematian. Dia bertanya pada Wiesel mengapa dia tidak menempatkan hal ini di kertas. Wiesel mengatakan bahwa dia masih merasa terlalu sakit. Dia bersumpah dalam keheningan. Pria yang lebih tua itu menyuruhnya istirahat dan berbicara.

Malam itu merubah mereka berdua. Drama itu berubah menjadi sebuah persahabatan seumur hidup. Mereka berkirim surat sampai kematian Charles Mauriac pada tahun 1970. "Aku berhutang pada François Mauriac untuk karir saya," Wiesel mengatakan...dan karena Charles Mauriac, Wiesel mengirimkan naskah pertama "Night".

Bagaimana jika Mauriac telah menutup pintu saat itu? Apakah ada yang menyalahkan dia? Dipotong oleh kata-kata tajam Wiesel, ia bisa saja menjadi tidak sabar kepada anak muda yang pemarah ini dan dengan senang hati menyingkirkannya. Tapi ia tidak. Dia bereaksi dengan tegas, cepat, dan penuh kasih. Dia orang yang "lambat untuk mendidih." Dan, karena dia, hati seorang Wiesel mulai sembuh.

Saya mendorong Anda untuk melakukan hal yang sama?

Sumber: A Love Worth Giving, Max Lucado, W Publishing 2002. 


Apa ‘Yang Logis’ Itu?


Banyak orang ketika melakukan bantahan kepada lawan bicaranya dengan berkata. “Pendapat dan pernyataan Anda tidak logis”. Pertanyaannya adalah, “Apa itu ‘yang logis’?” Di sini penting untuk dicermati, bahwa ‘Yang-Logis’ dipahami secara berbeda oleh para filsuf dalam sejarah filsafat. Namun, kita bisa mengatakan bahwa sesuatu dapat dikatakan tidak logis jika dia tidak benar. Tetapi tidak benar bisa berarti dua hal: [1] Penarikan kesimpulan yang salah, dan [2] Pengambilan premis yang salah.

Saat kita memeriksa persoalan pertama, itu murni urusan logika. Namun saat memasuki persoalan kedua, hal tersebut membuat kita masuk pada ranah umum filsafat, yaitu metafisika. Pemeriksaan atas apakah premis, contoh: Manusia adalah binatang rasional, itu benar atau tidak, akan berkembang menjadi apakah ‘manusia binatang rasional itu sesuai kenyataan ataukah tidak?’. Sebagai contoh tentang hal tersebut bisa diambil perdebatan, anggaplah, antara kapitalisme dan sosialisme. Dalam penarikan kesimpulan, tidak ada yang salah dari kapitalisme atau pun sosialisme. Masalahnya yang perlu dipertanyakan adalah apakah premis yang mereka ambil sebagai premis universal itu sudah benar atau belum?

Premis universal kapitalisme dalam hubungannya dengan manusia adalah: manusia adalah makhluk yang serakah, oleh karena itulah pasar, sebagai tempat interaksi antar manusia, perlu dibebaskan dari intervensi negara. Hal itu perlu dilakukan karena keserakahan manusia akan membatasi keserakahan yang lain sehingga akan terjadi suatu keseimbangan pasar akibat pembatasan diri tersebut secara natural. Jadi kapitalisme berangkat dari keserakahan, menuju kebebasan, dan akhirnya sampai pada keseimbangan.

Selanjutnya, berbeda dengan kapitalisme, sosialisme beranggapan justru sifat manusia tidak serakah. Struktur kapitalismelah yang membuat manusia menjadi serakah dan menindas. Tidak akan ada keseimbangan yang diimpikan oleh para kapitalis karena kapitalisme adalah sistem yang kontradiktif dalam dirinya sendiri. Oleh karenanya, penghapusan total akan kapitalisme menjadi jalan keluar atas bentuk keserakahan manusia. Tanpa adanya sistem kapitalisme manusia akan hidup dalam natur-nya, yang hasilnya sama sebagaimana diandaikan oleh teori kapitalisme, yaitu ideal keseimbangan.

Singkat kata, secara logis, teori keduanya (kapitalisme dan sosialisme) itu benar, namun secara metafisis, belum tentu. Soalnya di sini adalah bahwa justifikasi manusia serakah atau tidak itu menjadi lebih penting daripada pengambilan keputusannya, karena jika premis universalnya salah, runtuhlah semua teori dan pengandaian keduanya (kapitalisme dan sosialisme) itu.

Persis, pada titik seperti inilah, filsafat menjadi alat legitimasi agar orang memisahkan diri dari dirinya dan dunia untuk melihat kenyataan secara reflektif. Tidak hanya melihat objek secara inderawi, tetapi juga objek dalam hubungannya dengan keseluruhan sistem dunia, melampaui fakta. Filsafat, dalam artian ini menjadi suatu usaha manusia untuk, jika meminjam istilah Al-Mukarom L.O. Kattsoff dan Syaikhunal Kirom Ayatullah Murtadha Muthahhari Sang Filsuf Syi’ah itu, membentuk sistem pandangan dunia “yang memberikan keterangan tentang dunia dan semua hal yang ada di dalamnya”. 


Andaikan Aku Tak Dipenjara



Di suatu masa ribuan tahun silam, di sebuah kerajaan yang makmur, hiduplah seorang Kaisar yang pemberani dan penasehatnya yang cendekia. Di suatu hari, Kaisar yang pemberani dan penasehatnya yang cendekia itu pun pergi berburu ke sebuah hutan tempat mereka biasa berburu. Malangnya, terjadi kecelakaan yang mengakibatkan jari kelingking sang Kaisar terputus. Maka pulanglah rombongan itu dalam keadaan gundah.

Setelah mengalami perawatan selama beberapa hari, sang Kaisar mulai pulih secara fisik, tetapi dia masih sangat malu untuk muncul di depan umum. Maka dipanggillah sang penasehatnya yang cendekia itu. "Penasehatku, bagaimana menurut pendapatmu keadaanku yang tidak lengkap lagi ini?" "Tak masalah, baginda. Itu baik-baik saja. Bersyukurlah bahwa hanya jari kelingking yang hilang, bukan seluruh tangan baginda"

Mendengar ucapan penasehatnya yang cendekia itu, sang Kaisar malah marah. Dia pun berdebat panas dengan sang penasehatnya tersebut, yang akhirnya sang penasehat itu dipenjarakan karena dianggap menghina sang Kaisar. Dan diangkatlah seorang penasehat baru. Setelah sembuh total, dia bersama penasehat barunya berburu kembali ke hutan yang lain. Tetapi kembali sebuah kemalangan menimpa rombongan ini.

Kala sedang asyik-asyiknya mengejar kijang buruan, sang Kaisar dan penasehatnya itu tersesat di hutan tersebut. Mereka tertangkap oleh segerombolan suku liar, dan segera diikat untuk dikorbankan kepada dewa suku itu. Upacara dan ritual pengorbanan segera disiapkan. Kuali raksasa diisi air dan langsung dipanaskan. Kedua tawanan dibawa, sang Kaisar dan penasehatnya itu siap untuk disembelih dan dimasak.

Namun, tiba-tiba sang dukun yang merupakan perwakilan sakral dalam upacara dan ritual kurban itu berteriak, bahwa si Kaisar tidak boleh ikut disembelih karena cacat di kelingkingnya. Korban harus sempurna tidak boleh cacat. Maka sang Kaisar itu dibuang ke hutan, dan setelah tiga hari, ia bertemu para pasukan pencari yang sudah berhari-hari berkeliling mencari sang Kaisar.

Sang Kaisar pun pulang ke istananya dengan keadaan letih, tetapi merasa sangat lega dan bahagia karena tidak jadi dikurbankan oleh suku liar yang menangkapnya itu. Saat itu, yang pertama dikunjunginya adalah sang penasehat terdaulunya yang berada di penjara, yang segera ia keluarkan dari penjara dan sang Kaisar mengucapkan rasa terima kasih serta membenarkan pendapat sang penasehatnya itu yang dulu tak diamininya, bahwa memang kita harus bersyukur.

Penasehatnya yang kebingungan dengan perubahan hati sang Kaisar itu pun bertanya ada hal apa yang membuat sang Kaisar jadi berubah sikap seperti itu. Dan sang Kaisar pun menceritakan semua peristiwa di hutan itu. Dengan sedikit tersipu dan tersenyum, sang penasehat itu berkata kepada sang Kaisar, "Baginda, saya juga berterima kasih karena baginda telah memenjarakan saya. Jika saya tidak dipenjarakan, tentu saja saya yang sekarang sedang di masak oleh suku liar itu".