Label

Aktor Pengadu Domba Sunni-Syiah


Oleh Syamsir Alam

Siapa sebenarnya yang mengambil keuntungan dari perpecahan Sunni-Syiah di Indonesia sekarang ini? Dalam sebuah kesempatan di Sekretariat IJABI, Kemang, Jakarta, Sabtu (31/11/2011), Jalaluddin Rakhmat menyebutkan Amerika Serikat (AS) berada dibalik kerusuhan Syiah di Madura. Kepentingan Amerika Serikat ikut andil dalam beberapa konflik agama di dunia, termasuk di Indonesia, muncul pasca revolusi Iran yang selalu menentang negara adikuasa tersebut.“Jadi dalam hal ini Amerika berperan dalam konflik agama di Indonesia,” ungkap Kang Jalal –sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat– seperti dikutip Liputan.com (http://www.fimadani.com/tokoh-syiah-amerika-berperan-dalam-konflik-sunni-syiah/)

Pendapat lain, muncul dari pengamat intelejen AC Manullang, yang mengatakan bahwa konflik di Sampang, yang mengakibatkan terbakarnya pesantren milik Syiah, tidak bisa dilepaskan dari persaingan Amerika Serikat dan China dalam memperebutkan gas di Madura. “Saya menduga, konflik ini bukan hanya faktor perselisihan Sunni-Syiah, tetapi ada kepentingan besar yang menginginkan Madura menjadi tempat konflik, karena saat ini, China sudah menguasai kawasan ini terutama sektor gas,” kata pengamat intelijen, AC Manullang seperti diwartakan sebuah situs berita, Selasa, 3 Januari 2012 (www.itoday.co.id). AC Manullang mensinyalir Amerika tidak suka keberadaan Cina yang sudah menguasai sumber gas di Madura. Selain itu, pada kesempatan lain Manullang mengatakan berdasarkan pengamatannya, intelijen asing Amerika, yakni Central Intelligence Agency (CIA), selalu memainkan isu-isu yang berbau Islam untuk menguji panas dinginnya politik di Indonesia (http://arrahmah.com/ read/2012/01/09/ 17324-ac-manullang-dari-pertarungan-faksi-gam- hingga-keterlibatan-cia.html).

Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA Bob Woodwards, mengungkapkan dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology”, bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Brant sendiri telah lama bertugas di bagian tersebut, akan tetapi ia kemudian dipecat dengan tuduhan korupsi dan penyelewengan jabatan. Menurut Brant, kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Pada mulanya Revolusi Iran itu dianggap hanya sebagai reaksi wajar terhadap politik Syah Iran. Dan setelah Syah tersingkir, Amerika berusaha lagi untuk menempatkan orang-orang mereka di dalam pemerintahan Iran yang baru agar dapat melanjutkan politiknya di negara salah satu penghasil minyak terbesar, setelah Saudi Arabia, Rusia, dan Libya.

Setelah kegagalan besar yang dialami Amerika dalam dua tahun pertama, dikuasainya Kedubes di Teheran dan hancurnya pesawat-pesawat tempur AS di Tabas, dan setelah semakin meningkatnya kebangkitan Islam dan kebencian terhadap Barat, juga setelah munculnya pengaruh-pengaruh Revolusi Iran di kalangan Syiah di berbagai negara –terutama Libanon, Irak, Kuwait, Bahrain, dan Pakistan– akhirnya para pejabat tinggi CIA menggelar pertemuan besar yang disertai pula oleh wakil-wakil dari Badan Intelijen Inggris. Inggris dikenal telah memiliki pengalaman luas dalam berurusan dengan negara-negara Arab itu.

Dalam pertemuan tersebut, Amerika sampai pada beberapa kesimpulan, di antaranya, bahwa Revolusi Iran bukan sekadar reaksi alami dari politik Syah Iran. Tetapi, terdapat berbagai faktor dan hakikat lain, di mana faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan politik berdasarkan agama (marjaiyah) dan ikatan melalui peringatan syahidnya Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu, yang diperingati oleh kaum Syiah secara meluas melalui upacara-upacara kesedihan. Sesungguhnya dua faktor ini yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya. Dalam pertemuan CIA itu, telah diputuskan bahwa sebuah lembaga independen akan didirikan untuk mempelajari Islam Syiah secara khusus dan menyusun strategi dalam menghadapinya (http://www. victorynewsmagazine.com /ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThoughtRevealed.htm).

Dengan itu, bisakah disimpulkan ada konspirasi global yang dipandu oleh Amerika, sebagai negara adikuasa yang merasa menjadi polisi dunia, untuk menghancurkan Islam secara sistematis dan terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, agar bisa menguasai sepenuhnya kawasan yang mempunyai aset ekonomi berupa minyak dan gas, seperti Aceh, Madura dan Papua?

Masalahnya, kita memang mudah dihasut dengan menyebarkan perbedaan kecil yang bisa menjadi sumber kesalahpahaman penyulut kerusuhan massa. Seperti kata pepatah, “Tungau (kutu yang sangat kecil) di seberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak”. Banyak sekali persamaannya antara Sunni dan Syiah, walaupun ada perbedaannya, mengapa harus menjadi masalah? Mungkin, karena kita senang berdebat yang cenderung menegakkan benang basah, untuk membenarkan pendapat sendiri selalu berusaha mencari kesalahan orang lain. Sebaiknya hentikan polemik antara tokoh-tokoh Sunni dengan Syiah mengenai kehebatan paham mereka masing-masing. Lebih baik berlomba dalam kebaikan memperbaiki kondisi umat yang sedang terpuruk sekarang ini, setelah ditinggalkan oleh para penjabat yang lebih senang memperhatikan kepentingan partainya sendiri. (*)

Mutiara Wanita Muslim



Imam Ali as memandang tiga sifat sebagai ciri-ciri penting perempuan muslimah: kewibawaan, kehati-hatian dan kecermatan. Perempuan muslimah dalam pergaulan di tengah masyarakat, harus menjaga kewibawaan dan ketegasannya untuk menghindari kejahatan laki-laki yang berpenyakit di dalam hatinya. Perempuan juga harus selalu bersikap hati-hati dan cerdas, sehingga akan menghindarkannya dari ketamakan dan penyalahgunaan kaum lelaki, dan agar masyarakat tidak memandangnya sebagai barang komoditi yang dapat dipermainkan sekehendak mereka.

Imam Ali juga mengatakan bahwa seorang perempuan muslimah ialah harus memiliki perhitungan dan sikap cermat serta teliti, sikap yang akan membuat seorang perempuan selalu cermat dan berhati-hati dalam membelanjakan uang dan kekayaan suaminya, serta menjaga kehormatan sang suami dalam masalah ini. Dengan demikian, jika seorang perempuan memiliki tiga sifat mulia tersebut, maka ia akan dapat berpartisipasi dalam pergaulan sosial, dengan partisipasi yang konstruktif, bahu-membahu dengan kaum lelaki. (*) 


Birrul Walidain



Salah seorang ahli Kufah yang sebelumnya adalah seorang Nashrani bernama Zakariyah Ibrahim menceritakan, “Saya memeluk agama Islam dan menjadi seorang muslim. Untuk menunaikan ibadah haji sayapun safar ke Mekah dan sengaja untuk bertemu dengan Imam Shadiq as, saya pun berkata kepada beliau, “Saya sebelumnya adalah Nashrani dan akhirnya menjadi seorang muslim.” Imam bertanya, “Apa yang membuatmu tertarik dan akhirnya memilih Islam?”

Zakariyah menjawab, “Saya membaca dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman kepada Rasulullah saww, “Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Syura [42]: 52). Karenanya, saya berkesimpulan Islam adalah agama yang sempurna, adalah sesuatu yang mustahil bagi seseorang yang tidak pernah belajar apa-apa namun bisa membuat sendiri agama seperti ini, karenanya apa yang didapat Muhammad itu adalah wahyu.”

Imam as berkata, “Allahlah yang telah memberimu petunjuk.” Kemudian beliau mengucapkan do’a tiga kali, “Ya Allah, berikanlah kepadanya hidayah.”

Dan kemudian berkata kepada Zakariyah,”Wahai anakku, apa yang kau inginkan, sampaikanlah!”

Zakariyah berkata,”Ayah, ibuku dan keluargaku adalah pengikut Nashrani dan ibuku seorang yang buta. Apakah dengan menjadi muslim, saya bisa tetap berada dalam keluarga saya dan makan bersama mereka?”

Imam bertanya, “Apakah mereka memakan daging babi?” Zakariyah menjawab, “Tidak, mereka sama sekali tidak memakannya.”

Imam as berkata,”Tidak ada halangan. Tetaplah di sisi ibumu dan kepadanya berbuat baiklah. Jika ia meninggal, jangan serahkan kepada yang lain, kau sendirilah yang mengurusi kafan dan pemakamannya dan jangan sampaikan kepada siapapun bahwa kau telah bertemu saya sampai insya Allah di tanah Mina kita bertemu lagi.”

Zakariyah kembali menceritakan, “Di tanah Mina, untuk kedua kalinya saya bertemu dengan Imam Shadiq as. Saya melihat orang-orang duduk melingkar mengelilingi beliau, ibaratnya seperti guru taman kanak-kanak. Satu-satu dari mereka bergantian bertanya kepada Imam, dan Imam pun memberikan jawabannya. Ketika saya kembali ke Kufah, saya berbuat baik dan memuliakan ibu saya. Saya menyuapinya makanan, mencucikan pakaiannya, membersihkan badannya, dan berkhidmat kepadanya. Ibu saya berkata, “Anakku, sewaktu kau masih Nashrani, semua bentuk perkhidmatan dan pengabdianmu ini tidak pernah kau lakukan namun setelah kau masuk Islam betapa kau memperlakukanku dengan penuh pemuliaan dan kasih sayang.”

Saya berkata, “Seorang dari keturunan Nabi kami, memerintahkan kepada saya untuk berbuat baik kepada ibu.” Ibuku bertanya, “Apakah yang memerintahkanmu berbuat sebaik ini adalah seorang Nabi?”

“Bukan, melainkan keturunan Nabi.” Jawabku.
Ibuku berkata, “Tidak, ia pasti seorang Nabi, sebab hanya seorang Nabilah yang perintahnya semulia ini.”

Saya berkata, “Wahai ibuku, sepeninggal Nabi kami, tidak ada lagi Nabi yang akan diutus, beliau adalah keturunan Nabi.” Ibu saya berkata, “Agamamu adalah sebaik-baik agama, ajarkanlah kepadaku.”

Sayapun mengajarkan agama Islam kepada beliau dan akhirnya masuk Islam. Saya mengajarkan kepadanya mengenai ushul agama dan ahkam dasar Islam. Beliaupun melakukan shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya. Sewaktu melakukan shalat malam, beliau jatuh sakit. Beliau berkata kepadaku, “Anakku, semua yang telah kau ajarkan kepadaku, sampaikanlah lagi kepadaku, dan saya akan mengulanginya. Dan setelah ibu mengulangi apa-apa yang telah saya ajarkan, ia pun meninggal dunia. Pagi hari, kaum muslimin berdatangan dan memandikan jenazah beliau dan sayapun menyalati jenazahnya dan setelah itu saya makamkan.” 

(Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 160) 



Hikmah Sejarah Karbala




Aisyah isteri Rasulullah berkisah, “Suatu hari Husain masuk ke dalam rumah ketika Rasulullah saw sedang tidur. Ketika Husain duduk di atas ranjang Rasul, maka Nabi pun terbangun dari tidurnya, lalu Nabi berkata kepadaku, “Wahai Aisyah! sesungguhnya Husain ini akan dibunuh di Padang Karbala! Karena itu barangsiapa yang menziarahinya (berdoa untuknya) atau melangkahkan kakinya berziarah kepadanya maka baginya pahala Haji dan Umrah!”

Aku (Aisyah) bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, pahala satu kali haji dan satu kali umrah?” Rasulullah saw menjawab, “Pahalanya dua kali Hajji dan dua kali Umrah” Setiap kali aku terkejut, Rasulullah saw menambah bilangan kelipatan pahalanya hingga beliau mengatakan : ‘Sembilan puluh Haji dan sembilan puluh Umrah!”

Mungkin Anda akan terkejut mendengar hadits ini, tetapi jika Anda mengenal siapa Husain bin Ali, putra Fathimah, cucu kesayangan Nabi ini, maka lenyaplah segala keheranan dan ketakjuban Anda. Atau mungkin juga Anda akan mengira bahwa orang Syi’ah lebih mengutamakan Ziarah kepada Husain ketimbang Haji ataupun Umrah?!

Perhatikan dan bacalah kembali hadits di atas tersebut! Bahwa Hadits atau pun ucapan Rasul Saw tak sedikit pun bermaksud mengabaikan ataupun mengecilkan ibadah Haji maupun Umrah, tapi bagi Rasul Saw kecintaan kepada Husain yang merupakan salah seorang Ahlul Baitnya adalah hal yag teramat penting dan fundamental!

Lihatlah apa yang terjadi saat ini?

Setelah berabad-abad sejak peristiwa pembantaian Imam Husain, cucu Nabi Saw umat Islam pun mengalami hal yang sama. Apa yang terjadi dengan umat Islam? Kemana Pemimpin-pemimpin Islam Sejati? Kemana para pembela Islam?

Jika Anda semua mengenal Husain, tentulah dengan mudah Anda dapat menjawabnya.

Seorang penulis Kristen, George Jordac menulis di dalam bukunya “Voice of Justice”, katanya : “Jika Anda ingin menggerakkan air yang ada di dalam kolam kecil maka Anda dapat melakukannya cukup dengan menggerakkan tangan Anda, sehingga gelombang air akan bergerak saling bertabrakkan. Tetapi itu tidak dapat terjadi jika Anda lakukan di sebuah kolam renang. Kecuali jika Anda melemparkan sebuah batu besar ke dalam kolam renang tersebut! Akan tetapi hal itu berbeda jika air itu berupa danau yang besar, Anda tidak dapat membuat air menjadi bergelombang kecuali Anda melemparkan sebuah gunung ke dalamnya! Hal yang sama tidak dapat Anda lakukan pada sebuah lautan, kecuali jika Anda melemparkan sebuah planet ke dalam lautan tersebut!

Tapi saya (George Jordac) mengetahui sebuah laut yang tidak dapat digerakkan sama sekali kecuali oleh satu hal! Yaitu jeritan orang yang dizalimi!

Lautan itu adalah Ali bin Abi Thalib! Seorang yang berbagai hasrat keinginan dan bermacam syahwat tidak mampu menggerakkannya! Akan tetapi jeritan seorang wanita Yahudi yang berada dibawah perlindungan Pemerintahan Islam telah menggerakkan dan mengguncangkannya” (George Jordac, Voice of Justice) 


(Jannat al Baaqi)

Dari Noor ats Tsaqalain




Dasar ajaran Islam adalah Cinta. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Agama adalah cinta dan cinta adalah agama” (Nur ats-Tsaqalain 5 : 285). Para Imam Ahlul Bait sendiri menjadikan Cinta sebagai sebuah keyakinan agama. Allah SWT berfirman, “Katakanlah (Hai Muhammad kepada manusia): ‘Jika kamu (benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad) niscaya Allah mencintaimu pula serta mengampuni dosa-dosamu” (al-Quran Surah 3 : 31). Jika Anda benar-benar mencintai Allah maka ikutilah sunnah Rasulullah, ikutilah ajaran-ajaran beliau dan jangan Anda menyimpang dari sunnah Rasul-Nya!

Di dalam kitabnya Al-Kabir, Thabrany dan ar-Rafi’iy dan Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku, dan ingin mendapatkan Surga Eden yang dibangun Tuhanku, maka sepeninggalku hendaklah ia berwali (menjadikan pemimpin) kepada Ali dan hendaknya ia mengikuti pimpinan yang yang diangkat Ali dan meneladani para Ahlul Baitku. Mereka itu (Ahlul Baitku) adalah keturunanku. Mereka diciptakan dari darah dagingku dan dikarunia pemahaman dan ilmuku. Celakalah umatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubungan denganku melalui mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’at kepada orang-orang seperti itu!”

Rasul saw bersabda, “Tidaklah yang mencintai kami Ahlul Bait melainkan orang beriman dan tidaklah yang membenci kami kecuali orang munafiq pendurhaka!” (Al-Mala dalam Sirah-nya). 



Obrolan Tentang Sayyid Hasan Nasrullah




Ia diberi julukan “Mahbub Arab” (kecintaan Arab). Ia adalah Sayyid Hasan Nasrullah, Sekjen Hizbullah. Saat ini ia menjadi pusat perhatian para pemimpin negara-negara Arab dan media massa dunia. Tidak banyak berbicara, tapi bila berbicara, ia akan melakukannya secara tepat dan singkat. Kalimat singkat itu merasuk mencerahkan pemikiran para pendengarnya dan hal ini yang membuatnya semakin dicintai. Sayyid Hasan Nasrullah menjadi kebanggaan pecintanya, sekaligus menggetarkan musuh-musuhnya. Banyak orang yang ingin mengetahui masa kanak-kanak dan remaja Sayyid Hasan Nasrullah. Dalam wawancara ini, Anda akan membaca sekilas masa kanak-kanak dan remajanya. Bagaimana lingkungan tempat ia tinggal yang meneladani kepribadiannya. Semua ini akan Anda temui dalam wawancara dengan Abdul Karim Nasrullah, ayah Sayyid Hasan Nasrullah yang beberapa waktu lalu menjadi tamu Teheran.

Iran: Perkenankan kita memulai perbincangan ini dari masa kecil Sayyid Hasan Nasrullah. Karena masa kanak-kanak orang besar selalu menarik untuk dibaca dan diketahui. Nah, sudikah Anda menjelaskan lingkungan tempat Sekjen Hizbullah, Sayyid Hasan Nasrullah, dibesarkan?

Abdul Karim: Menurut saya, masa kecil Sayyid Hasan Nasrullah tidak seperti biasanya anak-anak yang lain. Sejak kecil ia punya kedekatan yang luar biasa dengan ibunya. Masalah ini sebenarnya tidak terlalu aneh, mengingat saya sebagai ayah memiliki sebuah kios yang berada agak jauh dari rumah kami. Karena saya bekerja di luar rumah, normal saja bila hubungan saya dengan Sayyid Hasan Nasrulah lebih sedikit, ketimbang hubungannya dengan ibunya. Di kios kami ada foto bergambar Imam Musa Shadr. Sayyid Hasan Nasrullah sangat menyukai foto itu. Saya dapat memastikan bahwa Imam Musa Shadr punya peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter Sayyid Hasan Nasrullah.

Iran: Bagaimana dengan tingkah laku anak Anda semasa remaja?

Abdul Karim: Saya tidak pernah melihat Sayyid Hasan Nasrullah menyakiti teman sebayanya, tidak juga ada orang yang memberitahukan kepada saya bahwa Sayyid Hasan Nasrullah mengusili orang lain. Namun jangan lupa, ia sama seperti anak remaja lainnya yang nakal, tapi kebanyakan waktunya tidak seperti yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya. Ia punya cara tersendiri untuk menghibur dirinya. Ia pergi ke masjid dan melakukan shalat berjamaah di masjid Karantina.

Iran: Masjid ini terletak di mana?

Abdul Karim: Di sebelah Timur Beirut.

Iran: Sudikah Anda berbicara tentang masa pendidikan yang dilalui Sayyid Hasan Nasrullah?

Abdul Karim: Sayyid Hasan Nasrullah memulai sekolahnya sejak berumur 4 tahun. Dan pada umur 9 tahun ia mendapatkan ijazah pertamanya. Sayyid Hasan Nasrullah melanjutkan sekolahnya di daerah Burj Al-Hamud. Sayyid Hasan Nasrullah adalah pelajar teladan baik dari sisi pelajaran maupun akhlak.

Iran: Apakah pada umur-umur sekian ia juga menekuni belajar di hawzah?

Abdul Karim: Benar. Pada pagi pagi hari ia belajar di sekolah umum dan pada sore harinya ia menuntut ilmu-ilmu agama di hawzah. Semua orang yang mengenalnya terkagum-kagum cara belajar dan kejeniusannya.

Iran: Bagaimana Sayyid Hasan Nasrullah dapat menyeimbangkan antara pelajaran umum dan agama? Tentunya bukan hal yang mudah.

Abdul Karim: Anda dengan tepat menjelaskan itu. Berkali-kali saya berkata kepadanya: “Anakku! Saya sibuk bekerja, sementara engkau belajar. Engkau tentu belajar dengan giat untuk mewujudkan cita-citamu di kemudian hari. Lalu, bagaimana bisa menyeimbangkan antara pelajaran umum dan agama?” Dengan rendah hati Hasan menjawab pertanyaan saya, “Ayah! Engkau berhak mempertanyakan kondisi yang sedang saya hadapi. Tapi saya ingin ayah tenang, karena sampai saat ini saya mampu menunjukkan kemampuan di sekolah umum maupun agama.”

Iran: Sewaktu kecil, buku jenis apa yang digemari Sayyid Hasan Nasrullah?

Abdul Karim: Sejak berumur 9 tahun ia menyukai buku-buku politik dan Islam. Ia sendiri yang membelinya dan kemudian membacanya. Setiap harinya ia membaca hampir 100 halaman.

Iran: Sudikah Anda menceritakan teman-teman Sayyid Hasan Nasrullah?

Abdul Karim: Kebanyakan teman-teman masa kecil Hasan umur mereka di atasnya. Namun anehnya, sekalipun perbedaan umur begitu mencolok, tapi saya melihat mereka bisa berteman akrab. Ia sering terlihat berbincang-bincang dengan ulama dan orang-orangdari agama lain. Semasa kecilnya ia sudah dapat menyampaikan pidato mengenai revolusi Imam Husein as.

Iran: Anak Anda pernah tinggal di Irak. Sudikah Anda menceritakan sekilas tentang Sayyid Hasan Nasrullah di masa itu?

Abdul Karim: Pada dekade 80 an, di mana saat itu terjadi perang saudara di Lebanon, Sayyid Hasan Nasrullah pergi ke Irak. Dalam waktu singkat ia menjadi murid yang menonjol. Hawzah Najaf, Irak, pada masa itu sama seperti hawzah Qom saat ini, punya posisi yang strategis. Anak saya, Hasan, pada waktu itu berumur 16 tahun. Sayyid Hasan Nasrullah diperkenalkan kepada Ayatullah Syahid Baqir Shadr lewat Sayyid Muhammad Gharawi, salah satu teman dekat Syahid Shadr. Sayyid Gharawi menegaskan agar surat yang dibawanya tidak disampaikan langsung oleh Sayyid Hasan Nasrullah langsung kepada Syahid Baqir Shadr, karena begitu ketatnya penjagaannya. Saya juga perlu menjelaskan, bahwa karena secara keuangan saya tidak mampu, Sayyid Gharawi ini yang menanggung semua biaya perjalanan Sayyid Hasan Nasrullah ke Najaf. Bahkan dengan rekomendasinya anak saya pertama belajar di hawzah milik orang-orang Lebanon di mana para santri Jabal Amil ada di sana. Maksunya agar setidak-tidaknya Sayyid Hasan Nasrullah bisa mendapat tempat tinggal terlebih dahulu. Selama 3 hari ia tinggal di sana sampai suratnya lewat beberapa perantara dapat disampaikan oleh Sayyid Gharawi ke Syahid Baqir Shadr.

Iran: Sebagian orang menyebutkan bahwa perkenalan Sayyid Hasan Nasrullah dengan Sayyid Abbas Musawi dimulai dari hawzah Najaf ini. Anda menerimanya?

Abdul Karim: Benar! Syahid Baqir Shadr mendaftarkan Sayyid Hasan Nasrullah di Madrasah Adzriyah. Dari sini dimulainya perkenalan keduanya. Bisa dikatakan, pada waktu itu, Sayyid Abbas Musawi adalah ketua santri Lebanon. Pada masa itu juga, Saddam Hosein banyak menangkap ulama bahkan membunuh mereka. Itulah mengapa Sayyid Abbas Musawi cepat kembali ke Lebanon. Pada waktu itu saya kerja di kantor Dewan Tertinggi Syiah Lebanon dan dari situ pula saya mengenal Sayyid Abbas Musawi.

Iran: Apa pandangan Sayyid Abbas Musawi tentang Sayyid Hasan Nasrullah?

Abdul Karim: (Untuk beberapa detik ia terdiam). Ketika Sayyid Abbas kembali ke Lebanon, pertama kali saya melihatnya saya bertanya, “Apakah engkau punya kabar tentang anak saya?” Sayyid Abbas menjawab, “Ia seorang pribadi besar.” Mendengar jawabannya saya sempat terkejut dan sambil tertawa saya kembali bertanya, “Apa maksudnya?” Sayyid Abbas Musawi dengan caranya yang khas berkata, “Sayyid Hasan Nasrullah adalah hatiku.” Di lain kesempatan, Sayyid Abbas Musawi karena cintanya kepada anak saya berkata, “Saya masih mungkin hidup tanpa keluargaku, tapi saya tidak bisa hidup tanpa Sayyid Hasan Nasrullah.” Ayatullah Syahid Baqir Shadr juga punya perhatian lebih kepada Sayyid Hasan Nasrullah. Syahid Shadr sendiri yang memasangkan ‘Amamah (sorban yang dililitkan di kepala) Sayyid Hasan Nasrullah. Menurut Syahid Syahid Shadr, Sayyid Hasan Nasrullah salah seorang penolong Imam Mahdi AF.

Iran: Kelihatannya banyak yang akan kami tanyakan, tapi waktu kami semakin sempit. Bersediakah Anda berbicara tentang kehidupan jihad anak Anda? Apa yang terjadi sehingga anak Anda meninggalkan hawzah dan pelajarannya dan sekarang menjadi pemimpin Hizbullah?

Abdul Karim: Saya meiliki 4 orang putra dan 5 orang putri. Hasan adalah anak saya yang paling besar. Dari kelima putri saya, semua sudah berkeluarga;Sa’ad,Zakiyah, aminah dan Zainab, kecuali Fathimah yang masih tinggal bersama kami. Dua saudara lakinya; Husein dan Muhammad punya kerjaan bebas, sementara Jakfar menjadi pegawai negeri.

Empat orang saudara perempuan Sayyid Hasan Nasrullah bekerja di lembaga Hizbullah di departemen sosial. Sayyid Husein, saudaranya, sejak kecil senang dengan aktivitas militer dan saat ini merupakan salah seorang panglima Faksi Amal. Ketika Sayyid Hasan Nasrullah tinggal di daerah Timur Beirut, ia tidak pernah menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada di sana, padahal di daerah itu banyak sekali kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang. Namun, saat kembali ke desa Bazuriyah pada umur 15 tahun ia masuk menjadi anggota Partai Amal.Tidak beberapa lama, dua bersaudara ini, Hasan dan Husein, mendapat kepercayaan partai bertanggung jawab di daerah itu. Pada waktu itu, Hizbullah belum terbentuk dan Sayyid Hasan dengan cepat mendapat promosi jabatan yang akhirnya membawanya menjadi seorang panglima militer di Lebanon Selatan.

Di tahun-tahun ini, saya dan ibunya hanya punya cita-cita mendidik anak yang beriman dan bermanfaat bagi masyarakat.

Iran: Menurut Anda bagaimana Sayyid Hasan Nasrullah memisahkan diri dari Amal dan membentuk Hizbullah?

Abdul Karim: Sebagaimana kalian juga tahu, pada tahun 1982, Rezim Zionis Israel menyerang Lebanon. Serangan ini bertepatan dengan munculnya friksi antara para pejabat senior Faksi Amal. Akibatnya, anak saya Sayyid Hasan, Sayyid Abbas Musawi, Sayyid Husein Musawi, Syaikh Shubhi Thufaili dan Sayyid Ibrahim amin keluar dari Faksi Amal. Tidak lama kemudian mereka mendirikan Hizbullah dan pada tahun 1984 secara resmi Hizbullah berdiri. Syaikh Shubhi Thufaili terpilih sebagai Ketua Hizbullah yang pertama dan setelah itu Sayyid Abbas Musawi menjadi penggantinya. Setelah syahadah Sayyid Abbas Musawi dan keluarganya akibat teror Rezim Zionis Israel, Sayyid Hasan Nasrullah sebagai anggota termuda Dewan Pusat Hizbullah dipilih menjadi Sekjen Hizbullah.

Iran: Kebanyakan orang menilai bahwa Sayyid Hasan Nasrullah dipengaruhi oleh ide-ide Imam Khomeini. Menurut Anda seberapa jauh pengaruh itu?

Abdul Karim: Benar. Dalam kehidupannya ia mengatakan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam Musa Shadr. Di kios saya ada foto Imam Musa Shadr. Setiap kali Sayyid Hasan datang ke kios ia mengatakan, “Ayah! Mungkin suatu hari saya bisa seperti orang besar ini?”

Setelah Imam Musa Shadr diculik, kecenderungan Sayyid Hasan terhadap pemikiran Imam Khomeini semakin besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa masalah ini memberikan sebuah kekuatan maknawi yang aneh pada dirinya. Saat ini saja bila ia mendengar ucapan Imam Khomeini, tanpa dikontrol ia menangis. Menurut saya, ini menunjukkan kecintaannya kepada Imam Khomeini.

Iran: Setelah kemenangan Hizbullah dalam perang 33 hari dengan Rezim Zionis Israelanak Anda dikenal sebagai pahlawan Arab, bahkan tokoh Arab pertama yang dapat mengalahkan rezim ini. Kebanyakan orang-orang yang belum tentu Syiah tapi memberikan nama anaknya dengan nama Sayyid Hasan Nasrullah. Menyimak ini, apa yang Anda rasakan?

Abdul Karim: Sederhana dan alamiah, saya juga gembira. Allah SWT berfirman, “Bila kalian menolong agama Allah Ia akan menolong kalian dan menguatkan pijakan kalian.” Hanya Allah yang meninggikan derajat manusia dan bila seseorang berjalan di jalan Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya. Saya dan ibunya hidupa dalam kondisi yang memprihatinkan tapi dengan tujuan agar Sayyid Hasan dan anak-anak kami yang lain menjadi anak-anak saleh. Izinkanlah saya menukilkan sebuah kenangan!

Suatu hari seorang wartawan media terkenal Amerika menemui saya dan bertanya, “Dari anak-anak yang Anda miliki, mana yang paling Anda cintai?” Saya jawab, “Siapa saja yang dicintai Allah, maka ia akan dicintai oleh semua orang.” Ia kembali bertanya, “Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar anak Anda setiap hari diancam teror?” Saya menjawab, “Buat kami syahadah adalah kebanggaan dan hal yang biasa.”

Ketika mendengar kesyahidan Sayyid Hadi, anak Sayyid Hasan Nasrullah, orang-orang banyak datang ke rumah untuk mengucapkan belasungkawa. Namun, sikap yang ditunjukkan oleh anggota keluarganya seperti tidak ada kejadian apa-apa. Sayyid Hasan Nasrullah senantiasa mengatakan bahwa anaknya tidak ada bedanya dengan para syahid yang lain.

Iran: Maaf, kita kembali pada masa perang 33 hari. Sudikah Anda menceritakan kenangan Anda pada masa itu?

Abdul Karim: Ketika dua tentara Rezim Zionis Israel ditangkap anggota Hizbullah, saya diperintahkan untuk segera meninggalkan rumah. Kami pergi berlindung di kebun dekat desa saudara perempuan saya. Baru setengah jam kami meninggalkan rumah, pesawat tempur Rezim Zionis Israel meluluhlantakkan rumah saya, rata dengan tanah. Kami tinggal di sana selama 15 hari dan setelah itu kami diminta untuk berpindah tempat ke Beirut. Di tengah perjalanan pulang, kami melihat seluruh jalan-jalan dibom oleh pesawat Israel.

Iran: Apakah selama perang, Anda sempat berhubungan dengan Sayyid Hasan Nasrullah?

Abdul Karim: Benar. Tapi hubungan kami hanya melalui telepon. Untuk menghilangkan kekhawatiran kami, ia beberapa kali mengirimkan keluarganya mengunjungi kami.
Iran: Selama Anda menjadi tamu di Teheran, apakan Anda bertemu dengan Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran? Apa pendapat Anda tentang Ahmadinejad setelah bertemu dengannya?

Abdul Karim: Pertemuan saya dengan Ahmadinejad bukan pertemuan politik. Dalam waktu singkat ketika saya bersamanya, saya merasa berada di tengah-tengah keluarga saya. Menurut saya, Ahmadinejad adalah orang besar. (*)