Label

Diskursus Hadits Tsaqalain



Itrati atau Sunnati: Fatwa Al-Alim Al-Alamah As-Sayyid Al Habib Hasan Bin Ali Bin Hasyim Bin Ahmad Bin Alwy Ba’agil Al-Alawy (Mufti Mazhab Syafi’i Di Makkah Almukarramah yang Wafat Tahun 1335 H)

Jawaban Mengenai Hadits, “Aku tinggalkan pada kalian Ats-tsaqalain (dua pusaka), yaitu Kitabullah (Alqur’an) dan Keluargaku (yaitu) Ahli Baitku”.

Saya pernah ditanya mengenai hadits, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah (berpegang teguh kepada) keduanya; kitabullah (Alqur’an) dan ……..” apakah -kata penanya itu-hadits tsb shahih jika ditambah dengan kata-kata (akhirnya) ‘itraty wa ahli baity (keluargaku yaitu ahli Baitku) atau mungkin yang benar, wasunnaty (dan sunnahku). Dia berharap agar dapat menjelaskan sanad hadits tsb.

Sebenarnya, hadits yang tsabit dan shahih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedang yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanadnya.

Berikut penjelasan mengenai sanad hadits tsb.Hadits tsb diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (IV: 1873 no. 2408 cetakan Abdul-Baqy) dari Sayyidina Zaid bin Arqam r.a. Dia berkata;
“Suatu hari Rasulullah s a w. Pernah berdiri dihadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong diantara Makkah dan Madinah. Beliau s a w memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya. Lalu menasehati dan mengingatkan (ummatnya). Kemudian bersabda; “Amma ba’du (adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesunguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku ke Hadhrat-Nya), maka akupun (pasti) mengabulkannya. Dan aku akan meninggalkan pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh.” Beliau s a w. Memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai Kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw bersabda, “Dan Ahli Baitku (keluargaku).”

Itulah Lafadh atau redaksi Imam Muslim.

Dan diantara perawi lain yang meriwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah Al-Darimy dalam Sunan-nya (II : 431 – 432) dengan isnad shahih seperti (terangnya) matahari. Ada juga perawi lain yang meriwayatkan hadits tsb seperti redaksi Imam Muslim itu. Sedang riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata, wa ‘itraty ahli baity (dan keturunanku [yaitu] ahli baitku [keluarga rumahku]).”
Dalam Sunan Turmidzi (V: 663 no. 3788), Rasulullah s a w. Bersabda;

“Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang (erat-erat) pasti kalian tidak akan sesat sudah aku (tiada). Salah satunya lebih agung dari pada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit ke bumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli baitku. Kedua pusaka itu tidak akan berpisah sehingga keduanya dapat mendatangkan haudh-telaga-kepadaku. Perhatikanlah (berhati-hatilah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan merekasepeninggalku.”

Hadits shahih.

ADAPUN KATA-KATA WA SUNNATY (DAN SUNNAHKU), SAYA TIDAK MERAGUKAN KE-MAUDHU’-ANNYA KARENA KE-DHA’IF-AN SANADNYA,dan faktor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya.

Berikut ini isnad dan matan Hadits tersebut:

Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits tsb dalam Al-Mustadrak (I :93) dengan isnad dari Ibnu Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Diantaranya dalam sanad hadits tsb terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidh Al-Mizzy dalam Tahdzib Al-Kamil (III : 127), mengenai biografi Al-Ibn-Ibn Abi Uwais – dan aku akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, berkata Muawiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in;

“Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dha’if (lemah).” Dan dari Yahya ibn Mu’in juga, Ibn Abi Uwais dan ayahnya (suka) mencuri hadits.” Dan dari Yahya juga, “Dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits).”Tetapi menurut Abi Hatim, Ibn Abi Uwas itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah (dilengahkan / dibiarkan orang) (mughaffal). Imam Nasa’iy menilai dia dha’if (lemah). Dan masih menurut Imam Nasa’iy dalam kesempatan lain, dia tidak tsiqah. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’iy, “Imam Nasa’iy sangat jelek menilainya sampai ke derajad matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”. Menurut komentar Abu Ahmad binAdy, “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (khal-nya) (yaitu) Malik yaitu berupa beberapa hadits gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun (dari periwayat lain) (tidak ada mutaba’ah-nya).Al-Hafizh Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al-Bary (hlm. 391 terbitan Dar Al-Ma’rifah) mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan, ” atas dasar itu hadits dia -Ibn Abi Uwais-tidak dapat dipakai sebagai hujjah selain yang terdapat dalam As-shahih, karena celain yang dilakukan Imam Nasa’iy dan lain-lainnya …..”.

Al-Hafizh Sayyid Ahmad bin As-Shadiq dalam Fath Al-Mulk Al-Aly (hlm 15) mengatakan,

“Berkata Salamah bin Syabib, “Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan, “Mungkin Aku membuat hadits (adhu’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka.”

Jadi, dia-Ibn Abi Uwais – dituduh suka membuat hadits (maudhu’), dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kata-kata wa sunnaty tidak terdapat dalam salah satu dari Shahihain.

Adapun mengenai ayahnya, Abu Hatim Ar-Razy mengatakan, sebagaimana disebutkan didalam kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V: 92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat.”

Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa Ta’dil tsb, “Abu Uwais itu tidak tsiqah.”

Menurut saya, sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah kami paparkan itu tidak dapat menjadi shahih kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang telah mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit dan shahih. Pikirkanlah itu, semoga Allah memberikan hidayah pada kita semua.

Imam Al-Hakim telah mengakui ke dha’if-an hadits tsb, sehingga dia tidak menshahihkannya dalam Al-Mustadrak. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits tsb, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tsb. Kami telah membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh -sungguh, salah satu diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits. (Sehingga haditsnya disebut maudhu’, dibuat-buat).

Al-Hakim meriwayatkan (I : 93) hadits tsb, dia berkata, “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits tsb dari hadits Abi Hurairah”. Kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melaui (jalan) Al-Dhaby: Telah menghaditskan kepada kami Shalihbin Musa At-Thalhy dari Abdul Aziz bi Rafi’ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah – secara marfu’ (Rasulullah s a w bersabda), “Sesungguhnya aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan (mengembalikan) telaga (haudh) kepadaku”.

Menurut saya (Sayyid Hasan) hadits tsb juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shaleh bin Musa Al-Thalhy.

Berikut ini penilaian para imam pakar hadits dari kalangan Kibar Al-Huffazh (penghafal terkenal) yang mencela Shaleh bin Musa Al-Thalhy sebagaimana terdapat dalam kitab Tahdzib Al-Kamal (XIII : 96);

“Berkata Yahya bin Mu’in, “Laisa bi-syai’in (riwayat [hadits] tsb bukan apa-apa).”

Abu Hatim Ar-Razy berkata,

“Dha’if Al-Hadits (Haditsnya dha’if).” Dia sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah.

Menurut penilaian Imam Nasa’iy, haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan yang lain Imam Nasa’iy berkata;

“Dia itu matruk al-hadits (haditsnya matruk / ditinggalkan).”

Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib (IV: 355) menyebutkan;

“Ibn Hibban berkata bahwa Shaleh bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits itsbat (yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tsb ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah.

Abu Nu’aim berkata:

“Dia itu matruk al-hadits, sering meriwayatkan hadits-hadits munkar.”Al-Hafizh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk (yang harus ditinggalkan) (Tarjamah 2891).

Demikian pula Al-Dzahaby dalam Kasyif (2412), yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan (II : 302), hadits riwayat Shaleh bin Musa tsb termasuk kemungkaran yang dilakukannya.Imam Malik menyebut hadits tsb dalam Al-Muwaththa’ (I : 899 no. 3) tanpa sanad (jadi tidak ada asal-usulnya hadits itu / la aslu -pen). Tetapi hal itu tidak ada artinya, karena mengenai kelemahannya telah jelas.

Al-Hafizh Ibn Abdilbar dalam At-Tahmid (XXIV : 331) menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dha’if tersebut;

“Dan telah menghaditskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, “telah menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, “telah menghaditskan kepada kami Muhammad ibn Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, “telah menghaditskan kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, “telah mengahaditskan kepada kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadits tsb)”.

Sekarang kita akan memperbincangkan satu illat atau penyakit saja, yaitu Katsir bin Abdullah yang terdapat dalam isnad hadits tersebut.

Menurut Imam Syfa’iy Rahimahullah Ta’ala;

dia adalah salah satu punggung kebohongan.

Sedang menurut Abu Dawud Rahimahullah Ta’ala,

“dia adalah salah satu pembohong.”

Ibn Hibban berkata;

“Dia meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (teks) yang maudhu’ (dibuat-buat) yang tidak halal atau tidak pantas untuk dicantumkan didalam berbagai kitab dan tidak perlu diriwayatkan kecuali untuk (sisi) ta’ajjub (aneh karena keberaniannya dalam berbohong -pen).

Menurut penilaian Imam Nasa’iy dan Al-Darulquthny;

”dia matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang). Imam Ahmad berkata, “dia itu pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa.”

Demikian pula menurut peniliaan Yahya bin Mu’in;

bahwa dia tidak (bukan) apa-apa, (tidak ada apa-apanya), (bukan orang penting).

Saya (Sayyid Hasan bin Ali) berpendapat, sungguh salah jika Al-Hafizh Ibn Hajar Rahimahullah Ta’ala – dalam Taqrib menilainya sebagai dha’if saja, kemudian dia berkata, “sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduh sebagai pembohong.” Menurut saya (Sayyid Hasan), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak berlebihan. Karena, seperti terlihat dari peniliaan para imam atau pakar hadits, dia memang pendusta.

Bukankah Al-Dzahaby juga telah menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan memang dia demikian. Haditsnya maudhu’. Hadits tsb tidak cocok untuk diikuti (mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya). Bahkan harus dijauhi. Allah-lah yang memberi taufiq kepada kita semua.Menurut Tuan Mutanaqidh – penentang atau sang kontroversial – dalam Dha’ifatih (IV : 361), hadits shahih dan tsabit (kuat) yang menyebutkan, “Wa ‘itraty ahli baity (Dan keturunanku yaitu ahli baitku) menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan keshahihan) hadits yang mengandung wa sunnaty (dan sunnahku).

Yang demikian itu menurut saya (Sayyid Hasan bin Ali) termasuk yang layak untuk ditertawakan saja. Hanya Allah yang memberi hidayah kepada kita semua. Tanbih / Peringatan dari Alhabib Assayyid Hasan bin Ali. Sabda Rasulullah s a w., “Itraty Ahli Baity (Keturunanku [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah istri-istrinya (?), keturunannya (dzurriyah-nya), dan yang lebih istimewa adalah Sayyidah Fathimah, Sayyidina Ali r a. – semoga Allah memuliakannya di surga, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain a.s, dan semoga mereka mendapat ke ridaan-Nya. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad s a w. Dalam sebuah hadits shahih dan tsabit. Diriwayatkan oleh Siti Aisyah r a. Dalam shahih Muslim (IV : 1883 no. 2424) dari Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah s a w., sebagaimana dicantumkan dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau – Rahimahullah Ta’ala – dan lain-lainnya dengan isnad-isnad shahih. Dia berkata, “Ayat berikut ini turun kepada nabi s a w., Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu -hai ahli bait – dan membersihkan sebersih bersihnya (QS. Al-Ahzab: 33).” Ayat tsb turun kepada Nabi s a w di rumah Ummu Salamah r a. Lalu Nabi Muhammad s a w memanggil Sayyida Fathimah r a, Hasan dan Husain. Lalu Raulullah s a w menutupi mereka dengan kiswah (baju, kain) sedang Imam Ali r a. – wa karrama wajhah – ada dibelakang punggungnya (Nabi s a w). Beliau s a w pun menutupi dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau s a w bersabda, “Allahumma (ya Allah), mereka itu ahli baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya (bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya).” Ummu Salamah r a berkata, “Dan (apakah) aku beserta mereka wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda, “Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan.”Siapa yang membatasi Ahli Bait Rasulullah s a w hanya pada istri-istrinya saja, maka sungguh keliru. Karena hal itu bertentangan dengan ijmak dan sunnah yang shahih. Dengan penjelasan tsb, jelas bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itraty (Kitabullah dan keturunanku) adalah hadits shahih dan tsabit yang terdapat pada shahih Muslim.Kata-kata kitabullah wa sunnaty (kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil – dari sisi isnad – dan tidak shahih.

Maka saya menganjurkan kepada para khatib, imam dan mubaligh untuk segera meninggalkan pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad s a w. Dan hendaknya mereka juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan hadits shahih dari Nabi Muhammad s a w yang terdapat dalam Shahih Muslim, yang antara lain menyebutkan, “Kitabullah wa Itraty ahli baity atau wa ahli baity”. Kamipun pesan kepada para penuntut ilmu (santri dan pelajar pada umumnya) untuk mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga mau menyediakan waktu untuk mengenali hadits yang shahih dan dha’if sekaligus. Allah SWT memfirmankan yang Hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan makhluk-Nya ke jalan yang lurus dan benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.  


(Disadur dari kitab Shahih Shifat Shalat An-Naby [Shalat Bersama Nabi s a w] karya Sayyid Hasan bin Ali Ba’Agil).

Imam Ali Karramallahu Wajhah dan Al Qur'an


Oleh Jalaluddin Farsi

Allah swt berfirman:

لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ

“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.

Pembahasan ini berkisar seputar Ali as dan al-Quran. Para pakar ulumul Quran dan mufassir sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw berbeda tingkatan dalam potensi memahami dan menjangkau makna-makna al-Quran sebagaimana mereka relatif berbeda dalam mengambil manfaat dari curahan kesaksian turunnya wahyu, surat-surat dan kumpulan ayat-ayat yang diterima Nabi saw.

Mereka yang beriman kepada Rasulullah saw di Madinah tidak menyaksikan turunnya surat-surat Makkiyah (yang turun di Makkah) dan terhalang dari tafsir dan asbabun nuzul terutama efidence turunnya ayat-ayat.

Berkenaan dengan sebab turunnya ayat yang telah dibacakan, para pakar hadis dan sejarawan sepakat bahwa maksud dari “udhunun wa’iyah” adalah Ali bin Abi Thalib as. Sebagaimana Ibnu Jarir Thabari, Ibnu Abi Hatim, Wahidi (pengarang kitab “Asbabun Nuzul”), Ibnu Murdawaih, Ibnu Asakir dan yang lain mencatat dari ucapan Buraidah Aslami yang mana Rasulullah saw bersabda kepada Ali as:

إنّ اللّه أمرنى أن أدنيك و لا أقصيك و أن أعلّمك و أن تعي و حقّ لك أن تعي

Maka turunlah ayat ini «لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ » dan hal ini mereka nukil dari “Ad-Durrul Mantsur” tafsir Jalaluddin Suyuthi, dan “Asbabun Nuzul” hal 294 dan Abu Na’im dalam “Hilyatul Auliya’” juga mencatat yang demikian dan dengan nukilan hadis lain yang mana Nabi saw bersabda kepada Ali as:

فأنت أذن واعية لعلمي

Demikian juga dalam tafsiran ayat ini, Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir, penulis kitab sejarah dan tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Murdawaih mencatat riwayat ini tetapi secara mursal yang mana setelah turun ayat “وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ” Rasulullah saw bersabda: “Aku berharap dari Allah swt supaya menajamkan telinga kecerdasan Ali as seperti demikian”. Dan Ali as berkata: “Setelah itu tidak pernah aku mendengar sesuatu dari Nabi saw dan kemudian melupakannya”. Tsa’labi juga mencatat riwayat ini dari Abu Hamzah Tsumali secara musnad (bukan mursal). Dalam surat al-Haaqqah sebelum ayat ini, Allah swt menceritakan perihal kaum-kaum yang telah lenyap dan juga nabi-nabi terdahulu dan ketika itu Allah swt berfirman: Untuk menjangkau dan memahami serta menjaga perihal-perihal penuh pelajaran (‘ibrah) pada sejarah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu diperlukan telinga cerdas potensial dan menyeluruh. Oleh karena itu Ali as memahami al-Quran lebih baik dari seluruh sahabat Rasulullah saw dan mengajarkan kepada yang lain.

Ibnu ‘Athiyyah, Badruddin dan Suyuthi berkeyakinan bahwa pemuka para mufassir adalah Ali bin Abi Thalib as, sementara itu Ibnu Abbas belajar tafsir di sisi beliau as, dan setelah itu yang lain seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair dan lain-lain mengikutinya dan menjadi murid Ibnu Abbas. Amirul Mukminin Ali as disamping adalah orang terbaik dalam memahami, menghapal dan mempelajari al-Quran, juga termasuk pemuka para sahabat dalam pengumpulan dan penjelasan penafsiran al-Quran.

Ibnu Abbas mengenai ayat suci “إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ” berkata: Allah swt telah mengumpulkan al-Quran di hati dan dada Ali as dan beliau as sepeninggal Rasulullah saw mengumpulkan dan membukukannya selama 6 bulan.

Abu Na’im dalam “Hulyatul Auliya’” dan Khatib dalam “Arba’in” dari Suyuti dan dia dari Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan: Ketika Nabi saw meninggal dunia, aku bersumpah bahwa aku tidak akan menyingkapkan jubahku dari pundak hingga aku menyusun al-Quran dan aku melakukan hal tersebut.

Para ahli sejarah dan tafsir juga menyepakati bahwa hanya Ali as yang mengklaim mengumpulkan al-Quran sebelum orang lain berfikir untuk mengumpulkan dan menyusunnya.

Dalam al-Ihtijaj Thabarsi disebutkan bahwa Abu Dzar al-Ghiffari berkata: Ali as setelah wafat Rasulullah saw dan berdasarkan wasiat beliau saw, mengumpulkan dan menyusun al-Quran dan membawanya ke hadapan kaum Muhajirin dan Anshar serta memperlihatkan kepada mereka. Ketika salah seorang membukanya dan pada halaman pertama, ia melihat kemarahan-kemarahan orang-orang maka ia tidak setuju dengannya.

Proyek pertama yang dilakukan Imam Ali as berkenaan dengan al-Quran adalah bertekad bahwa beliau as tidak akan keluar rumah sehingga menyelesaikan pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Hal ini sendiri adalah ancaman terbesar bagi orang-orang yang memiliki maksud menodai al-Quran Karim dan sebuah pedang tajam terhunus di atas kepala orang-orang yang ingin mengurangi dan menambahi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa dalam ayat:

إِنَّ كَثِيراً مِنَ الْأَحْبارِ وَ الرُّهْبانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوالَ النَّاسِ بِالْباطِلِ

hingga ayat berikutnya yang berbunyi:

وَ الَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ وَ لا يُنْفِقُونَها فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ أَلِيمٍ

Ketika mereka ingin menghilangkan «واو» dari ujung «الّذين» hingga merubah arti ayat dan ingin menunjukkan bahwa «الّذين» ini yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak hanya para pendeta dan pastur saja bukan orang-orang yang berada di kalangan masyarakat Islam yang melakukan perbuatan pengkhianatan seperti ini, Abu Dzar, seorang sahabat agung menghunuskan lidah tajamnya di atas kepala mereka sehingga tahrif ini tidak terlaksana. Akan tetapi proyek Ali as lebih tinggi dari hal-hal ini.

Beliau as (menurut Abu Rafi’) duduk di rumah dan menyusun al-Quran sebagaimana turunnya (bukan berarti bahwa beliau as mengumpulkan sekumpulan ayat dan surat menurut urutan turunnya karena hal tersebut telah terlaksana, dan urutan yang sekarang ini keluar dari ikhtiar manusia bahkan Nabi saw, akan tetapi menentukan sebab turun dan mengenai siapa-siapa dan kapan ayat-ayat turun dan hal ini adalah keterjagaan al-Quran dan arti-artinya dari bahaya tahrif maknawi. Oleh karena itu beliau as memberikan motifasi kepada murid-murid untuk mempelajari dalam tafsir sebab turun dan urutan turun ayat dan surat dan supaya mengajarkan kepada yang lain berkenaan dengan siapa-siapa, kejadian-kejadian apa dan kondisi-kondisi apa ayat-ayat diturunkan). Dari Ibnu Hajar juga dinukil kandungan yang demikian dan riwayat ini dicatat oleh Ibnu Abi Dawud Nasa’i dengan sanad shahih dari Abdullah bin Umar.

Husain bin Ali bin Abi Thalib as juga berkata, Imam Ali as dalam sebuah ungkapan mengatakan: Bertanyalah kepadaku mengenai al-Quran sehingga aku katakan bahwa ayat-ayatnya turun berkenaan dengan siapa-siapa saja dan kapan.

Adapun untuk memahami urgensitas penjelasan urutan, kapan dan kondisi turunnya ayat-ayat, kami berikan dua contoh; salah satunya berkenaan dengan ahkam (hukum-hukum) dan satu lagi menyangkut sebab turun.

Dalam surat al-Baqarah kita memiliki dua ayat berkenaan dengan kematian dan hukum isteri-isteri yang salah satunya nasikh (menghapus) dan yang lain mansukh (yang dihapus). Akan tetapi ayat nasikh berada sebelum ayat mansukh (ayat nasikh adalah ayat 234 dan ayat mansukh 240). Untuk mengetahui manakah ayat nasikh dan manakah mansukh perlu mengenal persyaratan-persyaratan turunnya ayat, dan tentu saja semua orang mengetahui hukum nasikh dan mansukh semenjak masa pengumpulan dan penyusunan al-Quran hingga sekarang, dan malaikat wahyu juga menyampaikan tempat atau posisi ayat-ayat kepada Nabi saw. Dari Ibnu Abbas bahwa ketika ayat tertentu turun, malaikat wahyu berkata kepada Nabi saw, letakkanlah ayat ini di ujung ayat ini. Bagaimanapun, mengetahui urutan turunnya ayat-ayat memiliki urgensitas luar biasa dari sisi bahwa ayat nasikh dari mansukh dapat dikenal.

Contoh berikutnya mengenai sebab turunnya ayat. Sejarah perang Uhud dimuat dalam surat Aali ‘Imran. Mengenai bagaimana terjadinya perang Uhud ditanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf atau sahabat lain Rasulullah saw dan ia mengembalikan kepada ayat-ayat setelah ayat 120 surat Aali ‘Imran, dan berkata: Jika engkau membacanya maka seolah-olah engkau ikut serta dalam perang ini bersama kami.

Di antara kejadian-kejadian perang Uhud adalah pada mulanya kemenangan diraih oleh kaum Muslimin akan tetapi setelah pengosongan lereng gunung oleh para pemanah dan serangan pasukan berkuda tentara musuh ke tempat itu, maka tekanan musuh menjadi berlimpah. Nabi saw memberikan perintah supaya kaum Muslimin naik dari lereng gunung depan dan bersandar ke gunung serta mundur karena ketidakkompakan sedikit pasukan.

Nabi saw berada di barisan belakang tentara dan beliau saw juga menaiki lereng gunung, akan tetapi beliau saw berada dalam serangan bahaya pasukan berkuda musuh yang sedang beraksi melakukan pembunuhan tanpa belas kasih.

Ayat 153 menunjukkan hal tersebut:

إِذْ تُصْعِدُونَ وَ لا تَلْوُونَ عَلى أَحَدٍ وَ الرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْراكُمْ فَأَثابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلا تَحْزَنُوا عَلى ما فاتَكُمْ وَ لا ما أَصابَكُمْ وَ اللَّهُ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ

“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Hingga di sini tidak ada permasalahan dan ayat-ayat menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut, akan tetapi secara tiba-tiba Allah swt mengecam orang-orang yang berpaling dari musuh dan melarikan diri, ayat 155:

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu [pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau).

Maka jelas bahwa mereka adalah sekelompok dari tentara Islam, akan tetapi siapa-siapa mereka tersebut harus dijelaskan oleh pribadi tinggi seperti Ali as.

Dalam sirah (sejarah) paling kuno yang pengarangnya wafat pada tahun 207 H dan sirah Ibnu Ishaq terlihat, al-Maghazi Ibnu Syihab az-Zuhri dapat disaksikan dan seluruh riwayat menjadi bahan kajian dan dicatat serta dinyatakan: Ketika berita tentang terbunuhnya Nabi saw tersebar melalui lidah kaum kafir di tengah-tengah Muslimin, mereka bercerai berai dan sebagian telah sampai di Madinah dan orang pertama yang datang ke Madinah dan menceritakan berita tentang terbunuhnya Nabi saw adalah Sa’d bin Utsman yang berlaqab Abu ‘Ubadah. Setelah itu sekelompok lain masuk ke kota menuju isteri-isteri mereka. Para isteri mencaci mereka dan mengatakan, kalian melarikan diri dari sisi Rasulullah saw. Salah seorang wanita adalah Ummu Aiman yang dalam menghadapi sekelompok orang melemparkan tanah ke muka mereka, dan mengatakan kepada salah seorang dari mereka: Kemarilah, ambil lipatan ini dan lipatlahlah serta berikan pedangmu kepadaku. Setelah itu ia pergi ke Uhud bersama sekelompok wanita.

Namun pada arah berlawanan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok dari kaum Anshar yang nama-nama mereka tercatat seluruhnya dalam sejarah berperang melawan musuh dengan gigih dan menjaga Nabi saw.

Nashibah puteri Ka’b Ummu ‘Umarah yang datang ke medan perang sebagai pemberi minum dan perawat ketika melihat gigi dan dahi Nabi saw retak, dada Nabi saw terluka, ia mengangkat pedang dan membunuh beberapa orang. Ia sendiri dan beberapa orang anggota keluarganya bertahan dalam perang itu.

Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat pemberani, menjadikan tangannya sebagai tameng supaya pedang Ibnu Qumaishah tidak turun di pundak Nabi saw sehingga jarinya terpotong dan sampai akhir umurnya menjadi saksi pembelaannya kepada Nabi saw. Dalam kondisi seperti itu Nabi saw terjatuh ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Rahib (yang dijuluki oleh Nabi saw sebagai munafik) dan ditutupi permukaannya, seorang bernama Syimas bin Utsman menjadikan dirinya sebagai tameng melindungi Nabi saw di hadapan pedang-pedang yang menebas ke arah Nabi saw dan syahid di tempat itu. Mereka adalah para pahlawan kejadian tersebut. Akan tetapi sekelompok orang juga melarikan diri sehingga Nabi saw bersabda kepada Nashibah, pahlawan wanita yang bekas-bekas tebasan pedang musuh membekas pada tubuhnya hingga akhir hayatnya: “Perbuatanmu lebih baik daripada orang-orang yang melarikan diri (disebutkan nama-nama mereka).”

Di lobang tersebut, sementara lutut suci Nabi saw terluka dan beliau saw tidak dapat berdiri, Ali as mengambil tangan beliau saw dan Thalhah meraih bawah pundak beliau saw dan pergi ke atas lereng gunung, dan ketika itulah kaum Muslimin juga sampai, dan mengelilingi serta melindungi Nabi saw dari musuh.

Apapun yang terjadi, sya’n nuzul secara detail menjelaskan bahwa siapakah orang-orang tersebut dan ayat-ayatnya berkata apa. Hal ini sedemikian jeli hingga dalam perang ini salah seorang dari kaum Muslimin yang memiliki permusuhan dengan yang lain membunuhnya secara tiba-tiba. Setelah beberapa waktu berlalu, ketika mereka menangkapnya Nabi saw menghakiminya dan menghukumnya dengan hukuman mati. Apapun yang terjadi, orang-orang yang bertahan, para pahlawan dan orang-orang yang melarikan diri namanya tertulis dengan terperinci dalam tafsir-tafsir dan juga dalam kitab-kitab hadis shihah terutama shahih Bukhari.

Khalid bin Walid (panglima tentara pasukan berkuda yang menyerang dan membunuh banyak kaum Muslimin) setelah beberapa waktu ketika masuk Islam berkata di Syam: Aku bersyukur kepada Allah karena telah memeluk Islam dan Allah telah memberikan hidayat kepadaku, dan setelah itu berkata, kesaksianku dalam perang Uhud adalah bahwa kaum Muslimin melarikan diri, aku melihat seorang kerabat yang melarikan diri sendirian. Aku berada dalam kepemimpinan tentara berkuda yang kuat. Karena aku masih berkerabat dengannya, maka aku khawatir bila aku mendekatinya, maka tentara akan menangkap dan membunuhnya, oleh karena itu aku membelokkan arah sehingga ia tidak terlihat tentara.

Demikian juga dalam sirah Ibnu Hisyam, dalam kitab Waqidi dan seluruh shihah terdapat bahwa Anas bin Nadhar, paman Anas bin Malik, melihat seorang sahabat yang sedang duduk-duduk dengan sekelompok orang. Ia bertanya kenapa mereka duduk, mereka menjawab, Rasulullah saw telah terbunuh. Ia berkata, setelah beliau saw untuk apa kalian ingin hidup. Bangkitlah dan berperanglah demi apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah hingga terbunuh. Ketika itu sahabat tersebut berdiri dan berperang hingga terbunuh dan tampak puluhan luka di badannya.

Di sinilah jelas bahwa penulisan sya’n nuzul oleh Ali as memberikan manfaat apa. Supaya hak para pahlawan yang membela Nabi saw seperti Thalhah bin Ubaidillah tidak disia-siakan dan jelas siapa saja yang melarikan diri. Maka ketika itu sekelompok penulis resep berkhianat dan menghapus sebagian nama-nama. Silahkan amati nama-nama yang kami nukil dari kitab Waqidi ini apa yang mereka lakukan dan usaha Amirul Mukminin Ali as bernilai apa dalam menghapus kepalsuan-kepalsuan. Bila ini tidak ada, kita tidak dapat memahami kejadian-kejadian yang berlangsung. Akan tetapi mereka tidak membiarkan tafsir Amirul Mukminin as dengan urutan turun, sebab dan kejadian-kejadiannya tersebar. Sebagian sahabat setia mempelajari sebagian hal tersebut dan terdapat dalam sejarah dan tafsir-tafsir seperti kisah Anas bin Nadhar.

Sangat disayangkan sekali mereka ingin menyingkirkan orang yang membela dan menyelamatkan Nabi saw dari kebinasaan tersebut dan ingin meninggikan orang-orang yang melarikan diri. Mereka tidak membiarkan keterangan al-Quran dan tafsir Ali bin Abi Thalib as tersebar. Imam Ali as setelah perang Jamal, ketika memasuki Bashrah, datanglah seorang Badui dan menjelek-jelekkan Thalhah. Imam Ali as menegornya dan berkata, engkau tidak ada dalam perang Uhud dan tidak melihat bagaimana ia berkhidmat dan kedudukan dan tingkatan apa yang dimiliki di sisi Allah swt. Orang tersebut merasa malu dan terdiam. Orang lain bertanya, khidmat apa yang dilakukan? Beliau as menjawab, ia menjadikan dirinya sebagai perisai Nabi saw sementara dari setiap arah datang tebasan pedang dan tusukan tombak. Dari satu arah aku dan dari arah lain Abu Dujanah membuat mundur para penyerang sementara Sa’d bin Abi Waqqash dari arah lain. Aku dengan sendirian membuat mundur tentara berkuda yang dikomando oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal sementara mereka mengepungku dari setiap penjuru dan untuk kedua kalinya aku mendesak mereka mundur dan aku kembali.

Di sinilah penjelasan dan tafsir Ali bin Abi Thalib as menyelamatkan al-Quran dari perubahan maknawi, dan sebagaimana mestinya beliau as menyampaikannya kepada generasi-generasi dan murid-murid beliau as seperti Ibnu Abbas dan yang setelahnya membawanya ke hadapan kita. Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin. []

Cyrus Charter (King Zulkarnain Charter)


By Cyrus The Great (King Zulkarnain) who ruled Persia from 559 B.C.E. to 529 B.C.E

“My numerous troops moved about undisturbed in the midst of Babylon. I did not allow anyone to terrorise the land of Sumer and Akkad. I kept in view the needs of Babylon and all its sanctuaries to promote their well being. I lifted their unbecoming yoke. Their dilapidated dwellings I restored. I put an end to their misfortunes.”

“I am Cyrus, King of the world, great king, mighty king, king of Babylon, king of the land of Sumer and Akkad, king of the four quarters, son of Camboujiyah (Cambyases), great king, king of Anshân, grandson of Kourosh (Cyrus), great king, king of Anshân, descendant of Chaish-Pesh (Teispes), great king, king of Anshân, progeny of an unending royal line, whose rule Bel and Nabu cherish, whose kingship they desire for their hearts, pleasure. When I well -disposed, entered Babylon, I set up a seat of domination in the royal palace amidst jubilation and rejoicing. Marduk the great god, caused the big-hearted inhabitations of Babylon to ... ... ... ... ... me, I sought daily to worship him.”

“At my deeds Marduk, the great lord, rejoiced and to me, Kourosh (Cyrus), the king who worshipped him, and to Camboujiyah (Cambyases), my son, the offspring of (my) loins, and to all my troops he graciously gave his blessing, and in good sprit before him we glorified exceedingly his high divinity. All the kings who sat in throne rooms, throughout the four quarters, from the Upper to the Lower Sea, those who dwelt in ... ... ... ... ..., all the kings of the West Country, who dwelt in tents, brought me their heavy tribute and kissed my feet in Babylon. From ... ... ... ... ... to the cities of Ashur, Susa, Agade and Eshnuna, the cities of Zamban, Meurnu, Der as far as the region of the land of Gutium, the holy cities beyond the Tigris whose sanctuaries had been in ruins over a long period, the gods whose abode is in the midst of them, I returned to their places and housed them in lasting abodes.”

“I gathered together all their inhabitations and restored (to them) their dwellings. The gods of Sumer and Akkad whom Nabounids had, to the anger of the lord of the gods, brought into Babylon. I, at the bidding of Marduk, the great lord, made to dwell in peace in their habitations, delightful abodes.”

“May all the gods whom I have placed within their sanctuaries address a daily prayer in my favour before Bel and Nabu, that my days may be long, and may they say to Marduk my lord. May Cyrus the King, who reveres thee, and Camboujiyah (Cambyases) my son...”

“Now that I put the crown of kingdom of Persia, Babylon, and the nations of the four directions on the head with the help of God (Ahura Mazda), I announce that I will respect the traditions, customs and religions of the nations of my empire and never let any of my governors and subordinates look down on or insult them until I am alive. From now on, till God grants me the kingdom favor, I will impose my monarchy on no nation. Each is free to accept it , and if any one of them rejects it , I never resolve on war to reign. Until I am the king of Persia, Babylon, and the nations of the four directions, I never let anyone oppress any others, and if it occurs , I will take his or her right back and penalize the oppressor.”

“And until I am the monarch, I will never let anyone take possession of movable and landed properties of the others by force or without compensation. Until I am alive, I prevent unpaid, forced labor. Today, I announce that everyone is free to choose a religion. People are free to live in all regions and take up a job provided that they never violate other’s rights.”

“No one could be penalized for his or her relatives’ faults. I prevent slavery and my governors and subordinates are obliged to prohibit exchanging men and women as slaves within their own ruling domains. Such a traditions should be exterminated the world over.”

“I implore to God to make me succeed in fulfilling my obligations to the nations of Persia, Babylon, and the ones of the four directions.”

Putri Shahbany, Istrinya Cyrus Zulkarnain 

Mandana, Ibunda Cyrus Zulkarnain

Ziarah Ke Negeri Asal Para Pasukan Imam Husain


Sebagaimana dicatat dalam buku-buku sejarah, dari semua yang gugur di Karbala, 34 adalah orang Yaman, yang adalah para pejuang yang membela barisan Imam Husain.

Pada dasarnya orang-orang Yaman punya peran besar dan berpengaruh dalam sejarah Islam. Hijrahnya penduduk Yaman ke Hijaz dan Irak menciptakan perubahan politik penting bagi ummat Islam. Berpindahnya kabilah-kabilah Yaman ke daerah-daerah lain, dan kemudian tinggal di daerah baru membuat perubahan dalam komposisi penduduk semenanjung Arab Saudi. Hal ini dapat disaksikan ketika pelbagai referensi sejarah menyebut pembagian Arab menjadi utara dan selatan atau Qahthani dan Yamani.

Kecenderungan orang-orang Yaman akan Ahlul Bait telah muncul sejak dimulainya risalah Nabi Muhammad saw. Pada tahun ke-10 Hijriah, misalnya, Nabi Muhammad saw punya keinginan untuk menyeru masyarakat Yaman agar memeluk Islam. Demi merealisasikan keinginannya itu, beliau memerintahkan Khalid bin Walid menuju Yaman dan mendakwahkan Islam di sana. Namun selama 6 bulan tinggal di Yaman, tidak banyak keberhasilan yang diraih Khalid bin Walid. Pasca kegagalan Khalid bin Walid, Nabi menugaskan Ali bin Abi Thalib as ke Yaman. Ketika tiba di Yaman, Ali bin Abi Thalib as segera membacakan surat Nabi saw kepada masyarakat kabilah Hamdan, dan setelah itu ia mengajak mereka memeluk agama Islam. Masyarakat kabilah Hamdan setelah itu seluruhnya mengikrarkan keislamannya. Pasca masuk Islamnya seluruh masyarakat Kabilah Hamdan, sejarah mencatat mereka menjadi sumber dari banyak perubahan.

Ali bin Abi Thalib as kemudian menyeru kabilah Mudzhij agar menerima Islam sebagai agamanya. Namun mereka menolak dan ingin tetap dalam kepercayaan sebelumnya. Hanya saja tidak cukup sampai di situ, mereka berusaha mencelakai utusan Nabi saw, yang tak lain Ali bin Abi Thalib as. Tetapi dalam konflik sekilas yang terjadi, kabilah ini kalah. Setelah itu Ali bin Abi Thalib as kembali mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Kali ini mereka menerima dan memeluk Islam. Di sini tumbuh hubungan emosional antara masyarakat Yaman dengan Ali bin Abi Thalib as. Hubungan ini sedemikian eratnya, sehingga dapat ditebak betapa dari 23 orang yang menjadi inti lingkaran pertama Syiah pasca peristiwa Saqifah, 10 orangnya berasal dari Anshar Yaman. Ketika pembahasan kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib as diwacanakan, sekalipun beliau menolak, para kabilah Yaman menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib as lebih dari yang lain. Mereka mendorong beliau agar menerima jabatan khalifah. Berdasarkan satu penukilan sejarah, Malik al Asytar adalah orang pertama yang membaiat Imam Ali bin Abi Thalib as.

Langkah-langkah pertama yang diambil Imam Ali as di awal menjabat sebagai khalifah adalah memilih gubernur untuk daerah-daerah Islam. Beliau memilih Ubaidullah bin Abbas sebagai gubernur Yaman. Sejak Imam Ali as menjabat sebagai khalifah, sejak itu pula muncul aksi-aksi merusak yang dilakukan kelompok Muawwiyah, dan akhirnya muncul Perang Jamal. Dalam peristiwa Perang Jamal, orang-orang Yaman secara aktif ikut dalam barisan Imam Ali as dan menjadi faktor penentu kemenangan Imam Ali as dalam perang tersebut.

Dalam Perang Shiffin, sejumlah tokoh Yaman punya saham besar, seperti Malik al Asytar, Adi at Tha’i. Zahr bin Nizar, dan Hani bin Urwah. Dari kabilah Yaman lain yang ikut dalam Perang Shiffin adalah Bani Ahmas yang disebutkan mengirimkan pasukan sebanyak 700 orang. Imam Hasan as di masa kekhalifahannya juga didukung oleh para pecintanya, terutama dari kabilah-kabilah Yaman, namun strategi Muawiyah yang memanfaatkan tokoh-tokoh yang cinta jabatan dan lemah dan akhirnya membuat mereka menarik dukungannya terhadap Khalifah Imam Hasan as. Kejadian ini akhirnya memaksa Imam Hasan as melakukan perjanjian damai dengan Muawwiyah yang haus kekuasaan. Pasca perjanjian damai dan Muawiyah menjadi khalifah, Muawwiyah begitu membenci orang-orang Yaman yang senantiasa menjadi pendukung Ahlul Bait Nabi. Untuk itu ia mengirim Basar bin Artah untuk membantai mereka. Ketika Bin Artah tiba di Yaman ia melakukan pembantaian massal.


Jangan lupa bahwa peristiwa heroik Asyura juga menjadi manifestasi lain dukungan orang-orang Yaman kepada Imam Husain as. Sebagaimana dicatat dalam buku-buku sejarah, dari seluruh jumlah syahid di padang Karbala, 34 orang berasal dari Yaman. (*)

Ajaran Akhlaq Sunan Gunung Djati




Yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:
  • Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (Aku titip tajug dan fakir miskin).
  • Yen sembahyang kungsi pucuke panah (Jika shalat harus khusu’ dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
  • Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (Jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
  • Ibadah kang tetap (Ibadah itu harus terus menerus, harus istiqomah)
  • Manah den syukur ing Allah (Hati harus bersyukur kepada Allah)
  • Kudu ngahekaken pertobat (Banyak-banyaklah bertobat).
Yang berkaitan dengan kedisiplinan
  • Aja nyindra janji mubarang (Jangan mengingkari janji)
  • Pemboraban kang ora patut anulungi (Yang salah tidak usah ditolong)
  • Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (Jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benar atau disalahgunakan)
Yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:
  • Singkirna sifat kanden wanci (Jauhi sifat yang tidak baik)
  • Duwehna sifat kang wanti (Miliki sifat yang baik)
  • Amapesa ing bina batan (Jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
  • Angadahna ing perpadu (Jauhi pertengkaran).
  • Aja ilok ngamad kang durung yakin (Jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya).
  • Aja ilok gawe bobat (Jangan suka berbohong).
  • Kenana ing hajate wong (Kabulkan keinginan orang).
  • Aja dahar yen durung ngeli (Jangan makan sebelum lapar)
  • Aja nginum yen durung ngelok (Jangan minum sebelum haus).
  • Aja turu yen durung katekan arif (Jangan tidur sebelum ngantuk).
  • Yen kaya den luhur (Jika kaya harus dermawan).
  • Aja ilok ngijek rarohi ing wong (Jangan suka menghina orang).
  • Den bisa megeng ing nafsu (Harus dapat menahan hawa nafsu).
  • Angasana diri (Harus mawas diri)
  • Tepo saliro den adol (Tampilkan perilaku yang baik).
  • Ngoletena rejeki sing halal (Carilah rejeki yang halal)
  • Aja akeh kang den pamrih (Jangan banyak mengharap pamrih).
  • Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (Jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang).
  • Gegunem sifat kang pinuji (Miliki sifat terpuji)
  • Aja ilok gawe lara ati ing wong (Jangan suka menyakiti hati orang).
  • Ake lara ati, namung saking duriat (Jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
  • Aja ngagungaken ing salira (Jangan mengagungkan diri sendiri).
  • Aja ujub ria suma takabur (Jangan sombong dan takabur).
  • Aja duwe ati ngunek (Jangan dendam).
Yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:
  • Den hormat ing wong tua (Harus hormat kepada orang tua).
  • Den hormat ing leluhur (Harus hormat pada leluhur).
  • Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (Hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
  • Den welas asih ing sapapada (Hendaklah menyanyangi sesama manusia).
  • Mulyakeun ing tetamu (Hormati tamu).
Yang berkaitan dengan kehidupan sosial;
  • Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (Jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
  • Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (Jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
  • Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (Jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).
  • Aja dagangan atawa warungan (Jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
  • Aja kunga layaran ing lautan (Jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang). 
  •