Label

Islam di Era Imam Ali As


Oleh Allamah Muhammad Husain Thabathabai

Periode kekhalifahan Ali as dimulai di penghujung tahun 35 H. dan berlangsung selama empat tahun dan sembilan bulan. Dalam metode kekhalifahannya, Ali as mengikuti metode pemerintahan Rasulullah saw.[1] Ia mengembalikan mayoritas perubahan yang telah dilakukan para khalifah sebelumnya ke posisinya semula dan memberhentikan seluruh pegawai negara yang tidak layak yang pada waktu itu masih memegang kekuasaan.[2] Pada hakikatnya, tindakannya adalah sebuah revolusi besar-besaran, dan—tentunya—menghadapi banyak problematika.

Pada hari pertama kekhalifahannya, dalam sebuah pidato di hadapan masyarakat, Ali as menegaskan, “Ketahuilah! Problematika yang kamu hadapi pada saat Rasulullah diutus menjadi nabi, sekarang telah kembali ke (pangkuan)mu dan telah mendominasi kehidupanmu. Kamu harus berubah secara total. Para pemilik keutamaan yang selama ini diletakkan di belakang harus maju ke depan (baca: memimpin) dan mereka yang telah berada di depan (baca: memimpin) dengan cara tidak becus harus berada di belakang. Jika kebatilan sangat banyak (baca: merajalela), hal itu bukanlah suatu hal yang baru, dan jika hak (kebenaran) amat sedikit, kadang-kadang sesuatu yang sedikit dapat maju ke depan (memimpin) dan harapan untuk maju masih ada. Hanya saja sangat jarang terjadi sesuatu yang telah berlalu dari seseorang, ia akan kembali lagi.”[3]

Ali as melanjutkan sistem pemerintahan revolusionernya. Dan sebagai konsekuensi alamiah dari sebuah revolusi, unsur-unsur penentang yang merasakan kepentingan-kepentingannya terancam akan mengadakan penentangan dari setiap penjuru pemerintahan. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, mereka telah meletuskan peperangan-peperangan intern berdarah yang—kira-kira—berlanjut selama periode kekhalifahan Ali as. Menurut pendapat Syi‘ah, pihak-pihak yang menjadi faktor meletusnya peperangan-peperangan intern ini tidak memiliki tujuan lain kecuali kepentingan pribadi, dan menuntut darah Khalifah Ketiga tidak lebih hanyalah sebuah dalih untuk mengelabuhi opini masyarakat awam. Bahkan, kesalahpahaman pun bukanlah faktor pemicu peperangan-peperangan itu.[4]

Faktor penyebab perang pertama yang dikenal dengan Perang Jamal adalah realita perselisihan kasta yang muncul sejak masa kekhalifahan Khalifah Kedua ketika ia membagi-bagikan harta Baitul Mâl secara tidak rata. Setelah resmi menjadi Khalifah, Ali as membagi-bagikannya di antara masyarakat secara sama rata[5] seperti cara Rasulullah saw membagi-bagikannya. Metode pembagian harta Baitul Mal semacam ini sangat menyakitkan hati Zubair dan Thalhah. Mereka berdua ingin memberontak. Dengan dalih berziarah ke Ka’bah, dari Madinah mereka berdua pergi ke Makkah. Mereka berdua mengajak Ummul Mukminin ‘Aisyah yang pada waktu itu berada di Makkah dan hubungannya dengan Ali as agak sedikit keruh untuk bersama mereka. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, mereka berdua telah memicu berkobarnya perang berdarah Jamal.[6] Padahal Thalhah dan Zubair berada di Madinah ketika terjadi pengepungan terhadap Khalifah Ketiga, tetapi mereka berdua enggan membelanya.[7] Setelah Khalifah terbunuh, mereka berdua adalah orang pertama yang membai’at Ali as atas nama diri mereka dan Muhajirin.[8] Begitu juga, Ummul Mukminin ‘Aisyah termasuk orang-orang yang telah mempengaruhi masyarakat untuk membunuh Khalifah Ketiga.[9] Ketika pertama kali mendengar kematian Khalifah, ia mencaci-makinya dan menampakkan kebahagiaannya. Pada dasarnya, penyebab asli pembunuhan Khalifah adalah para sahabat yang menulis surat ke seluruh penjuru pemerintahan dan mempengaruhi masyarakat untuk menentangnya.

Faktor penyebab meletusnya perang kedua yang dikenal dengan nama Perang Shiffin dan berlangsung selama satu setengah tahun adalah ketamakan Mu‘awiyah terhadap kedudukan kekhalifahan. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, ia memicu peperangan ini dan telah menumpahkan lebih dari seratus ribu darah tak bersalah. Yang jelas, dalam peperangan ini, Mu‘awiyah selalu menyerang, bukan membela diri. Hal itu lantaran penuntutan darah tidak pernah bersikap membela diri.

Syi’ar perang ini adalah “Menuntut Darah Khalifah Ketiga”. Padahal, di akhir-akhir kehidupannya, ia telah meminta bala bantuan kepada Mu‘awiyah untuk membasmi keributan yang sedang memanas. Mu‘awiyah dan bala tentara bantuannya berangkat dari Syam menuju ke Madinah. Ia sengaja berhenti lama di pertengahan jalan hingga para pengepung membunuh Khalifah Ketiga. Setelah itu, ia kembali ke Syam dan bangkit untuk menuntut darah Khalifah.[10]

Setelah Ali as meneguk cawan syahadah dan Mu‘awiyah berhasil merebut kekhalifahan, ia melupakan darah Khalifah Ketiga dan tidak mencari para pembunuhnya.

Setelah peperangan Shiffin usai, perang Nahrawan meletus. Dalam peperangan ini, sekelompok sahabat juga ikut serta. Atas aktuasi-aktuasi (tahrîk) Mu‘awiyah pada perang Shiffin, musuh-musuh Ali as bangkit menentangnya. Mereka mengadakan kekacauan-kekacauan di seluruh penjuru pemerintahan Islam. Di manapun mereka menemukan para pendukung Ali as, mereka membunuhnya. Sampai-sampai mereka tega merobek perut wanita-wanita hamil, mengeluarkan bayi-bayi mereka, dan menyembelihnya.[11]

Ali as pun berhasil meredakan pemberontakan ini. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa masa, ia harus meneguk cawan syahadah dari tangan salah seorang Khawarij tersebut di mihrab Masjid Kufah ketika beliau sedang mengerjakan shalat.

Keuntungan Syi‘ah dari Lima Tahun Kekhalifahan Ali

Meskipun Ali as selama empat tahun dan sembilan bulan masa kekhalifahannya tidak berhasil mengembalikan kondisi pemerintahan Islam yang telah hancur-lebur itu ke kondisi semula secara sempurna, tetapi di tiga sisi penting ia telah mencapai keberhasilan:

a. Dengan perantara sirahnya yang adil, ia telah berhasil menunjukkan sirah Rasulullah saw yang menarik kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Di hadapan metode kehidupan Kisra dan Kaisar Mu‘awiyah, ia selalu hidup dengan pakaian orang-orang miskin dan terlantar. Ia tidak pernah mengutamakan sahabat, keluarga, dan familinya atas orang lain, dan tidak pernah lebih mementingkan orang yang kaya atas orang yang miskin dan orang yang kuat atas orang yang lemah.

b. Dengan adanya kesulitan-kesulitan yang menyita tenaga itu, ia telah berhasil meninggalkan ilmu-ilmu Ilahiah dan pengetahuan-pengetahuan Islam yang benar sebagai kenang-kenangan di tengah-tengah umat manusia.

Para penentang Ali as berkata, “Ia adalah seorang pahlawan keberanian, bukan seorang politis. Karena, pada permulaan masa kekhalifahannya, ia dapat melakukan perdamaian dengan unsur-unsur penentang (kekhalifahannya) untuk sementara waktu dan memuaskan mereka dengan pernjanjian damai tersebut. Dengan demikian, ia dapat memperkokoh kekhalifahannya dan setelah itu, memberantas mereka.”

Akan tetapi, mereka melupakan satu poin bahwa kekhalifahan Ali as adalah sebuah gerakan revolusi dan gerakan revolusi harus terjauhkan dari segala bentuk perjanjian damai (baca: sikap lunak, mudâhanah) dan affektasi (tazhâhur). Kondisi semacam ini juga pernah terjadi pada periode Bi’tsah Rasulullah saw. Berkali-kali orang-orang kafir dan musyrikin menawarkan perdamaian kepada beliau dengan syarat beliau tidak menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka dan mereka pun tidak akan menghalang-halangi dakwah beliau. Akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut. Padahal, dalam kondisi yang serba sulit itu, beliau dapat berdamai demi memperkokoh posisinya, dan setelah itu, baru beliau memberantas mereka secara keseluruhan. Pada dasarnya, dakwah Islami tidak pernah mengizinkan untuk menghidupkan sebuah kebenaran, sebuah kebenaran yang lain terbunuh atau memberantas sebuah kebatilan dengan kebatilan yang lain. Dan sangat banyak sekali ayat Al-Qur’an yang telah menegaskan masalah ini.[12]

Ketika para penentang Ali as, dalam menggapai kemenangan dan mencapai tujuan mereka, telah melakukan segala jenis kejahatan, kriminalitas, dan pelecehan terhadap hukum-hukum Islam yang jelas tanpa pengecualian, serta mencuci setiap kotoran dengan dalih bahwa mereka adalah para sahabat dan mujtahid, tetapi Ali as tetap teguh memegang hukum-hukum Islam.

Dari Ali as, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, religius, dan sosial tercatat  hampir sebelas ribu hikmah pendek,[13] dan ia telah menjelaskan pengetahuan Islam[14] dalam pidato-pidatonya dengan dialek yang paling indah dan penjelasan yang paling mudah dicerna.[15] Ia telah mencetuskan ilmu Tata Bahasa Arab dan meletakkan pondasi ilmu Sastra Bahasa Arab. Ia adalah orang pertama dalam Islam yang menyelami lautan ilmu filsafat Islam.[16] Ia berbicara dengan metode argumentasi bebas dan logik. Ia telah menjelaskan pembahasan-pembahasan (filosofis) yang hingga masa itu belum mendapatkan perhatian para filsuf dunia. Dan dalam hal ini, ia begitu serius menanganinya hingga di tengah-tengah berkobarnya api peperangan sekalipun, ia tetap siap mengetengahkan pembahasan ilmiah.[17]

c. Ia telah berhasil mendidik banyak tokoh agama dan ilmuwan Islam[18] yang sebagian dari mereka terdapat orang-orang zâhid dan ‘ârif, seperti Uwais al-Qarani, Kuamil bin Ziyad, Maitsam at-Tammar, dan Rusyaid al-Hajari. Mereka adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, teologi, tafsir, dan qirâ’ah.


[1] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 154.
[2] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 155; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 364.
[3] Nahjul Balaghah, Pidato no. 15.
[4] Setelah Rasulullah saw wafat, sedikit sekali sahabat—karena mengikuti jejak Ali as—yang menolak untuk membai’at (Khalifah Pertama). Yang menjadi pelopor mereka adalah Salman al-Farisi, Miqdad, dan Ammar bin Yasir. Di permulaan Ali as menjadi khalifah, juga sedikit sahabat yang menentang kekhalifahannya. Di antara para penentang yang sangat getol adalah Sa’id bin ‘Ash, Walid bin ‘Uqbah, Marwan bin Hakam, ‘Amr bin ‘Ash, Busr bin Arthat, Samurah bin Jundub, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lainnya.
Menelaah biografi kedua golongan tersebut dan merenungkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan dan kisah-kisah yang berhasil dicatat oleh sejarah tentang mereka dapat menjelaskan kepribadian religius dan tujuan mereka masing-masing secara gamblang.
Golongan pertama adalah para sahabat istimewa Rasulullah saw, zahid, ‘abid, orang yang rela berkorban, peneriak kebebasan Islam, dan orang-orang yang dicintai oleh beliau secara khusus. Rasulullah saw bersabda, “Allah memberitahukan kepadaku bahwa Ia mencintai empat orang dan Ia juga memerintahkanku untuk mencintai mereka.” Para sahabat bertanya tentang nama-nama mereka. Beliau bersabda tiga kali, “Ali!” Setelah itu, beliau menyebutkan nama Abu Dzar, Salman, dan Miqdad. Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 66.
‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Ketika Ammar ditawarkan dua perkara, pasti ia akan memilih salah satunya yang benar dan lebih memiliki petunjuk.’” Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 66.
Rasulullah saw bersabda, “Tiada seorang pun di bumi dan di langit yang lebih jujur dari Abu Dzar.” Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal.68.
Selama hidup, tidak satu pun tindakan yang bertentangan dengan syariat dinukil dari mereka. Mereka tidak pernah menumpahkan darah yang tidak bersalah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta orang lain, atau menyesatkan masyarakat.
Akan tetapi, lembaran sejarah penuh dengan tindakan menjijikkan dan kejahatan-kejahatan golongan kedua. Darah-darah tak bersalah yang telah mereka tumpahkan, harta Muslimin yang telah mereka rampas, dan tindakan-tindakan memalukan yang telah mereka lakukan tidak dapat dihitung dan semua itu tidak dapat dijustifikasi kecuali dengan justifikasi yang dilakukan oleh sebagian orang bahwa Allah telah ridha atas mereka dan mereka bebas melakukan setiap kriminalitas, serta hukum-hukum Islam yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw hanya disyariatkan untuk orang lain.
[5] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 362; Nahjul Balaghah, Pidato no. 122; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 160; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 180.
[6] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 172; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 366.
[7] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152.
[8] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 154; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 171.
[9] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152.
[10] Ketika Khalifah ‘Utsman dikepung oleh para pemberontak, ia meminta bala bantuan kepada Mu‘awiyah via sepucuk surat. Mu‘awiyah mempersiapkan dua belas ribu bala tentara yang bersenjata lengkap dan berangkat menuju ke Madinah. Akan tetapi, ia memerintahkan supaya seluruh bala tentara berhenti di perbatasan Syam. Ia sendiri datang menghadap Khalifah dan melaporkan kesiapan bala tentaranya. ‘Utsman menyergah, “Kau sengaja memerintahkan bala tentaramu berhenti di situ hingga aku terbunuh. Kemudian, engkau akan bangkit dengan dalih menuntut darahku.” Silakan rujuk Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152, Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 25, dan Târîkh ath-Thabari, hal. 402.
[11] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 415.
[12] Silakan Anda merujuk asbâbun nuzûl ayat-ayat berikut ini:
a. “Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka [seraya berkata], ‘Pergilah kamu dan tetaplah [menyembah] tuhan-tuhanmu ….’” (QS. Shad [38]: 6)
b. “Dan jika Kami tidak memperkuat [hati]mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 74)
c. “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka akan bersikap lunak [pula kepadamu].” (QS. al-Qalam [68]: 9)
[13] Al-Amidi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim. Begitu juga di bagian-bagian terpisah dalam buku-buku referensi hadis.
[14] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 431; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 181.
[15] As-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir fi an-Nahw, jilid 2; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 6.
[16] Silakan Anda merujuk ke Nahjul Balaghah.
[17] Ketika perang Jamal sedang berkecamuk, seorang Arab datang kepada Ali as seraya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Engkau berpendapat bahwa Allah adalah Maha Esa?” Orang-orang yang hadir di situ memarahinya seraya berkata, “Wahai orang Arab! Apakah engkau tidak melihat kelelahan dan ketidakkonsentrasian Ali sehingga engkau masih mau mengajukan pembahasan ilmiah?” Ali as berkata kepada mereka, “Biarkanlah ia. Karena, dalam perang melawan kaum ini, aku tidak memiliki tujuan lain kecuali kejelasan keyakinan yang benar dan pengetahuan-pengetahuan Islam.” Setelah berkata demikian, ia menjawab pertanyaan orang Arab itu dengan terinci. Silakan rujuk Bihâr al-Anwâr, jilid 2, hal. 65.
[18] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 6-9.

Khutbah Singkat Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah


“Inilah Khutbah Singkat Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Setelah Peristiwa Tahkim”

Segala puji hanya bagi Allah, walaupun waktu telah membawa (bagi kita) petaka yang meremukkan dan kejadian yang besar. Dan saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan tak ada bersama-Nya sesuatu selain Dia Sendiri, dan Muhammad (saw) adalah hamba dan pesuruh-Nya.

‘Amma ba’du, sesungguhnya orang yang durhaka kepada penasihat yang penuh belas kasih, yang berpengetahuan dan pengalaman, menimbulkan kekecewaan dan mengakibatkan penyesalan. Saya telah memberikan kepada Anda perintah-perintah saya tentang tahkim itu, telah saya sampaikan ke hadapan Anda pandangan saya yang tersembunyi. Saya berhasrat kiranya pandangan Qashir[2] telah diterima; tetapi Anda menolaknya seperti lawan yang kasar dan pemberontak yang durhaka sampai si penasihat sendiri jatuh dalam keraguan tentang nasihatnya dan latu api (kecerdasannya) berhenti memberi nyala api. Sebagai akibatnya, kedudukan saya dan kedudukan Anda menjadi seperti yang dikatakan si penyair Bani Hawazin,

Kuberikan perintahku di Mun’arajil-Liwa,
Tetapi tidak kaulihat baiknya nasihatku,
Hingga menjelang tengah hari berikutnya (ketika sudah terlambat)
.[3]

Catatan Kaki:

[1] Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakam seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya. Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.

Melihat Al-Qur’an dijadikan alat siasat licik, Amirul Mukminin mengatakan, “Wahai, manusia. Janganlah kamu terjebak dalam penipuan dan kelicikan ini. Mereka menggunakan rancangan ini untuk mengelakkan aibnya kekalahan. Saya mengenal watak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Al-Qur’an dan tidak bertindak menurut perintah Al-Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru berhenti setelah mengalahkan musuh yang sedang sekarat.” Namun, siasat licik kebatilan telah bekerja. Orang-orang itu mengambil sikap membangkang dan memberontak. Mis’ar ibn Fadaki at-Tamimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, masing-masing dengan pasukan sebesar 20.000 orang, menghadapi Amirul Mukminin seraya berkata, “Hai, ‘Ali. Apabila Anda tidak menyambut seruan Al-Qur’an, kami akan memperlakukan Anda seperti kami memperlakukan ‘Utsman. Segeralah akhiri pertempuran, dan tunduklah kepada keputusan Al-Qur’an.”

Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah berdiri di hadapan mereka berjubahkan mashaf Al-Qru’an. la tidak mengizinkan mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran. Karena terpaksa, Amirul Mukminin mengirim Yazid ibn Hanf’ memanggil Malik.

Ketika Malik mendengar perintah ini, ia menjadi bingung, seraya berkata, ‘Tolong katakan kepadanya, ini bukan saat untuk meninggalkan posisi. la bolch menunggu sebentar saat saya menghadapnya dengan berita kemenangan.” Ibn Hani’ menyampaikan pesan itu sekembalinya, tetapi orang-orang berteriak bahwa tentulah Amirul Mukminin telah menyampaikan pesan rahasia kepadanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa tak ada kesempatan baginya untuk menyampaikan suatu pesan rahasia. Segala yang dikatakannya dilakukan di hadapan mereka.

Orang-orang itu mengatakan bahwa Ibn Hani’ harus diutus lagi, dan apabila Malik menunda kedatangannya maka Amirul Mukminin akan kehilangan nyawa. Amirul Mukminin menyuruh lagi Ibn Hani dan menyampaikan pesan bahwa telah terjadi pemberontakan; ia harus kembali dalam keadaan bagaimanapun. Maka Ibn Hani’ pergi lagi lalu mengatakan kepada Malik, “Apakah Anda lebih mencintai kemenangan atau nyawa Amirul Mukminin? Kalau nyawanya lebih Anda cintai, Anda harus melepaskan tangan dari pertempuran lalu pergi kepadanya.” Dengan meninggalkan kesempatan untuk menang, Malik berangkat menghadap Amirul Mukminin dengan sedih dan kecewa. Kekacauan pun berkecamuk. la membantah orang-orang itu dengan sangatnya, tetapi mereka tak dapat diperbaiki lagi.

Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam supaya mereka menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, “Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-’ kurangnya sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa se-bagai hakam. la bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhir-nya mengatakan, “Nah, lakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”

Setelah pengangkatan hakam, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abt Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”

Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakam memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan, rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.

Ketika tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakam itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn ‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia duduk.

Sekarang giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya. Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia pada kedudukan itu.”

Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn ‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau muati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn “‘Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah Mu’awiah dikuatkan kembali.

Inilah ringkasan riwayat Tahkim yang dasarnya dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah. Tetapi, apakah itu kepulusan Al-Qur’an, ataukah itu hasil tipu daya licik yang selalu digunakan manusia duniawi untuk mempertahankan kekuasaan mereka? Dapatkah lembaran-lembaran sejarah ini dijadikan obor penyuluh bagi masa depan? Pantaskah Al-Qur’an dan sunah digunakan sebagai alat untuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi?

Ketika Amirul Mukminin mendapatkan berita tentang hasil yang menyedih-kan ini, ia naik ke mimbar dan mengucapkan khotbah, yang setiap patah katanya merupakan kesedihan dan kesusahan dan pada saat yang sama menyinarkan pikir-an sehatnya, kebenaran pandangannya dan kearifannya yang menjangkau jauh.

[2] Ini peribahasa yang digunakan bilamana nasihat seseorang dilolak, kemudian disesali. Dasar kenyataannya ialah sebagai berikut. Penguasa al-Hirah, yakni Jadzimah al-Abrasy, membunuh penguasa al-Jazirah yang bernama ‘Amr ibn Zharib, lalu putrinya az-Zabba’ dijadikan penguasa Jaztrah itu. Segera setelah az-Zabba’ naik tahta, ia menyusun rencana untuk menuntut balas atas darah ayahnya. la mengirim pesan kepada Jadzimah bahwa ia tak dapat mengurus negaranya sendirian dan bahwa apabila ia dapat menjadi teman pelindungnya dengan jalan menerima-nya sebagai istri maka ia akan bersyukur. Jadzimah merasa amat sangat bangga atas lamaran ini, lalu bersiap-siap untuk ke Jazirah dengan seribu orang berkuda. Budaknya, Qashir, menasihatinya sungguh-sungguh bahwa itu hanya suatu tipuan dan siasat, dan supaya ia jangan menjerumuskan diri ke dalam bahaya. Tetapi, pikirannya telah begitu tertutup sehingga ia tak dapat memikirkan mengapa az-Zabba’ sampai memilih pembunuh ayahnya sebagai teman hidupnya. Bagaimana-pun, ia berangkat. Ketika ia sampai di perbatasan Jazirah, tentara az-Zabba’ hadir untuk menyambutnya, namun az-Zabba’ sendiri tidak memberikan sambutan khusus atau ucapan hangat selamat datang. Melihat keadaan itu, Qashir merasa curiga lagi lalu menasihati Jadzimah untuk kembali, namun semakin dekat ke tujuan scmakin terbakar nafsunya. la tidak mempedulikan nasihat itu, dan melangkah lebih jauh memasuki kota. Segera setelah tiba di sana, ia dibunuh. Ketika Qashir melihat ini, ia mengatakan, “Andaikan nasihat Qashir diikuti!” Sejak itu peribahasa ini berlaku.

[3] Penyair Bani Hawazin ialah Duraid ibn ash-Shimmah. la menulis syair ini setelah saudaranya, ‘Abdullah ibn ash-Shimmah, meninggal. Dasar faktanya ialah bahwa ‘Abdullah bersama saudaranya memimpin serangan terhadap dua kelompok Bani Jusyam dan Bant Nashr, keduanya dari suku Hawazin, dan melarikan banyak unta. Waktu kembali, ketika mereka hendak beristirahat di Mun’arajil-Liwa, Duraid mengatakan tak bijaksana untuk berhenti di situ karena mungkin musuh menyerang dari belakang, tetapi ‘Abdullah tak setuju, lalu berhenti di sana. Akibatnya, begitu mulai malam, musuh menyerang dan membunuh ‘Abdullah di situ. Duraid juga luka, tetapi ia berhasil lolos. Sesudah itulah ia menulis beberapa syair, dalam salah satu di antaranya ia merujuk kehancuran sebagai akibat penolakan terhadap nasihatnya.