Label

Kumandang Azan Senjakala


Di masa-masa ketika angin ujung senja tak pernah sekalipun tidak datang ke pintu-pintu rumah kami, adzan berkumandang dalam cuaca basah. Pada saat itu, burung-burung telah bersembunyi di dahan-dahan, ranting-ranting atau di sarang-sarang mereka. Sedemikian akrabnya kami dengan adzan yang seakan memecahkan keheningan itu, kami juga jadi terbiasa berdoa dengan hasrat di hati kami masing-masing, yang kami tak pernah akan saling mengetahuinya satu sama lain. Namun yang pasti, kami sulit membedakan antara pasrah, berdoa atau berusaha bersikap sebagaimana layaknya orang-orang yang telah demikian akrab dengan kepolosan. Dan kini, ternyata, saya akan menyebutnya sebagai kecerdasan jiwa kami yang tidak diajarkan di perguruan-perguruan tinggi di kota-kota besar saat ini.

Bersamaan adzan yang berkumandang dari sebuah speaker yang menggunakan tenaga accu di ujung senja itulah sebenarnya kami tengah belajar berkali-kali merenungi dan memahami waktu, meski saya belum menyadarinya ketika itu.

Mungkin saja ketika itu bukan hanya kami yang berdoa, tetapi burung-burung yang sama-sama menahan dingin selepas hujan seperti kami. Tapi itu hanya rekaan saya sebagai seorang kanak-kanak yang terjebak antara rasa bosan dan keheningan yang tak kami mengerti. Itulah sebenarnya saat-saat kami tengah mengakrabi musik yang samar-samar, dengan sejumlah komposisi yang tengah dimainkan angin, daun-daun basah, burung-burung dan yang lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Sebab di sana, para katak dan para serangga turut serta menjadi para penyanyi yang meramaikan dan menjelma pentas orkhestra keheningan ketika itu. Kumandang adzan di ujung senja hanyalah overture-nya.

Saya akan menamai mereka semua sebagai keriangan yang tengah bertasbih dan memuji lembab. Juga, saya akan menamai mereka sebagai konsierto menjelang tidur, sebab mereka terus saja memainkan musik dan bernyanyi hingga menjelang tengah malam. Sementara itu, sesekali angin mempermainkan daun-daun hingga menjelma desau yang mengirimkan hembusan lembut ke arah jendela dan pintu-pintu rumah kami. Saya juga akan menamainya sebagai moment of compassion. Dengan musik-musik itulah jiwa kami menjadi cerdas dan jujur pada hidup, bukan dari khotbah-khotbah seperti sekarang ini. Tentu saja, ada banyak nama untuk itu semua, tapi saya akan lebih suka menyebutnya praying in solitude.

Dalam keheningan seperti itulah, kami sebenarnya tengah belajar bagaimana berdoa dengan tulus. Itu, tentu saja, jauh berbeda dengan khotbah-khotbah modern dan politis sekarang ini, yang telah mengaburkan batas individual jiwa, bahwa hati kami masing-masing ketika itu sebenarnya tetap tak terselami sebagai manusia yang mempercayai sesuatu yang kudus dan adikodrati. Namun, kepercayaan itulah yang membuat kami, orang-orang desa, menjadi manusia-manusia yang memiliki kesabaran dan tidak pernah berputus asa meski dalam kesahajaan kami yang serba terbatas. Saya akan menamainya sebagai kekuatan dan kecerdasan jiwa. Dan pada saat itulah, ada yang berubah dan ada yang tetap dan tidak berubah. (Sulaiman Djaya


Burung-Burung Januari


Bagi banyak orang, Januari tentu saja adalah bulan keriangan, terutama bagi mereka yang menyambut dan merayakannya. Tapi itu tidak sama dengan kami. Sejujurnya kami tak pernah tahu bila ada orang-orang yang menyalakan kembang api di tengah malam di ujung bulan Desember. Saya hanya tahu bahwa di saat saya terbangun pagi-pagi sekali di awal bulan itu, saya hanya keluar sejenak.

Mungkin ketika itu saya terpesona, meski masih seorang kanak-kanak, saat tangan-tangan fajar menyentuh rumput dan daun-daun yang masih basah karena embun. Menyentuh hidup.

Itulah saat-saat saya sungguh-sungguh terjaga, entah saya duduk atau berdiri kala itu. Mengelanakan kedua mata ke arah cuaca. Sementara, ketika saya telah menjadi seorang lelaki remaja, di pagi-pagi seperti itu saya akan menyeduh segelas kopi dari bubuk kopi buatan Ibu, agar sedikit merasa nyaman saat duduk di gubuk, menunggu burung-burung Januari yang kami khawatirkan akan datang menyerbu.

Pada saat-saat seperti itulah, saya sadar bahwa ada yang tengah termenung, ada yang begitu riang berlarian seperti kanak-kanak yang bahagia. Juga, ada yang tengah merapihkan diri dan ada yang bermain-main saja. Tetapi itu semua saya namakan sebagai tangan-tangan fajar yang riang bermain dan bercanda dengan burung-burung awal bulan Januari yang basah dan lembab saat saya tengah terduduk di sebuah gubuk tempat saya termenung dan menunggu.

Itulah keriangan Januari yang kami pahami dan kami alami. Keriangan yang juga datang ketika kami meninggalkan tahun sebelumnya, meski saya kira, ketika itu segala sesuatunya masih tetap sama dan tidak berubah. Kami masih menjalani hidup dengan menginjakkan kaki-kaki kami di lumpur dan meremas batang-batang padi ketika memukul-mukulkan ujung-ujung pohonnya yang bergelantungan bijian-bijian berwarna kuning pada sebuah alat yang kami sebut gelebotan. Setelahnya, seperti biasa, ada keheningan senjakala.

Burung-burung Januari saat itu, seperti sebuah karnaval yang melintasi bentangan kanvas-kanvas langit dan cakrawala yang berwarna kuning dan merah. Di hari-hari yang lain, bila kami telah selesai membantu orang tua-orang tua kami itu, kami akan bermain layang-layang hingga adzan magrib berkumandang. Dan pada malam harinya, selepas sembahyang magrib itu, kami akan membawa lampu minyak milik kami masing-masing menuju sebuah langgar tempat kami belajar al Qur’an kepada ustadz kami yang terbilang galak.

Seperti itulah rutinitas kami sebagai kanak-kanak sebelum akhirnya saya belajar dan mengerjakan tugas sekolah di rumah, juga bertemankan semungil nyala lampu minyak yang telah dinyalakan Ibu. Tidak seperti sekarang ini, musik-musik malam saya ketika itu adalah desau angin yang datang dari ranting-ranting dan sela-sela dedaunan sepanjang sungai, juga para katak dan serangga yang tak bosan-bosan memainkan orkhestra mereka. (Sulaiman Djaya


Kunang-Kunang Khayalan


Saya tak sepenuhnya mengerti apa yang saya sebut sebagai ingatan. Tetapi, dengan keterserakannya, dengan potongan-potongan dan serpihan-serpihannya, mereka justru memberikan kesempatan dan kebebasan pada seseorang untuk mengumpulkannya dan merangkainya menjadi sebuah narasi yang tidak mesti sama dengan peristiwa-peristiwa sesungguhnya. Saya tergoda menyebutnya sebagai historiografi angan-angan. Karena mereka semua tak lebih sejumlah jejak yang samar. Ketika sebuah tulisan yang ingin menceritakannya tak ubahnya warna-warna pada sebuah kanvas.

Historiografi angan-angan dituliskan dan digambar dari keakraban kita dengan cuaca, angin, cahaya, tanah, dan sudut-sudut langit yang pernah kita tinggali dan kita akrabi dengan bathin kita. Seperti ketika Giovanni Segantini menggambar dan melukis Saint Moritz. Di mana ia menumpahkan kerinduan dan kesepian bathinnya sebagai seorang lelaki. Atau, katakanlah, ingatan itu seperti ketika seseorang memandangi warna-warna dan figur-figur yang tercerai-berai di sudut-sudut kanvas, sobekan-sobekan cahaya yang justru memberi kesempatan pada kita untuk menyusun dan menambalnya dengan angan-angan kita sendiri.

Tetapi saya, kadang akan memahaminya seperti seorang perempuan belia yang merendam separuh tubuhnya di sebuah sungai pada waktu senja.

Entah ini tercela ataukah tidak, kadang-kadang saya mengumpamakan salah-satu pengalaman di masa kanak-kanak seperti salah-satu figur dalam lukisan impresionistik, di mana ketika saya menuliskannya tidak berarti saya menulis tentang diri saya sendiri, melainkan tentang ingatan itu sendiri. Atau biarlah saya umpamakan ingatan itu seperti sebuah samar figur di antara desir angin dan gemerisik lembut dedaunan. Atau seperti seorang bocah yang berjalan telanjang kaki sendirian di bawah barisan rindang pepohononan senjahari. Seorang bocah yang menyusuri setapak jalan sepanjang aliran sungai.

Tetapi yang pasti, di waktu-waktu sorehari di 20 tahunan silam, saya suka sekali memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan saya tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan.

Pada saat-saat seperti itu, mereka seakan-akan asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca. Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan. Dingin yang tentu saja meresap pada bulu-bulu mereka. Dan saya sendiri, ketika itu, duduk di bawah rimbun pepohonan bambu pinggir sungai kecil yang airnya mengaliri sawah-sawah.

Anggaplah ketika itu, saya memang sudah jatuh cinta pada kebisuan dan kesenduan alam, yang pada akhirnya menggambar dan melukis kesenduan hidup itu sendiri. Kebisuan dan kesenduan yang memberi kedamaian yang aneh. Kedamaian yang merupakan keheningan musim yang basah dengan gerak-gerak yang samar dalam pandangan kedua mata saya sendiri sebagai seorang bocah yang hendak beranjak menjadi lelaki remaja.

Tentulah di saat-saat seperti itu, matahari sudah merasa terlambat untuk menampakkan diri. Di saat malam datang lebih awal. Kesunyian-kesunyian seperti itu pada akhirnya sangat berpengaruh pada keadaan bathin. Keadaan bathin yang mudah tersulut oleh kondisi-kondisi yang mendorong saya untuk mencipta dunia-dunia khayalan.

Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dan saya sendiri, bila dilihat dari sudut pandang orang lain lagi, merupakan salah-satu figurnya. Katakanlah saya telah bersatu, atau paling tidak, telah menjadi bagian dari mereka. Sebagai seseorang yang turut mengambil bagian dalam keheningan itu sendiri.

Konon, kecendrungan-kecendrungan seperti itu sebenarnya merupakan salah-satu bentuk keterasingan dan pelarian karena kecewa dan rasa tak puas. Atau karena amarah yang terpendam. Amarah yang menyamarkan dirinya untuk menggandrungi keindahan. Semacam kegilaan yang lembut. Dan kalau pun ya, saya takkan menganggapnya sebagai persoalan atau pun masalah yang perlu disikapi dengan serius. Sebab jika pun itu semua benar, saya akan mengakuinya. Saya akan menerimanya sebagai sesuatu yang mungkin saja malah akan memberikan kebaikan-kebaikan tak terduga.

Dalam cuaca seperti itu, saya pun sebenarnya tak hanya memandangi capung-capung yang saya umpamakan sebagai para peri mungil yang tengah bergembira. Sesekali saya pun melihat juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang. Sementara itu, di malam hari, bila saya keluar dari rumah untuk memandangi bintang-bintang di langit, saya akan bertemu dengan kunang-kunang. Saya sangat mengagumi tubuh-tubuh mereka yang seperti lampu-lampu kecil yang bergerak dan beterbangan.

Namun sekarang, di saat saya telah menjadi seorang lelaki dewasa, saya hampir tak pernah melihat kunang-kunang masa kanak dan masa remaja saya itu. Kadang-kadang, ada kerinduan dalam hati yang terasa sangat kuat sekali untuk bisa kembali melihat mereka, binatang-binatang ciptaan Tuhan yang menurut saya sendiri termasuk dalam golongan binatang-binatang kecil paling indah. Makhluk-makhluk yang sampai saat ini saya golongkan sebagai makhluk-makhluk keluarga para peri mungil bersama dengan kupu-kupu dan para capung itu. (Sulaiman Djaya


Kenangan Tanah Kelahiran


Di masa kanak-kanak, tanah kelahiranku tak ubahnya butir-butir gerimis di sebuah senja yang agak malas, dan sebentang jalan yang berapitan dengan sebatang sungai yang dipenuhi barisan pohon-pohon rindang, yang ketika itu tak ada mobil-mobil yang melintas seperti sekarang ini, lebih mirip sebuah terowongan panjang yang sunyi dan menerjemahkan dirinya sebagai rasa damai yang bosan dan lelah, entah karena apa. Dan ketika kedua mataku memandang ke atas, akan kulihat beberapa kawanan burung melintas, seolah mereka hendak mengunjungi musim yang lain atau sekedar mencari dan menziarahi kemungkinan. Sementara itu, di pagi hari, cahaya matahari harus mampu menembus susunan daun-daun, ranting-ranting, dan dahan-dahan agar bisa menyentuh jalan, itu pun jika mendung tak kembali berkunjung, dan karenanya matahari pun tiba-tiba ingin kembali tertidur. Butir-butir gerimis itu, seperti telah kuibaratkan pada sebentang kanvas itu, akan menjelma bintik-bintik samar di antara hembusan udara.

Di waktu-waktu malam selepas hujan, dan tentu saja lebih sunyi, akan kudengar anjing-anjing menyalak dalam kegelapan. Mereka berkeliaran di jalan-jalan, sementara ibuku membaca al Qur’an selepas sembahyang menjelang jam sembilan, sebelum akhirnya terlelap di saat aku masih terjaga dan tercenung di meja belajar ketika aku sedang malas mengerjakan tugas sekolah. Tak ada jazz atau puisi ketika itu, sebab cita-citaku saat itu adalah menjadi ilmuwan seperti Isaac Newton dan Albert Einstein. Pastilah hal itu karena kegemaranku membaca buku-buku tentang para penemu dan ilmuwan yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.

Setidak-tidaknya, kegemaranku itu tetap berjalan hingga ketika aku duduk di sekolah menengah pertamaku, di waktu-waktu aku harus berjalan kaki di saat fajar, dan sesekali menumpang mobil bak pengangkut pasir yang lewat di saat pulang. Dan sekarang, ketika aku telah menjadi seorang lelaki berusia puluhan tahun dan terbukti tidak menjadi seorang ilmuwan seperti yang kucita-citakan di masa kanak-kanak itu, semua yang telah kukatakan itu tak lebih masa silam yang samar, yang seperti juga telah kuandaikan, tak ubahnya lukisan buram pada sebentang kanvas yang tak lagi terawat. Juga, tak ada lagi lampu-lampu minyak dengan asapnya yang menghitamkan bilah-bilah bambu penyangga genting-genting rumah.

Di waktu-waktu itu, masih kuingat setiap usai sembahyang subuh di setiap hari Senin dan Kamis di pinggir jalan di depan rumah, beberapa pengrajin perabotan rumahtangga, yang membuat barang-barang kerajinan mereka dari bambu dan pohon-pohon pandan, akan berkumpul untuk menjajakan barang-barang kerajinan mereka kepada orang-orang yang kemudian akan menjualnya kembali di pasar, atau kepada orang-orang yang akan bersedia menjajakannya ke kampung-kampung tetangga.

Sekarang, aku dapat melihat lampu-lampu sebuah pabrik kertas lewat pintu ruang bacaku yang memang sengaja selalu kubuka ketika aku menulis dan membaca. Tak ada lagi hutan belukar dan rawa-rawa yang tak jauh dari setapak pematang tempatku dulu dan teman-temanku mencari jangkerik atau berburu belalang dan menerbangkan layang-layang. Sebab tempat itu kini telah digantikan dua cerobong asap raksasa. Ratusan sawah di sekitarnya pun telah disulap menjadi danau-danau buatan untuk memenuhi energi mesin-mesin dan kebutuhan yang lain bagi pabrik kertas itu. Namun dulu, ketikaku masih kanak-kanak, tempat itu cukup angker dan menjadi sarang bagi sejumlah binatang melata, semisal ular, dan rimbun pepohonannya merupakan rumah dan persinggahan sejumlah burung, yang di waktu pagi atau pun senja akan berkerumun atau berpencaran di rawa-rawa mereka untuk mencari makan.

Suara-suara mesin pabrik kertas itu bahkan terdengar dari ruang tempatku menulis dan membaca dan akan semakin terdengar jelas di waktu malam. Bersamaan dengan kehadiran pabrik kertas itu, dan juga bersamaan dengan ketika pohon-pohon rindang sepanjang jalan dan sungai telah digantikan tiang-tiang beton yang menjadi penghubung bentangan kawat-kawat listrik, tak ada lagi hening kegelapan yang panjang dan tak ada lagi cerita-cerita dan kabar-kabar tentang mayat seseorang yang tergeletak di tepi sungai Ciujung akibat sabetan golok beberapa oknum penjagal.

Tepat pada saat itulah, dunia yang sangat berbeda hadir dengan gagah perkasa dan banyak orang-orang yang mulai menyekolahkan anak-anak mereka ketika mereka sadar bahwa bila anak-anak mereka ingin bekerja sebagai karyawan atau karyawati, anak-anak mereka harus memiliki ijazah sekolah.

Sejak itulah, pelan-pelan tapi pasti, terutama anak-anak muda, tak lagi berpikir untuk tetap menjadi petani, seperti ketika aku membantu almarhumah ibuku bekerja memotong batang-batang padi dengan menggunakan pisau melengkung mirip celurit yang kami sebut arit. Sebab, setelah mereka lulus sekolah menengah, mereka akan langsung melamar untuk bekerja di sejumlah pabrik ketimbang memilih untuk menjadi petani seperti orangtua-orangtua mereka yang lugu dan sederhana. Sementara itu, di sudut-sudut rumah kami, nyala-nyala lampu minyak telah digantikan sejumlah neon dan bohlam yang tampak lebih riang. Meski kehadiran lampu-lampu neon dan bohlam itu harus dibayar oleh beberapa orang dengan cara menjual sawah mereka ke pihak perusahaan. Dan sejak itu pulalah, adzan panggilan sembahyang dikumandangkan dengan menggunakan pengeras suara. (Sulaiman Djaya