Label

Puisi-puisi di Harian Indo Pos Edisi 27 September 2014




Jendela

Ada sebuah pintu yang terbuat dari udara:
daun-daun dan gerimis adalah kesepian
yang teramat kagum pada lampu.

Kau tahu, tahun-tahun telah mencipta batu
ketika hujan baru saja beranjak
dari gugusan rambutmu.

Di sebentang pematang, di siang yang reda
yang menyimpan jejak kaki ibuku
ada lagu perkutut dan masa-lalu

yang jadi sajakku. Di dinding rumah,
ketika kau sedang sibuk belajar membaca
ada barisan pigura dan almanak

menafsir bisu pada angka 27.
Ketika aku berdo’a dengan kata-kata
yang paling lemah, sadarlah aku

yang paling rimbun ketimbang tahun-tahun
adalah sepasukan maut yang menjelma embun,
menjelma waktu dan sebaris rindu.

(2014)


Lampu

Aku masuki malam yang selembut parasmu
dan aku adalah kata-kata yang berdiam
di buku-buku. Di salah-satu ceritanya
ada kanak-kanak yang selalu berusaha

mengekalkan kenangan dengan seutas benang
bagi layang-layang yang khusuk membaca
langit merah sekedarnya. Aku adalah hujan
yang ingin sekali berkunjung ke rumahmu

dengan langkah-langkah sepi seperti puisi.
Ketika senja yang kausuka masih basah,
maut dan cinta adalah perumpamaan
sekian rahasia perabot-perabot rumahtangga

yang ditinggalkan ibunda. Tetapi,
sebelum lembab malam menyelinap
di sebalik pigura, aku suka sekali
menyimak srigunting dan riuh para gelatik

sebelum sunyi magrib jadi lengkap
bersama dingin angin bulan april.
Tiup, tiuplah sayang, dengan nafasmu itu
jika kau sudah mengantuk

seperti sebaris lagu di meja bacaku.
Sebab aku pun adalah juga embun
di hening sabtu yang serimbun dua matamu
dan rindu telah lama jadi waktu.

(2014)


Sungai

Kebahagiaan tumbuh dengan sabar
seperti rumput disusu embun.
Lumut adalah perumpamaan usiaku
dan Tuhan kita sama, duhai sahabat,

meski acapkali kita berbeda paham.
Setiap hari kita berebut peran
sebagai Samiri yang pandai
dan sesekali sebagai Zakaria

yang ragu saat ayat difirmankan.
Benarkah, oh Tuhan, sebab hamba
bukan manusia yang tanpa cela
dan terbebas dari lupa.

Dan di Hira sang Rasul pun bertanya:
apa yang harus kubaca?
Aku pun bertanya, apa yang kaucari
duh penyair? Di jaman hingar bingar iklan

dan waktu yang hancur
di kotak-kotak televisi. Tak ada lagi
nubuat seperti bagi Musa di Tursina
atau mukjizat bagi Isa

di Lembah Jordan. Mulut kita kadang
tak lagi suci
saat meneriakkan asma-asma Tuhan
yang kudus dan sunyi.

Kebahagiaan barangkali, duh sahabat,
ada dalam dusta kita masing-masing.
Dan biarlah asma-asma Tuhan
hadir dalam sepi, seperti sajak ini.

(2014)

Sulaiman Djaya 



Sejarah Penyimpangan Islam –Bagian Terakhir


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari

Kezuhudan Cermin Kekuatan Jiwa

Islam merupakan pendukung kekuatan –kekuatan jiwa dan ekonomi. Islam merupakan pendukung kekuatan jiwa. Dengan demikian, sebagai orang muslim, Anda harus kokoh dari segi akhlak dan moral. Anda tidak boleh memfokuskan diri pada materi. Anda tidak boleh menjadi hamba sahaya serta tawanan materi. Betapa agung ucapan Amirul Mukminin: “Kezuhudan semuanya terletak di antara dua kata dalam al-Quran.”[22] Imam Ali as menafsirkan kezuhudan dari sisi kekuatan jiwa dengan mengatakan: ” Allah menjelaskan dalam al-Quran: ‘(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”[23] Saat Anda secara spiritual telah mencapai kedudukan ini, yakni Anda dianugerahi seluruh ihwal kehidupan duniawi, Anda tidak serta merta menjadi budak hawa nafsu. Dan apabila seluruh ihwal kehidupan duniawi direngut, Anda tidak merasa kalah dan frustasi. Dalam kondisi seperti ini, Anda disebut sebagai orang yang zuhud. Islam mendukung dua jenis kekuatan –kekuatan yang berhubungan dengan kezuhudan dan keduniawian. Jiwa kita harus tegar sehingga tidak diperbudak oleh harta dan kekayaan dunia. Dari perspektif ekonomi, kita harus bekerja keras untuk mencari harta dan kekayaan. Namun upaya tersebut harus didasari oleh tuntunan syari’at sehingga kita bisa benar-benar memanfaatkan kekuatan materi dan ekonomi.

Ketika mengetahui bahwa Islam mendukung kekuatan tersebut (moral dan ekonomi), Anda bisa melihat bahwa sesungguhnya kita tergolong orang-orang zuhud yang mendukung sekaligus memiliki kelemahan (terhadap kedua faktor tersebut, —peny.). Apabila kita menjadi orang zuhud yang senantiasa menjauh dari ekonomi dan kekayaan, itu artinya kita lebih memilih kelemahan. Masyarakat yang tidak memiliki kekayaan, tidak akan mampu melaksanakan tugas-tugas ekonomi dan harus mengulurkan tangan untuk mengemis kepada orang lain. Kita juga mempunyai kelemahan dari sisi moralitas. Sebab, pada saat mendidik diri untuk menjauh dari harta dan kehidupan dunia, kita menyangka bahwa diri kita sudah menjadi zuhud. Namun, tatkala kehidupan dunia menghampiri mereka, kita akan saksikan bagaimana mereka mengabaikan nilai-nilai kezuhudan. Kita menyadari bahwa kita tidak memiliki kemampuan dari segi ruhani maupun ekonomi. Jadi, kezuhudan dalam Islam merupakan kekuatan dan kemampuan jiwa. Dengan kekuatan dan kemampuan tersebut, harta, kekayaan, dan segala hal yang bersifat duniawi, tidak akan berbahaya jika berada dalam genggaman Anda. Bahkan semua itu akan menjadi kekuatan Anda.

Beberapa ulama pernah mengunjungi Imam Ja’far dan menentang pendapat beliau. Padahal, mereka sesungguhnya tidak memahami filsafat kezuhudan. Mereka mendengar bahwa Imam Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang zuhud pada jamannya. Mereka menyangka Imam Ali mendukung orang yang hidup dengan berpakaian compang-camping dan memakan roti kering. Mereka tidak memahami filsafat memakan roti kering. Imam Ja’far kemudian memberi penjelasan sampai mereka memahami filsafatnya. Mengapa Imam Ali hidup zuhud? Sebabnya, beliau ingin menjadi manusia. Imam Ali bukan orang zuhud yang hanya duduk-duduk di sudut ruangan. Beliau bahkan menganggap pengucilan diri bukan sebuah kezuhudan.

Dalam kehidupannya, Imam Ali as senantiasa berbaur dengan masyarakat dan melakukan berbagai kegiatan sosial serta memproduksi kekayaan melebihi siapa pun. Namun, beliau tidak menggenggam kekayaan tersebut di telapak tangannya. Beliau mengumpulkan harta, namun tidak menyimpannya. Pekerjaan produktif manakah yang tidak dikerjakan Imam Ali pada masa itu? Beliau melakukan perniagaan, bercocok tanam, berkebun, menanam pohon, dan menggali lubang. Beliau juga ahli dalam bidang kemiliteran. Namun pada waktu yang bersamaan, beliau merupakan orang yang zuhud. Imam Ali pernah bekerja di kebun-kebun kota Madinah milik ahli kitab dan non-muslim. Beliau bekerja, membantu, dan memperoleh gaji dari mereka. Kemudian beliau menukar upah yang didapatkan dengan roti. Terkadang beliau membawa gandum dan tepung ke rumahnya. Kemudian Sayyidah Fathimah sendiri yang menggiling gandum tersebut dan memasaknya. Mereka pernah didatangi orang-orang yang membutuhkan, yakni orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Imam Ali as merupakan pribadi yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya. Tanpa pikir panjang lagi, beliau akan segera memberikan santapannya. Seperti inilah kezuhudan Imam Ali. Orang zuhud seperti inilah yang harus Anda jumpai.

Dalam kezuhudannya, Imam Ali senantiasa menyertakan dirinya dalam kedukaan (orang lain, —peny.). Menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) merupakan keadaan yang manusiawi. Kendati memperoleh gaji negara, namun beliau tidak memanfaatkan semuanya demi memenuhi kepentingan pribadi. Beliau hanya mengambil sedikit haknya dari baitul mal (kas negara). Meskipun demikian, beliau tetap merasa puas. Ketika makan, beliau tidak sudi perutnya berada dalam keadaan kenyang. Mengapa? Karena jiwa, hati, dan nuraninya tidak mengizinkan beliau untuk berbuat demikian. Beliau berkata:“Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah lantaran perut yang lapar dan dahaga? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,

Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat mermdukan kulit kering.”

Beliau tidak hanya memperhatikan para tetangga, namun juga keseluruhan umat manusia. Dalam hal ini, beliau sering mengatakan: “Dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang bagus-bagus, sementara di Hijaz atau di Yamamah (dekat Teluk Persia), mungkin ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang.” Inilah pengertian zuhud yang sesungguhnya. Apabila Anda menjumpai orang seperti ini, maka kemanusiaan akan bangga terhadapnya. Bukan seperti kezuhudan yang kita jalani –kezuhudan yang mati dan tak bergerak serta menganggap diri sendiri sebagai zuhud. Kezuhudan bukanlah seperti ini. Kezuhudan (sejati) identik dengan kezuhudan Imam Ali as. “Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut yang lapar dan haus? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,

Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat merindukan kulit kering.

Kita harus menjalani kezuhudan sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah SAWW. Meskipun berada di senja usianya, Rasulullah tetap memiliki kekuatan dan hatinya tetap hidup. Beliau orang yang lebih mengutamakan orang lain dan memiliki sifat pemaaf. Dikarenakan itulah, diturunkan ayat yang khusus diperuntukkan bagi beliau. Ayat tersebut berbunyi: “Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”[24] (Maksud ayat tersebut, “janganlah kamu terlampau kikir, dan jangan pula terlampau pemurah, —pent.). Pada suatu ketika, Rasulullah tidak datang (ke masjid) di waktu shalat. Setelah itu diketahui bahwa tatkala waktu shalat akan tiba, seseorang yang tidak mengenakan pakaian mendatangi rumah beliau SAWW. Saat itu, Nabi SAWW tidak memiliki apapun kecuali baju kasar yang melekat di tubuhnya. Namun, beliau tetap memberikannya kepada orang tersebut. Dikarenakan itulah, Nabi menjadi berhalangan untuk datang ke masjid. Inilah bentuk kezuhudan dan kemanusiaan.

Rasulullah menyuruh seseorang membeli baju untuk beliau. Orang itu kemudian membeli baju yang cukup bagus seharga dua belas dirham. Setelah itu, ia segera kembali. Rasulullah SAWW memandang ke arah orang tersebut seraya mengatakan: “Saya lebih puas mengenakan pakaian yang lebih murah dari ini.” Kemudian Rasulullah sendiri yang pergi menukarkan kembali pakaian tersebut dengan yang lebih murah. Di tengah jalan, beliau menjumpai seorang budak perempuan kecil yang sedang menangis. Kemudian Rasul menghampirinya dan berkata: “Mengapa kamu menangis?” Gadis kecil itu menjawab: “Saya telah menghilangkan uang majikan saya.” Rasulullah segera memberinya empat dirham, lalu pergi. Dengan uang sebanyak empat dirham, Rasulullah membeli dua buah baju yang salah satunya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Dalam perjalanan pulang, Rasulullah melihat budak perempuan kecil tadi masih duduk dan menangis. Rasulullah kembali bertanya: “Mengapa kamu masih menangis?” Dia menjawab: “Karena terlambat, saya tidak berani pulang ke rumah, mereka pasti akan memukuli saya.” Beliau berkata: “Saya akan mengantarmu pulang.” Setelah gadis kecil tersebut menunjuk pintu sebuah rumah, Rasulullah mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum, wahai penghuni rumah.” Kebiasaan Rasulullah ketika hendak masuk rumah orang lain adalah mengucapkan salam (ini juga merupakan perintah al-Quran yang melarang masuk ke rumah tanpa izin). Sebagimana sikap kita (orang-orang Iran, —pent.) yang senantiasa mengucapkan: “Ya Allah.” Ucapan tersebut merupakan zikir. Alangkah baiknya jika ingin memberi tahu orang lain, kita mengucapakan kata “ya Ilahi”.

Rasulullah kemudian mengeraskan ucapan salamnya. Mendengar suara Nabi, hati penghuni rumah tersebut berdebar-debar. Rasulullah kembali mengucapkan salam, namun penghuni rumah tidak juga menjawabnya. Sampai pada salam yang ketiga, akhirnya mereka menjawab: “Wa’alaikassalam ya Rasulullah. Silahkan masuk.” Rasulullah bertanya: “Apakah kalian tidak mendengar salam pertama saya?” Mereka menjawab: “Ya, kami mendengar, namun kami ingin Anda mengulangi ucapan salam, karena hal itu memberi berkah kepada keluarga kami. Apabila kami menjawab salam pertama Anda, maka kami tidak akan mendapatkan (berkah) salam kedua dan ketiga. Karena kami tahu bahwa Anda akan mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dengan sengaja kami tidak menjawab salam Anda.” Rasulullah memasuki rumah tersebut seraya berkata: “Kedatangan saya ingin membantu gadis kecil yang datang terlambat ini. Semoga tidak merepotkan kalian.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, dikarenakan kedatanganmu, kami membebaskannya.” Rasulullah kembali berkata: “Segala puji bagi Allah, dengan dua belas dirham saya memberi pakaian orang yang telanjang dan membebaskan seorang budak!”

Inilah kezuhudan (yang sebenarnya). Inilah filsafat kezuhudan yang Islami, yang membuat hati, kemanusiaan, dan menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) menjadi hidup.

Catatan:  

[1] Al-Anfâl: 24.
[2] An-Najm: 39.
[3] Az-Zalzalah: 7-8.
[4] Jâmi’ al-Akhbâr, bab XVIII, hal.42; Al-Khishâl, hal.l78-119; Bihâr al-Anwâr, Jilid ke 69, hal. 64-73.
[5] Mafâtih al-Jinân, Bab Ziarah Imam Husain pada Idul Fitri dan Idul Adha.
[6] Al-Baqarah: 80.
[7] An-Nisâ’: 123.
[8] Hûd: 45.
[9] Ushûl al-Kâfî, Jilid IV, hal. 207.
[10] Asy-Syu’arâ`: 214.
[11] Bihâr al-Anwâr, Jilid 43, hal. 38, 54, 76, dan 80.
[12] Nahj Al-Balâghah, Faidh al-Islam, Hikmah ke-142, hal. 1160.
[13] Al-Anfâl: 24.
[14] Yâsîn: 70.
[15] Al-An’âm: 122.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Al-Anfâl: 24.
[19] Al-Baqarah: 255.
[20] Ibid.
[21] An-Najm: 39.
[22] Nahj al-Balâghah, “Faidhul Islam”, Hikmah ke-34, hal. 1291.
[23] Al-Hadîd: 23.
[24] Al-Isrâ`: 29.

Sejarah Penyimpangan Islam –Bagian Ketiga


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari

 Dinamisme dan Kejumudan

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[13] Salah satu persoalan yang disebutkan dalam al-Quran menyangkut topik kematian dan kehidupan. Masalah ini dalam semua tingkatannya dipaparkan dalam al-Quran untuk berbagai macam tujuan dan maksud. Seperti yang berkenaan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, juga manusia. Ini bukanlah pembahasan kehidupan secara umum, namun hanya berkenaan dengan jenis tertentu darinya yang kita sebut dengan kehidupan manusia. Sedangkan untuk bagian-bagian kehidupan lain tidak akan kita bahas, mengingat jenis kehidupan manusia lebih banyak diperhatikan oleh al-Quran.

Banyak orang yang beranggapan bahwa ketika jantung seseorang berdetak, urat syarafnya aktif, urat nadinya berdenyut, dan bisa bergerak, maka ia bisa dikatakan hidup. Dalam keadaan bagaimanakah seseorang dikatakan mati? Pada saat dokter meletakkan stetoskop di atas dadanya dan mengatakan bahwa jantungnya telah berhenti berdetak. Inilah anggapan kebanyakan orang mengenai kematian. Padahal, kehidupan seperti ini bukanlah kehidupan manusia yang sebenarnya. Kehidupan semacam itu tak jauh berbeda dengan kehidupan satwa pada umumnya (zendegi-e hewâni-e ensân). Manusia jelas harus memiliki pula kehidupan yang identik dengan kehidupan semua binatang. Umpamanya seekor anjing –kehidupannya tentu memiliki ciri-ciri semacam ini; memiliki jantung, urat syaraf, otot-otot, darah yang mengalir, dan anggota tubuh. Namun, al-Quran menerangkan pula adanya jenis kehidupan lain yang khas bagi manusia, yang berbeda dengan kehidupan dalam tingkat binatang. Menurut logika al-Quran, boleh jadi manusia hidup, berjalan di tengah-tengah masyarakat, jantungnya berdenyut, urat syarafnya bekerja, dan darahnya mengalir, namun pada waktu bersamaan (sesungguhnya) dia mati (mati dalam hidup, —pent.). Ungkapan ini berasal dari al-Quran. Dalam sebuah ayat difirmankan: “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)… .”[14]

Keberadaan masyarakat manusia terbagi menjadi dua bagian –masyarakat yang hidup dan yang mati. Al-Quran hanya akan memberikan pengaruhnya kepada orang-orang yang memiliki hati yang hidup. Adapun masyarakat manusia yang hatinya mati sama sekali tidak akan terpengaruh al-Quran. Lantas, apa sebenamya yang dimaksud dengan kematian dan kehidupan? Dalam ayat lain, al-Quran menjelaskan bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke dunia membawa fitrah ketuhanan. Fitrah tersebut adalah fitrah pencari kebenaran, pencari hakikat, dan rasa ingin tahu. Namun dalam diri sebagian orang, cahaya fitrah tersebut padam. Pada saat cahaya fitrah tersebut padam, manusia akan berubah menjadi makhluk yang mati. Bentuk jasmaninya memang masih hidup, namun ruhnya telah mati.

Dalam ungkapannya yang lain, al-Quran menyatakan bahwa orang-orang yang dalam dirinya terdapat kehidupan akan memiliki lahan jiwa (ruh) laksana padang rumput yang subur. Pada saat al-Quran ditanamkan di dalamnya, ia akan segera tumbuh dan berkembang. Sebelumnya, keberadaan jiwa ibarat tanah atau lahan yang siap ditanami, yang setelah itu berubah menjadi kebun yang rimbun dengan pohon-pohon, tanaman, bunga-bunga, serta berbagai macam tanaman lainnya. Ini sesuai dengan ungkapan al-Quran, yang salah satunya berbunyi: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan (dengan perantaraan al-Quran)?”[15] “…dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”[16] Sewaktu berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, ia akan memancarkan cahaya yang terang dan bergerak dalam sinarnya yang benderang. Apakah orang seperti ini “serupa dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali’kali tidak dapat keluar dari padanya?”[17]

Di bagian yang lain, terdapat ayat yang mengklasifikasikan keberadaan komunitas manusia ke dalam dua bagian –komunitas yang hidup dan yang mati. Ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Quran merupakan faktor kehidupan dan para Nabi merupakan muhyi (orang yang memberikan kehidupan). Ayat yang saya bawakan pada permulaan pembicaraan ini barangkali merupakan ayat yang paling jelas untuk menerangkan persoalan tersebut. Ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[18] Betapa ungkapan tersebut sangat indah, luar biasa, dan amat jelas pengertiannya! Ayat tersebut mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman dan yang membenarkan Nabi ini (Nabi Muhammad) serta ajarannya, penuhilah seruannya apabila dia menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.”

Islam merupakan ajaran yang memberikan kehidupan bagi umat manusia. Nabi Muhammad datang membawa kehidupan bagi kalian (umat manusia). Kini kalian tengah berada dalam kematian dan dalam keadaan tidak memahami diri kalian sendiri. Karenanya, tunduklah kalian pada dokter spiritual ini agar mengetahui bagaimana ia memberikan kehidupan kepada kalian. Apa arti kehidupan? Kehidupan memiliki arti penglihatan dan kemampuan. Pada titik inilah letak perbedaan kehidupan dan kematian. Setiap kali tingkat penglihatan dan kemampuan berubah menjadi lebih besar, maka kehidupan pun akan menjadi lebih besar. Mengapa kita menyebut Tuhan dengan nama Hayyun (Zat Yang Maha Hidup)? Seperti dalam ayat: “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya”[19] atau ayat yang berbunyi: “Dialah Zat Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati”.[20] Mengapa kita katakan Allah Maha Hidup? Apakah yang dimaksud dengannya adalah bahwa Tuhan memiliki jantung dan darah yang mengalir? Bukan, bukan seperti ini pengertian dari hidupnya Tuhan. Allah tidak memiliki jantung, urat, darah, dan tubuh.

Makna dan Syarat-syarat Kehidupan

Apakah yang dimaksud dengan hidup adalah bernafas dan menghirup udara? Semua itu bukanlah pengertian dari hidup –melainkan sebagai syarat-syaratnya. Arti hidup itu sendiri adalah penglihatan yang berarti pengetahuan dan kemampuan. Dari aspek inilah kita dapat katakan bahwa Allah Hayyun (Maha Hidup), Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa secara absolut. Kita menyebut Allah Maha Hidup yang memberikan kehidupan dari Zat-Nya yang Suci. Dia Maha Lembut, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan begitu, hidup identik dengan pengetahuan dan kemampuan. Ajaran Islam adalah ajaran pengetahuan dan kemampuan. Ajaran inilah yang telah diterapkan selama berabad-abad. Islam agama kehidupan. Dan agama kehidupan tidak identik dengan ketidaktahuan dan kelemahan.

Hal ini bisa dijadikan perbandingan untuk memahami Islam. Dalam pertemuan sebelumnya, (telah saya kemukakan) bahwa salah satu unsur kehidupan dalam pemikiran Islam adalah beramal. Islam mengharuskan seseorang untuk berusaha dan berupaya gigih. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa takdir manusia amat bergantung dari amal perbuatannya. Maksudnya, manusia bergantung pada dirinya sendiri. Islam mengatakan, wahai manusia, kebahagiaan kamu tergantung pada amal perbuatanmu, demikian pula dengan kesengsaraan kamu, juga bergantung kepadanya. Apakah perbuatan manusia bergantung pada sesuatu? Perbuatan manusia bergantung pada keinginan dan kehendaknya sendiri. Kesimpulannya, manusia adalah makhluk yang bergantung pada diri dan perbuatannya sendiri, yang darinya ia akan memiliki kepribadian sendiri. Apakah kalian berpikir al-Quran sekadar bergurau saat mengatakan: “Dan bahwasannya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”[21] Diri manusia sendirilah yang menjadi faktor penggerak, kebangkitan, penglihatan, dan kemampuan.

Rasa Percaya Diri

Pada masa sekarang, pakar pendidikan telah berusaha keras untuk menumbuhkan rasa percaya diri manusia. Rasa percaya diri yang ditumbuhkan Islam adalah menghilangkan harapan yang tidak berasal dari perbuatannya. Apabila seseorang hendak mewujudkan harapannya, ia harus mengusahakannya sendiri. Seperti inilah keterkaitan antara manusia dengan segala sesuatu maupun manusia lainnya. Keterkaitan itu terjadi melalui amal perbuatan. Anda tidak bisa menyatu dengan Imam Ali bin Abi Thalib as atau dengan Sayyidah Fathimah as kecuali melalui amal perbuatan. Maksudnya, Islam menutup semua pintu keterkaitan dan hubungan dengan Rasulullah SAWW dan Ahlul Baitnya, kecuali melalui pintu beramal. Saya teringat sebuah hadis Nabi yang pernah saya baca sekitar 17-18 tahun silam. Hadis tersebut membuat saya sangat terkesan. Saya benar-benar melihat kehidupan Nabi nampak sebagai sebuah gambaran kehidupan yang luar biasa –yang tak seorang pun memiliki gambaran kehidupan dan sisi-sisi keagungan seperti itu. Ketika seseorang berpikir dan melihat bagaimana orang yang buta huruf yang hidup dalam lingkungan jahiliyah bisa melontarkan berbagai kalimat yang sedemikian indah dalam hidupnya, tentu ia akan hanyut dalam kekaguman dan mengakui bahwa itu merupakan perbuatan yang luar biasa. Hadis ini telah saya ungkapkan pula dalam kitab Dastân-e Rastân (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Orang-orang Bijak, peny.). Dalam hadis tersebut dikatakan:

Pada suatu ketika, Nabi melakukan perjalanan bersama para sahabatnya (dalam riwayat tidak di sebutkan perjalanan yang mana). Setelah memasuki waktu Zhuhur, beliau memerintahkan kafilah untuk turun. Para sahabat kemudian turun dari tunggangannya, dan Nabi pun juga turun dari untanya. Beliau kemudian pergi menuju ke suatu arah. Para sahabat berpikir bahwa Nabi akan melakukan sesuatu. Semua sahabat segera turun dari tunggangan masing-masing. Setelah agak jauh dari untanya, para sahabat melihat Nabi kembali. Para sahabat menduga, Nabi tidak merasa cocok dengan tempat tersebut dan akan memerintahkan mereka pergi mencari tempat lain. Namun, tatkala kembali ke tunggangannya, Nabi tidak berbicara apapun kepada mereka. Para sahabat melihat Nabi membuka tempat perbekalannya yang menggantung di punggung untanya dan serta merta mengeluarkan seutas tali. Kemudian beliau mengikat untanya dan kembali menempuh arah sebelumnya. Para sahabat terheran-heran melihat Nabi kembali hanya untuk mengikat untanya. Padahal, itu merupakan pekerjaan yang sepele! Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jika kamu kembali hanya untuk melakukan pekerjaan ringan ini, mengapa engkau tidak menyuruh kami? (Mereka merupakan para sahabat setia yang apabila Rasulullah menyuruhnya menyeberangi lautan api, mereka pasti akan melakukannya. Kebanggaan mereka adalah menjalankan perintah Rasulullah). Mereka juga mengatakan: “Wahai Rasulullah, untuk pekerjaan remeh ini, mengapa engkau tidak memberikan perintah, padahal kami pasti akan melakukannya?” Beliau menjawab: “Hendaknya kalian jangan minta tolong orang lain dalam melakukan pekerjaan sekecil apapun meskipun hanya untuk mengambilkan sikat gigi (siwak).”

Lakukanlah pekerjaan yang bisa kalian lakukan dan jangan sampai menginginkan orang lain untuk melakukan pekerjaanmu. Lihat, betapa indahnya ungkapan tersebut! Jika kata-kata Nabi ini diucapkan di atas mimbar, tentu itu tidak akan menimbulkan pengaruh apa-apa. Beliau mengucapkan kalimat ini sambil mempraktikkannya. Tujuan saya menyampaikan ini adalah ingin mengingatkan bahwa salah satu pilar dari ajaran Islam adalah menghidupkan pemikiran Islam. Salah satunya adalah dengan beramal dan bergantung pada amal sendiri. Saya juga ingin menyampaikan materi yang berhubungan dengan moralitas serta beberapa dasar pendidikan Islam lainnya. Masalah pendidikan merupakan masalah yang sensitif dan rawan. Maksudnya, apabila masalah ini diajarkan dengan baik dan benar, maka akan timbul hasil yang sangat luar biasa. Namun jika sedikit saja terjadi penyimpangan –maka secara seratus persen, ia akan menimbulkan pengaruh yang sebaliknya. Sejauh yang saya telaah, khususnya dengan bersandar pada perspektif al-Quran, ternyata hampir sebagian besar pengajaran moral dan pendidikan Islam dilakukan secara terbalik dan menyimpang, sehingga berpengaruh besar terhadap pemikiran kaum muslimin dewasa ini.

Tawakal, Konsep Pemberi Hidup dan Semangat

Konsep tawakal merupakan konsep akhlak dan pendidikan Islam. Pada dasarnya, Islam menghendaki kaum muslimin untuk bertawakal kepada Allah. Jika Anda mengkaji masalah tawakal dalam al-Quran (saya senantiasa mencatat ayat al-Quran yang bicara tentang ketakwaan), maka Anda akan menjumpai keserasian yang luar biasa di dalamnya. Dalam al-Quran, konsep tawakal disebut sebagai konsep yang menganugerahkan hidup dan semangat kepada manusia. Setiap ayat yang memerintahkan manusia untuk beramal dan menghilangkan rasa takut, senantiasa dibarengi dengan ungkapan: “…jangan takut dan bertawakallah kepada Allah”. Bergantunglah kamu kepada Allah dan melangkah majulah ke depan. Bergantunglah pada Allah dan sampaikanlah kebenaran. Bergantunglah pada Allah dan janganlah gentar menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.

Jika Anda mempelajari konsep tawakal di tengah-tengah pemikiran kaum muslimin pada jaman modern ini, Anda akan menjumpainya sebagai konsep yang mati dan kering. Kita hanya mulai bertawakal tatkala kita menginginkan kehidupan yang tenang, tidak memiliki aktivitas, dan menjauhkan diri dari tanggung jawab. Padahal, konsep tawakal yang benar harus sesuai dengan apa yang diajarkan al-Quran. Saya harus diberi kesempatan untuk membacakan ayat-ayat tentang ketakwaan untuk Anda secara satu-persatu, serta membuktikan bahwa konsep tawakal dalam al-Quran merupakan konsep yang luar biasa. Konsep yang memberikan semangat dan kehidupan, yang merupakan manifestasi dari ayat di bawah ini: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” Terdapat konsep lain yang akan saya kemukakan pula pada pertemuan kali ini.

Pengertian Zuhud

Tidak ada istilah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud. Istilah tersebut hanya terdapat dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci.” Kendati tidak diragukan lagi bahwa inti pengertian dari zuhud juga terkandung dalam al-Quran. Namun, secara khusus, pengertian zuhud banyak disampaikan dalam berbagai ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Istilah zuhud telah sangat populer di kalangan kita. Namun, jika kita ingin mencari orang zuhud yang sesuai dengan kriteria hadis dan riwayat, tentunya kita akan sangat kesulitan. Yang kita jumpai dalam kenyataan malahan akan amat berbeda. Julukan zuhud acapkali dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan. Kadangkala, seseorang mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud. Namun, pada saat kita telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia hanya menjalani kezuhudan secara negatif. Artinya, ia termasuk orang yang hanya merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya. Karenanya, kita lantas mengatakan bahwa orang yang merasa puas dalam kehidupannya disebut sebagai orang zuhud. Padahal, pengertian zuhud yang sebenarnya bukanlah seperti ini.

Salah satu prasyarat kezuhudan adalah merasa puas dengan kehidupan pribadi yang dijalani dan dimilikinya. Pengertian semacam ini memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Namun, temyata tidak setiap orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya bisa disebut sebagai orang yang zuhud. Kezuhudan berkaitan erat dengan harta, materi, dan kedudukan duniawi. Jika Anda bertanya, apakah dalam pandangan Islam, keberadaan harta dan materi merupakan sesuatu yang baik atau buruk? Jawabannya jelas tergantung pada tujuan penggunaan harta dan materi? Kekayaan merupakan kekuasaan. Demikian juga dengan kedudukan. Apa tujuan dan maksud yang Anda inginkan dari kekuatan tersebut? Anda adalah anak Adam, hamba sahaya, dan tawanan hawa nafsu sendiri. Apakah kekuatan berupa harta dan materi akan Anda gunakan untuk memuaskan hawa nafsu pribadi? Jika Anda telah menjadi tawanan hawa nafsu, Anda akan diatur dan didikte olehnya. Anda akan menjadi rakus terhadap harta dan kekayaan. Anda juga akan menjadi seseorang yang gila pangkat dan kedudukan. Demikian seterusnya. Segala sesuatu yang digunakan semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan keburukan.

Namun, jika Anda mulai memperbaiki diri, tidak menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan egoisme dari dalam diri, memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang taat pada Tuhan, maka harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan Anda gunakan untuk tujuan suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika Anda menginginkan pangkat dan kedudukan demi maksud-maksud spiritual. Apa yang saya kemukakan ini bukanlah berasal dari pribadi saya sendiri, melainkan ungkapan dari Imam Ja’far Shadiq as. Pada masa Imam Ja’far Shadiq as, banyak bermunculan ulama zuhud yang bodoh. Mereka berdebat dengan Imam Ja’far as tentang masalah zuhud. (Imam Ja’far mengatakan): “Jika pengertian zuhud seperti yang kalian sampaikan, lantas bagaimana dengan Nabi Yusuf yang menurut al-Quran adalah Nabi dan hamba Allah yang shalih. Mengapa ketika terbukti tidak bersalah dan dikeluarkan dari penjara, Nabi Yusuf malah berkata kepada penguasa Mesir: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

Ternyata Nabi Yusuf menghendaki jabatan tinggi dalam pemerintahan. Beliau mengatakan: “Serahkanlah padaku seluruh pengaturan keuangan yang ada.” Mengapa al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf tersebut dan tidak menganggap tindakannya sebagai sebuah tabu? Lagi pula, mengapa al-Quran tidak menyatakan beliau sebagai orang yang rakus dunia? Semua ini dikarenakan Nabi Yusuf bukan penyembah materi. Sejak awal kehidupannya, beliau telah menjadi penyembah Allah, bukan seorang hedonis atau penyembah harta dunia. Segenap pangkat dan jabatan yang dikehendaki Nabi Yusuf as akan digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan religius. Dikarenakan menghendaki tujuan spiritual dan religius, maka apa yang beliau lakukan tidak bisa disebut dengan upaya mencari pemenuhan kepentingan duniawi. Sebaliknya, upaya beliau justru ditujukan untuk kepentingan eskatologis (ukhrawi atau keakhiratan).

Masalah Kedudukan Penguasa Zalim

Para ulama Islam mengatakan bahwa kedudukan (wilayah) penguasa zalim hukumnya haram. Seseorang yang hendak mengabdi pada pemerintah zalim sesungguhnya telah melakukan kejahatan dan dosa besar. Namun, apabila seseorang menerima kedudukan tersebut dengan tujuan menyelamatkan orang-orang tertindas, tentu itu bukanlah perbuatan dosa. Bahkan berdasarkan fatwa sebagian ulama, perbuatan tersebut tergolong mustahab (sunah). Lebih dari itu, menurut pendapat sebagian ulama lainnya, hukumnya malah wajib. Menerima kedudukan dari pemerintah zalim untuk mengabdi (pada masyarakat), menentang kezaliman, dan menyelamatkan orang-orang tertindas bukanlah perbuatan yang haram. Bahkan, sebagaimana tadi dikemukakan, menurut sebagian pendapat, mengupayakan hal tersebut hukumnya wajib atau mustahab. Demikian pula dengan kepemilikan harta kekayaan. Untuk tujuan apakah Anda mengumpulkan harta kekayaan? Apa tujuan Anda mencari kekuatan ini? Pada saat moralitas Anda sudah terbina, dan Anda membutuhkan hal itu demi mencapai tujuan spiritual yang mulia, Anda harus melakukannya! Jika tidak, berarti Anda telah berbuat dosa!