Label

Lampu Minyak



Di tahun 80-an, di mana ketika itu saya masih kanak-kanak, kami biasa menggunakan penerangan untuk rumah-rumah kami dengan menggunakan lampu-lampu minyak. Di keluarga saya sendiri, yang setiap hari melakukan tugas menyediakan lampu-lampu minyak untuk kami itu adalah ibu kami. Setiap menjelang malam, kira-kira beberapa menit sebelum adzan magrib berkumandang, ibu kami mulai mengisi tabung lampu-lampu minyak kami dengan minyak tanah atau minyak kelapa buatan ibu kami sendiri. Antara dua minggu atau satu bulan, karena saya tak lagi ingat dengan tepat, ibu kami juga akan mengganti sumbu lampu-lampu minyak yang terbuat dari kain-kain bekas itu.

Oleh Sulaiman Djaya

Lampu-lampu minyak itu, bila kami sedang menjalani malam-malam kami di musim hujan, harus bertarung dengan hembusan angin ketika hujan turun di waktu malam. Biasanya, ibu kami akan melindungi nyala-nyala apinya dengan menggunakan pelindung dari plastik yang dibuat oleh ibu kami sendiri.

Pada saat itu, saya yang tengah belajar di meja belajar saya, diberi anugerah untuk mendengarkan pecahan-pecahan hujan di halaman dan di genting-genting rumah. Mungkin, saat itu, saya membayangkan pecahan-pecahan hujan itu sebagai para peri yang tengah riang menari dan bernyanyi di hening malam.

Kadang-kadang, sebagaimana angan-angan saya merekonstruksinya saat ini, saya berhenti sejenak untuk sekedar menyimak suara-suara riuh angin dan gerak dedaunan yang diombang-ambing angin dan hujan. Sesekali saya juga membiarkan saja tetes air hujan yang menitik di ruangan saya, hingga ibu saya kecewa dengan sikap diam saya itu.

Di masa-masa itu, saya sendiri hanya boleh bermain dengan teman-teman saya sampai jam delapan malam saja. Berbeda dengan sekarang ini, ketika itu jam delapan malam sudah terasa sangat sunyi dan hening sekali. Apalagi dengan keberadaan pepohonan rindang sepanjang jalan dan sungai.

Sebagai seorang perempuan yang dihidupi oleh tradisi dan kepercayaan tradisional masyarakat kami, ibu kami yang mendekati puritan, terbilang seorang perempuan yang saleh dan sabar. Maklum, sebelum berhenti, ibu kami dikenal sebagai seorang guru ngaji bagi para perempuan dan ibu-ibu di kampung kami, bahkan di kampung tetangga. Tugas itu dilakukannya setelah selama beberapa tahun menjalani pendidikan keagamaan di pesantren tradisional di Cilegon, tepatnya di Cibeber, Cilegon, Banten.

Sementara itu, untuk saya sendiri, masa-masa itu adalah masa-masa ketika saya sedemikian akrabnya dengan kesunyian dan keheningan malam. Terlebih di bulan-bulan selama musim hujan, ketika hujan adakalanya turun di waktu subuh atau tengah malam. Sedemikian akrabnya dengan selampu minyak yang asap hitamnya menghitamkan bilahan-bilahan bambu penyangga genting-genting rumah kami.

Dan, bila hujan malam itu usai, kini giliran binatang-binatang malam, semisal para serangga dan katak, mengambil alih keheningan yang dingin itu dengan suara-suara riuh mereka. Namun anehnya, suara-suara mereka itu malah semakin menambah keheningan itu sendiri sedemikian nyata dan akrab. Bahkan, saya adakalanya membayangkan, suara-suara mereka tak ubahnya sebuah orkestrasi yang tengah digelar di sebuah tempat yang jauh, meski mereka hanya beberapa meter jaraknya dari belakang rumah. Suara-suara konser yang datang dari pematang-pematang kegelapan malam itu sendiri. Tanpa sadar, saya dan nyala mungil selampu minyak di meja belajar ternyata sama-sama tengah saling merenungi diamnya waktu kala itu. Waktu, yang saat ini, saya pahami sebagai keabadian itu sendiri.

Waktu, Sains, dan Puisi




Oleh Sulaiman Djaya (esais dan penyair)

Kebanyakan orang, biasanya, terjebak dalam definisi mekanik ketika mereka “memahami” waktu. Misalnya, waktu dipahami sebagai “jam”. Karena itu, seringkali imajinasi dan pikiran orang terpenjara oleh definisi-definisi mekanis tersebut. Padahal, “waktu” tidak-lah mekanik, acapkali lebih bersifat batin dan puitis.

Di sini, barangkali kita pun bertanya: mungkinkah waktu didefinisikan? Jawabannya antara ya dan tidak. Para fisikawan, misalnya, menyatakan bahwa keberadaan waktu bersifat “relasional” dalam jagat ini, dan bila waktu dipahami atau dimengerti sebagai durasi, hal itu pun akan berbeda di setiap tempat, seperti waktu di bumi tidaklah sama dengan waktu di angkasa sana. Al-Qur’an yang suci menegaskan:

“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung” (al Haj: 47). “Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima-puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij 70: 3-4).

Kita bisa bayangkan, berdasarkan penegasan al-Qur’an yang suci itu, satu hari di suatu kawasan di angkasa sana, yang kita belum tahu di mana itu, sama dengan lima-puluh ribu tahun di bumi, di planet biru-hijau di mana kita hidup, berada, mengalami rasa-senang, kesedihan, jatuh cinta, putus-asa, atau marah. Sementara itu, di bumi sendiri, pengalaman dan pemahaman kita akan waktu tergantung pada aspek fisik dan psikis (bathin) kita. Misalnya, waktu terasa berjalan lambat (lama) ketika kita menderita dan terasa berjalan cepat ketika kita sedang mengalami kesenangan.

Penerimaan dan pengalaman kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang sakit dan ketika sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu mekanis yang sifatnya birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat dari mesin, dan ada waktu psikis (batin) yang dialami secara unik dan berbeda oleh masing-masing kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang sifatnya subjektif dan individual.

Ada waktu yang dihitung dan ada waktu yang dilupakan dan dikenang. Kita tahu bahwa sehari-semalam adalah 24 jam secara mekanis, bahwa satu tahun adalah 12 bulan berdasarkan kalkulasi almanak, tapi ada waktu yang “di-ingat” dan “dikenang” oleh kita, meski hal itu kita sebut masa silam atau ingatan. Waktu seperti inilah yang ada dalam musik, dalam nada-nada, dalam roman, atau dalam gubahan-gubahan sajak, yang senantiasa dibaca dan dibaca lagi, meski digubah dan ditulis di masa-masa yang lampau.

Dalam arti ini, waktu bukanlah sesuatu yang dihitung secara mekanik dan matematik, tetapi yang tetap dan tidak bergerak ke mana-mana. Sebab yang bergerak secara bergiliran hanyalah rotasi siang-malam dan putaran jarum-jarum jam dan hitungan angka-angka di saat waktu itu sendiri adalah “diam”.

Dalam fiksi-fiksi sains, contohnya, semisal yang ditulis oleh H.G. Wells dan Jules Verne, diceritakan dan digambarkan bagaimana seorang insinyur dan ilmuwan membuat dan menciptakan “mesin waktu” yang akan membuat kita si pengguna dan pengendaranya bisa kembali ke masa silam sekaligus bisa ke masa depan –membelakangi sekaligus mendahului waktu yang pergi dan datang, agar kita bisa memperbaiki kesalahan dan kekeliruan di masa silam sekaligus sanggup “mendahului” waktu yang akan datang.

Tentu saja hal itu merupakan sebuah alegori ketika manusia ingin “menekuk” dan “melipat” waktu, sekaligus ingin menjadi “penguasa” masa silam dan masa depan. Ingin menjadi makhluk super cerdas yang sanggup melawan hukum fisika atau “takdir kosmik” yang menjadi “hukum pasti” yang tak bisa “dibengkokkan” dan “dirubah” oleh kita.

Tentang waktu yang ingin ditaklukkan oleh H.G. Wells dan Jules Verne itu, Alfred Lord Tennyson pun berdendang: “Kuarungi masa depan, sejauh mata manusia memandang, melihat visi dunia, dan segala keajaiban yang mungkin terjadi”, yang mengingatkan kita kepada anekdot sains yang dikutip oleh Lawrence M. Krauss dalam Fisika Star Treknya: “Suatu ketika hiduplah seorang wanita bernama Bright –dan ia berkelana melampaui kecepatan cahaya. Suatu hari ia berangkat, dengan kecepatan relatif terhadap waktu, dan kembali pada malam sebelum keberangkatan”.

Singkatnya, waktu adalah juga imajinasi. Dan salah-seorang fisikawan yang dikenal memiliki imajinasi yang kuat itu adalah Albert Einstein, hingga Lawrence M. Krauss, sang penulis Fisika Star Trek itu pernah berseloroh: “Sama seperti para pengarang, ia tak berbekal apa pun selain imajinasi”. Dalam hal inilah, sains dan sastra, sebagai contohnya, sama-sama dimungkinkan oleh rahim yang sama, yaitu imajinasi. Dan memang, Einstein pernah terus-terang berujar, “Imajinasi itu lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan. Imu pengetahuan itu terbatas, sedangkan imajinasi mengelilingi dunia”.

Pelita Ilmu Imam Ja’far as Shadiq


(Dipetik dari kitab “Shahifah as Shadiqiyyah” Imam Ja’far as Shadiq)

Ilmu adalah landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan. Imam Ali (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Carilah ilmu meskipun engkau harus pergi ke negeri Cina.” Dan ilmu yang dimaksud oleh Imam Ali (semoga kedamaian tercurah atasnya) adalah ilmu spiritual atau ma’rifat tentang jiwa manusia, yang didalamnya tersimpan hakikat pengetahuan tentang Tuhan. Sang Nabi suci, Muhammad (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenali Tuhannya.” Namun meskipun begitu, kalian semua harus tahu bahwa sekedar memperoleh pengetahuan saja tanpa ada pengamalan tidaklah dibenarkan, disamping itu diperlukan keikhlasan dalam mengamalkan ilmu. Sang Nabi suci, Muhammad (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) dalam munajatnya bersabda, “Yaa Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” Kita semua berlindung dari ilmu yang tidak disertai pengamalan serta dari amal yang tidak disertai keikhlasan.

Ketahuilah wahai murid-murid yang aku kasihi, ilmu yang sedikit akan menuntut pengamalan yang banyak, karena ilmu ukhrawi (spiritual) menuntut seseorang untuk beramal sepanjang hidupnya. Nabiyullah Isa (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Pada sebuah batu aku lihat ada tulisan yang berbunyi “Balikkanlah aku” maka aku membalikkan batu itu. Dibalik batu tersebut tertulis “Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya dia akan menyesal, dan ilmu itu akan berbalik menuntutnya.”

Allah SWT Berfirman kepada Nabi Daud (semoga kedamaian tercurah atasnya), “Balasan yang Aku timpakan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih berat daripada tujuh puluh siksaan batin, yakni Aku akan mencabut kenikmatan berdzikir dari hatinya.” Ketahuilah, tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan ilmu, dan ilmu adalah perhiasan manusia di alam dunia ini serta kendaraan yang akan membawanya ke surga, kemudian jika seorang manusia memperoleh hakikat ilmu maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keridhaan-Nya kepada orang itu.

Orang yang mengetahui hakikat ilmu adalah dia yang amal shalehnya, kesucian munajatnya, kejujurannya, serta ketaqwaannya yang berbicara. Bukan orang yang hanya berbicara melalui mulutnya, pandai berdebat, pintar berdiskusi, atau orang yang mengeluarkan pengakuan-pengakuan. Sebelum masa sekarang ini, para penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya, orang-orang yang shaleh, bijaksana, rendah hati, dan senantiasa waspada. Namun yang kita saksikan pada masa sekarang ini, para penuntut ilmu tidaklah memiliki karakter-karakter tersebut.

Orang yang berilmu membutuhkan kecerdasan, keramahan, kesetiaan, kefasihan, kasih sayang, kesabaran, kesederhanaan, serta totalitas. Sementara itu orang yang belajar membutuhkan hasrat yang tulus terhadap ilmu, cita-cita yang luhur, pengorbanan (waktu, biaya dan energi) keshalehan, kewaspadaan, daya ingat, dan keteguhan hati.

Nasihat Spiritual Imam Ja’far as Shadiq

Ketahuilah, tidak ada rangkaian berkah dan manfaat yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan rangkaian berkah dan manfaat yang akan tercurah kepada hamba yang menundukkan pandangannya. Hal ini terjadi jika sang hamba memelihara agar pandangannya tidak tertuju kepada sesuatu yang diharamkan serta tidak disukai Allah, kecuali jika tajalli keagungan dan keindahan telah bersemayam dihati hamba. (Maksud Imam adalah jika seorang hamba yang hatinya telah dirahmati oleh Allah, maka meskipun pandangannya tertuju kepada hal-hal yang tidak baik niscaya hal itu tidak akan mempengaruhi kondisi batin sang hamba. Atau hamba itu melihat sesuatu yang haram dengan tujuan untuk memperbaikinya. Misalnya saja jika seorang hamba melihat perempuan yang membuka auratnya, namun hamba itu tidak tergoda malahan memberikan nasihat kepada si perempuan itu yang dengan rahmat Allah perempuan itu akan menjadi sadar).

Pemimpin kaum beriman, Imam Ali bin Abi Thalib (Semoga kedamaian tercurah kepadanya) pernah ditanya apakah hal yang dapat membantu kita memelihara pandangan, kemudian beliau berkata “Memohon bantuan sambil menghinakan diri ke haribaan Dia Yang mengetahui segala rahasiamu yang baik maupun yang buruk, serta senantiasa mengawasimu.” Ketahuilah, sesungguhnya mata adalah pengawas hati dan utusan akal, oleh karena itu peliharalah pandanganmu dari segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keimananmu, segala sesuatu yang tidak disukai hatimu karena dapat merusaknya (hati), serta hal yang ditolak oleh akal karena dapat mengganggu.

Sang Nabi suci (Semoga kedamaian tercurah atasnya dan kepada keluarganya) bersabda, “Tundukkan (pelihara) pandanganmu, niscaya engkau akan menyaksikan keajaiban-keajaiban spiritual.” Allah Ta’ala Berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” (Qur’an surah an Nur ayat 30). Nabiyullah ‘Isa (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata kepada para pengikutnya, “Berhati-hatilah kalian dari memandang hal-hal yang dilarang, karena hal itu adalah benih-benih syahwat dan dapat menumbuhkan pohon kefasikan.” Nabiyullah Yahya (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Lebih baik aku mati daripada terlena dalam menyaksikan hal-hal yang buruk.” Sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang yang matanya terbelalak ketika menjenguk seorang perempuan yang sedang sakit, “Lebih baik engkau kehilangan matamu daripada melihat seorang perempuan sakit dengan penuh syahwat.”

Setiap kali seseorang memandang hal-hal yang dilarang, maka pada saat itu hasrat buruk terikat dihati dan mengotorinya. Ikatan itu hanya bisa diputuskan oleh dua sebab, yang pertama adalah tangis penyesalan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh, atau yang kedua adalah menyadari kesalahan perbuatannya dan menebusnya dengan amal baik. Dan jika orang itu tidak sungguh-sungguh menyadari dan menebus perbuatan buruknya, maka tempat kembalinya adalah neraka. Sedangkan bagi mereka yang bertaubat dengan sungguh-sungguh maka balasannya adalah dimasukkan kedalam taman kebahagiaan, di tempat yang diridhai oleh Allah SWT.

Nasihat  Spiritual Imam Ja’far as Shadiq

Barangsiapa yang menjaga hatinya dari kelalaian dalam berdzikir, melindungi dirinya dari jerat syahwat, serta menjaga akalnya dari penyimpangan, dia akan dikelompokkan kedalam golongan mereka yang hidup hatinya. Kemudian bagi mereka yang menjaga diri dari memanfaatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi, yang memelihara keimanannya dari bid’ah-bid’ah yang merusak, serta memelihara hartanya dari sesuatu yang haram, maka dirinya akan dikelompokkan kedalam golongan orang-orang yang shaleh.

Rasulullah (semoga kedamaian tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap laki-laki dan perempuan yang beriman.” Ketahuilah bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadits itu yang paling utama adalah ma’rifat an nafs (ilmu pengetahuan tentang hakikat diri manusia), ilmu yang membawa manusia agar dapat bersyukur kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu sangatlah penting bagi semua manusia, agar dalam setiap kondisi hidupnya senantiasa memanjatkan puji syukur ke Hadhirat Ilahi dan memohon ampunan dari kelalaiannya dalam bersyukur.

Dan ketahuilah jika Allah menerima syukur seorang hamba maka itu berarti Dia berkenan melimpahkan karunia-Nya kepada sang hamba. Namun jika syukur seorang hamba ditolak, maka hal itu berarti Allah berkehendak untuk menampakkan sifat Maha Adil (agar sang hamba berusaha lebih keras lagi untuk dapat bersyukur). Setiap orang harus menyadari pentingnya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah dan mengungkapkan rasa syukur, serta bersungguh-sungguh dalam menjaga diri dari melakukan dosa, serta menjauhi penyebab-penyebab kemaksiatan.

Untuk mencapai kondisi seperti itu, dasarnya adalah engkau harus menyadari kemudian mengungkapkan kebutuhan serta kebergantunganmu secara total kepada Allah Ta’ala, bahwa engkau membutuhkan perhatian Allah, dan bahwa ketaatan kepada Allah adalah kebutuhanmu. Dan kunci dari semuanya itu adalah pemasrahan dirimu kepada Allah, menghapuskan angan-angan dan khayalanmu dengan banyak mengingat kematian, serta menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap saat sesungguhnya engkau sedang berdiri dihadapan Yang Maha Perkasa. Dengan melakukan hal ini engkau akan terbebaskan dari jerat-jerat syahwatmu, engkau akan terselamatkan dari musuh-musuhmu, dan jiwamu akan dianugerahi kedamaian. Hakikat dari ketulusan dalam beribadah adalah suatu harmoni yang selaras (antara hati, ucapan, dan perilaku), dan tangga menuju kemerdekaan spiritual adalah engkau mensikapi hidupmu seakan-akan ini adalah hari terakhir yang engkau jalani.

Rasulullah (semoga kedamaian tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah sesaat. Maka jalanilah hidupmu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Gerbang kepada kebebasan spiritual ini adalah senantiasa berkhalwat menjauhkan diri dari keduniawian, serta bertafakur secara terus-menerus melakukan perenungan mengenai kesementaraan dunia ini. Adapun inti dari khalwat adalah merasa cukup dengan apa yang telah engkau terima, dan meninggalkan hal-hal yang tidak memiliki manfaat bagi jiwamu. Sedangkan hakikat dari tafakur adalah mengosongkan diri dari hasrat dan keinginan rendahmu, yang merupakan tiang dari kezuhudan. Sempurnanya zuhud adalah ketaqwaan, dan gerbang dari ketaqwaan adalah rasa takut kepada Allah, yang dibuktikan dengan banyak mengagungkan Allah Ta’ala, istiqamah menaati-Nya dengan tulus, serta merasa takut dan waspada agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang.

Ketahuilah semua maqam spiritual ini hanya dapat dilalui jika dirimu dibimbing oleh ilmu (memiliki seorang pembimbing spiritual), Allah Yang Maha Besar Berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang berilmu.” (Qur’an surah Fathir ayat 28)