Label

Amsal Menara Babel, dari Bible hingga Sufisme



Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2001)

Kala itu, orang-orang Babilonia mendirikan sebuah menara –alias tower dalam bahasa sekarang, atas perintah Namrud, yang kalau bisa menara tersebut sanggup mendekati langit. Akan tetapi Tuhan (meski ada yang mempercayai kehancuran menara ini hanya mitos), menghancurkan menara tersebut, setidak-tidaknya demikian lah versi Al-Kitab –yaitu Kitab Kejadian alias Genesis. Tetapi Jacques Derrida punya tafsir sendiri terkait hal ini.

Dalam buku Des Tours de Babel, Derrida pun bertanya: Apa sebenarnya yang dimaksud “Babel” –secara linguistik? Kepada siapa “Babel” ini merujuk –atau siapa yang dirujuk dan menjadi referensi? Nah, saat itulah Derrida teringat Voltaire yang pernah mengkaji makna Babel, di mana kata “Babel” terdiri dari dua kata: Ba artinya ayah dalam bahasa China, sementara Bel artinya Tuhan. Para leluhur Voltaire memberi nama Babel pada setiap ibu kota mereka. Di balik nama itu, tersimpan harapan agar kota-kota itu menjadi kota yang aman, makmur, sejahtera, dan bahagia –karena selalu dilindungi Tuhan. Namun, dalam konteks menara Babel, ternyata Tuhan menghancurkannya.

Dalam wawasan Jacques Derrida, contohnya, ketika Tuhan menghancurkan menara Babel, pada saat itulah Tuhan telah melakukan detotalisasi dan dekonstruksi, dan hasil dari detotalisasi itu tak lain adalah kebingungan, yang adalah juga kehendak manusia untuk melakukan homogenisasi merupakan tindak kekerasan atas keberlainan. Karena itulah kata Babel menurut Michel de Montaigne (sang esais masyhur yang nyeleneh itu) berarti kebingungan, hingga seorang Ayn al Qudat Hamadani pun menulis: “My heart was tumultuous a sea with no shore, in it was drowned all the ends and all the beginnings”. Dan juga seperti yang dinyatakan Ibn Araby: “O Lord, increase my perplexity concerning Thee”.

Haruslah diakui, ada paradoks dalam teologi bila dipahami secara verbal, seperti Tuhan adalah sang penunjuk (al haadi) sekaligus sang penyesat (al mudhillu), yang bila meminjam wawasannya Derrida merupakan differance dan disseminasi, yang tak lain adalah: “endlessly opens up a snag in writing that can no longer be mended” [Ian Almond 2002:515-537].

Dalam pandangan Derrida, peristiwa kehancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan perspektif tentang heterogenitas dunia dan hidup, di mana pada saat yang sama adalah kehancuran otoritas. Pada moment tersebut, “Tuhan” mendekonstruksi dan mendisseminasi dirinya sendiri. Persoalan tersebut sedikit-banyaknya memiliki kemiripan dengan penggalan ayat Kitab Si Pengkhotbah:

“Segala perkataan tak mencukupi, tak seorang jua pun sanggup mengatakannya. Dengan tiada sangguplah manusia menyelami permulaan dan penghabisan, demikian juga pengertian akan keabadian dalam hati mereka. Sebab samalah nasib manusia dan binatang, berakhir pada kematian.

Ayat-ayat tersebut menyuguhkan sugesti yang kuat tentang kerentanan manusiawi yang “mengharuskan” manusia berendah-hati di hadapan keagungan Ilahi yang acapkali tak sanggup dipahami. Iman-nya Si Pengkhotbah adalah iman yang sadar dengan kerentanan, subjek yang sadar dengan kedhaifannya:

“dan apa yang kurang tak dapat dibilang”.

Dalam konteks saat ini, beberapa pemegang lembaga keagamaan dan para pemegang otoritas sosial-keagamaan adalah orang-orang yang sepenuhnya sadar dengan fungsi sosial-politik dogma dan doktrin keagamaan atau bahkan klaim keimanan dan janji-janji surgawi secara praktis dan pragmatis, yang bila meminjam wawasannya Nietzsche, klaim “kebenaran” dipertahankan lebih karena fungsi relasional dan hasrat untuk berkuasa para aktor dan para pemegang otoritas dari klaim “kebenaran” itu sendiri.

Mereka yang acapkali mengatasnamakan lembaga keagamaan demi maksud, motif, dan tujuan politis dapat juga disebut sebagai imitasi-imitasi alias tiruan-tiruan Namrud dalam skala dan konteks yang berbeda. Di mana dalam sejarah pembangunan dan pendirian Menara Babel itu, Namrud-lah sang otoritas itu sendiri –yang berusaha ingin menciptakan dirinya sendiri dan lembaganya sebagai “sesembahan”.

Mahmoud Ahmadinejad dan Spirit Husainiah



Mengapa Ahmadinejad? Jawabnya tak lain karena kita bisa menjadikan orang atau tokoh bangsa lain sebagai cermin untuk belajar. Terlebih sebagai figur, Ahmadinejad sangat dikenal secara global karena keberaniannya untuk bersuara lantang melawan “hegemoni” dan unilateralisme politik dan ekonomi “Barat”, yang dalam hal ini digawangi Amerika, yang selama ini didiamkan. Juga tentu saja kesahajaannya.

Jika kita baca biografinya, ia terlahir dari keluarga dengan ayah seorang pandai besi, mungkin semacam perajin atau bengkel, di kawasan pertanian Aradan, Iran. Singkatnya, ia memang lahir dari sebuah tempat dan keluarga yang sederhana dan bersahaja, dan rupa-rupanya kesederhanaan ini kemudian menjadi karakter jiwa dan kepribadiannya.

Ada satu hal yang unik dari sisi keseharian Ahmadinejad, yaitu ia tak pernah menggunakan dasi ketika menjabat sebagai presiden, bahkan dalam salah-satu foto terlihat jelas bagian ketiak bajunya sobek saat berangkulan dengan koleganya dari Venezuela, dan salah-satu propertinya hanya Peugeot 504 tahun 1977, sebuah kendaraan yang tentu saja terbilang sangat buruk untuk ukuran seorang presiden.

Tapi siapa sangka, dia adalah figur yang punya nyali besar dan berani menantang arogansi unilateralisme: “Jika nuklir ini dinilai buruk dan kami tidak boleh menguasai dan memilikinya, mengapa kalian sebagai negara adikuasa boleh memilikinya? Sebaliknya, jika tekno-nuklir ini baik bagi kalian, mengapa kami juga tidak boleh memakainya?” Demikian ucapnya dengan lantang dalam salah-satu pidatonya ketika Negara yang dipimpinnya di-embargo karena program nuklir-nya untuk kepentingan damai itu.

Seperti apa dan bagaimana Mahmoud Ahmadinejad yang disanjung oleh para pendukung dan pencintanya dan sekaligus dicaci dan dibenci oleh mereka yang merasa terancam dengan langkah-langkah politiknya ini? Logis, jelas, dan tegas, itulah gambaran yang cukup tepat bagi seorang lelaki yang mengaku dirinya pelayan rakyat Iran ini, yang terbilang memiliki wajah yang kalem dan sejuk. Kesehariannya tentu saja sebagai seorang presiden, sebagaimana kita tahu seringkali hanya mengenakan kemeja putih atau yang berwarna terang, dibalut dengan jas, dan sesekali dengan jaket, dan seperti telah dibilang, tak menggunakan dasi.

Barangkali kita dapat menyimpulkan bahwa pakaian seseorang mencerminkan visi dan kepribadiannya, di mana dapatlah kita menebak bahwa ia tidak ingin menjadi ke-Barat-barat-an ala kaum snobis atau para epigon yang kehilangan identitas mereka. Dan sebagaimana dapat kita lihat, meski perawakannya tidak terlalu besar, kesungguhan dan adab terpancar kuat dari wajahnya yang sejuk dan bersahaja. Tatapan matanya dalam dan membatin, sementara tangannya tampak kekar seperti pekerja kasar. Rambutnya pun tidak terlihat memakai minyak rambut, yang akan membuat rambutnya tampak klimis.

Yah, dia adalah Mahmoud Ahmadinejad, sosok yang tidak disukai Israel dan Amerika, salah-satunya karena mau berdiri tegak terhadap mereka, bahkan seringkali melontarkan pernyataan-pernyataan politik yang kontroversial dan, tentu saja, menyulut rasa kesal Amerika, Israel dan para sekutunya. Mungkin karena hal itu pula, Hugo Chavez, Presiden Venezuela, mengagumi dan menjadi sahabat kentalnya. Pada November 2010, misalnya, Ahmadinejad mengunjungi perbatasan Libanon, tidak jauh dari sarang para tentara Israel. Lautan manusia datang menyambut kedatangan Ahmadinejad yang bersahaja ini.

Di panggung yang besar itu, ada dua mimbar yang tersedia: yang pertama adalah mimbar anti peluru yang disediakan untuk sang presiden, dan yang kedua mimbar biasa untuk penerjemah. Ketika tiba saatnya memberikan sambutan di atas panggung, sang presiden pun naik dengan diikuti beberapa pemuda berkecamata hitam yang terlihat sibuk memperhatikan lautan manusia yang menumpahkan tepuk tangan, dan tak jarang memandang jauh ke arah jendela-jendela beberapa gedung tinggi yang berdiri di sekeliling lapangan pertemuan akbar itu.

Kala itu, panita pelaksana tersentak ketika Ahmadinejad memilih untuk berpidato di mimbar biasa. Semua orang tahu, ini adalah pilihan berisiko apalagi presiden berada di zona ‘rawan’. Namun kekhawatiran itu tidak tampak ketika Ahmadinejad berpidato dengan sangat tenang dan berhasil membakar semangat perjuangan rakyat Timur Tengah dan Iran, sekaligus mengutuk secara terbuka penjajahan serta penindasan gaya baru di muka bumi ini.

Jika kembali pada sejarah Islam, kita tentu akan teringat pada Imam Husain cucu Muhammad saw dan para sahabatnya yang dengan setia dan tidak gentar sedikit pun menghadapi kepungan bala tentara prajurit Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan yang selalu haus dengan kedzaliman dan penindasan. Bagi mereka, kematian bukanlah pilihan, tapi sebuah jalan yang harus dilalui. Namun kematian akan lebih indah dengan syahid untuk sebuah keadilan. Apakah Anda masih ingat ketika hampir semua negara malu-malu kucing, segan bahkan takluk dengan Paman Sam, namun Mahmoud Ahmadinejad tampil tegak untuk menyarankan debat terbuka:

“Saya menyarankan, kami berdebat dengan tuan Bush, Presiden Amerika Serikat, di televisi yang disiarkan langsung mengenai masalah-masalah yang terjadi, termasuk pandangan Amerika, juga Iran. Debat ini tidak boleh disensor agar publik Amerika tahu apa yang sebenarnya terjadi.” 

Keberanian seperti ini pernah hanya dimiliki orang-orang yang akan mengukir sejarah, seperti Imam Husain sang cucu tercinta Muhammad saw sekaligus tonggak Islam dan keadilan ummat manusia, yang bersama kudanya dengan gagah berani meninggalkan kemah keluarganya menghampiri Pasukan Yazid yang sudah haus dengan darah. Imam Husain sekali lagi mengumandangkan seruan perdamaian, persatuan untuk kemaslahatan dan visi kemanusiaan. Namun melihat Imam Husain hanya seorang diri, pasukan Yazid pura-pura tuli mendengar seruan dari cucu Nabi itu, dan tidak sabar lagi membantai orang yang tentangnya Rasulullah bersabda: “Husain dariku, dan aku dari Husain”.

Lepas dari siapa yang menang di mega tragedi ini, Imam Husain telah mewariskan keberanian dengan darah dan sejarah untuk melawan tirani penindas kepada generasi-generasi Islam dari masa ke masa. Imam Husain adalah simbol revolusi yang dirindukan para kaum tertindas dan ditakuti oleh para imperialis yang dicontohkan oleh Yazid.

Setidak-tidaknya, Mahmoud Ahmadinejad telah menunjukkan kepada dunia bahwa perstiwa 10 Muharram masih ada dalam sejarah kekinian ummat manusia. Dan kita masih berada di tengah-tengah Padang Karbala, yang mau tidak mau harus memilih antara keadilan dan kedzaliman.

Ketika kita memilih menyuarakan keadilan, maka resiko apapun harus dihadapi dengan berani dan penuh keikhlasan. Ahmadinejad telah membuktikan bahwa ia tidak gentar sedikitpun dengan segala kemungkinan resiko, ketika ia berani menentang unilateralisme Israel dan Amerika. Semangat prajurit Imam Husain menghadapi kaum penindas di Karbala benar-benar terpancar dari dirinya. Sesuatu yang terbilang unik karena dia bukan lahir dan besar dari militer. 

Singkatnya, kita dapat menyimpulkan bahwa pribadi dan integritasnya yang berani tegak berhadapan dengan politik unilateralisme itu tak ragu lagi karena ia meneladani perjuangan dan spirit Islam Husain sang cucu tercinta Nabi saw di Karbala yang memilukan itu.