Label

Makna Asyura Bagi Sunni dan Syiah


Inilah Madrasah Karbala dan Asyura pertama di Indonesia yang diselenggarakan oleh masyarakat NU dan Syiah secara guyub, harmonis dan terbuka untuk umum.  

Teks: Dr. KH. Said Aqil Siradj

Kita semua telah mengetahui bahwa cucu Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al Husain, keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.

Walaupun ada beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja. Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.

Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk 'Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi'raj, Yaumil Arafah, Lailatul 'Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam, terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya merasa memiliki hari ini.

Kita seharusnya berkewajiban dan merasa terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah, tentulah Ahlul Bait sudah habis.

Ini adalah suatu kekejaman yang luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.

Marilah kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun, tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara, darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala. Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam keimanan kita.

Oleh karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi kita semua.

Agama Islam sebenarnya merupakan amanat yang digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian, maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat, tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh lingkungannya.

Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan ingin mengubah keadaan yang buruk ini.

Jika masyarakat sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa Karbala.

Imam Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!

Sedangkan Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).

Jika hanya IQ (intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini. Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah sangat parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara seremonial besar yaitu ibadah haji.

Perubahan yang dicita-citakan oleh Al Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah. Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.

Oleh karena itu, yang perlu kita tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara yang berbau politik.

Mari kita tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.

Dari aspek budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam Abul Qasim Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini murid dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi yang wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.

Pertama kali laqab sufi diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan (permisi) dahulu kepada Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf dan Ahlul Bait kental sekali.

Belum lagi puji-pujian yang dibaca orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain, mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti terdapat dalam Al Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut para kyai, bisa menolak tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela. Bunyinya : li khamsatun utfi biha …

Jika kita sudah biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait, maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain halnya dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.

Salah satu tradisi yang sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran (selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji dari Turki, yang mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.

Bagi NU, tidak ada masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Husain bin Ali.

Kesimpulan dari apa yang telah saya sampaikan adalah, pertama, bahwa Madrasatil Karbala merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.

Kedua, hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai, mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.

Itulah salah satu perjuangan para aulia’ terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan pendekatan moral, bukan pendekatan politik.

Kerajaaan Majapahit yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa. Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral, pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk Islam.

Sampai-sampai orang Jawa sendiri mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.

Coba bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela. 

Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.

Sebaliknya, di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Kita ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu semua.

Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait. (Transkriptor: Raymond Kamil) 



(Lukisan Karya Tubagus Arief Z.)

Tasawuf Revolusi Kesultanan Banten


(Sketsa Ki Wasid dan Pedang Zulfikar Kesultanan Banten 
karya Micha Rainer Pali)

Oleh Ahlul Bayt Indonesia

Selama abad ke-19, serentetan pemberontakan di Banten terhadap otoritas kolonial Belanda meletus dalam skala kecil maupun besar, sehingga Banten disebut sebagai tempat persemaian dan gelanggang pemberontakan. Salah satu pemberontakan besar terjadi pada 9 Juli 1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten.

Di tinjau dari segi gerakan sosial, faktor-faktor yang menyebabkan pergolakan dan keresahan sosial sangat kompleks dan beranekaragam. Peristiwa revolusioner itu bisa diletakkan di dalam konteks perkembangan kelembagaan ekonomi, sosial, politik, dan agama. Aspek politik merupakan faktor yang menonjol dalam semua gerakan sosial di Banten, termasuk Pemberontakan Petani Banten 1888. Kebencian rakyat terhadap pamong praja Banten hampir sama mendalamnya dengan permusuhan terhadap penguasa-penguasa asing, yaitu Belanda. Sebab, para pamong praja menjadi agen-agen kolonial sebagai pemungut pajak rakyat Banten. Kegusaran penduduk terhadap pajak berubah menjadi pemberontakan ketika mereka harus menjual hasil pertaniannya dengan harga yang rendah. Ditambah lagi wabah penyakit dan bencana alam menjadi lengkaplah penderitaan rakyat, yang mendorong mereka ingin mengakhiri penderitaan dengan memberontak.

Namun, pemberontakan tidak akan pernah meletus, tanpa seorang pemimpin. Para pemimpin pemberontak datang dari kalangan elite agama atau kiai dan kaum aristokrat lama, yang merasa kedudukan istimewanya terancam oleh pemerintah kolonial Belanda. Tersisihnya mereka dari ranah politik rupanya telah menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk melakukan dan menggerakkan pemberontakan, sebagai cara untuk menyalurkan ketidakpuasan dan rasa dendam mereka. Sikap memberontak ini juga diperkuat lagi oleh kebencian religius mereka terhadap kekuasaan “orang-orang kafir.” Tidak disangsikan lagi bahwa hampir semua pemberontakan diwarnai oleh faktor keagamaan.

Tokoh penting dalam pemberontakan petani Banten adalah Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani, seorang khalifah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah. Dia yang lama tinggal dan belajar di Mekah, kembali ke Banten. Dalam waktu tiga tahun di kampung halamannya dia menanamkan doktrin-doktrin agama yang mendorong pecahnya pemberontakan, antara lain kedatangan Imam Mahdi, peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar al-Islam), dan Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah). Buku karya wartawan majalah Historia ini berusaha menggali peranan Syekh ‘Abd al-Karim dalam menanamkan doktrin-doktrin tersebut.

Meskipun Syekh ‘Abd al-Karim tidak ikut dalam pemberontakan karena dipanggil kembali ke Mekah oleh gurunya Ahmad Khatib al-Sambasi, namun dia telah menanamkan doktrin-doktrin keagamaan yang menjadi bekal bagi para pemberontak. Dalam hal ini – meminjam istilah John L. Esposito dalam menjuluki pemikir Iran Ali Syari’ati dalam revolusi Islam Iran – kita bisa menyebut Syekh ‘Abd al-Karim sebagai “perumus dan penyedia ideologi revolusi.” Dengan kata lain, Syekh ‘Abd al-Karim-lah yang telah mempersiapkan doktrin-doktrin agama atau landasan spiritual bagi rakyat Banten untuk melakukan pemberontakan.

Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ‘Abd al-Karim kemudian disemaikan oleh murid-muridnya yaitu Haji Marjuki, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid; telah menjadi landasan rasional kepada gerakan pemberontakan. Sehingga mereka memahami pemberontakan tersebut sebagai jalan satu-satunya untuk melakukan protes terhadap penguasa kolonial, di mana sebelumnya mereka tidak memiliki atau tidak tersedia cara-cara yang sah untuk menyatakan protes atau perasaan tidak senang terhadap kebijakan kolonial.

Namun yang perlu segera ditegaskan di sini adalah, menukil Endorsment dari Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ” Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari 50-orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah membaca buku ini.” Selamat Membaca! 


Sejarah Yahudi Sebelum Berdirinya Kerajaan


Oleh Prof. Dr. M.M al A'zami
 
Lahirnya Ishmael dan Isaac, anak-anak Abram (Abraham)
 
1.      Sarai, Istri Abram,3 belum juga mendapat anak. Tetapi ia mempunyai seorang hamba dari Mesir, seorang gadis bernama Hagar. 2.      Sarai berkata kepada Abram, "Ketahuilah sekarang, Tuhan tidak me­mungkinkan saya melahirkan anak. Sebab itu, sebaiknya engkau tidur dengan hamba saya ini. Barangkali dia dapat melahirkan anak untuk saya." Abraham mau mendengar apa yang dikatakan oleh Sarai. 3.     Dan Sarai, istri Abram, menghadiahkan Hagar (pembantu dari Mesir) pada suaminya, setelah ia menetap sepuluh tahun di bumi Kanaan, untuk dijadikan sebagai istri selir. Lalu Hagar melahirkan anak laki-laki, dan Abram ayahnya, menamakan anak yang dilahirkan Hagar dengan sebutan Ishmael.4 Kemudian Tuhan berkata kepada Abraham, "Engkau jangan lagi memanggil istrimu Sarai; mulai sekarang namanya Sarah. Aku akan memberkatinya dan ia akan melahirkan seorang anak laki­laki yang akan Kuberikan kepadamu. Ya, Aku akan memberkati Sarah. dan ia akan menjadi ibu leluhur bangsa-bangsa. Di antara keturunannya akan ada raja-raja." Lalu sujudlah Abraham, tetapi ia tertawa ketika berpikir, "Mana mungkin seorang laki-laki yang sudah berumur seratus tahun mendapat anak? Mana mungkin Sara melahirkan pada usia sembilan puluh tahun?" Lalu berkatalah ia kepada Tuhan, "Sebaiknya Ismael saja yang menjadi ahli waris saya." Tetapi Tuhan berkata, Tidak. Sarah istrimu akan melahirkan anak laki­laki dan engkau akan menamakannya Isaac. Aku akan setia kepada perjanjian-Ku dengan anak itu dan dengan keturunannya selama-lamanya.5
 
Isaac tiba-tiba menjadi satu-satunya anak yang sah bagi Abraham

Josephus, seorang sejarawan Yahudi abad pertama menulis tentang, "Isaac, satu-satunya anak laki-laki sah Abraham," dan setelah itu ia segera menjelaskan, "Sekarang Abraham sangat mencintai Isaac, karena menjadi satu­satunya anaknya yang sah, dan diberikan kepadanya pada batas usia tua, berkat karunia Tuhan."6 Apakah Josephus menurunkan derajat Ishmael pada status anak tak sah, pada hal Kitab Kejadian 16:3 menegaskan bahwa Sarah telah memberikan Hagar kepada suaminya "untuk menjadi istrinya"? Dia tetap me­negaskan Isaac sebagai satu-satunya anak yang sah, meskipun baru saja me­maparkan tentang Ismail secara panjang lebar pada tiga halaman sebelumnya.
 
Dari anak-anak Isaac dan seterusnya, PL (Perjanjian Lama) memaparkan kebohongan yang menjadi jadi yang dilakukan oleh para nenek-moyang bangsa yang dipilih oleh Tuhan (God's chosen people) sendiri, yang mana dengan mereka itu Dia secara pribadi membuat sebuah perjanjian. Kisah-kisah kebohongan pada semua tahapan ini, yang terpelihara di dalam Kitab-kitab suci, hanyalah akan mengikis kepercayaan pembaca terhadap tokoh-tokoh Biblikal dan terhadap keseriusan dan kesetiaan mereka mengikuti perintah­perintah Tuhan.
 
Yakub menipu ayahnya

Setelah bertahun-tahun tanpa anak, Rebekah (istri Isaac) melahirkan dua anak kembar laki-laki. Esau adalah yang lahir dahulu dan dikasihi oleh ayahnya, sementara Rebekah selalu memihak Yakub. Pada suatu hari Esau kembali dari berburu dalam keadaan lemah-lunglai karena kelaparan, dan meminta Yakub sedikit sup kacang merah, tapi ia menolak memberikannya, kecuali setelah Esau menyerahkan hak-haknya sebagai anak yang lahir pertama kepada Yakub.7 Pada suatu kesempatan berikutnya, Rebekah dan Yakub bersekongkol menipu Isaac melalui tipu muslihat yang tersusun rapi dengan menggunakan bulu palsu: sehingga secara keliru Isaac telah memberikan berkat kepada Yakub (yang sebetulnya adalah haknya Esau) seraya berucap, "Semoga bangsa­bangsa menjadi hambamu, dan suku-suku bangsa takluk kepadamu. Semoga engkau menguasai semua sanak saudaramu."8

Ayah mertua menipu menantu
 
Karena takut acaman balas dendam Esau-akibat berkatnya yang tercuri­ Rebekah mengungsikan Yakub ke rumah saudara laki-lakinya, Laban, di Haran, barangkali dia mau mengawini anak perempuan Laban. Oleh karena itu, dia menempuh perjalanan menuju Haran dan, karena terpikat dengan anak perempuan ini, si cantik Rachel,9 dia tergila-gila ingin segera mengawininya tapi dia pertama-tama diminta untuk bekerja pada ayahnya selama tujuh tahun sebelum impian perkawinannya tercapai. Tujuh tahun kemudian dia benar­benar kawin, tapi setelah menghabiskan malam perkawinan dengan pengantinnya dalam keadaan yang gelap, dia begitu shock ketika mendapatkan pagi harinya bahwa ayah mertuanya telah mengganti Rachel dengan saudara perempuannya, Leah, yang tak begitu menarik.
 
Perkawinannya dengan Rachel kemudian dilangsungkan seminggu kemudian, akan tetapi hanya diperbolehkan setelah dia menjalani bekerja kepada Laban selama tujuh tahun lagi. Ketika Yakub akhirnya meninggalkan Haran, dia disertai dua orang istri, dua orang gundik, sebelas orang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan.10 Ketika meninggalkan rumah Laban, Rachel mencuri tuhan-tuhan sesembahan keluarga ayahnya, sehingga Laban berusaha untuk menangkapnya dan memeriksa kemah-kemah secara kasar; tapi Rachel dengan sigap telah menyembunyikan tuhan-tuhan tersebut di dalam kantong pelana yang ia duduki atasnya, dan usaha ini pun sia-sia.11 Dengan demikian, garis keturunan yang istimewa ini, meskipun senantiasa berada dalam Perjanjian Tuhan, ternyata begitu luar biasa mengelu-elukan tuhan-tuhan sesembahan keluarga mereka.
 
Yakub bergulat dengan Tuhan
 
Tetapi la tinggal seorang diri. Maka datanglah seorang laki-laki bergumul dengan Yakub sampai menjelang pagi. Ketika orang itu merasa bahwa la tidak akan menang dalam pergumulan itu, dipukulnya Yakub pada pinggulnya, sampai sendi pinggul itu terkilir. Lalu kata orang itu, "Lepaskan aku; sebentar lagi matahari terbit." jawab Yakub, "saya tidak akan melepaskan Tuan, kecuali jika Tuan memberkati saya." "Siapa namamu?" tanya orang itu. "Yakub," jawabnya. Orang itu berkata, "Namamu bukan Yakub lagi. Engkau telah bergumul dengan Tuhan dan dengan manusia, dan engkau menang; karena itu namamu menjadi Israel. "12 Bagi seseorang dari luar tradisi Judeo-Kristen, ide tentang seorang manusia secara fisik menyerang Tuhan sampai hari terang benderang (dan menang) adalah tidak bisa dibayangkan, jika tidak sesuatu yang profan.

Keluarga Yakub

Yakub mempunyai dua orang istri,  a. Leah, yang melahirkan  1. Ruben, 2. Simeon, 3. Levi, 4. Yehuda, 5. Issachar, 6. Zebulun, b. Rachel, yang melahirkan 1. Yusuf, dan 2. Benjamin.  Dia juga punya dua orang gundik,  a. Bilhah, hamba Rachel, yang melahirkan  1. Dan, dan 2. Naphtali, b. Zilpah, hamba Leah, yang melahirkan 1. Gad, dan 2. Asher. Dengan demikian "Yakub mempunyai dua belas orang anak laki-laki."13 Masa paceklik sangat parah yang melanda Yakub ketika usia senja merupakan pendorong baginya untuk hijrah ke Mesir;14 di mana anak laki-lakinya, Yusuf, pada waktu itu telah menduduki jabatan Gubernur Mesir, dan mengundang orang tuanya dan saudara-saudaranya untuk bergabung dengannya karena tanah Mesir masih cukup tersedia bahan makanan. 15 "Keturunan Yakub yang pergi ke Mesir semuanya berjumlah enam puluh enam orang, tidak termasuk menantu-menantunya. Anak-anak Yusuf yang lahir di Mesir ada dua orang, sehingga keluarga Yakub yang tiba di Mesir seluruhnya berjumlah tujuh puluh orang."16 Ini termasuk semua anak-anaknya dan cucu-cucunya dari kedua orang istrinya dan kedua orang gundiknya.
 
Musa
 
Kakek Musa, Kohath, telah tiba di Mesir dari tanah Kanaan bersama­sama dengan kakeknya, Yakub,17 dengan begitu satu-satunya orang dalam garis keturunan ini yang lahir di Mesir adalah ayah Musa, Amram.18 Meskipun dilahirkan di sana Musa meninggalkannya lebih dari empat puluh tahun sebelum dia meninggal dunia, maka masa anak-cucu Yakub tinggal di Mesir hanya selama 215 tahun.19 Hidup sebagai orang-orang merdeka, di sana keluarga Yakub menikmati kesejahteraan yang luar biasa dan jumlah mereka pun bertambah begitu cepat, tapi hat ini membangkitkan kecemburuan yang sangat besar di kalangan masyarakat Mesir dan akhirnya menyulut mereka untuk memperbudak bangsa Israel; dalam masa delapan puluh tahun sebelum peristiwa eksodus (keluar dari Mesir), seluruh anak bayi laki-laki mereka dibunuh atas perintah Fir'aun.20
 
Meskipun terselamatkan oleh kasih sayang Tuhan pada masa bayinya, Musa terpaksa melarikan diri pada usia dewasa karena membunuh seorang Mesir, dan karena raja dan militer iri atas kesuksesannya dalam kampanye Ethiopia. Dia Pergi ke Madyan kemudian berkeluarga dan menetap di sana sampai saat diutus oleh Tuhan untuk menjadi rasul-Nya, untuk kembali ke tempat kelahirannya dan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan. 21
 
Tuhan sarankan bangsa Israel mencuri perhiasan perhiasan tetangga mereka
 
Setelah gagal total membujuk-rayu Fir'aun agar melepas bangsa Israel, Musa clan Harun kemudian menyaksikan serentetan bencana clan wabah yang memorak-porandakan Mesir. "Tuhan berkata kepada Musa, "Aku akan menjatuhkan satu bencana lagi atas raja Mesir dan rakyatnya. Sesudah itu, ia akan melepas kamu pergi. Bahkan kamu semua akan diusir dari sini. Sebab ittt bicaralah dengan bangsa Israel; suruhlah mereka minta perhiasan emas dan perak dari tetangga mereka."22
 
Dalam hal ini bangsa Israel menaati Musa, mencari barang-barang emas, perak, dan barang-barang lain yang berharga dari para tetangga Mesir mereka. Tuhan melunakkan hati bangsa Mesir hingga memberikan apa saja yang diinginkan bangsa Israel. "Dengan cara ini mereka membawa kabur kekayaan orang-orang Mesir sewaktu mereka meninggalkan Mesir."23 Sepenggal ayat ini, yang mana Tuhan melegitimasi pengambilan emas dan perak milik orang Mesir oleh bangsa Israel, mengimplikasikan bahwa semua barang-barang berharga adalah harta milik yang sah bagi bangsa-Nya yang terpilih (Israel) saja. Pada kenyataannya, Kitab Ulangan (Deuteronomy) 33:2, mengindikasikan bahwa Yang Mahabesar telah menawarkan Taurat kepada bangsa-bangsa non-Yahudi (Gentile nations) juga, tapi karena mereka menampik, maka Dia menarik kembali perlindungan hukum-Nya dari mereka, dan mentransfer hak­hak kekayaan mereka kepada Israel, yang melaksanakan Hukum-Nya. Sepenggal ayat dalam Kitab Habakuk dianggap menguatkan klaim ini.24
 
Bilangan warga Israel pada waktu Eksodus diperkirakan 2,000,000 (dua juta)
 
Setahun setelah Eksodus (keluar dari Mesir), Musa clan Harun meng­hitung jumlah orang laki-laki yang berusia 20 tahun ke atas dan jumlah ke­kuatan perang. Jumlah mereka didapati 603,550 warga Israel.25 Suku Levi tidak termasuk dalam bilangan angka ini, begitu juga kaum perempuan segala usia, kaum laki-laki tua, dan kalangan anak muda di bawah usia 20 tahun. Dengan memasukkan kelompok-kelompok ini ke dalam penghitungan, kita dapat menyimpulkan bahwa-menurut PL-jumlah bilangan orang yang ikut dalam Eksodus barangkali melebihi dua juta orang Yahudi. Saya ingin menyerahkannya kepada pembaca yang punya daya imajinasi kuat untuk menduga bagaimana sebuah suku yang terdiri dari tujuh puluh orang, baru tiba di Mesir, bisa berlipat ganda menjadi dua juta jiwa hanya dalam masa 215 tahun, terutama ketika bayi-bayi laki-laki mereka dibunuh secara sistematis selama delapan dekade sebelumnya. Seperti inilah keadaan PL yang ada di tangan kita sekarang.
 
Lempengan-lempengan batu dan anak sapi emas
 
Musa naik ke gunung dan berdoa di sana selama empat puluh hari. "Pada akhir masa itu Tuhan memberinya dua lembaran perjanjian, lembaran batu, yang ditulis dengan jari Tuhan."26 Waktu bangsa Israel melihat bahwa Musa lama sekali tidak turun dari gunung, tetapi masih di sana juga, mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya, "Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan Musa, orang yang telah membawa kita keluar dari Mesir; jadi buatlah untuk ilah (gods) yang akan memimpin kami." Lalu Harun berkata kepada mereka, "Lepaskanlah anting-anting emas yang dipakai istri-istri dan anak-anakmu, dan bawalah kepadaku."  Harun mengambil anting-anting itu, lalu dileburnya dan dituangkannya ke dalam sebuah cetakan dan dibuatnya sebuah patung sapi. Bangsa itu berkata, "Hai Israel, inilah ilah (gods) kita yang mengantar kita keluar dari Mesir!"

Besoknya pagi-pagi sekali, orang-orang Israel membawa beberapa ekor ternak untuk kurban bakaran, dan beberapa ekor lagi untuk kurban perdamaian. Mereka duduk makan clan minum, lalu bangkit untuk bersenang-senang.27 Inilah dongeng klasik tentang ketidaksyukuran bangsa Israel kepada Tuhan, yang baru saja mengakhiri keadaan keterpurukan mereka dan membelah laut untuk pelarian mereka. Pada saat ingin menghukum mereka atas ketidak­patuhan mereka, akhirnya Dia "bertobat dan tidak jadi melaksanakan ancaman­Nya untuk menimpa bangsa itu dengan malapetaka."28 Ide tentang Tuhan bertobat (repenting), seperti layaknya orang berdosa, juga merupakan gambaran lain dari PL yang sangat tak terbayangkan oleh akal sehat.

Pengembaraan dalam hutan belantara
 
Dalam keasingan orang-orang Yahudi sangat sering mencoba melempari Musa dengan batu. Pada saat yang sama kecemburuan Harun dan Mariam tentang saudara laki-laki mereka mulai memuncak, menyebabkan mereka angkat suara menentangnya. Tuhan marah atas serangan ini, dan Mariam diserang penyakit lepra Musa kemudian berdoa agar dia (Mariam) diampuni, dan dia sembull setelah tujuh hari pengasingan di padang pasir di luar perkemahan. Cukup aneh Harun tidak dihukum -barangkali karena peran dia sebagai pendeta.29 Imam Korah juga menghasut suatu pemberontakan dan angkat suara "menentang Musa dan Harun, bersama-sama dengan Datan, Abiram dan dull ratus lima puluh orang pemimpin."30 Menjelang akhir pengembaraan Musa mengumpulkan kerumunan dekat perbatasan Yordania dan menyampaikan pernyataan yang terperinci, memberikan mereka seperangkat undang-undang dan konstitusi pemerintahan.31
 
Musa memerintahkan kepada para pendeta dan pemimpin ini: Setiap tahun bangsa Israel harus datang bersama-sama untuk merayakan pesta Pondok Daun di tempat Tuhan pilihan untuk disembah. Engkau harus membacakan undang-undang dan ajaran-ajaran ini kepada orang-orang diperayaan pada setiap tahun ketujuh, yaitu tahun penghapusan utang. Setiap orang harus hadir-laki-laki, perempuan, anak-anak, dan bahkan orang-orang asing yang tinggal di kota-kotamu. Dan setiap generasi baru akan mendengarkan dan belajar untuk menyembah Tuhan mereka dengan takut dan menggigil dan untuk melakukan apa-apa yang disebut dalam hukum Tuhan dengan tepat.32
 
Tidak terdapat bukti bahwa praktik pembacaan undang-undang pada setiap tahun ketujuh ini benar-benar terjadi, sebagian dikarenakan kacaunya situasi politik yang segera melanda bangsa Israel.33 Juga, sebagaimana yang akan kita lihat dalam bab berikut, semua kitab-kitab yang dinisbatkan kepada Musa sejatinya ditulis beratus-ratus tahun kemudian. Hanya sementara waktu saja dan setelah itu Musa wafat, begitu juga sebagian besar generasi yang kabur dari Mesir menyeberang laut empat dekade sebelumnya. Dengan Yosua mewarisi tampuk kepemimpinan, dia meneruskan perjalanan menuju tanah Kanaan dan memimpin mereka menyeberang Sungai Yordania untuk menguasai Jericho dan kota-kota lain. 34
 
Zaman para Hakim-Ark jatuh ke tangan musuh (±1200-1020 S.M.)
 
Para sesepuh Israel mendekritkan bahwa Ark35 harus dipindahkan dari tempel Shiloh, untuk mendukung pasukan tentara Israel dalam penyergapannya ke Palestina. Tetapi Ark sudah jatuh ke tangan musuh, dan segera disusul dengan sebagian besar kota-kota Israel, termasuk kuil Shiloh yang juga porak­poranda.36
 
 
1. Rev. Dr. A. Cohcn, Everyman's Talmud, London, hlm. 61, dinukil oleh S.A. Zia, A History of Jewish C'rimes, Union Book Stall, Karachi, 1969, hlm. 53.
2. Pembaca harus cermat bahwa sebagian besar kejadian-kejadian sejarah yang disinggung dalam fasal ini mempunyai pengaruh langsung pada PL, atau pun menunjukkan bagaimana praktik­praktik keagamaan dan moral yang meluas tak mcndukung kelangsungan wujudnya PL secara sempurna dan utuh. Tujuan saya tidak ingin mcmberikan suatu sejarah bangsa Israel yang komprehensif; pembaca yang berminat bisa dengan mudah mendapatkan rujukan-rujukan yang dilengkapi dengan rincian-rincian tentang perjalana-perjalanan militer mereka dan loyalitas politis mereka, dll.
3. Demikianlah nama ini muncul di dalam Kitab Kejadian, dengan 'Abram' berubah menjadi 'Abraham' pada percakapannya dengan Tuhan.
4. Kejadian 16.
5. Kejadian 17. Diskusi mengenai perubahan dan penyisipan dan penamhahan yang terjadi dalam Kejadian 17, rujuk buku ini hlm . '? Semua kutipan biblikal di sini berdasarkan versi King James, kecuali disebutkan lain.
6. Joseephus, Antiq , Bab I , Fasal 13, N0. 1 (222).
7. Kejadian 25 : 29-34
8. Kejadian 27 : I-29.
9. Kejadian 2 9: I-7
10.  Kejadian 31.
11. Kejadian 31:19-35.
12. Kejadian 32:24-28 Dalam bahasa Ibrani salah satu urh 'Israel' adalah "seseorang yang bergulat dengan Tuhan " ( Lihat catatan kaki untuk Kejadian 32 23-26)
13. Kejadian 35:23-26.
14. Kejadian 41:53-57.
15. Kejadian 45.
16. CI:V, Kejadian 46:26-27.
17. Kejadian 46:8-I5.
18. Rujuk Exodus (Keluaran) 6:16-20.
19 Untuk lehih rincinya lihat Rahmatullah al-Hindi, Izharal-Haq, i:2G6-68, di mana pengarang menukil beberapa sumber Yahudi Dalam sumber P, 215 tahun adalah rentang masa antara waktu perlulunnn Ibrahim ke lanah Kanaan dan hijrahnya Yakub ke Mesir I lihat Kejadian 12:4b, 21:5, 25:26, •7 41, dan jumlah seluruh musuh di Kanaan dan Mesir adalah 4111 tahun (sehagian manuskrip menyebut 435 tahun) [lihat I.XX, Keluaran 12 401 Im menyisakan rentang waklu 215 tahun untuk masa keberadaan mereka di Mesir
20. Al-Hindi, Izhar al-Haq, i:64.
21. Keluaran 1-4.
22. Keluaran 11: 1-2.
23 CEV, Keluaran 12:36.
24 "Gentile", The Jewish Encyclopedia, Funk and Wagnalls Company. New York/London
1901-1912, v:620 Kontraskan hal ini dengan perlakuan Nabi Muhammad terhadap warga Quraisy itu sendiri yang memplot pembunuhannya, dan permintaannya kepada 'Ali untuk tetap tinggal menunggu (di Mekkah) sementara waktu dan mengembalikan semua barang-barang berharga yang mereka percayakan kepadanya. Lihat buku ini hlm ....'?
25 Bilangan I: 20-46.
26 Joan Comay dan Ronald Brownrigg, Who is Who in the Bible : The Old Testament and the Apocrypha and the New Testament, Two Volumes in One, Bonanza Books, New York, 1990, hlm 283 menukil Exodus 31 : 18.  Selanjutnya ditulis Who's Who.
27 Keluaran 32: 1-6.
28 Keluaran 32: 14.
29 Who's Who, i: 285.
30 Bilangan 16 1
31 Josephus, Anhy, Bab 4, pasal 8 Pidato berakhir di (Bob yang sama) No 43 (301)
32. CEV, Ulangan 31:10-13, hlm. 237.
33. Lihat buku ini hlm. 254-9.
34. James Hastings, D.D., Dictionary of the Bible (Second Edition), T.&T. Clark, PAmhurgn, 1901, hlm. 433. selanjutnya disebut Dictionary of the Bible.
35. Menurut Kitab Ulangan 10 1-5, Ark ini memuat pasangan kedua lembaran batu yang diatasnya Tuhan telah mengukir Sepuluh Perintah (the Ten Commandments).... "Konon Ark yang asli adalah sebuah kotak/peti yang rnemuat batu-batu suci yang dianggap bahwa Tuhan berada didalamnya " ( Dictionary of the Bible, hlm. 53)
36. Dictionary of the Bible, hlm 434