Label

Iranian Military Motorcycles


Motorcycles and All-Terrain Vehicles (ATV)

Motorcycles are omnipresent within the Iranian military, almost defining their preference for fast, non-traditional tactics then for a conventional military. They function almost as modern-day dragoons. Note that this section refers to both two-wheeled bikes as well as 4-wheeled ATV’s, though the former are far more common.



Motor-bikes are deployed throughout the ground forces, in the marines, IRGCGF, and the IRIA. They are commonly deployed at the squad level in hunter-killer teams, such as with a team of 5+ bikes of two men each carrying RPG’s and assault rifles. Other organizations include mechanizing an entire squad or platoon, complete with rifleman, support gunners, and anti-air/tank soldiers. It’s also not uncommon to see a “swarm” of motor-bikes with 10-20 RPG’s and supporting rifleman. Sniper teams are also a common sight on motorbikes.



The exact type of motor-bike varies, though they are often commercial models, such as Honda, converted for military use. One point of note is that they are often unpainted and appear in their bright-red factory finish. One explanation for this might be that they just haven’t been painted yet or that it’s just laziness; another might be that it’s just another camouflage pattern. While this might seem counterintuitive, by blending in with the rest of the thousands of Iranian bikes on any major street, they are better allowing themselves to blend in with the environment they intend to fight in, the urban battleground rather then singling themselves out as a military target. Some videos of exercises actually show Basij and IRGC conducting military drills on motorcycles in a bustling cityscape, giving some indication on how they might be used in urban terrain.



In the war with Iraq, Iran used motorcycles in this manner to destroy Iraqi armor by running circles around the cumbersome tanks with their slow-to-traverse turrets. These tactics depended on the lack of infantry support for the armor, a situation that is unlikely to be the case with any ground battles against US or even GCC Arab states.



This brings up questions of their effectiveness in combat. To get a good idea, we have only look to Iran’s neighbor Afghanistan. In Afghanistan, the Taliban have a long history of using Honda motorcycles as transportation and to mount ambushes against ISAF/NATO and GOA forces. Even the US has taken to deploying motorcycles. The advantage to this is the maneuverability; geography in many parts of Iran, such as the Alborz and Zagros mountains, is similar to that in Afghanistan, and the small mobile motorbikes can go places a tank, APC or even a truck can’t, the same holds true on the opposite type of terrain, within Iranian cities with their twisting alleyways and congested buildings. Another advantage to these systems is that they’re smaller, and by this virtue they attract less attention and are easier to hide then any other vehicle.



Ultimately, as with so many other weapons, their effectiveness depends on their use. If used to set up ambushes and carry hunter-killer teams across cities or mountains the Iranians might have a deadly system, but if used to launch a charge across flatlands they would likely be mowed down by tanks or gunships.



Ranger and Samandar Tactical Vehicles

The Ranger (literally ‘Ranger’/ رنجر rather then the Persian word for ranger as one might expect) as well as the Samandar are light tactical vehicles that are comparable to the US DPV/FAV/LSV with the Samandar being a veritable copy in terms of configuration. Neither vehicle is reported to have entered serial production. Both types are built on a light sand-rail frame and emphasize off-road mobility and speed. Both have a crew of 3 and mount a machinegun. This however remains the only concrete details on the two vehicles. 


Arbain Imam Husain (as) or Islam Is Not Terror

“Salam bagi rambut putih yang dicelup darah. Salam bagi paras yang tertutup debu-debu tanah. Salam bagi tubuh yang dijarah. Salam bagi lisan yang dihantam ujung pedang. Salam bagi kepala yang terhunus di tombak pancang. Salam bagi tubuh-tubuh yang dibiarkan tergeletak di padang gersang. Salam bagi dia yang berselimutkan tetes darah. Salam bagi dia yang dihancurkan kehormatannya. Salam bagi dia, yang kelima dari Ashabil Kisa. Salam bagi dia, penghulu para syuhada. Salam bagi dia, yang terasing dari semua yang terasing. Salam bagi dia, penentang musuh zalim. Salam bagi dia, yang didekap tanah Karbala. Salam bagi dia, yang menangis malaikat karenanya. Salam bagimu Ya Aba ‘Abdillah al Husain” 

Catatan Sejarah Ideologi Ekonomi Indonesia

Di era Perang Dingin Dunia setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Indonesia menjadi medan pertarungan dan perebutan dua kutub ideologi politik dan ekonomi yang saling bersaing dan berlawanan, bahkan acapkali saling berperang secara fisik dan militer: kapitalisme yang dinahkodai Amerika dan Barat dan sosialisme yang dinahkodai Rusia (kala itu Uni Soviet) dan Republik Rakyat Cina atau RRC.

Mulanya, utamanya di era-era akhir kepemimpinan Bung Karno, kiblat Indonesia adalah sosialis, di mana setelah kekecewaan terhadap Amerika dan PBB, Bung Karno lebih memilih berkiblat ke Rusia (dan juga Cina-Peking). Namun roda sejarah pun berubah dan berganti, setelah kup-deta terhadap Bung Karno yang dilakukan militer Indonesia pimpinan Jenderal Soeharto yang dibantu CIA, Indonesia pun berkiblat ke Amerika ketika Jenderal Soeharto menjadi presiden Indonesia menggantikan Bung Karno yang digusur dan tergusur.

Bersamaan dengan duduknya Soeharto di tampuk kekuasaan tersebut, kapitalisme pun menjadi pilihan ideologi ekonomi dan kebijakan pembangunan Indonesia, di mana di era Orde Baru tersebut yang menjadi para teknokratnya adalah mereka yang lazim disebut “Mafia Berkeley”. Memang ada banyak pencapaian ekonomi di era Soeharto tersebut. Meski demikian, tentu saja, banyak juga ironi dan kelemahannya. Para ahli dan pakar yang mengkritik ideologi kapitalisme yang bertumpu kepada akumulasi modal di tangan segelintir elit itu, contohnya, mengkritik bahwa dalam praktiknya kebijakan ekonomi kapitalis-liberalis lebih merupakan kerja eksploitatif sejumlah Negara maju dan penguasa modal atas banyak Negara berkembang atau Negara-negara yang lazim disebut Dunia Ketiga.

Di sini, meski sudah banyak dikritik, analisis dan pemetaan yang dilakukan Lenin atas kapitalisme yang dapat menjadi imperialisme ketika akumulasi modal tersebut hanya berada di tangan sedikit Negara maju atau segelintir elit penguasa modal, masih terbilang relevan bagi sejumlah pakar dan ahli, semisal bagi Paul Baran dan Samir Amin, yaitu bahwa (a) konsentrasi produksi dan kapital yang telah berkembang dalam tingkat yang demikian tinggi akan menciptakan monopoli, dan (b) akumulasi kapital bank dan kapital industri yang ada di tangan segelintir elite oligarkh-korporat dan Negara akan menjelma kapitalisme imperialis ketika telah melampaui batas-batas bangsa dan Negara atau ketika akumulasi kapital (modal) tersebut telah keluar dari segelintir Negara dan para oligarkh-korporat.

Tak hanya itu saja, Osvaldo Sunkel, sebagai contohnya, menegaskan bahwa konsentrasi dan monopoli kapital internasional di tangan sejumlah MNC telah seringkali mengakibatkan disintegrasi nasional sebuah Negara dan bangsa yang akibatnya malah memperlemah kekuatan sebuah bangsa atau Negara bersangkutan untuk berkembang secara mandiri.

Dalam sejarah ekonomi bangsa kita sendiri, tepatnya di era Orde Baru Presiden Soeharto, terjadi akumulasi modal di tangan segelintir elit dan keluarga presiden atau golongan tertentu di satu sisi, dan di sisi lain terjadinya penetrasi modal asing yang begitu kuat hingga menyetir kebijakan politik dan ekonomi Indonesia, bahkan dalam skala politik dan ekonomi global. Juga menciptakan oligarki lokal yang tidak sehat hingga otoritarianisme feodalistik berbaju militer dan satu partai yang mengabdi kepada penguasa (presiden) kala itu. Menyadari hal demikian, di era tahun 70-an hingga 80-an, sejumlah cendekiawan yang kritis mulai bersuara bahwa ketika kedudukan bangsa Indonesia sendiri lemah justru malah hanya akan menempatkan bangsa Indonesia dalam ketergantungan pada kekuatan asing semata, yang karenanya perkembangan ekonomi Indonesia sebenarnya hanya bentuk nyata ekspansi kekuatan kapitalis oligarkhi tersebut. Singkatnya, Indonesia hanya jadi “sapi perah” dengan pembagian hasil atau keuntungan yang timpang dan tidak adil.

Menyikapi keprihatinan tersebut, sejumlah intelektual kritis menyarankan agar Indonesia harus sudah mulai menghentikan ketergantungan kepada bantuan asing (hutang) yang pada kenyataan malah membebani dan bahkan memenjarakan kebijakan-kebijakan politik Indonesia untuk menjadi Negara yang telah menegaskan dirinya sebagai bangsa yang justru merupakan pioneer dan penggagas gerakan Non-Blok, dan seyogyanya membatasi pada pinjaman-pinjaman yang sangat diperlukan saja. Sejatinya, Indonesia sudah semestinya membatasi ekspansi perusahaan-perusahaan asing dan harus mulai memberi kesempatan dan memberikan perlindungan kepada industri dan perusahaan nasional. Hal ini tak lain karena jika bangsa kita ingin maju secara berdikari, maka bangsa ini harus terbebas dari hutang luar negeri dan mulai membangun basis inovasi-nya sendiri, semisal melalui riset atau alih-tekhnologi.

Seperti dapat kita baca dalam catatan-catatan sejarah ekonomi dan pembangunan bangsa kita, di era Orde Baru itu memang ada pertumbuhan ekonomi, namun sifatnya tidak merata dan masih terkonsentrasi pada wilayah-wilayah bahkan etnik tertentu saja. Demikian juga di era Orde Baru tersebut banyak dibangun industri, akan tetapi industri-industri tersebut bukan milik bangsa kita, melainkan perpanjangan tangan kekuatan modal alias kapital Negara-negara tertentu (semisal Amerika), hingga keuntungan yang didapat dari kekayaan Indonesia justru lebih banyak keluar, dan kalau pun dinikmati bangsa kita, itu pun hanya bagi sekelompok elit yang dekat dengan lingkaran dalam kekuasaan dan pemerintah Indonesia di era Orde Baru, semisal keluarga presiden. Sementara itu, dari segi birokrasi, banyak juga korupsi yang dilakukan para pejabat dan birokrat di pusat dan di daerah, yang semakin membuat Negara mengalami kebocoran, di saat Negara sendiri dibiayai dan diselenggarakan dari hutang luar negeri, yang bahasa halusnya acapkali disebut “hibah” itu.

Dan sebelum mengakhiri tulisan ini, mungkin tak ada salahnya jika kita menyimak dan merenungi sejenak apa yang pernah dikatakan Hugo Chavez dalam salah satu pidatonya: “Kita harus menentang hak-hak istimewa para elit yang telah menghancurkan sebagian besar dunia”. Barangkali dalam hal ini, apa yang dikatakan oleh Hugo Chavez itu memang relevan bagi kita, bagi Indonesia tercinta kita untuk saat ini dan di masa yang akan datang.

Sulaiman Djaya 


Imam Musa al Kazim as dan Abu Hanifah


Suatu hari, kala Imam Ketujuh kita, Imam Musa al-Kazim yang masih berusia 5 tahun, salah seorang murid ayahnya yang bernama Abu Hanifah datang berkunjung untuk bertanya beberapa masalah kepada ayah Imam Musa al-Kazim as. Imam Keenam kita, ayah Imam Musa al-Kazim, Imam Ja'far as-Shadiq sedang sibuk bersama dengan tamunya yang lain dan Abu Hanifah menunggu untuk beberapa waktu.

Lalu, ia melihat Imam Musa al-Kazim as sedang bermain dengan seekor binatang. Ia berkata kepada binatang tersebut, "Bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakanmu." Abu Hanifah bertanya-tanya apakah si bocah belia ini akan menjadi Imam selanjutnya.

Ia memutuskan untuk bertanya kepada Imam Musa al-Kazim as beberapa pertanyaan. Abu Hanifah berkata kepada Imam belia, "Bolehkah aku ajukan sebuah pertanyaan kepadamu?" Lalu Imam Musa al-Kazim berdiri dan dengan mantap berkata kepada Abu Hanifah, silahkan ajukan pertanyaan apa pun yang engkau sukai?"

Kemudian Abu Hanifah mengajukan sebuah pertanyaan yang telah membuat Abu Hanifah merasa kebingungan. Ia bertanya, "Apakah seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya atau berada dalam kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?

Imam Musa al-Kazim menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan Abu Hanifah itu: [1] Allah Swt memaksanya untuk melakukan sebuah perbuatan. [2] Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu. [3] Manusia melakukannya sendiri, dalam rangkuman kebebasannya.  Imam Musa al-Kazim as menjelaskan:

Apabila kemungkinan atau anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu. Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini tidaklah demikian adanya. Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan ini juga tentu saja tidak masuk akal.

Kemudian, tersisa kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa yang baik dan apa yang buruk.

Abu Hanifah berujar bahwa alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan! Ia berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja'far Sadiq as, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa Kazim as. 



Arti Roti


Di hari itu para filsuf, ahli ilmu mantiq, dan ahli hukum berkumpul di istana untuk menginterogasi Nasruddin. Perkara Nasruddin telah dianggap sebagai sebuah kasus yang amat serius. Persoalannya adalah Nasruddin seringkali datang ke berbagai tempat meneriakkan satu khutbah yang sama.

Dalam khutbahnya itu ia menyebut orang-orang berilmu, seperti para filsuf, sebagai mereka yang bodoh, kebingungan, dan tak bisa mengambil keputusan. Tentu saja, ceramah Nasruddin ini dianggap subversif dan mengganggu ketertiban negara. Singkat cerita, mereka yang merasa tersinggung meminta Raja untuk mengadili Nasruddin.

Kemudian digelarlah sebuah pengadilan dengan Nasruddin sebagai terdakwa tunggal. “Hai Nasruddin,” kata Raja, “kau mendapat giliran untuk bicara terlebih dahulu.” Nasruddin lalu meminta agar dibawakan beberapa lembar kertas dan pena. Setelah itu ia berkata, “Tolong bagikan kepada para pakar yang ada di ruangan ini, masing-masing secarik kertas dan sebilah pena.”

Setelah setiap orang pakar mendapatkan kertas dan pena, Nasruddin berkata lagi, “Aku mohon kepada setiap ahli untuk menuliskan di atas kertas itu jawaban untuk pertanyaan ini; Apa yang disebut dengan roti?” Setiap cerdik cendekia yang ada di tempat itu lalu menuliskan apa yang mereka ketahui tentang roti.

Jawaban para pakar itu lalu dikumpulkan dan diserahkan kepada Raja. Raja pun membacanya satu demi satu.

Orang bijak pertama menulis, “Roti adalah sebuah makanan.” Si bijak kedua menjawab, “Roti adalah tepung bercampur dengan air.” Si bijak ketiga menulis, “Roti adalah karunia Tuhan.” Si bijak selanjutnya menjawab, “Roti adalah terigu yang telah dimasak.” Orang berikutnya menulis: “Roti merupakan makanan bergizi.”

Demikian seterusnya. Setiap orang yang terkenal pandai itu, menulis jawaban yang berbeda-beda, masing-masing bergantung pada pemaknaan mereka akan sebuah roti. Salah seorang dari mereka bahkan menulis, “Tak ada seorang pun yang tahu sebenarnya apa yang dimaksud dengan roti.”

Setelah mendengar semua jawaban itu, Nasruddin berkata kepada sang Raja, “Ketika mereka dapat menentukan apa yang disebut sebagai roti, barulah mereka bisa menentukan hal-hal selain roti. Misalnya, menentukan apakah khotbahku benar atau tidak.”

Nasruddin kemudian melanjutkan, “Dapatkah Baginda mempercayakan urusan penilaian atau keputusan kepada orang-orang seperti ini? Bukankah amat aneh bila mereka tidak sepakat akan sesuatu yang mereka makan setiap hari, tetapi mereka sepakat untuk menentukan bahwa aku seorang ahli bid’ah?”