Label

Sokrates dan Filsafatnya




Ia dilahirkan di Athena 469 SM, ayahnya Sophroniscus diyakini bekerja sebagai seniman patung. Ibunya Phaenarete adalah dukun beranak. Semasa muda, Socrates menjadi murid filosof Archelaus. Di kemudian hari, ia memperhatikan filsafat tanpa pernah menuliskannya. Ia tidak pernah berhenti mengajar hingga jatuh miskin. Ini karena perhatiannya pada kekayaan sangat sedikit. Ia mengenakan jubah yang sama sepanjang tahun dan berjalan hampir telanjang kaki (diriwayatkan bahwa ia lahir untuk melecehkan pembuat sepatu).

Beberapa tahun sebelum meninggal, ia menikah dan dikaruniai tiga anak. Isterinya, Xanthippe, terkenal buruk karakternya. Ketika ditanya mengapa menikahinya, ia menjawab bahwa pelatih kuda harus bisa menjinakan kuda yang paling liar.

Ia menghabiskan banyak waktu di luar rumah, bersama dengan kawan-kawannya ditempat-tempat umum Athena. Mereka menghargai kebijaksanaan dan rasa humornya. Namun demikian, sedikit saja yang sanggup menghayati pandangan-pandangannya.

Socrates bertubuh pendek, brewokan dan botak. Gaya jalannya yang bergoyang-goyang, dan paras yang mirip-mirip kepala kepiting, tampak sedih dan aneh. Hidung pesek, bibir tebal dan mata beloknya terletak di bawah sepasang alis yang berantakan.

Akan tetapi, gayanya yang paling penting adalah kebiasaannya mendekati penduduk Athena dari pelbagai kelas, usia, dan kedudukan. Ia dengan masa bodoh menanyai mereka, tanpa khawatir, apakah mereka akan menganggapnya eksentrik atau menyebalkan. Ia ingin penjelasan mengapa mereka meyakini kepercayaan-kepercayaan commonsense tertentu dan apa yang mereka anggap sebagai makna hidup.

Kebiasaan Sokrates ini didukung oleh cuaca dan tata kota. Athena berhawa hangat selama setengah tahun. Ini meningkatkan kesempatan bercakap-cakap dengan orang lain di luar tanpa harus diawali dengan perkenalan formal. Aktivitas di wilayah utara yang terbuka di balik tembok-tembok kota, pondok-pondok terbuka, tidak membutuhkan pelindung dari atap langit yang ramah. Berlindung di agora (gedung pertemuan khas Romawi) adalah kebiasaan warga, di bawah barisan tiang patung-patung indah Stoa atau patung Zeus Eleutherios. Mereka bercakap-cakap dengan orang asing setelah senja, waktu-waktu berharga antara cahaya bulan dan kegelapan malam.

Ukuran kota mempertegas suasana ramahnya. Sekitar 240.000 orang hidup di Athena dan perbatasannya. Tidak lebih satu jam untuk berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, dari gerbang Piraeus ke gerbang Aigeus. Penduduk merasa akrab, seperti hubungan murid-murid di sekolah atau tamu-tamu di perkawinan. Bukan orang yang ingin ceramah dan mabuk saja yang memulai percakapan dengan orang asing di tempat umum.

Jika kita menahan diri untuk mempersoalkan status quo pastilah – disamping karena cuaca dan ukuran kota – karena kita mengasosiasikan apa yang diyakini secara populer dengan kebenaran. Filosof tak berterompah ini mengajukan setumpuk pertanyaan untuk menentukan apakah kejadian yang populer juga masuk akal.

Banyak orang menganggap pertanyaan-pertanyaan Socrates membuat gila. Beberapa orang mengolok-olok, bahkan ada yang ingin membunuhnya. Sang filosof dianggap termasuk orang yang dengan kurang ajar, menolak commonsense tanpa menyelidiki logikanya.

Percakapan Socrates
Menurut kisah Plato, pada suatu sore sang filosof mengunjungi dua jenderal besar, Nicias dan Laches. Kedua jenderal bertempur melawan tentara Spartan di perang Peloponesian. Mereka dihargai kaum tua dan dikagumi anak-anak muda.

Kedua jenderal tersebut meyakini satu gagasan commonsense. Mereka percaya bahwa agar dianggap berani, seseorang harus ikut angkatan bersenjata, maju ke medan perang, dan membunuh musuh. Untuk menentang pendapat itu di tempat terbuka, Sokrates merasa perlu menanyai mereka lebih banyak pertanyaan:

Socrates: Coba jelaskan bagaimana keberanian itu, Laches. Laches: Ya Tuhan, itu gampang, Socrates! Jika seseorang siap tempur, menghadapi lawan, dan tidak melarikan diri, kamu bisa yakin bahwa ia pemberani.

Namun demikian, Sokrates mengingat bahwa pada perang Platea 479 SM, tentara Yunani di bawah Gubernur Pausanian keturunan Spartan, terpukul mundur. Lalu, mereka menyerang kembali dengan gagah berani hingga mengalahkan angkatan bersenjata Persia yang dipimpin Mardonius.

Socrates: Pada pertempuran Platea, demikian riwayatnya, pasukan Spartan menghadapi (Pasukan Persia). Mereka tidak punya pertahanan yang baik, sehingga terpukul mundur. Persia berusaha menghancurkan barisan prajurit. Namun demikian, pasukan Spartan mengamuk bak banteng terluka dan memenangkan akhir pertempuran.

Karena dipaksa berpikir ulang, Laches langsung mengutif ide commonsense berikutnya: bahwa keberanian sejenis daya tahan. Namun Socrates membantah bahwa daya tahan dapat mengarah kepada hasil yang buruk sama sekali. Untuk membedakan keberanian dari kegilaan, harus ada unsur lain. Nicias, rekan Laches, dengan dibimbing pertanyaan-pertanyaan Sokrates mengajukan bahwa keberanian harus mengandung pengetahuan, kesadaran akan yang baik dan buruk, dan tidak selalu ditentukan oleh peperangan.

Hanya melalui percakapan ringkas, ketidakmemadaian besar telah terungkap dalam definisi standar mengenai nilai-nilai yang banyak di kagumi warga Athena. Telah terbukti kemungkinan adanya keberanian di luar medan perang atau pentingnya pengetahuan yang dikombinasikan dengan kesabaran. Mungkin isunya tampak sepele, namun implikasinya besar. Sebelumnya, seorang jenderal yang memerintahkan pasukannya mundur dianggap pengecut, sekalipun itu merupakan manuver yang bisa dimengerti. Karena itu, redefinisi commonsense memperluas pilihan-pilihan dan memberikan keberanian dengan kritisisme.

Dalam Meno karya Plato, Sokrates kembali berdiskusi dengan seseorang yang sangat yakin akan kebenaran ide commonsense. Meno adalah aristokrat arogan yang mengunjungi Attica dari daerah Thessaly. Ia memiliki pandangan tentang keterkaitan antara uang dengan kebaikan (virtue). Agar menjadi baik, ujarnya pada Sokrates, seseorang haruslah sangat kaya. Kemiskinan, tidak pelak, merupakan kelemahan pribadi ketimbang hanya kecelakaan.

Manusia yang mulia, demikian Meno mengajari Sokrates dengan percaya diri, adalah seorang yang kaya raya. Yang mampu memiliki barang-barang berharga. Sokrates menanyainya beberapa hal.

Sokrates: Apakah yang kamu maksud dengan barang-barang berharga berupa kesehatan dan kekayaan? Meno: Aku memasukan kepemilikan emas, perak dan kedudukan tinggi dalam (pemerintahan) negara. Sokrates: Apakah ini hanya bagian dari kebaikan yang kamu ketahui? Meno: Ya, aku maksudkan segala yang sejenis dengannya.

Sokrates: Apakah kamu bisa menambahkan “rasa adil dan berhak” ke dalam kata “kepemilikan”, atau apakah adanya perbedaan menurutmu? Apakah kamu menyebut segala harta dengan kebaikan, termasuk yang diperoleh dengan haram? Meno: Tentu saja ,tidak.

Sokrates: Jadi, tampak bahwa keadilan, kelayakan, atau kesucian, atau bagian lain dari kebaikan harus melekat pada penghasilan (emas dan perak) … kenyataannya, tidak punya emas dan perak, jika itu akibat kegagalan memperolehnya … karena situasi-situasi yang hanya mungkin dilakukan secara tidak benar, apakah juga termasuk kebaikan. Meno: Tampaknya demikian.

Sokrates: Lantas, memiliki barang-barang berharga berarti tidak lebih baik ketimbang tidak memilikinya? Meno: Kesimpulanmu tampaknya tidak dapat dihindari.

Dalam beberapa kesempatan, Meno telah menunjukan bahwa uang dan pengaruh tidak dengan sendirinya penting dan memadai sebagai kebaikan. Orang kaya mungkin saja dikagumi, tetapi ini tergantung pada cara mereka memperolehnya. Demikian halnya dengan kemiskinan tidak dengan sendirinya menilai kadar moral seseorang. Harus ada syaratnya agar orang kaya bisa meyakini bahwa asetnya turut menjamin kemuliaannya. Sebaliknya, tidak ada alasan bagi orang miskin untuk menganggap kemelaratannya sebagai kekurangan.

Musim semi 399 SM, tiga penduduk Athena menggugat sang filosof. Mereka menuduh Sokrates ingkar pada dewa-dewa penguasa kota, mengenalkan agama baru, dan merusak jiwa kaum muda Athena. Tuntutan mereka begitu berat, sehingga hanya kematian sanksinya. Sokrates menanggapi dengan ketenangan yang luar biasa. Ia berkesempatan menanggalkan filsafatnya di depan pengadilan. Namun, ia lebih teguh pada kebenaran keyakinannya ketimbang memilih sikap yang mungkin lebih populer. Menurut riwayat Plato, ia benar-benar menantang para juri:

“Sepanjang masih bisa bernafas dan berpikir, diriku tidak akan pernah berhenti mengamalkan filsafat, mendesakkannya padamu, dan menjelaskan kebenaran bagi setiap orang yang kutemui… jadi, entah… membebaskanku atau tidak, kalian pasti tahu bahwa sikapku tidak akan berubah. Bahkan, tidak juga seandainya aku harus menjalani seribu kematian”.

Demikianlah Socrates menemui ajalnya di penjara Athena, dengan hukuman meneguk secangkir racun. Kematiannya menandai momen terpenting dalam sejarah filsafat.

Sumber: Alain de Botton. 2003. The Consolations of Philosophy – Filsafat Sebagai Pelipur Lara (Penerjemah: Ilham B. Saenong). Jakarta: Teraju

Imamah Menurut Para Imam


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Pembahasan masalah imamah diakhiri dengan wacana ini. Selanjutnya pembahasan imamah terdiri dari telaah atas hadis-hadis Nabi saw yang berkaitan dengan Imam All as dan para imam lainnya serta sabda-sabda imam awal mengenai imam berikutnya. Semua hadis ini sifatnya perintah umum otoritatif mengenai penunjukan dan pengangkatan imam. Barangkali sejumlah poin dalam wacana ini sudah diliput dalam pembahasan sebelumnya. Namun karena poin-poin ini mencerminkan jiwa masalah imamah, maka akan dibahas lagi ketika membicarakan sabda-sabda para Imam dalam hubungan ini. Juga kami akan mengutip dari "al-Kafi", "Kitab al-Hujjah". Sudah kami katakan beberapa kali bahwa imamah dalam pengertian yang dibicarakan oleh kaum Syiah atau setidak-tidaknya para imam mereka, beda dengan imamah yang dibicarakan kaum Sunni. Imamah juga beda dengan pemerintahan, yang begitu sering menjadi pokok pembicaraan atau telaah dewasa ini.

Pada dasarnya masalah imamah ada karena adanya masalah kenabian, bukan dalam arti bahwa imamah lebih rendah daripada kenabian, namun dalam arti bahwa imamah adalah seperti kenabian. Para nabi besar juga adalah nabi sekaligus imam. Imamah adalah suatu keadaan spiritual. Dalam hubungan ini imam menggarisbawahi konsep tentang manusia. Konsep kita tentang manusia akan ditelaah agar poin ini jadi jelas.

Makhluk Apa Manusia Itu?

Tahukah Anda makhluk seperti apa manusia itu pada dasarnya? Ada dua sudut pandang. Menurut salah satunya, manusia, seperti makhluk lainnya, adalah seratus persen makhluk material, yang akibat terjadinya serangkaian perubahan material maka manusia mengalami perkembangan sejauh mungkin sejauh dapat dialami makhluk material. Kehidupan, entah dalam tumbuhan, hewan atau manusia merupakan perwujudan perkembangan gradual materi tanpa adanya campur tangan unsur non-material dalam eksistensi mereka (kami gunakan kata "unsur" hanya karena tak adanya kata yang lebih tepat). Setiap kualitas luar biasa yang ada dalam makhluk berasal dari struktur materialnya. Atas dasar ini maka manusia pertama atau manusia pertama yang hadir di dunia ini tentunya manusia yang paling primitif. Manusia ini berangsur-angsur berkembang. Memang begitu, entah kita menganggap manusia diciptakan langsung dari tanah Hat menurut konsepsi kuno, entah berkembang dari dunia binatang yang lebih rendah berdasarkan seleksi alam menurut teori yang diajukan beberapa orang modern yang konsepsi mereka juga patut dipertimbangkan setidak-tidaknya sebagai sebuah teori, dan menurut teori ini akar final manusia adalah di bumi, meskipun menurut teori ini juga manusia pertama tidak diciptakan langsung dari tanah liat.

Manusia Pertama dalam Al-Qur'an

Bukan saja menurut keyakinan Islam dan Al-Qur'an saja, namun juga menurut semua agama, manusia pertama bukan saja lebih maju dibanding manusia selanjutnya, namun lebih maju dibanding manusia modern sekalipun. Sejak menginjakkan kakinya di dunia ini, manusia pertama adalah khalifah (wakil) Allah SWT maupun Nabi-Nya. Kenapa manusia pertama datang sebagai nabi dan otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT, padahal tampaknya lebih alamiah menurut proses evolusi kalau manusia pertama datang sebagai manusia biasa, lalu setelah sampai pada tingkat perkembangan yang cukup tinggi barulah salah satunya diangkat menjadi nabi. Ini merupakan satu poin yang layak dipertimbang­kan. Menurut Al-Qur'an, manusia pertama sangat tinggi ke-dudukannya:

Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. " Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. " Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu ber­firman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama ini jika kamu memang benar!" (QS. al-Baqarah: 30-31)

Ringkas kata, manusia pertama membuat para malaikat terkejut. Mengapa demikian? Mengenai manusia pertama, digunakan kata-kata "Dan meniupkan ke dalamnya roh Ku." (QS. al-Hijr: 29) Ini menunjukkan bahwa di dalam struktur makhluk ini ada satu unsur yang lebih tinggi di samping unsur material, dan unsur yang lebih tinggi inilah yang digambarkan oleh kata-kata di atas. Dengan kata lain, dalam struktur manusia ini ada sesuatu yang sangat istimewa yang diletakkan oleh Allah SWT yang menjadikannya sebagai khalifah-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (wakil-Ku) di muka bumi. (QS. al-Baqarah: 30)

Dengan demikian Al-Qur'an memberikan gambaran bahwa manusia pertama yang menginjakkan kakinya di muka bumi ini adalah sebagai otoritas Allah, nabi dan makhluk yang punya kontak dengan dunia gaib. Para imam menggarisbawahi asal-usul manusia ini untuk menunjukkan bahwa manusia terakhir di muka bumi juga posisinya akan setinggi dan semulia posisi manusia pertama. Se­sungguhnya dunia manusia tak akan pernah kosong dari satu makhluk yang memiliki roh, "Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi." Eksistensi manusia lainnya tergantung pada eksistensinya. Jika manusia seperti itu tak ada, maka manusia lainnya pun tak akan pernah ada. Manusia seperti itu disebut "otoritas Allah". Dunia tak akan pernah kosong dari seorang pemimpin otoritatif yang diangkat oleh Allah SWT. Kalimat ini dipetik dari "Nahj al-Balâghah" dan dikutip di banyak buku. Aku pernah mendengar almarhum Ayatullah Burujerdi mengutipnya. Almarhum mengatakan bahwa ini merupakan kalimat yang disampaikan Imam Ali as ketika di Basrah, dan kalimat ini sering dikutip baik oleh kaum Syiah maupun Sunni. Kalimat ini merupa­kan bagian akhir dari sebuah riwayat yang diberitakan oleh Kumail. Kumail mengatakan, bahwa suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib as memegang tangannya dan membawanya keluar kota. Ketika keduanya sampai di tempat sunyi yang bernama Jabbin, Imam Ali as menghela napas dalam-dalam dan kemudian berkata: "Wahai Kumail, hati ini adalah wadah. Sebaik-baik hati adalah had yang kuat. Karena itu ingatlah apa yang kukatakan kepadamu. Ada tiga macam manusia: ulama, murid yang mencari keselamatan, dan lalat yang mendengung." (Nahj al-Balâghah, sabda 146)

Menurut terminologi Imam Ali as, ulama bukanlah ulama biasa, meskipun sering kita menggunakan kata ini secara sembarangan. Yang dimaksud Imam Ali as dengan ulama adalah yang seratus persen cinta dan taat kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini, mungkin istilah ini hanya dapat diterapkan pada para nabi dan para imam saja. Kelompok kedua adalah para murid yang menerima pengetahuan dari kelompok pertama. Kelompok ketiga adalah orang-orang "yang tidak mencari cahaya pengetahuan dan tidak kuat dukungannya." Setelah mengatakan ini Imam Ali as mengeluh tentang orang-orang di zamannya. Imam Ali as mengata­kan memiliki banyak sekali pengetahuan yang hendak disampaikannya namun tak ada orang yang tepat untuk menerimanya. Imam Ali as menambahkan bahwa ada sebagian orang yang cukup cerdas namun mereka menggunakan apa yang mereka pelajari untuk mencapai tujuan pribadinya dan untuk mengeksploitasi agama demi keuntungan duniawi mereka. Karena itu Imam Ali as tak mau memberikan pengetahuan kepada mereka. Ada juga orang yang baik, namun mereka bodoh. Mereka tidak mengerti atau salah mengerti. Dari apa yang dikatakan Imam Ali as sejauh ini kelihatannya beliau kecewa sekali. Namun tidak demikian. Imam Ali as tengah bicara tentang mayoritas saja, karena Imam Ali as me­nambahkan, "Tidak, sungguh tidak. Bumi tak pernah kosong dari seorang otoritas Tuhan, entah dia terlihat dan dikenal atau gaib. Eksistensi otoritas seperti itu sangat penting sekali sehingga hujah dan argumen Allah SWT tak mungkin lemah. Namun berapa banyak dan di manakah orang seperti itu? Sungguh sangat sedikit, namun mereka sangat dicintai oleh Allah SWT. Melalui mereka Allah SWT berhujah dan berargumen. Mereka menyampaikan pengetahuan mereka kepada orang-orang seperti mereka dan menanamkan pengetahuan mereka di hati orang-orang seperti mereka."

Berbicara lebih jauh mengenai orang-orang ini yang menerima pengetahuan dari sumber ilahiah, Imam Ali as berkata, "Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran." Dengan kata lain, pengetahuan mereka intuitif, bukan hasil belajar, dan bebas dari kesalahan dan kekeliruan. "Mereka memiliki roh keyakinan," karena mereka berhubungan langsung dengan dunia gaib. "Yang sulit bagi orang-orang yang biasa hidup mewah, mudah bagi mereka." "Yang paling sulit bagi orang-orang yang hidup enak dan mewah adalah cinta dan taat kepada Allah." "Mereka akrab dengan apa yang tidak disukai orang bodoh. Mereka hidup di dunia, sementara jiwa mereka ada di tempat paling tinggi." Raga mereka ada bersama orang di dunia ini, namun roh mereka ada di lain tempat. Orang melihat orang-orang itu ada bersama mereka, namun orang tidak tahu bahwa jiwa mereka ada di tempat yang tinggi.

Itulah logika imamah. Itulah sebabnya kenapa ada satu bab dalam "al-Kâfî" yangjudulnya "Bab al-Hujjah". Riwayat-riwayat dalam bab ini menyebutkan bahwa meski hanya tinggal dua orang saja di dunia ini, salah satunya akan menjadi hujah atau otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT. Saya akan mengutip dari "Bab al-Hujjah" sehingga Anda akan lebih mengenal logika ini. Semua soal lain, seperti bahwa umat pasti ada imamnya sehingga imam dapat menegakkan keadilan atau imam dapat menyelesaikan kontroversi tentang masalah agama, merupakan soal sekunder. Imam tidak harus menjalankan pemerintahan, karena itu imam tidak dipilih oleh umat. Memimpin pemerintahan dapat disebut s^bagai urusan sampingan imam. Sekarang akan kami kemukakan kata-kata pilihan dari berbagai riwayat agar logika imamah jadijelas.

Diriwayatkan Imam Ja'far Shadiq as berkata. Ini adalah riwayat berkenaan dengan para nabi. Disebutkan bahwa seorang zindiq (atheis)[1] minta kepada Imam Shadiq as untuk membuktikan eksistensi para nabi dan para rasul Tuhan. Dengan mendasarkan jawabannya pada doktrin tauhid, Imam Shadiq as berkata, "Kita tahu pasti bahwa ada satu Pencipta yang jauh di atas kita dan terutama sekali Dia adalah pencipta. Pencipta itu arif dan sempurna, namun kita tak dapat berhubungan langsung dengan-Nya. Makhluk-Nya mustahil melihat-Nya, berhubungan langsung dengan-Nya, atau bertukar pandangan dengan-Nya. Namun kita butuh petunjuk-Nya, karena hanya Dia saja yang tahu kepentingan kita dan apa yang bermanfaat bagi kita. Karena itu tentu ada rasul-rasul-Nya yang menyampaikan risalah-Nya kepada makhluk-Nya dan hamba-hamba-Nya dan menyampaikan kepada mereka apa yang ber­manfaat dan merugikan bagi mereka. Ini membuktikan bahwa ada beberapa pemberi peringatan yang ditugaskan oleh Allah Maha Arif lagi Mahatahu."

Mengenai para pemberi peringatan ini (para nabi dan para imam) Imam Shadiq as berkata, "Mereka arif, terlatih dan diutus dengan risalah yang arif. Mereka diciptakan persis seperti orang lain, namun mereka beda dengan orang lain." Ada dimensi lain dan roh lain pada diri mereka. "Mereka mendapat dukungan dari Yang Maha Arif lagi Mahatahu yang menganugerahi mereka kearifan. Eksistensi orang seperti ini sangat penting di setiap zaman, sehingga dunia tak mungkin kosong dari hujah yang memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia benar, jujur, akurat dan tanpa cela."

Zaid bin Ali dan Imamah

Saudara Imam Muhammad Baqir as, yaitu Zaid bin Ali Zainal Abidin, orangnya takwa. Para imam kita memberikan warna moralitas kepadanya. Namun yang kontroversial adalah apakah dia mengklaim kekhalifahan bagi dirinya sendiri atau mengupayakannya bagi saudaranya, dan tujuan langkahnya hanyalah "beramar makruf dan bernahi munkar." Namun, yang pasti para imam kita sangat menghormatinya dan melukiskannya sebagai seorang syahid. Sebuah Mani sendiri mengklaim bahwa dirinya adalah nabi. Dia bukan ahli tauhid, tetapi seorang dualis (penganut faham bahwa di alam semesta ini ada dua kekuatan baik dan buruk, dan kedua kekuatan ini sama seimbang—pen.) dan lebih dualis dibanding Zoroaster, karena sebagian orang percaya bahwa Zoroaster mungkin seorang ahli tauhid yang setidak-tidaknya mempercayai satu sumber abadi alam semesta, meskipun dari tulisan-tulisannya tak ada bukti bahwa dia mempercayai satu Pencipta. Mani justru jelasjelas seorang dualis dan menyatakan bahwa dirinya adalah nabi yang diangkat oleh dewa kebaikan. Namun kemudian aliran Mani cenderung kepada materialisme dan naturalisme, dan tak lagi mempercayai apa pun yang spiritual.

Sebuah riwayat dalam "al-Kâfî" mengatakan, "Demi Allah! Dia meninggal sebagai syahid." Riwayat lain yang akan kami kemukakan menunjukkan bahwa dia telah berbuat keliru. Bagaimana orang agung seperti itu sampai berbuat keliru besar seperti itu, itu merupakan masalah lain.

Salah seorang sahabat Imam Muhammad Baqir as dikenal dengan nama Abu Ja'far Ahwal. Dia mengatakan bahwa ketika Zaid bin Ali tengah melakukan aktivitas rahasia, suatu hari dia memanggilku dan lalu berkata kepadaku, "Jika di antara kita ada yang bangkit menentang pemerintahan yang ada, siapkah Anda untuk bekerja sama?" Aku jawab, "Ya, asalkan ayah dan saudara Anda setuju." "Aku bemiat bangkit sendiri tanpa melibatkan saudaraku," katanya. "Kalau begitu, aku tak mau bekerja sama," kataku. Dia berkata, "Kenapa? Apakah Anda tak mau berkorban jiwa untukku?" "Aku hanya punya satu nyawa. Jika di dunia ini ada seorang hujah yang ditunjuk oleh Allah SWT, maka orang yang tidak bersama Anda akan selamat, dan orang yang bersama Anda akan celaka. Jika tak ada hujah yang ditunjuk oleh Allah SWT, maka orang yang tidak bersamamu dan yang bersamamu sama saja." (Karena itu tidaklah penting apakah aku bersamamu atau tidak bersamamu dalam pemberontakanmu).

Abu Ja'far Ahwal tahu maksud Zaid. Menurut riwayat ini, Ahwal berkata kepada Zaid bahwa ada seorang hujah di dunia ini dan bahwa hujah itu adalah saudara Zaid, bukan Zaid. Zaid menjawab seperti ini, "Dari mana Anda tahu (bahwa saudaraku adalah hujah) padahal aku sendiri tidak tahu? Ayahku sangat mencintaiku, namun dia tak pernah berkata kepadaku tentang itu. Dia sangat sayang kepadaku, sampai-sampai ketika aku kecil kalau makan dia selalu mendudukkan aku di sebelahnya. Kalau ada makanan yang terlalu panas untukku, ayah selalu mendinginkannya dahulu, kemudian baru menyuapkannya ke mulutku. Mana mungkin seorang ayah yang penyayang dan tak mau kalau mulutku kepanasan membiar-kan aku terbakar di neraka?" Abu Ja'far Ahwal berkata, "Karena ayahmu sangat sayang kepadamu maka dia tak bercerita apa pun kepadamu tentang masalah ini. Dia khawatir kalau mengatakan kepadamu, engkau akan menolaknya, dan karena penolakan ini engkau akan masuk neraka. Ayahmu tahu kalau kamu itu suka memandang rendah. Ayahmu mau agar kamu tetap tidak tahu agar setidak-tidaknya kamu tidak memusuhi saudaramu. Namun ayahmu menyebutkan kebenaran itu kepadaku agar aku menerima kebenaran itu, sehingga aku selamat. Jika tidak, aku pasti akan celaka. Untung-nya aku menerima kebenaran itu."

Abu Ja'far Ahwal mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Zaid tentang siapa yang lebih unggul, anggota keluarganya atau para nabi. Zaid menjawab para nabi. Lalu Abu Ja'far berkata, "Nabi Yakub berkata kepada putranya, Yusuf, yang juga seorang Nabi, 'Putraku, jangan ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, karena kalau kamu ceritakan, mereka akan bersekongkol menentangmu.' Nabi Yakub memberikan nasihat ini karena menyayangi Yusuf. Nabi Yakub tahu jika saudara-saudara Yusuf tahu bahwa Yusuf akan memperoleh kedudukan tinggi seperti itu, mereka tentu akan segera memusuhi Yusuf. Kisah ayah dan saudaramu denganmu persis seperti kisah Yakub dengan Yusuf dan saudara-saudara Yusuf."

Zaid tak dapat menjawab. Pada akhimya Zaid berkata, "Sekarang semua ini telah kamu ceritakan kepadaku. Aku juga akan ceritakan kepadamu bahwa sahabatmu di Madinah (yang dimaksudnya adalah 'Imammu', yaitu Imam Muhammad Baqir as) memberitahuku bahwa aku akan dibunuh dan disalib di tempat sampah di Kufah, dan bahwa dia memiliki sebuah kitab yang meramalkan bahwa aku akan dibunuh dan disalib."

Di sini Zaid membuka lembaran baru. Dia mengemukakan argumen yang sepenuhnya baru. Namun, apa yang dikatakannya mendukung pandangan bahwa dia mempercayai imamah saudaranya. Pada mulanya dia mengatakan sesuatu kepada Abu Ja'far dan terus bicara dengan nada yang sama. Namun ketika tahu bahwa Abu Ja'far mempercayai imamah, dia mengubah arah umum pembicaraannya dan menjelaskan bahwa dia menyadari posisi yang sebenarnya. Dia menunjukkan bahwa dirinya akan melakukan perjuangan dengan sepengetahuan dan seizin saudaranya. Abu Ja'far menambahkan bahwa suatu ketika dia pergi ke Mekah. Di sana dia sampaikan cerita ini kepada Imam Ja'far Shadiq as, dan Imam mendukung pandangannya.
Menurut riwayat lain, Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Di dunia ini akan selalu ada seorang imam." Dia juga diriwayatkan mengata­kan, "Jika tinggal dua orang saja, maka salah satunya akan menjadi hujah bagi yang lain."

Ada sebuah riwayat dari Imam Ali Ridha as. Dalam kaitan ini ada banyak riwayat. Ada sebuah riwayat terperinci yang berkaitan dengan Imam Ridha as. Seseorang bernama Abdul Aziz bin Muslim berkata, "Kami sedang di Marw bersama Imam Ridha as, ketika dia pergi ke Khurasan padahal dia masih sah sebagai ahli waris. Pernah di harijumat kami tengah berada di Masjid Jami'. Imam Ridha as tak ada di sana. Di masjid itu banyak orang tengah membicarakan masalah imamah. Seusai salat, aku mendatangi Imam Ridha as. Aku katakan kepadanya apa yang telah terjadi di sana. Imam Ridha as tersenyum, lalu berkata, 'Orang-orang ini tak tahu apa-apa, pendapat-pendapat mereka tidak ada yang benar. Allah SWT mewafatkan Nabi-Nya hanya setelah Nabi-Nya menyelesaikan misinya.' Allah SWT telah menurunkan Al-Qur'an yangJberisi semua norma hukum dan segala yang halal atau haram." Dalam Al-Qur'an telah ada apa yang dibutuhkan manusia dalam kaitannya dengan agama mereka. Al-Qur'an sendiri mengatakan:
Tiadalah Kami lalaikan sesuatu pun di dalam Kitab ini. (QS. al-An'âm: 38)

Dengan kata lain, tak ada yang ketinggalan. (Setidak-tidaknya semua norma hukum telah dijelaskan di dalamnya). Ketika berhaji perpisahan menjelang akhir hayatnya, Nabi Muhammad saw membacakan ayat ini: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Imam Ridha as melanjutkan, "Agama belum sempurna tanpa doktrin imamah. Nabi saw baru meninggalkan dunia ini setelah menjelaskan kepada umatnya semua poin utama agama mereka, menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan menjadikan Imam Ali as sebagai suar dan pendorong. Ringkas kata, Al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa tak ada yang ketinggalan. Namun bukankah Al-Qur'an tidak menjelaskan secara terperinci? Sesungguhnya yang dibicarakan oleh Al-Qur'an hanyalah masalah-masalah pokok dan norma umum yang dibutuhkan manusia. Salah satu masalah utama yang dibicarakan oleh Al-Qur'an adalah masalah imamah.

Al-Qur'an menunjukkan bahwa penerus Nabi saw adalah seseorang yang tahu interpretasi Al-Qur'an dan makna sejatinya bukan berdasarkan logikanya sendiri, yang terkadang bisa benar dan terkadang bisa salah, namun berdasarkan pengetahuan ilahiahnya tentang karakter esensial Islam. Allah mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an telah Dia sebutkan segalanya. Bahkan sedetail-detailnya pun tak ada yang terlewatkan, namun yang tahu detail-detailnya itu hanyalah orang yang tahu Islam dari A sampai Z. Orang yang sepenuhnya tahu Islam selalu ada dan akan selalu ada di tengah-tengah umat. Jika ada yang mengira bahwa Allah SWT belum menyempurnakan agama-Nya, berarti dia menafikan Kitab Allah. Dan siapa pun yang menafikan Kitab Allah, berarti dia kafir. Apakah orang-orang yang berpendapat bahwa imam dipilih oleh umat tahu nilai imamah dan posisi imamah dalam umat? Mereka mengira bahwa memilih imam persis seperti memilih komandan tentara, padahal arti imam adalah dengan ditunjuknya imam, menurut Al-Qur'an, maka agama jadi sempurna. Kita tahu bahwa Al-Qur'an tidak membicarakan masalah-masalah kecil. Pengetahuan tentang masalah-masalah kecil tersebut dianugerahkan kepada imam. Pengetahuan imam mengenai Islam sangat sempurna. Orang tak bisa mengatakan siapakah orang seperti ini. Itulah sebabnya mereka tak dapat memilih imam, karena mereka tak dapat memilih nabi.

Imamah terlalu berharga, terlalu tinggi, dan terlalu dalam bagi orang untuk memahaminya dengan pikiran mereka. Imamah tak dapat dimengerti orang. Karena itu imamah tak dapat diputuskan melalui pemilihan. Yang dapat ditentukan oleh orang hanyalah masalah opsional. Untuk masalah opsional, agama tak campur tangan langsung. Pada dasarnya agama tak campur tangan, karena kalau campur tangan, lantas apa gunanya akal dan pikiran? Manusia sendiri yang memutuskan masalah yang menjadi bidang pemikiran manusia, namun di luar bidang pemikiran manusia, tak ada pilihan manusia. Imamah terlalu berharga, terlalu tinggi, terlalu sulit dan terlalu dalam bagi manusia untuk tahu Imam mereka atau untuk memilih sendiri imam mereka. Allah SWT mula-mula memilih Ibrahim as sebagai Nabi-Nya dan sahabat-Nya, dan baru kemudian mengangkatnya menjadi Imam. Kalau Anda ingin tahu makna sejati imamah, maka perlu Anda pahami bahwa imamah beda dengan apa yang dewasa ini dikatakan orang. Imamah bukanlah memilih penerus Nabi saw untuk mengurus urusan umat saja. Imamah merupakan suatu posisi yang dicapai oleh Nabi Ibrahim as setelah menjadi seorang nabi. Setelah mencapai posisi Imam, Nabi Ibrahim as begitu bahagia sampai-sampai dia mengatakan, "Dan dari keturunanku" (Apakah akan jadi imam)? Dia ingin sebagian keturunannya juga mencapai posisi seperti yang telah dicapainya. Jawabannya adalah: "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Sudah kami jelaskan makna jawaban ini. Jelaslah Nabi Ibrahim as tak mungkin minta agar Allah SWT menganugerahkan imamah kepada orang yang zalim. Yang dipikirkan Nabi Ibrahim as hanyalah keturunannya yang baik. Karena itu arti jawaban ini adalah bahwa imamah akan dianugerahkan hanya kepada keturunan Nabi Ibrahim as yang catatan masa lalunya juga tak tercela.

Imam Ridha as selanjutnya mengatakan: "Ayat ini meniadakan kemungkinan imamah diemban oleh orang zalim sampai Hari Kiamat, dan imamah hanya diemban oleh orang-orang pilihan dari keturunan Nabi Ibrahim as. Allah SWT telah memuliakan Nabi Ibrahim as dengan menempatkan imamah pada orang-orang pilihan lagi suci dari keturunannya.' Setelah berkata demikian, Imam Ridha as mengutip ayat-ayat ini dan mendasarkan argumennya pada ayat-ayat ini: Dan telah Kami berikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Yakub sebagai anugerah (dari Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Telah Kamijadikan mereka Imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan. (QS. al-Anbiyâ': 72-73)

Al-Qur'an menggarisbawahi fakta bahwa imamah akan selamanya berlanjut pada keturunan Nabi Ibrahim as. Ulama terkemuka, Muhammad Taqi Syari'ati, dalam kitabnya, "Khilafah dan Wilayah", membahas panjang lebar pertanyaan kenapa Al-Qur'an yang tidak mengenal diskriminasi etnis sampai berkata demikian. Dari sudut pandang etnis, keturunan merupakan istilah teknis. Mengapa hanya keturunan Nabi Ibrahim as saja yang mampu mengemban imamah, itu lain masalah.

Imam Ridha as menambahkan, "Mana mungkin orang-orang bodoh ini memilih Imam?" Nabi Ibrahim as menjadi Imam hanya setelah dia menjadi Nabi. Mana mungkin orang-orang bodoh ini memilih seseorang untuk mengemban jabatan tinggi seperti itu? Dapatkah jabatan seperti itu diberikan kepada seseorang melalui pemilihan? "Imamah adalah kualitas para nabi dan warisan ahli waris." Imamah adalah sesuatu yang tradisional, dalam pengertian bahwa kompetensi untuk mengemban Imamah diturunkan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, imamah tetap sama sekali bukan bersifat turun-temurun. "Imam adalah wakil Allah SWT dan khalifah Nabi saw." Kedudukan sebagai wakil seperti inilah yang pertama kali diemban Adam. "Imam mengurusi agama." .Imamah merupakan suatu organisasi kaum Muslim dan sebuah sistem kehidupan mereka. Kemakmuran, keselamatan dan kemuliaan mereka tergantung pada imamah. Imamah adalah basis Islam dan bagian tertinggi dari Islam. "Penunaian salat, zakat, puasa, haji dan jihad dan seterusnya berkaitan dengan eksistensi imam."

Kesimpulan

Semua ini membawa kita kepada garis pemikiran yang logis. Kalau kita menerimanya, itu ada dasarnya. Kalau seseorang menolaknya, itu lain soal. Garis pemikiran yang logis ini beda dengan garis pertanyaan dangkal dan biasa-biasa saja yang dibicarakan oleh mayoritas teolog ilmiah. Misal, mereka mengatakan bahwa Abu Bakar menggantikan Nabi saw sebagai Khalifah pertama, sementara Ali as adalah Khalifah keempat. Kini para teolog tersebut membahas masalah apakah Ali as semestinya menjadi Khalifah pertama atau, misalnya, keempat, dan apakah Abu Bakar memenuhi syarat untuk menjadi imam. Kemudian mereka membahas persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang imam dalam pengertian kepala negara Muslim. Tak diragukan lagi masalah ini juga mendasar nilai pentingnya, dan dari sudut pandang ini kaum Syiah dalam hubungan ini merasa keberatan dan sangat absah juga, namun berdasarkan sikap moral tidaklah benar mengacaukan isu imamah dengan masalah apakah Abu Bakar memenuhi syarat untuk menjadi imam atau tidak. Sesungguhnya kaum Sunni tidak mempercayai imamah dalam pengertian kaum Syiah. Ringkas kata, kaum Sunni berpendapat bahwa aspek-aspek metafisis manusia yang disebutkan Allah SWT dalam kaitannya dengan Adam as, Ibrahim as dan lainnya hingga Nabi saw, sudah berakhir. Sekarang semua manusia adalah biasa-biasa saja. Paling banter, ada yang menjadi ulama karena memiliki pengetahuan. Mereka terkadang berbuat keliru, dan terkadang tidak. Ada yang menjadi penguasa. Sebagian ada yang tanpa cela, sebagian ada yang tercela. Itulah ujung masalahnya. Kaum Sunni tidak mempercayai adanya hujah Allah SWT yang punya kontak dengan alam metafisis. Sedangkan kita percaya adanya hujah Allah SWT yang seperti itu. Kaum Sunni berpendapat bahwa dengan wafatnya Nabi saw maka semua ini sudah berakhir.

Menurut kaum Syiah, jelas sudah bahwa akhir kenabian adalah kenabian Nabi Muhammad saw. Sekarang tak ada lagi nabi, dan tak ada lagi agama baru yang akan dibawa oleh manusia siapa pun.

Hanya ada satu agama, dan itu adalah Islam. Nabi saw adalah Nabi terakhir. Namun masalah hujah dan manusia sempurna sama sekali belum berakhir. Karena manusia pertama adalah dari kategori ini, maka manusia terakhir tentu juga seperti manusia pertama. Di antara kaum Sunni hanya kaum sufi yang mempercayai doktrin ini, sekalipun mereka juga menyebutnya lain. Itulah sebabnya kita melihat bahwa sebagian sufi, meskipun mereka itu Sunni, dalam tulisan-tulisan mereka, mereka menerima doktrin imamah dalam pengertian kaum Syiah. Muhyiddin ibn Arabi adalah orang Andalusia. Andalusia (Spanyol) adalah salah satu negeri yang penduduknya bukan saja Sunni namun juga sangat anti-Syiah, dan ada warna Nasibisme pada diri mereka. Alasannya adalah Andalusia mulanya ditaklukkan oleh Umayah yang lama menguasainya. Umayah sangat membenci rumah tangga Nabi saw. Barangkali di Andalusia tak ada orang Syiah. Kalau pun ada, jumlahnya sedikit sekali. Muhyiddin adalah orang Andalusia, namun karena ada jiwa ahli irfannya, maka dia percaya bahwa di muka bumi selalu ada seorang wali dan hujah. Muhyiddin menerima sudut pandang Syiah dalam hubungan ini, dan menyebutkan secara terperinci nama para imam. Ketika menyebutkan imam terakhir, dia bahkan sampai mengklaim bahwa secara pribadi dirinya pernah bertemu Muhammad bin Hasan al-Askari (Imam Mahdi as—peny.) di suatu tempat beberapa tahun setelah 600 H. Meskipun demikian, dia tetap saja mengeluarkan pernyataan negatif tentang doktrin Syiah. Pada dasarnya dia se­orang Sunni yang berprasangka. Namun karena ada kecenderungan ahli irfannya, maka dia mengakui bahwa mustahil di muka bumi ini ada zaman yang tanpa wali (atau hujah seperti dikatakan para imam kami). Bahkan dia menyatakan, "Aku pernah beraudiensi dengan Muhammad bin Hasan al-Askari, yang sekarang tengah gaib dan usianya sekarang lebih dari tiga ratus tahun."

Pertanyaan dan Jawaban

Pertanyaan: Seperti An da katakan, memang pokok masalah utama perselisihan antara Syiah dan Sunni adalah masalah Khilafah dan Wilayah. Sayangnya, kebanyakan orang Syiah yang tidak mengetahui karakter hakiki imamah, bertanya mengapa Al-Qur'an hanya menyebut kata wilayah saja, dan tak ditemukan kata khilafah di dalamnya, padahal khilafah beda dengan wilayah. Itulah sebabnya kenapa saya ingin mengetahui dengan pasti apakah kata "maula" juga diterjemahkan "khalifah"'. Kemudian saya mendapati bahwa kamus terkenal "al-Munjid" menyebut "khalifah" sebagai salah satu arti dan "maula". Dengan demikian, menurut hernat saya, masalah ini sekarang perlu dipecahkan. Dalam hubungan ini, saya ingin tahu mana kata yang benar, khalifah atau khalif. Tentu saja Al-Qur'an menggunakan kata "khalifah".

Jawaban: Tidak betul. Dalam Al-Qur'an kata "khalifah" tidak digunakan dalam pengertian seperti yang biasa kita gunakan, meskipun dalam tradisi Syiah kata ini sering digunakan dalam pengertian ini. Namun penggunaan kata khusus tidak begitu penting. Arti penting khalifah dalam bangunan khalifah (wakil) Allah SWT sangat berbeda dengan arti pentingnya dalam bangunan khalifah Rasul (pengganti Nabi saw). Kita tidak perlu memberikan penekanan yang tidak perlu pada apakah kata ini digunakan dalam Al-Qur'an atau sunah atau tidak. Yang penting adalah pengertian kata itu, bukan kata itu sendiri.

Anda katakan bahwa khalifah adalah salah satu arti dari maula. Itu tidak betul. Menurut saya, Anda keliru. Dalam "al-Munjid" kata itu adalah halif, bukan khalif. Arti halif adalah sekutu atau pendukung. Di kalangan kaum Arab, dua atau lebih individu atau suku suka bersumpah mau saling membantu. Mereka disebut hulafa, dan masing-masing disebut halif-nya yang lain. Jadi kalau kata maula digunakan dalam pengertian halif, artinya tetap saja pembantu dan pendukung.

Catatan:

[1] Pada saat itu kata "zindiq" belum merupakan istilah yang kasar atau menghina seperti sekarang. Pada masa itu sejumlah orang disebut zindiq, dan mereka tidak merasa terhina disebut begitu. Di zaman kita, seperti itu pula kata "materialis". Tentu saja ahli tauhid tak pernah mau disebut begitu. Namun seorang materialis akan bangga kalau disebut materialis. Mengenai asal kata "zindiq", ada berbagai teori. Kebanyakan percaya bahwa zindiq adalah kaum Mani yang muncul pada awal abad kedua, yaitu masa hidupnya Imam Shadiq as. Banyak orang Barat dan sarjana lain membahas masalah kaum zindiq dalam Islam. Mereka berkesimpulan bahwa kaum zindiq adalah pengikut Mani. Perlu diingat bahwa ajaran Mani bukanlah anti-Tuhan.



Imamah Menurut Al-Qur'an


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Pada bab terdahulu sudah dibahas ayat "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu." Dalam pembahasan itu saya katakan bahwa bukti internal dan eksternal berkenaan dengah ayat ini menunjukkan bahwa, seperti diriwayatkan baik oleh kaum Syiah maupun kaum Sunni, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.

Karena sekarang yang kami bahas adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar dari argumen-argumen Syiah mengenai imamah, maka kami kutipkan dua atau tiga ayat saja untuk menjelaskan arah umum argumen-argumen Syiah. Salah satunya adalah sebuah ayat dalam Surah al-Mâ`idah ayat 67, "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu sampaikan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya," Perlu ada pengantar, karena akan membantu memahami ayat ini dan ayat sebelumnya.

Posisi Khusus Ayat-ayat tentang Keturunan Nabi saw

Satu hal yang benar-benar cukup misterius adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan keturunan Nabi saw, khususnya ayat-ayat yang, dari sudut pandang Syiah, berkenaan dengan Imam Ali as, gaya pengungkapannya khas. Meskipun ayat-ayat ini memiliki bukti internal yang memadai untuk menunjukkan arti pentingnya, namun ayat-ayat ini disisipkan di antara beberapa ayat lain yang membicarakan beberapa masalah lain. Itulah sebabnya perlu ada upaya untuk memahami arti pentingnya. Kekhasan ini telah dibahas oleh Muhammad Taqi Syari'ati dalam bukunya, "Imâmah dan Khilâfah". Meski bukan dia saja yang membahas hal ini, namun barangkali dialah orang pertama yang membahasnya dalam bahasa Persia. Kekhasan ini juga merupakan jawaban untuk mereka yang bertanya kenapa nama Imam Ali as tidak secara khusus disebut dalam Al-Qur'an.

Ayat Thathhîr (Penyucian)

Misal, ada sebuah ayat yang dikenal dengan nama ayat Thathhîr (penyucian): Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahtulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzâb: 33). Di sini arti penyucian adalah penyucian tertentu yang disebutkan oleh Allah SWT. Artinya bukan pembersihan medis atau pembersihan biasa. Bukan begitu artinya. Sesungguhnya artinya adalah menghilangkan semua yang dianggap oleh Al-Qur'an rijs atau rujz, yaitu semua jenis dosa dogmatis, moral dan praktis. Itulah sebabnya dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan kemaksuman para anggota rumah tangga Nabi saw dan menunjukkan bahwa mereka bebas dari segala kotoran, ketidakmurnian, dan najis.

Misal saja kita ini bukan Syiah dan juga bukan Sunni, melainkan orientalis Kristiani yang ingin mengetahui apa yang dikatakan oleh Kitab Suci kaum Muslim. Kita melihat ayat ini dan kemudian kita melihat ke sejarah Islam dan riwayat-riwayat kaum Muslim, kita mendapati bahwa bukan saja pengikut keturunan Nabi saw, yang dikenal sebagai Syiah, namun juga golongan yang bukan pendukung khusus keturunan Nabi saw seraya menyebutkan peristiwa turunnya ayat di atas mereka mengatakan dalam kitab-kitab autentik mereka bahwa ayat itu berkenaan dengan Imam Ali as, Fatimah az-Zahra as, Imam Hasan as, Imam Husain as dan Nabi saw sendiri. Ada sebuah riwayat Sunni yang mengatakan ketika ayat ini turun, Ummu Salamah,[1] salah seorang istri Nabi saw, mendatangi Nabi saw dan bertanya apakah ayat ini berlaku juga untuk dirinya. Nabi saw menjawab bahwa Ummu Salamah, meski diberkahi, namun tidak termasuk di antara orang-orang yang dimaksud oleh ayat itu. Yang meriwayatkan hadis ini lebih dari satu atau dua orang. Banyak riwayat yang isi umumnya seperti ini terdapat dalam kitab-kitab Sunni.

Kita melihat bahwa sebelum dan sesudah ayat terkutip di atas ada ayat-ayat yang berkenaan dengan istri-istri Nabi saw, "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda dengan wanita-wanita lain." (Tentu saja ayat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa istri-istri Nabi saw lebih unggul dibanding wanita-wanita lain). "Wahai Istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian berbuat dosa, maka hukuman baginya akan diduakalikan. Hukumannya akan diduakalikan, karena dia bukan saja melakukan dosa tertentu itu, namun juga melanggar kesucian suaminya dan bersalah melanggar hal-hal yang dianggap suci." Juga, "Barangsiapa di antara kalian patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan berbuat baik, maka pahala baginya akan Kami duakalikan." Dia akan mendapat pahala dua kali karena perbuatan bajiknya sesungguhnya terdiri atas dua perbuatan. Kasus ini sama dengan kasus para sayid yang disebut-sebut akan mendapat dua kali pahala untuk kebaikan yang mereka lakukan, dan dua kali hukuman untuk dosa yang rnereka lakukan. Itu bukan karena dosa yang dilakukan mereka beda dengan dosa yang dilakukan orang lain, namun karena fakta bahwa dosa mereka lipat dua. Misal, seorang sayid, na'udzubillah min dzalik, minum minuman keras, maka dia selain telah berbuat dosa, juga bersalah karena melanggar hal-hal yang dianggap suci, karena dia adalah keturunan Nabi saw, dan siapa pun yang melihatnya terang-terangan menentang ajaran Nabi saw, akan memperoleh kesan yang salah tentang Islam.

Dalam ayat-ayat ini semua kata gantinya adalah feminim. "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda dengan wanita lain, jika kalian takut kepada Allah." Jelaslah di sini yang dituju adalah istri-istri Nabi saw. Setelah dua atau tiga ayat, kata gantinya tiba-tiba berubah menjadi maskulin, dan kita sampai pada ayat ini: "Wahai ahlulbait, Allah hendak meniadakan semua jenis kekotoran darimu dan hendak menyucikanmu sesuci-sucinya" Kemudian, lagi kata ganti feminim digunakan dua kali. Al-Qur'an tidak mungkin sembrono. Dalam ayat ini kita catat dua perubahan. Pertama, di sini digunakan kata-kata "ahlulbait", padahal sebelumnya yang disebut adalah "Istri-istri Nabi". Kedua, kata ganti feminim digantikan kata ganti maskulin. Pergantian ini bukan tanpa alasan. Ayat ini sesungguhnya membicarakan per­soalan lain bukan persoalan yang dibicarakan ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya menetapkan kewajiban tertentu bagi istri-istri Nabi saw dan di antaranya menunjukkan ancaman, ketakutan, harapan dan perintah. Kepada istri-isri Nabi saw, Al-Qur'an mengatakan: Dan tetaplah di rumah-rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah. (QS. al-Ahzâb: 33)

Dalam ayat ini ada perintah dan ada ancaman. Istri-istri Nabi saw dikatakan bahwa kalau mereka berperilaku baik, maka akibatnya akan begini, namun jika mereka berperilaku lain, maka akibatnya juga akan lain. Dalam ayat ini ada ketakutan dan ada harapan.

Ayat ini, yaitu ayat Thathhîr (penyucian), lebih dari sekadar ungkapan pujian. Ayat ini menunjukkan bahwa ahlulbait Nabi saw maksum, hebas dari segala dosa dan kesalahan. Ayat ini independen, tak ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw, sedangkan ayat ini ditujukan kepada ahlulbait Nabi saw. Dalam ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, digunakan kata ganti feminim, namun dalam ayat ini digunakan kata ganti maskulin. Namun ayat ini, yang tak ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, disisipkan di tengah. Ini dapat disebut kalimat sisipan. Kita semua tahu bahwa terkadang pembicara yang tengah berbicara ten tang suatu masalah tiba-tiba menyimpang dari masalah yang tengah dibicarakan namun kemudian kembali lagi ke masalah yang tengah dibicarakannya. Itulah sebabnya para imam kami menyatakan bahwa bisa saja beberapa ayat Al-Qur'an membicarakan satu masalah pada awalnya, masalah lain di tengahnya dan masalah lain lagi di akhirnya. Berkaitan dengan penafsiran Al-Qur'an, poin ini banyak ditegaskan.

Bukan saja hadis-hadis dan para imam kami mengatakan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, semua sumber Sunni juga meriwayatkan fakta ini.

Contoh lain ayat sisipan adalah: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Di sini juga kita lihat kasus yang sama, yang sedikit lebih mengherankan. Ayat-ayat sebelum ayat ini membicarakan norma hukum yang sangat sederhana dan biasa: Dihalalkan bagimu bmatangternak,.... Diharamkan bagimu (makan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, daging hewan yang dicekik, yang dipukuli, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas. (QS. al-Mâ`idah: 1, 3)

Lalu tiba-tiba topiknya berubah, dan kita mendapati ayat ini: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itujanganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itujadi agama bagimu. (QS. al-Mâ`idah: 3)

Lalu tema yang dibicarakan sebelumnya, kembali dibicarakan lagi. Pada dasarnya dua ayat ini tidak sesuai dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jelaslah ayat-ayat ini disisipkan di tengah ayat-ayat yang membicarakan satu masalah yang lain sekali. Begitu pula dengan ayat yang baru saja kami bicarakan. Ternyata ayat ini disisipkan di antara ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga kalau ayat ini dihilangkan, maka ayat-ayat lain tersebut tetap nyambung. Juga, jika ayat "Pada hari ini telah Kusempurnakan." Dihilangkan, aliran harmonis ayat-ayat sebelum dan sesudahnya tidak akan terganggu. Ayat ini disisipkan di tengah ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga ayat ini bukan bagian belakang dari ayat sebelumnya, juga bukan pembuka ayat sesudahnya. Ayat ini membicarakan satu masalah yang beda sekali. Indikasi internal ayat ini sendiri maupun riwayat-riwayat dari sumber Syiah dan Sunni, semuanya mendukung pandangan bahwa ayat ini independen. Namun kenapa ayat ini disisipkan di antara ayat-ayat yang tak ada kaitannya? Tentu saja ada alasannya, dan alasan itu tentu tepat.

Alasan

Alasan yang juga disebutkan oleh para imam dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Karena itu, dari semua ajaran Islam, perintah Allah SWT, yang berkaitan dengan posisi istimewa keturunan Nabi saw dan imamah Imam Ali as, adalah yang paling kecil kemungkinannya untuk diimplementasikan. Karena sudah berurat berakar prasangkanya, orang-orang Arab tampaknya yang paling tidak siap untuk menerima konsepsi-konsepsi ini. Meskipun Nabi saw telah menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan Imam Ali as, namun Nabi saw tahu bahwa jika Nabi saw menyampaikan konsepsi-konsepsi ini, tentu Nabi saw akan dituduh nepotisme oleh kaum munafik yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an, sekalipun fakta menunjukkan bahwa Nabi saw tak pemah mengistimewakan dirinya di atas orang lain. Sesuai dengan ajaran Islam, Nabi saw tak pernah melakukan diskriminasi, dan kualitas Nabi saw seperti ini merupa­kan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan Nabi saw. Memproklamasikan Imam Ali as sebagai penerus Nabi saw merupakan perintah Allah SWT, namun Nabi saw tahu bahwa orang-orang yang lemah imannya tentu akan mengatakan bahwa Nabi hendak mengistimewakan dirinya. Kita tahu bahwa dalam ayat di atas kata-kata "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu," didahului dengan kata-kata "'Pada hari ini kaum hafir telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu, maka janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku." Yang dimaksud adalah bahwa orang-orang kafir telah kehilangan setiap harapan untuk berhasil menghancurkan Islam, maka dari itu janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Seperti dijelaskan sebelumnya, mencabut karunia dan nikmat-Nya dari orang-orang yang kondisi jiwanya buruk, merupakan cara ilahiah Allah. Orang-orang seperti itu bahkan akan kehilangan Islam yang juga merupakan nikmat Allah SWT. Mengatakan "Takutlah kepada-Ku" merupakan cara mengatakan "Takudah kepada dirimu sendiri." Dengan kata lain, kaum Muslim tak lagi menghadapi bahaya dari luar, namun yang mereka hadapi adalah ancaman dari dalam.

Dapat dicatat bahwa ayat ini merupakan satu bagian dari Surah al-Mâ`idah, Surah terakhir yang turun kepada Nabi saw, dan turunnya pada dua atau tiga bulan terakhir masa hidup Nabi saw. Pada saat itu Islam sudah kuat.

Keyakinan bahwa kaum Muslim menghadapi bahaya dari dalam saja, bukan dari luar, juga disampaikan oleh ayat lain yang sudah kami kutipkan sebelumnya. Ayat itu mengatakan: Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika kamu tidak melakukannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Ku. Allah akan melindungimu dari (gangguan) manusia. (QS. al-Mâ`idah: 67)

Dapat disebutkan bahwa dalam Al-Qur'an tak ada ayat lain yang mendesak Nabi saw untuk melaksanakan tugas khusus. Dari nada ayat ini kesannya seakan-akan seseorang dipaksa untuk melakukan sesuatu, namun dia ragu-ragu. Dalam ayat ini Nabi saw diminta untuk menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Nabi sawjuga diancam, jika tidak menyampaikan, maka Nabi saw dianggap gagal sebagai Rasul. Pada saat yang sama Nabi saw mendapat jaminan akan dilindungi dan karena itu Nabi saw tak perlu merasa takut. Dalam ayat sebelumnya, kaum Muslim diminta untuk tidak takut kepada kaum kafir. Dengan begitu Nabi saw diantisipasi tidak akan takut kepada kaum kafir. Namun ayat ini menunjukkan bahwa Nabi saw masih takut dan cemas tentang sesuatu. Tentu saja Nabi saw tidak mungkin takut kepada kaum kafir. Nabi saw sadar akan bahaya bergolaknya orang-orang yang tak mau menerima suksesi Imam Ali as. Tak dapat saya katakan apakah orang-orang ini juga kafir hatinya sehingga mereka tak dapat menerima konsepsi imamah Imam Ali as.

Bukti Sejarah

Peristiwa-peristiwa sejarah juga menuturkan kisah yang sama. Dengan kata lain, sosiologi kaum Muslim menunjukkan hal yang sama. Kita tahu Umar mengatakan, "Kami tidak memilih Ali, sebagai langkah jaga-jaga untuk kepentingan Islam." Kaum Quraisy tak mau menerima Imam Ali as, karena mereka tidak dapat mentoleransi Imam Ali as.

Kaum Quraisy menganggap tidak benar kalau kenabian dan imamah keduanya ada dalam satu keluarga. Yang ingin dikatakan Umar adalah bahwa Bani Hasyim telah mendapat kemuliaan berkat kenabian. Apakah kekhalifahan juga akan ada di keluarga itu, sehingga semua kemuliaan ada di satu rumah. Itulah alasan kenapa kaum Quraisy tidak menyukai imamah Imam Ali as. Ibn Abbas memberikan jawaban yang sangat meyakinkan terhadap perkataan Umar dan mengutip banyak ayat Al-Qur'an untuk mendukung argumennya.

Kelihatannya situasi serupa yang ada di masyarakat Muslim diungkapkan dengan cara yang berbeda, oleh Al-Qur'an begini dan oleh Umar begitu. Misal, sebuah riwayat menyebutkan bahwa Imam Ali as dianggap tidak tepat untuk menjadi Khalifah karena Imam Ali as telah membunuh begitu banyak tokoh Arab di berbagai pertempuran Islam. Orang-orang Arab, anak-cucu tokoh-tokoh Arab yang telah dibunuh oleh Imam Ali as menaruh dendam kepada Imam Ali as, sekalipun setelah mereka masuk Islam. Sebagian orang Sunni juga mengemukakan argumen ini. Mereka mengatakan bahwa sekalipun Imam Ali as lebih unggul dibanding sahabat lain dan lebih memenuhi syarat, namun Imam Ali as tidak dipilih karena musuhnya banyak.

Jadi, di zaman Nabi saw atmosfernya diwarnai perasaan cemas. Dan pengumuman tentang suksesi Imam Ali as akan menyulut pemberontakan. Barangkali itulah sebabnya Al-Qur'an menyebut masalah imamah dalam ayat-ayat ini sedemikian rupa sehingga arti penting ayat-ayat ini dapat dimengerti oleh setiap orang yang objektif atau tak berprasangka. Al-Qur'an tidak mengemukakan masalah ini dengan cara yang kalau masalah ini ditolak oleh orang-orang yang cenderung menolaknya, maka penolakan itu akan menimbulkan penolakan terhadap Islam dan Al-Qur'an. Dengan kata lain, Al-Qur'an masih memberikan kesempatan kepada para penentang untuk menyembunyikan penolakan mereka di balik tirai tipis. Seperti itu pula alasan kenapa ayat Thathhîr juga disisipkan di antara ayat-ayat lain. Namun setiap orang yang jujur dan berakal sehat dapat menangkap makna sejatinya dan dapat melihat independensi ayat ini. Begitu pula dengan ayat "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu," dan ayat "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu."

Ayat "Walimu hanyalah Allah"

Ada beberapa ayat lain berkenaan dengan persoalan ini yang menarik untuk dipikirkan dengan seksama. Ayat-ayat ini rasanya memiliki makna khusus. Makna khusus ini dapat dipahami dengan bantuan riwayat-riwayat mutawatir saja. Salah satu ayat ini mengatakan sebagai berikut: Sesungguhnya walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat sementara mereka rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)

Menunaikan zakat sembari rukuk bukanlah prosedur biasa atau normal. Maka tak dapat dikatakan bahwa hal ini disebutkan sebagai norma umum. Karena itu ayat ini pasti berkenaan dengan peristiwa tertentu. Ayat ini mengisyaratkan ke arah peristiwa ini sedemikian rupa sehingga kalau ditolak tidak dapat dianggap melawan Al-Qur'an. Namun setiap orang yang tak berprasangka akan mudah berkesimpulan bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa tertentu yang tidak biasa. Orang-orang yang menunaikan zakat sembari rukuk tidak merujuk ke praktik yang lazim. Ayat ini mengindikasikan suatu peristiwa yang luar biasa. Peristiwa apa itu? Kita tahu bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as.

Apa Kata Ahli Irfan

Ada beberapa ayat lain yang artinya baru dapat diketahui setelah melalui pemikiran yang mendalam. Itulah sebabnya ahli-ahli irfan* mengatakan bahwa masalah imamah dan wilayah merupakan sisi dalam dari hukum Islam. Itulah juga yang dipercaya kaum Syiah. Karena itu ahli-ahli irfan sangat bagus pengungkapannya mengenai konsepsi ini. Untuk memahami masalah Imamah, perlu masuk ke intinya, karena pada dasarnya masalah imamah membutuhkan pemikiran yang mendalam. Hanya orang-orang yang memiliki kualitas ini sajalah yang dapat memahami dengan baik masalah ini. Mereka mengajak orang untuk juga masuk ke inti masalah ini. Ada yang menanggapi, dan ada pula yang tidak. Sekarang kita lihat ayat lain, agar logika argumen kaum Syiah bisa dipahami sepenuhnya.

Konsep Imamah

Dalam Al-Qur'an ada sebuah ayat yang termasuk dalam rangkaian ayat yang tengah kita bahas. Ayat luar biasa ini tidak berkaitan dengan pribadi Imam Ali as, namun membicarakan doktrin imamah dalam arti yang sudah kami jelaskan, dan sekarang akan kami jelaskan dengan singkat.

Seperti sudah kami katakan, kekeliruan lama teolog-teolog ilmiah Muslim adalah membahas masalah imamah dengan cara seakan-akan konsepsi imamah kaum Syiah maupun kaum Sunni sama namun hanya saja perbedaan kedua kaum ini soal kondisinya saja. Kaum Syiah mengatakan bahwa imam haruslah maksum dan diangkat melalui keputusan Allah SWT, sedangkan kaum Sunni tidak mengakui sudut pandang itu. Fakta aktualnya adalah bahwa kaum Sunni sama sekali tidak mempercayai konsepsi imamah yang diyakini kaum Syiah. Imamah yang diyakini kaum Sunni hanyalah aspek duniawi dan salah satu fungsi dari imamah yang sesungguhnya. Mengenai kenabian, kita juga melihat bahwa Nabi saw adalah pemimpin umat Muslim, namun kepemimpinan ini atau kedudukannya sebagai pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai seorang Nabi. Kepemimpinannya tidak berarti bahwa kenabian dan kepemimpinan sinonim. Kenabian adalah sebuah realitas yang begitu banyak sisinya. Salah satu sifat khas seorang nabi adalah kalau ada nabi maka siapa pun selain nabi tak dapat menjadi penguasa atau pemimpin umat Muslim. Kaum Sunni mengatakan bahwa imamah berarti tak lebih dari administrasi pemerintahan dan bahwa imam adalah kepala administrasi ini atau penguasa kaum Muslim. Dia dipilih oleh kaum Muslim dari kalangan mereka sendiri. Konsep Sunni tentang imam tak lebih dari status kepala negara Muslim. Namun menurut Syiah, imamah adalah sebuah posisi yang sama dengan kenabian, dan dalam beberapa hal bahkan lebih tiriggi daripada Kenabian. Para nabi papan atas, mereka itu juga imam. Banyak nabi yang sama sekali bukan imam. Bahkan para nabi papan atas mendapat tugas imamah jauh setelah mereka jadi nabi.

Pendek kata, kalau kita mengakui bahwa imamah adalah seperti kenabian, maka kita juga harus akui bahwa karena adanya seorang nabi yang memiliki aspek manusia super maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa, adanya seorang imam maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa. Masalah ini baru muncul ketika tak ada imam, entah karena imam sama sekali tak ada atau karena imam tengah gaib seperti yang tengah terjadi di zaman kita ini. Kita tak boleh mencampuradukkan masalah imamah dengan masalah pemerintahan dan kemudian bertanya apa kata kaum Sunni dalam hal ini dan bagaimana pandangan Syiah. Sesungguhnya masalah pemerintahan beda dengan masalah imamah. Menurut kaum Syiah, imamah merupakan sebuah fenomena yang persis seperti fenomena kenabian, dan itu juga seperti derajat tertingginya. Maka dari itu kaum Syiah mempercayai imamah, sedangkan kaum Sunni tidak. Menurut kaum Sunni, syarat yang diperlukan bagi seorang imam beda.

Imam dalam Keturunan Nabi Ibrahim as

Ayat yang sekarang ingin kami kutip dengan jelas menunjukkan konsep imamah yang diyakini kaum Syiah. Kaum Syiah berpendapat ayat ini menunjukkan bahwa ada sebuah kebenaran yang disebut imamah, dan bahwa adanya bukan saja selama periode setelah wafatnya Nabi saw namun juga sejak datangnya para nabi dan akan terus eksis dalam keturunan Nabi Ibrahim as sampai akhir zaman. Al-Qur'an mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohonjuga) dari keturunanku. "Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orangyang zalim." (QS. al-Baqarah: 124)

Ujian Nabi Ibrahim as—Perintah untuk Hijrah ke Hijaz

Al-Qur'an sendiri menyebutkan sejumlah ujian yang harus dihadapi Nabi Ibrahim as. Ujian itu antara lain berupa perjuangan Nabi Ibrahim as melawan Namrud beserta pengikut-pengikutnya, sehingga Ibrahim as sampai dibakar dan mengalami beberapa peristiwa lainnya. Salah satu peristiwa ini adalah Ibrahim as menerima perintah yang tak dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang belum sepenuhnya menaati Allah SWT. Ibrahim as belum memiliki anak. Untuk pertarna kalinya istrinya, Hajar, melahirkan seorang anak pada usia tujuh puluh delapan tahun. Nabi Ibrahim as menerima perintah Allah SWT untuk pergi dari Syria ke Hijaz, membawa istri dan anaknya ke tempat yang sekarang menjadi lokasi Masjidil Haram. Perintah ini tidak sesuai dengan logika apa pun kecuali logika kepatuhan diri yang total. Karena yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT yang diterimanya melalui wahyu, Ibrahim as menjalankan perintah itu. Ibrahim as berkata: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baituttah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka menegakkan salat. (QS. Ibrahim: 37)

Perintah Menyembelih Putranya

Yang lebih mengherankan daripada peristiwa-peristiwa ini adalah kisah tentang Nabi Ibrahim as menyembelih putranya di Mina. Untuk selalu mengenang kepatuhan diri yang luar biasa ini, maka kita sekarang berkorban kambing (karena kita melaksanakan perintah Allah SWT, maka dalam hubungan ini tak ada pertanyaan kenapa dan untuk apa). Setelah dua atau tiga kali bermimpi seakan-akan sedang mengorbankan putranya, Ibrahim as yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT kepadanya untuk melakukan yang demikian. Ibrahim as menuturkan hal ini kepada putranya. Putranya setuju dan mengatakan, "Ayah, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah akan engkau dapati aku setia dan tabah." Al-Qur'an menggambarkan peristiwa yang luar biasa ini. Keduanya sudah pasrah taat (kepada Allah SWT) dan dia sudah siap menyembelih putranya (pada akhirnya ketika Ibrahim as mutlak yakin mau menyembelih putranya, dan sang putra, Ismail, sudah tak ragu lagi bahwa kepalanya akan disembelih): Dan Kami panggillah dia: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan mimpi itu." (QS. ash-Shâffât: 104-105)

Yang dikatakan Allah SWT adalah bahwa Allah SWT sesungguh­nya tidak menghendaki kepala Ismail as dipotong. Allah SWT hanya ingin melihat kepatuhan total Ibrahim dan Ismail kepada kehendak-Nya, dan ternyata keduanya memang sangat patuh.

Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa Allah SWT mengaruniakan seorang putra kepada Nabi Ibrahim as ketika usianya sudah lanjut. Dikatakan ketika para malaikat mendatanginya dan mengatakan bahwa dia akan dianugerahi seorang putra oleh Allah SWT, istrinya berkata: Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku seorang perempuan tua dan suamiku pun sudah tua pula? Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kamu, wahai Ahlutbait. " (QS. Hûd: 72-73)

Menurut ayat ini, Allah SWT menganugerahkan seorang putra kepada Ibrahim as ketika Ibrahim as sudah tua. Ketika masih muda, Ibrahim as belum dikaruniai anak. Ketika mendapat anak, Ibrahim as sudah jadi Nabi. Dalam Al-Qur'an banyak ayat tentang Ibrahim as. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Ibrahim as mendapat anak ketika berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Ishaq as dan Ismail as tumbuh besar. Ismail as menjadi dewasa dan membantu ayahnya membangun Ka'bah. Al-Qur'an mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berftrman: "Sesungguh­nya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. " Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (QS. al-Baqarah: 124)

Apakah ayat-ayat ini berkenaan dengan masa muda Ibrahim as? Tak dapat dipungkiri, ayat-ayat ini berbicara tentang ketika Ibrahim as sudah menjadi Nabi, karena ayat-ayat ini berbicara tentang wahyu. Ayat-ayat ini berkenaan dengan masa tua Ibrahim as, karena ayat-ayat ini berbicara mengenai ujian demi ujian yang dilalui Nabi Ibrahim as. Ujian demi ujian ini terjadi di sepanjang hayat Ibrahim as. Ujian yang paling penting terjadi ketika Ibrahim as sudah lanjut usia. Dalam ayat-ayat ini disebut-sebut keturunan Ibrahim as. Itu menunjukkan bahwa ketika percakapan ini berlangsung, Ibrahim as setidak-tidaknya sudah memiliki seorang anak.

Sesungguhnya, menurut ayat ini, Ibrahim as diangkat menjadi Imam menjelang akhir hayatnya. Ayat ini mengatakan bahwa Aku telah menjadikan engkau Imam bagi umat manusia. Jadi Ibrahim as diberi tugas baru. Itu menunjukkan bahwa Ibrahim as sudah menjadi Nabi dan Rasul Allah. Namun masih ada satu tahap yang sampai saat itu belum dicapainya. Tahap itu baru dicapainya setelah sukses melewati semua ujian. Bukankah itu menunjukkan bahwa, menurut Al-Qur'an, ada satu lagi realitas yang namanya adalah imamah? Sekarang apa artinya?

Imamah Adalah Perjanjian Dahi

Arti imamah adalah tahap menjadi manusia sempurna dan pemimpin sempurna. Ketika Ibrahim as diangkat menjadi Imam, dia lantas memikirkan keturunannya. Ibrahim as berkata, "Bagai-mana dengan keturunanku?" Allah SWT menjawab, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Di sini imamah digambarkan sebagai perjanjian Allah SWT. Itulah sebabnya kaum Syiah mengata­kan bahwa imamah yang diyakini kaum Syiah adalah ilahiah sifatnya. Al-Qur'an juga menggambarkan imamah sebagai "Perjanjian-Ku." Imamah adalah perjanjian Allah SWT, bukan perjanjian manusia. Kalau kita mempertimbangkan fakta bahwa imamah beda dengan perwalian komunitas Muslim, maka kita tak akan heran bahwa imamah adalah tugas atau misi ilahiah. Orang bertanya siapa yang membentuk pemerintahan, Allah SWT atau manusia? Kami katakan bahwa soal pemerintahan beda dengan soal imamah. Allah SWT berfirman kepada Ibrahim as, "Imamah adalah perjanjian-Ku, dan imamah tidak akan mengenai orang yang zalim di antara keturunanmu. Menjawab pertanyaan Ibrahim as, Allah SWT tidak mengatakan "Tidak" dan juga tidak mengatakan "Ya" kepadanya. Allah tidak memasukkan orang yang zalim dalam ruang lingkup imamah. Karena itu, yang masuk dalam ruang lingkup imamah adalah keturunan Ibrahim as yang tidak zalim. Ayat ini menunjukkan bahwa imamah akan selalu ada di antara mereka. Dalam hal ini ada satu ayat lagi: Dan (Ibrahim) membuat sebuah kalimat jadi kekal pada keturunannya. (QS. az-Zukhruf: 28)

Siapakah Orang yang Zalim?

Sekarang pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan orang yang zalim. Para imam mendasarkan argumen-argumen mereka pada digunakannya istilah ini dalam ayat ini. Dari sudut pandang Al-Qur'an, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya sendiri atau orang lain, maka dia itu orang yang zalim. Dalam bahasa biasa, orang yang zalim adalah orang yang melanggar hak orang lain. Namun menurut terminologi Al-Qur'an, orang yang tidak adil terhadap dirinya sendiri juga adalah orang yang zalim. Banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa orang yang melakukan pelanggaran atas dirinya sendiri disebut orang yang zalim.

Dalam kaitannya dengan pertanyaan Nabi Ibrahim as tentang keturunannya, 'Allamah Thabathaba'i mengutip salah seorang gurunya yang mengatakan bahwa keturunan Nabi Ibrahim as, dari sudut pandang baik atau buruk, dapat dibagi menjadi empat golongan: (1) yang sepanjang hayatnya zalim; (2) yang pada awal-nya zalim, namun kemudian saleh; (3) yang pada awalnya saleh namun kemudian jadi zalim; (4) yang tidak pernah zalim.

Nabi Ibrahim as sepenuhnya menyadari pentingnya jabatan tinggi imamah yang dikaruniakan kepadanya setelah dia lama menjadi Nabi. Dengan demikian mustahil kalau Ibrahim as meminta posisi ini bagi keturunannya yang sepanjang hayatnya zalim atau yang pada awalnya baik namun kemudian jadi zalim. Nabi Ibrahim as tentu minta posisi ini hanya bagi keturunannya yang baik. Karena itu keturunannya yang baik adalah yang sepanjang hayatnya baik dan yang tidak baik pada awalnya namun di kemudian hari jadi baik. Tentu saja Ibrahim as tak akan minta posisi ini bagi keturunannya yang tidak termasuk dalam dua golongan ini. Sekarang kita lihat apa kata Al-Qur'an, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim," Jelaslah pertanyaan Ibrahim as tidak mencakup keturunannya yang zalim sepanjang hayatnya atau yang baik pada awalnya namun di kemudian hari jadi zalim. Karena itu apa yang dikatakan Al-Qur'an- sama saja dengan perkataan bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah tercela tidak akan mengemban imamah. Berdasarkan inilah kaum Syiah berargumen bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah jadi orang musyrik pada waktu kapan pun, tidak tepat untuk mengemban imamah.

Pertanyaan dan Jawaban

Tanya: Apa arti maksum? Apakah konsepsi maksum merupakan produk sampingan dari logika Syiah, ataukah ada dasarnya yang selanjutnya kita kembangkan? Siapakah orang yang maksum itu, apakah dia adalah orang yang tidak berbuat dosa atau apakah dia yang selain tidak berbuat dosa juga tidak berbuat keliru? Sekitar dua puluh tahun silam saya mengikuti kuliah almarhum Mirza Abdul Hasan Faroghi. Almarhum pernah melakukan studi khusus mengenai masalah kemaksuman dan memberikan pandangannya mengenai hal ini. Kuliahnya terperinci dan bagus. Namun delapan puluh persen kuliahnya itu tak dapat saya mengerti. Dari dua puluh persen yang saya pahami saya berkesimpulan bahwa almarhum menjelaskan kemaksuman dengan cara yang luar biasa. Almarhum mengatakan bahwa orang yang maksum bukanlah orang yang tidak berbuat dosa, karena banyak sekali orang yang tak pernah berbuat dosa di sepanjang hayatnya. Namun orang-orang seperti ini tidak disebut maksum. Sekarang saya tak ada kaitannya dengan pembicaraan itu. Saya ingin tahu siapakah orang yang maksum itu. Kalau orang yang maksum adalah orang yang tidak berbuat keliru, saya melihat bahwa dari dua belas imam hanya dua saja, yaitu Imam Ali as dan untuk periode yang pendek Imam Hasan as, yang mengemban khilafah, dan bahkan keduanya ini telah melakukan kekeliruan dalam memerintah negara. Hal ini, dari sudut pandang sejarah, tak dapat diperselisihkan. Posisi ini tidak sesuai dengan definisi maksum. Misal, kita tahu bahwa Imam Hasan as memberi­kan tugas khusus kepada Ubaidullah bin Abbas untuk menghadapi Muawiyah. Imam Ali as sendiri mengangkat Abdullah bin Abbas menjadi Gubernur Basrah. Tentu saja Imam Ali as tak akan mengangkatnya kalau saja beliau tahu aib yang akan ditimbulkannya dan betapa kotor perilakunya. Ini artinya bahwa Imam Ali as sebelumnya tidak tahu konsekuensi tindakannya. Imam Ali as mengira telah memilih orang terbaik untuk tugas khusus itu, namun Ibn Abbas ternyata tak seperti yang diharapkan Imam Ali as. Kalau kita telaah lebih lanjut periode pemerintahan Imam Ali as, maka akan kita temukan banyak contoh lagi yang seperti ini.

Dari sudut pandang sejarah, kekeliruan seperti itu tidak mengapa, meski tidak sesuai dengan definisi kemaksuman ini. Seperti telah saya katakan, tidak ada gunanya diskusi sepihak yang partisipannya hanya menerima ideologi tertentu saja. Alasannya adalah bila seseorang memiliki keyakinan tertentu, maka dia mulai menyukainya dan tak mau mendengarkan keyakinan lain yang bertentangan dengan keyakinannya. Prinsip ini khususnya berlaku pada kita, kaum Syiah, yang di hatinya telah ditanamkan kecintaan kepada Syiah dan keluarga Imam Ali as sejak kecil dan yang tak pernah mendengar kritik terhadap mereka. Mungkin saja kita pernah mendengar kritik terhadap agama kita, prinsip-prinsipnya dan bahkan terhadap tauhid.dan kereligiusan, namun tak pernah mendengar orang mengkritik Syiah, para imam atau tindakan para imam. Itulah sebabnya kita merasa sangat gelisah kalau ada orang melontarkan penentangan terhadap, rriisalnya, Imam Hasan as. Mau mendengarkan apa pun penentangan terhadap Imam Husain as, merupakan sesuatu yang jauh lebih sulit.

Anda telah menekankan ayat yang mengatakan, "Mereka yang menegakkan salat dan membayar zakat sementara mereka tengah rukuk." Anda telah berargumen bahwa ayat ini berkenaan dengan Imam Ali as, dan turun berkaitan dengan Imam Ali as yang memberikan cincinnya ketika Imam Ali as tengah rukuk. Menurut hemat saya, argumen ini tidak begitu sahih dan logis, karena kita mendengar dan membaca dalam riwayat hidup Imam Ali as bahwa ketika salat Imam Ali as begitu khusyuk kepada Allah SWT sehingga Imam Ali as tidak dapat tahu siapa pun. Juga disebutkan bahwa ketika berwudu Imam Ali as tidak tahu siapa yang lewat di depannya. Lantas mana mungkin orang seperti ini sedemikian waspada ketika tengah salat, buktinya dia memberikan cincinnya kepada seorang peminta-minta yang muncul di depannya, padahal orang lain tak mau memberikan apa pun kepada peminta-minta ini. Lagi pula, tidak baik memberikan uang kepada peminta-minta. Paling tidak, memberikan uang kepada peminta-minta tidak begitu penting sehingga sampai harus merusak salat. Padahal cincin tidak dikenai zakat. Menurut para faqih Syiah, cincin bukan termasuk yang dikenai zakat. Selain itu, sebagian orang yang sempit pikirannya, dengan maksud membesar-besarkan peristiwa ini, mengatakan bahwa cincin sangatlah mahal, padahal kita tahu bahwa Imam Ali as tak pernah mengenakan cincin yang mahal.

Jawab: Mengenai masalah kemaksuman, tidak banyak orang yang berpandangan lain. Namun memang baik kalau bertanya. Apa arti maksum? Terkadang orang cenderung mengira bahwa Allah SWT selalu mengawasi orang-orang pilihan tertentu dan tidak mau kalau orang-orang pilihan ini berbuat dosa. Kalau mereka ini bermaksud melakukan dosa, Allah SWT mencegah mereka agar tidak melaksanakan niat mereka. Tentu saja, itu bukanlah maksum. Bahkan seandainya begitu, kemaksuman tidak memberikan sesuatu yang andal. Jika seseorang selalu mengawasi anaknya, dan tak mau anaknya berbuat salah, maka hal itu tak dapat dianggap bahwa anak itu memiliki keunggulan. Namun ada makna lain kemaksuman yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Dalam kisah tentang Nabi Yusuf as yang digoda oleh seorang wanita, Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya wanita telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat argumen Tuhannya. (QS, Yusuf: 24)

Bagaimanapun juga Nabi Yusuf as adalah seorang manusia. Dia muda dan memiliki dorongan naluriah. Wanita itu ada hasrat dengannya, namun Yusuf as tidak. Kalau saja Yusuf as tidak tahu bahwa dirinya diawasi oleh Allah SWT, tentu dia akan melakukan perbuatan itu. Iman yang sempurna yang dimiliki Yusuf as membuat Yusuf as tidak melakukan perbuatan dosa dan membuat Yusuf as menyadari konsekuensi buruknya.

Tanpa campur tangan kekuatan dari luar, masing-masing kita tidak melakukan banyak dosa dan kesalahan karena kita semua sepenuhnya yakin akan konsekuensi berbahayanya. Misal, dosa kalau kita menjatuhkan diri dari lantai empat sebuah gedung atau terjun ke dalam kobaran api. Kita tak pernah melakukan dosa seperti itu, karena kita sadar betul bahayanya. Kita tahu, kalau memegang kawat beraliran listrik maka kita akan langsung mati. Kita baru melakukan perbuatan dosa ini kalau kita tidak tahu bahayanya. Tanpa ragu-ragu seorang anak kecil menyentuh api, karena dia tidak tahu bahayanya. Takwa merupakan karakter orang saleh, karena itu dia tak melakukan banyak dosa. Karakternya ini membuat dirinya maksum pada tingkat tertentu. Karena itu kemaksuman tergantung pada iman dan keyakinan. Kita yakin bahwa perbuatan tertentu berdosa karena perbuatan itu dilarang oleh agama kita. Kita katakan bahwa karena Islam melarang minum minuman keras, maka kita tidak minum minuman keras, dan karena Islam melarang judi, maka kita tidak berjudi. Kita kurang lebih tahu bahwa hal-hal ini buruk. Namun risikonya perbuatan-perbuatan dosa seperti ini bagi kita tidak sejelas risikonya menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Kalau kita yakin akan akibat dosa-dosa ini, seperti yakinnya kita akan akibat menjatuhkan diri ke dalam kobaran api, tentu kita akan maksum sejauh menyangkut dosa-dosa ini. Karena itu, maksum berarti iman dan keyakinan yang sempurna. Barangsiapa mengatakan, "Meskipun tabir disingkapkan maka keyakinanku tak akan bertambah,"[2] maka tentu dia itu maksum, karena dia sudah dapat melihat dengan jelas apa yang ada di balik tabir. Dia dapat merasakan jika dia berkata kasar kepada orang maka dia seakan-akan digigit kalajengking, dan karena itulah dia tak akan berkata sembarangan. Al-Qur'an sendiri menyebutkan beberapa contoh iman yang tingkatannya seperti ini. Itulah sebabnya disebutkan bahwa kemaksuman adalah istilah relatif, dan kemaksuman ada beberapa derajat dan tahapnya.

Orang yang maksum tak akan pernah melakukan perbuatan dosa yang terkadang kita lakukan dan terkadang kita jauhi. Orang seperti ini tanpa cela. Meskipun demikian, orang maksum ada derajat dan tahapannya, sehingga mereka tidak sama. Dalam tahap-tahap tertentu, mereka seperti kita. Kalau kita tidak kebal dari melakukan perbuatan dosa, maka mereka tidak kebal dari melakukan kekeliruan tertentu. Mereka tidak melakukan apa pun yang kita anggap dosa, namun mereka bisa saja melakukan hal-hal tertentu yang mereka sendiri menganggapnya dosa meskipun kita tidak menganggapnya dosa, karena kita belum sampai pada tahap yang sudah mereka capai. Kalau seorang siswa kelas 5 dapat menjawab soal kelas 6, maka siswa itu patut dipuji dan diberi hadiah. Namun jika siswa kelas 9 dapat menjawab soal kelas 6, maka dia tak patut dipuji. Bisa saja baik bagi kita namun dosa bagi or­ang maksum. Seperti kata pepatah, "Bagi kita makanan, namun bagi orang lain racun."

Itulah sebabnya kita melihat Al-Qur'an mengatakan bahwa beberapa nabi tidak taat. Dan Adam tidak menaati Tuhannya, dan sesatlah dia. (QS. Thâhâ: 121). Kepada Nabi Muhammad saw Allah SWT berfirman yang artinya sebagai berikut: Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan akan datang. (QS. al-Fath: 2)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kemaksuman merupakan istilah yang relatif. Para nabi dan para Imam adalah maksum menurut kapasitas mereka dan kita menurut kapasitas kita. Karakter esensial kemaksuman melindungi dari dosa. Ruang lingkup perlindungan ini tergantung pada tingkat kesempurnaan iman. Kalau orang berada pada tahap "kalau bukan karena dia tahu argumen Tuhannya" maka imannya sempurna. Maksum sifatnya otomatis. Orang yang maksum tidaklah seperti kita yang memiliki keinginan untuk berbuat dosa, namun karena Allah SWT mengutus seseorang untuk mencegahnya berbuat dosa maka dia pun tidak berbuat dosa. Kalau maksum itu seperti ini, maka tak ada bedanya antara kita dan Imam Ali as, dan Imam Ali as berarti seperti kita, yaitu ada keinginan untuk berbuat dosa. Imam Ali as tidak berbuat dosa karena Allah SWT mengutus seseorang untuk mencegahnya berbuat dosa, sedangkan untuk kita, Allah SWT tidak mengutus siapa-siapa untuk mencegah kita berbuat dosa. Kalau ada yang mencegah seseorang berbuat dosa, maka orang itu tak patut dipuji. Misal seseorang mencuri, namun saya tidak mencuri karena saya selalu diawasi oleh pengawas. Kalau begini, saya tak ubahnya seperti dia, cuma bedanya dia tak ada yang mencegahnya melakukan pencurian, sedangkan saya ada yang mencegahnya. Karena itu saya tak patut dipuji.

Unsur utama kemaksuman adalah ketidakmampuan berbuat dosa. Ketidakmampuan berbuat salah sungguh beda sekali. Kita tak dapat mengatakan bahwa Nabi Saw bisa saja salah dalam menyampaikan risalah atau bisa saja menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diwahyukan kepadanya, seperti yang sering terjadi pada utusan-utusan biasa yang terkadang menyampai­kan pesan yang salah. Mengenai Nabi saw, mustahil untuk mengata­kan bahwa dalam menyampaikan risalah Nabi saw bisa saja keliru.

Mengenai pertanyaan lain, si penanya terburu-buru dalam berkesimpulan. Dia bahkan telah berbuat zalim terhadap Imam Ali as. Kalau saja dia berada di posisi Imam Ali as, betulkah dia tidak akan memilih Ubaidullah bin Abbas? Tidak mengapa kalau membuat kesimpulan spekulatif dalam masalah-masalah sejarah seperti itu. Siapa pun akan mudah mengatakan bahwa dia merasa sebaiknya si polan tidak berbuat begitu lima ratus tahun silam, namun semestinya berbuat begini. Jika seseorang bertanya kepadanya apakah benar begitu, maka dia akan mengatakan bahwa itu hanyalah perkiraan pribadinya saja. Namun berbahaya kalau membuat kesimpulan pasti dalam masalah-masalah seperti itu, bukan saja mengenai Imam Ali as namun juga mengenai individu lain juga. Imam Ali as tahu situasi yahg berkembang. Dia lebih tahu Abdullah bin Abbas dan sahabat-sahabat lainnya ketimbang kita. Namun kita tetap saja mengatakan kalau saja Imam Ali as memilih orang lain, bukan memilih Abdullah bin Abbas, tentu akan lebih baik. Ini merupakan kesimpulan terburu-buru. Anda sendiri selalu mengatakan bahwa Imam Ali as memiliki kebijakan khususnya sendiri dan Imam Ali as tak mau bergeser sedikit pun. Namun tak ada yang mendukung kebijakan Imam Ali as.

Imam Ali as selalu mengatakan bahwa tak ada yang mendukungnya. Abdullah bin Abbas ini dan lainnya sering menasihati Imam Ali as agar fleksibel. Mereka mendesak Imam Ali as untuk melakukan apa yang sekarang disebut diplomas!. Saya minta Anda membuktikan bahwa cukup banyak orang untuk dipilih oleh Imam Ali as namun Imam Ali as salah pilih. Saya misalnya tak dapat membuktikan hal itu. Yang saya tahu hanyalah bahwa Nabi saw telah mengangkat Imam Ali as sebagai penerusnya. Imam Ali as sendiri mengeluh kenapa kekhalifahan dirampas dari tangannya. Ketika sepeninggal Utsman bin Affan, orang-orang mendatangi Imam Ali as untuk berbaiat kepada Imam Ali as, Imam Ali as mengatakan, "Carilah orang lain saja, karena aku tengah menghadapi suatu situasi yang multi-dimensi. Situasinya sudah gelap, dan tanpa disadari rutenya sudah menyimpang." Maksud Imam Ali as adalah bahwa kondisinya sangat buruk, dan Imam Ali as tak ada pendukungnya yang dapat membantunya untuk memperbaiki kondisi dan untuk mereformasi masyarakat. Kemudian Imam Ali as mengatakan apa yang sama dengan perkataan: "Namun aku tak punya alasan untuk dimaafkan. Kalau aku beralasan, maka sejarah tak akan menerimanya. Orang akan mengatakan bahwa karena ceroboh maka Ali kehilangan kesempatan. Meskipun sesungguhnya itu bukan kesempatan. Aku terima usulan Anda agar sejarah tidak menyalahkanku." Dengan demikian Imam Ali as sendiri mengakui bahwa dirinya tidak memiliki cukup pendukung, dan belum tepat waktunya baginya untuk menjadi Khalifah.

Orang mungkin meragukan sesuatu, namun sejarah pun tidak ragu bahwa Imam Ali as percaya klaimnya atas kekhalifahan lebih kuat ketimbang klaim siapa pun. Kaum Sunni mengakui bahwa Imam Ali as memandang dirinya sebagai kandidat yang lebih tepat dan absah untuk mengemban kekhalifahan ketimbang Abu Bakar dan Umar. Namun ketika sepeninggal Utsman orang pada men-datanginya dan memintanya menerima kekhalifahan, Imam All as menolak dan mengatakan lebih memilih untuk tetap jadi penasihat dan pembimbing ketimbang jadi penguasa. Dari sini jelas bahwa Imam Ali as tak memiliki cukup pendukung yang kompeten. Kenapa demikian? Itu lain soal.

Mengenai ayat "Mereka menegakkan salat dan membayar zakat sembari rukuk." Anda katakan bahwa cincin tidak dikenai zakat. Sesungguhnya yang dizakati antara lain adalah segala yang diberikan untuk tujuan kebaikan. Penggunaannya di zaman sekarang ini sebagai sebuah istilah teknis untuk zakat yang wajib itu, itu merupakan istilah para faqih. Dalam Al-Qur'an kata ini digunakan dalam pengertian ini. Zakat artinya adalah penyucian harta dan uang. Kata ini juga digunakan dalam kaitannya dengan penyucian rohani. Di berbagai tempat Al-Qur'an menggambarkan mengeluarkan sesuatu demi Allah sebagai zakat harta, zakat jiwa, dan zakat diri. Begitu pula dengan kata "shadaqah" (derma, sedekah). Dewasa ini kata ini memiliki arti khusus. Misal, kita mengatakan "bersedekah secara diam-diam," namun menurut Al-Qur'an setiap perbuatan baik itu disebut shadaqah. Jika Anda membangun sebuah rumah sakit atau menulis sebuah buku bermanfaat, berarti Anda melakukan, dalam kata-kata Al-Qur'an, sedekah jariyah. Itulah sebabnya mengapa kaum Sunni yang tidak menerima konsepsi yang disimpulkan dari ayat ini bahkan tidak keberatan dengan kata ini. Orang yang akrab dengan literatur Arab pasti tahu bahwa zakat tidak selalu berarti zakat wajib saja.

Sekarang pertanyaannya adalah mengapa Imam Ali as memberikan cincinnya ketika tengah rukuk. Ini merupakan keberatan yang juga dilontarkan oleh sebagian tokoh awal seperti Fakhruddin Razi. Mereka mengatakan bahwa Ali as selalu sedemikian khusyuk ketika salat sehingga dia tak pernah tahu apa yang tengah terjadi di sekitarnya. Lantas bagaimana semua ini bisa terjadi ketika dia tengah salat? Untuk menjawabnya, dapat dikatakan bahwa memang Imam Ali as selalu sedemikian khusyuk bila sedang salat, namun ada fakta lain bahwa keadaan orang-orang suci tidak selalu sama. Menurut riwayat, Nabi saw terkadang sedemikian dikuasai oleh hasrat untuk menunaikan salat sehingga Nabi saw tak bisa menunggu selesainya azan yang dikumandangkan Bilal, sehingga Nabi saw minta supaya Bilal cepat-cepat menyelesaikan azannya. Terkadang ketika Nabi saw tengah sujud, si kecil Imam Hasan as, Imam Husain as atau cucu lainnya sering mendatangi Nabi saw dan naik di atas bahu Nabi saw, dan Nabi saw menunggu dengan tenang sampai anak itu turun. Pernah ketika tengah berdiri dalam salat, ada air ludah di depan Nabi saw. Nabi saw lalu melangkah ke depan, menutupnya dengan debu dengan menggunakan kakinya dan kemudian kembali ke tempat semula. Dari kejadian ini para faqih menyimpulkan sejumlah aturan berkenaan dengan salat.

Bahrul Ulum mengatakan, "Orang paling mulia ini berjalan ketika tengah salat. Kejadian ini menjawab banyak pertanyaan." Berdasarkan kejadian tersebut, para faqih, misalnya, menetapkan sejumlah tindakan yang tidak relevan dengan salat namun dibolehkan dalam salat. Juga dibuat sejumlah aturan lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa orang-orang suci ini keadaan spiritualnya berbeda-beda, dan sikap mereka, sesuai dengan keadaan masing-masing, berbeda-beda pada kesempatan yang berbeda-beda pula.

Ada satu poin lain. Para ahli irfan, sesuai dengan keadaan masing-masing, mengatakan bahwa bila orang mencapai keadaan spiritual yang sempurna, yaitu dia hanya cenderung kepada Allah SWT, maka dia akan kembali ke dunia ini. Dengan kata lain, dalam keadaan ini, yang jadi perhatiannya hanyalah Allah SWT dan ciptaan-Nya. Itulah yang dikatakan kaum ahli irfan, dan saya setuju dengan pandangan mereka, meskipun banyak orang tidak dapat menerimanya.

Keadaan spiritual lainnya adalah keadaan melepaskan raga. Orang-orang yang mencapai tahap ini, pada awalnya melepaskan raga mereka selama satu atau dua detik atau paling banter sekitar satu jam. Namun sebagian orang pada akhirnya sampai di suatu tahap ketika mereka selalu dalam keadaan seperti ini. (Saya percaya itu dan secara pribadi melihatnya.) Terkadang Anda melihat beberapa orang duduk-duduk bersama Anda seperti orang biasa, namun sesungguhnya mereka tengah berada dalam keadaan seperti ini. Menurut orang-orang ini, keadaan ketika anak panah dicabut dari tubuh Imam Ali as ketika Imam Ali as tengah salat tanpa beliau menyadarinya, merupakan keadaan yang lebih rendah dibanding keadaan ketika Imam Ali as memberikan cincinnya kepada peminta-minta dengan Imam Ali as tetap khusyuk kepada Allah SWT. Meski Imam Ali as sedemikian khusyuk kepada Allah SWT, Imam Ali as tetap melihat seluruh dunia. Dengan adanya semua bukti ini, maka kejadian seperti ini tak dapat dipungkiri.

Catatan:

[1] Dia sangat dihormati oleh kaum Syiah dan dianggap sebagai istri Nabi yang sangat terkenal setelah Khadijah. Dia juga sangat dihormati oleh kaum Sunni. Menurut mereka, kedudukannya nomor tiga setelah Khadijah dan Aisyah.
* Irfan adalah istilah yang digunakan dalam konteks kultur Islam Iran, untuk menggambarkan sintesis fllsafat, teologi spekulatif dan pemikiran mistis yang muncul pada periode akhir Abad Pertengahan yang bertahan hingga kini—pen. (Middle East Journal, Jil. 46, No. 4, Musim Gugur 1992, hal. 632).
[2] Imam Ali as, menurut riwayat, berkata demikian. (Safinah al-Bihâr, Jil. 2)