Label

Apa Sejarah Itu?


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Ada tiga cara untuk mendefinisikan sejarah. Sesungguhnya sejarah memiliki tiga cabang. Ketiga cabang ini saling berhubungan erat.

Pertama, sejarah adalah cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi yang berkaitan dengan masyarakat masa lalu. Segenap peristiwa yang berkaitan dengan masa pencatatannya disebut peristiwa hari ini, dinilai, diberitakan, dan direkam oleh koran harian. Namun begitu masanya lewat, maka setiap peristiwa menjadi bagian sejarah. Nah, dalam pengertian ini, arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang kejadian, peristiwa dan masyarakat masa lalu. Biografi, kisah penaklukan dan kisah orang-orang termasyhur yang disusun semua bangsa, termasuk dalam kategori ini.

Dalam pengertian ini, pertama-tama arti sejarah adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan dengan individu, bukan pengetahuan tentang hukum umum dan aturan pergaulan. Kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah adalah pengetahuan tentang "wujud", bukan tentang "menjadi". Keempat, sejarah berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Dalam terminologi kami, sejarah seperti ini disebut "sejarah rawian".

Kedua, dalam pengertian lain, arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu. Aturan dan tradisi ini disimpulkan dari studi dan analisis atas peristiwa masa lalu. Subjek atau pokok sejarah rawian dan persoalan yang dibahasnya, yaitu peristiwa dan kejadian masa lalu, berfungsi sebagai pendahuluan untuk cabang sejarah ini. Sesungguhnya peristiwa masa lalu, yang relevan dengan sejarah dalam pengertian seperti ini, dapat disamakan dengan ma­terial yang dikumpulkan fisikawan di laboratoriumnya untuk ditelaah, dianalisis dan dieksperimen dengan tujuan mengetahui karakteristik dan sifat material itu dan mengetahui hukum umum yang berkenaan dengan material itu. Dalam pengertian kedua ini, pekerjaan sejarawan adalah menemukan karakter peristiwa sejarah dan mengetahui hubungan sebab-akibatnya sehingga dapat disimpulkan beberapa aturan umum yang berlaku pada semua peristiwa serupa di masa lalu dan sekarang. Cabang sejarah ini kita sebut "sejarah ilmiah".

Kendatipun peristiwa di masa lalu merupakan pokok studi dalam sejarah ilmiah, namun aturan umum yang ditarik dari peristiwa-peristiwa ini tidak saja berlaku hanya untuk masa lalu saja. Aturan tersebut juga berlaku untuk masa sekarang dan mendatang. Aspek ini, yang terdapat dalam sejarah ilmiah, membuat sejarah ilmiah sangat bermanfaat bagi manusia. Sejarah ilmiah bermanfaat sebagai sumber pengetahuan, dan membantu manusia mengendalikan masa depannya.

Perbedaan antara kerja periset sejarah ilmiah dan pakar ilmu natural (ilmu-ilmu yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis, seperti fisika, kimia, geologi, biologi dan botani—pen.) adalah pokok kajian pakar ilmu natural berupa material yang memang ada saat ini, dan karena itu seluruh telaah dan analisis pakar ilmu natural bersifat fisis dan eksperimental; sedangkan material yang dikaji sejarawan adanya hanya di masa lalu, bukan di masa sekarang. Yang dapat digunakan sejarawan tersebut adalah informasi tentang material tersebut dan beberapa dokumen yang berkaitan dengan material tersebut. Sejauh menyangkut temuannya, sejarawan tersebut dapat disamakan dengan hakim di pengadilan. Hakim tersebut memutuskan perkara berdasarkan bukti yang didapat dari dokumen, bukan berdasarkan bukti yang didapat dari saksi mata. Karena itu analisis sejarawan, sekalipun logis dan rasional, namun tidak fisis. Sejarawan melakukan analisis di laboratorium mentalnya. Peralatan yang digunakannya adalah kemampuan berpikir dan penyimpulan. Dalam hal ini kerja sejarawan tak ubahnya seperti kerja filosof, bukan seperti kerja pakar ilmu natural.

Seperti sejarah rawian, sejarah ilmiah juga berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang. Sejarah ilmiah adalah ilmu tentang "wujud", bukan tentang "menjadi". Namun tak seperti sejarah rawian, sejarah ilmiah sifatnya umum, bukan khusus. Sejarah ilmiah sifatnya rasional. Sejarah ilmiah bukan semata-mata rawian atau transferan.

Sejarah ilmiah adalah cabang sosiologi. Sejarah ilmiah adalah sosiologi masyarakat masa lalu. Masyarakat kontemporer dan masyarakat masa lalu keduanya merupakan pokok studi sosiologi. Namun kalau kita menganggap sosiologi hanya mengkaji masyarakat kontemporer, maka sejarah ilmiah dan sosiologi menjadi dua cabang ilmu. Dua cabang ini berbeda, kendatipun tetap saling berkaitan erat dan saling bergantung.

Ketiga, kata "sejarah" dalam pengertian ketiga digunakan untuk menunjukkan filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perkembangan masyarakat dari tahap ke tahap dan pengetahuan tentang hukum yang mengatur perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ilmu tentang "menjadi”-nya masyarakat, bukan tentang "wujud" masyarakat saja.

Di sini pembaca mungkin bertanya apakah mungkin pada masyarakat ada dua kualitas, yaitu "wujud" dan "menjadi", dan "menjadi" merupakan pokok kajian satu cabang ilmu yang bernama sejarah ilmiah, sedangkan "menjadi" merupakan pokok kajian cabang ilmu lainnya yang bernama filsafat sejarah, padahal kita tahu bahwa mustahil memadukan dua kualitas ini, karena "wujud" menunjukkan mandek, sedangkan "menjadi" menunjukkan gerak. Masyarakat hanya bisa memiliki satu dari dua kualitas ini. Gambaran yang kita bentuk mengenai masyarakat, dapat melukiskan "wujud" atau "menjadi".

Poin ini dapat dikemukakan dalam bentuk yang lebih baik lagi lengkap. Yaitu, gambaf yang kita bentuk mengenai dunia dan masyarakat sebagai bagian dari dunia, pada umumnya bisa statis atau dinamis. Kalau statis, maka berkualitas "wujud", bukan "menjadi". Dan kalau dinamis, maka berkualitas "menjadi", bukan "wujud". Berdasarkan ini ternyata mazhab filsafat beragam. Satu sistem filsafat mempercayai "wujud", sedangkan sistem yang lain mempercayai "menjadi". Mazhab yang mempercayai "wujud" berpandangan bahwa "wujud" dan "non-wujud" eksistensinya tak mungkin serentak, karena keduanya bertentangan, sedangkan dua hal yang bertentangan eksistensinya tak mungkin serentak. Kalau "wujud" ada, maka "non-wujud" tidak ada. Jika "non-wujud" ada, maka ?wujud" tak ada. Satu dari keduanya yang harus dipilih. Mengingat dunia dan masyarakat ada, maka jelas kualitasnya adalah "wujud", dan tentu saja keduanya diatur oleh diam atau tak ada gerak. Beda dengan pandangan ini, mazhab yang mempercayai "menjadi" berpandangan bahwa "wujud" dan "non-wujud" bisa eksis sekaligus, karena ide "menjadi" menunjukkan gerak, yang artinya bahwa ada sesuatu dan sekaligus sesuatu itu tidak ada.

Filsafat "wujud" dan filsafat "menjadi" mencerminkan dua pandangan yang sama sekali bertentangan tentang eksistensi. Mana yang harus dipilih. Filsafat yang ini atau yang itu. Kalau yang dipilih adalah filsafat yang pertama, tentu asumsinya adalah masyarakat berkualitas "wujud", bukan berkualitas "menjadi". Sebaliknya, kalau filsafat yang kedua yang dipilih, tentu asumsinya adalah masyarakat berkualitas "menjadi", bukan "wujud". Ini berarti sejarah ilmiah dalam pengertian tersebut di atas dan bukan filsafat sejarah, atau filsafat sejarah dan bukan sejarah ilmiah.

Jawaban untuk masalah ini adalah pandangan ini tentang eksistensi dan non-eksistensi, tentang diam dan gerak, dan tentang prinsip mustahilnya eksistensi serentak dua hal bertentangan, semata-mata isapan jempol gagasan Barat. Cara berpikir seperti ini terjadi karena tidak mengetahui banyak masalah penting tentang eksistensi, khususnya esensialitas eksistensi dan beberapa masalah lainnya yang relevan.

Pertama, mengatakan bahwa "wujud" sama dengan diam, atau dengan kata lain diam berarti "wujud" dan "gerak" berarti perpaduan "wujud" dan "non-wujud" yang merupakan perpaduan dua hal bertentangan, adalah salah besar. Kesalahan besar inilah yang dilakukan beberapa mazhab filsafat Barat.

Kedua, masalah yang tengah dibahas tak ada kaitannya dengan masalah filsafat tersebut di atas. Yang terlihat di sini adalah bahwa masyarakat, seperti makhluk hidup, memiliki dua jenis hukum. Jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain. Jenis pertama ini disebut hukum "wujud", sedangkan jenis kedua disebut hukum "menjadi".

Beberapa sosiolog memberikan perhatian yang memadai untuk masalah ini. Auguste Comte termasuk salah satunya. Reymond Aron mengatakan: "Statis dan dinamis merupakan dua kategori dasar dalam sosiologi Auguste Comte. Statis pada dasarnya terjadi karena menelaah, menganalisis apa yang disebut Comte konsensus sosial. Masyarakat disamakan dengan organisme hidup. Mustahil mengkaji berfungsinya organ tanpa menempatkannya dalam konteks makhluk hidup. Juga musiahil mengkaji polilik negara lanpa menempatkan politik dalam konleks masyarakat pada masa tertentu. Adapun dinamis, pada mulanya semata-mata berupa uraian tentang rangkaian tahapan yang dilalui masyarakat manusia." (Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 85, 86)

Jika setiap spesies makhluk hidup, dari mamalia, reptilia, burung sampai lainnya, dipertimbangkan, maka ternyata ada hukum khusus yang berkaitan dengan tiap kelas. Selama anggota spesies tertentu masih menjadi bagian dari spesies tertentu itu, maka yang mengatur anggota itu adalah hukum khusus spesies itu, seperti hukum yang berkaitan dengan tahap-tahap embrionik binatang, sehat dan sakitnya, mode nutrisinya, mode reproduksinya, caranya membesarkan anaknya, nalurinya, migrasinya atau kebiasaan kawinnya.

Menurut teori perkembangan dan evolusi spesies, di samping hukum khusus yang khas bagi setiap spesies dan yang berlaku dalam bingkai kelasnya sendiri, ada sejumlah hukum lain yang berkaitan dengan proses evolusi spesies menjadi spesies lain. Hukum ini berbentuk filosofis dan terkadang disebut filsafat evolusi, bukan hukum biologis. Karena masyarakat adalah makhluk hidup, maka masyarakat juga memiliki dua jenis hukum: hukum biologis dan hukum evolusioner. Ada beberapa hukum masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dan asal-usul serta kemunduran budayanya. Hukum ini mengatur semua masyarakat dalam semua tahap perkembangannya. Hukum ini disebut hukum "wujud". Ada hukum lain yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dari satu tahap ke tahap lain dan dari satu sistem ke sistem lain. Hukum ini dikenal dengan nama hukum "menjadi". Kalau nanti kedua jenis hukum ini dibahas, maka akan jelas perbedaan keduanya.

Jadi sejarah dalam pengertian ketiga adalah sludi alas evolusi masyarakat dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Bukan sekadar pengetahuan tentang kondisi hidupnya pada tahap tertentu atau pada semua tahap. Untuk tidak mengacaukannya dengan masalah yang disebut sejarah ilmiah, maka pengetahuan ini dinamakan filsafat sejarah. Karena kebanyakan orang tidak membedakan antara masalah gerakan non-evolusioner yang dibahas sejarah ilmiah, dan masalah gerakan evolusioner sejarah yang dibahas filsafat sejarah, maka terjadi kekacauan sehingga menimbulkan salah paham.

Seperti sejarah ilmiah, filsafat sejarah juga umum dan rasional sifatnya, bukan rawian. Namun tak seperti sejarah ilmiah, filsafat sejarah merupakan pengetahuan tentang "wujud", bukan tentang "menjadi". Lagi pula, tak seperti sejarah ilmiah, persoalan yang dibahas filsafat sejarah tidak dianggap sebagai persoalan historis karena persoalan itu berhubungan dengan peristiwa masa lalu. Persoalan itu dianggap demikian karena menunjukkan suatu proses yang dimulai di masa lalu, meskipun masih berlanjut dan akan terus berlanjut ke depan. Waktu adalah salah satu dimensi dari persoalan ini, bukan semata-mata periode durasinya saja.

Pengetahuan tentang sejarah dalam ketiga pengertian ini ada manfaatnya. Bahkan sejarah rawian, yaitu pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan individu, juga ada manfaatnya, ada hikmahnya, memberikan semangat, dan positif. Tentu saja manfaat sejarah rawian tergantung siapa yang diriwayatkan dan apa saja yang dapat dipetik dari kehidupan orang yang diriwayatkan. Manusia, atas dasar hukum imitasi, dipengaruhi oleh perilaku, kebiasaan dan adat teman-teman dan orang-orang sezamannya. Manusia belajar adab dari kehidupan orang-orang sezamannya dan terkadang, seperti Luqman, belajar sopan santun dari orang yang tak tahu sopan santun dan belajar kebaikan dari orang jahat. Atas dasar hukum ini juga, manusia memperoleh manfaat dari riwayat orang-orang masa lalu. Sejarah, seperti film, menubah masa lalu menjadi masa sekarang. Itu sebabnya Al-Qur'an menyebutkan hal-hal bermanfaat dari kehidupan orang-orang yang tepat menjadi model bagi orang lain. Mengenai Nabi Muhammad saw, Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzâb: 21). Mengenai Nabi Ibrahim as, dikatakan: Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada, teladan yang baik bagimu. (QS. al-Mumtahanah: 6)

Ketika Al-Qur'an menyebut seseorang sebagai teladan yang sempurna, Al-Qur'an tidak mempertimbangkan personalitas duniawinya. Yang dirujuk Al-Qur'an hanya personalitas manusiawi dan moralnya saja. Al-Qur'an bahkan menggambarkan seorang sahaya berkulit hitam, yang bukan raja, bukan filosof, dan juga bukan orang kaya, sebagai orang yang arif. Dia berpandangan jernih. Al-Qur'an membuat namanya sinonim dengan kearifan. Orang beriman dari suku Fir'aun dan orang beriman dari al-Yasin juga masuk dalam golongan ini.

Dalam buku ini dibahas masyarakat dan sejarah dari sudut pandang konsepsi Islam tentang dunia. Di sini yang jadi perhatian hanyalah sejarah ilmiah dan filsafat sejarah, karena hanya keduanya inilah yang pas dengan kerangka konsepsi dunia. Karena itu dua pokok masalah inilah yang akan dibahas sedikit lebih jauh. Dimulai dengan sejarah ilmiah.

Sejarah Ilmiah

Seperti telah diuraikan sebelumnya, dasar dari sejarah ilmiah adalah gagasan bahwa terlepas dari individu, masyarakat memiliki personalitasnya sendiri dan nilai penting yang esensial. Seandainya masyarakat tak memiliki personalitas yang mandiri, maka tak ada apa-apa lagi selain individu dan hukum yang mengatur individu. Konsekuensinya, sejarah ilmiah, yang merupakan pengetahuan tentang aturan dan norma yang mengatur masyarakat, jadi tak ada artinya. Sejarah bisa memiliki hukum kalau karakter sejarah itu mandiri. Karakter sejarah akan mandiri kalau masyarakat juga berkarakter. Berkaitan dengan sejarah ilmiah, perlu dikaji masalah-masalah berikut:

Pertama, seperti disebutkan sebelumnya, sejarah ilmiah didasarkan pada sejarah rawian (transferan). Sejarah rawian ini dapat disebut materi yang dianalisis di laboratorium sejarah ilmiah. Karena itu, harus dipastikan dahulu keandalan sejarah rawian. Jika tidak andal, maka penelitian tentang hukum yang mengatur masyarakat jadi tak ada artinya.

Kedua, kalau diakui bahwa sejarah rawian itu andal dan masyarakat memiliki karakter dan personalitas yang independen dari individu, maka ada kemungkinan untuk mendeduksikan hukum dan aturan umum dari peristiwa sejarah asal juga diakui bahwa hukum sebab-akibat berlaku dalam urusan manusia, yaitu masalah yang bergantung pada kehendak dan pilihan manusia, dan bahwa peristiwa sejarah termasuk dalam masalah seperti itu. Kalau tidak, peristiwa sejarah tak dapat dianggap bergantung pada aturan yang dapat digeneraKsasikan. Jadi pertanyaan pentingnya adalah apakah sejarah diatur oleh hukum sebab-akibat atau tidak. Jika diatur oleh hukum sebab-akibat, bagaimana manusia menggunakan kehendak dan pilihannya?

Ketiga, apakah sejarah bersifat materialises? Apakah sejarah terutama diatur oleh kekuatan material, sementara kekuatan spiritual hanya melengkapi kekuatan utama ini. Ataukah sebalik-nya, kekuatan utama yang mengatur sejarah adalah kekuatan spiritual, sementara karakter sejarah adalah idealistis? Atau sebagai alternatifnya, apakah sejarah bersifat multilateral, dan diatur oleh dua atau lebih kekuatan material dan spiritual, yang bekerja dalam suatu sistem yang kurang lebih harmonis atau terkadang mengalami konflik?

Sejarah Rawian, Andal atau Tidak

Ada sebagian orang yang pandangannya tentang sejarah rawian sangat menyedihkan. Mereka berpendapat bahwa semua orang yang meriwayatkan peristiwa sejarah karena kepentingan pribadi atau prasangka keagamaan dan kebangsaannya, atau karena hubungan dan ikatan sosialnya, kurang lebih mendistorsi dan memalsukan hampir semua deskripsi peristiwa sejarah, dan membentuk sejarah sesuai keinginannya sendiri. Bahkan orang-orang yang menganggap tidak bermoral perbuatan yang sengaja merekayasa dan mendistorsi sejarah, bersikap pilih-pilih dalam me­riwayatkan peristiwa dan selalu hanya meriwayatkan apa yang sesuai dengan tujuan dan pikirannya sendiri. Sekalipun tidak menambah-nambahi, mereka tak mau meriwayatkan peristiwa yang bertentangan dengan perasaan dan keyakinannya. Dengan memilih-milih mana yang disukai, mereka telah membentuk sejarah sesuai keinginan. Peristiwa atau tokoh dapat dikaji dan dianalisis dengan objektif dan semestinya kalau si peneliti memiliki bahan yang lengkap lagi relevan. Jika hanya sebagian saja bahan yang diketahuinya, sementara sebagian lagi tidak diketahuinya, tentu saja hasilnya berupa gambaran yang berat sebelah dan keliru.

Pendapat kaum pesimis ini tentang sejarah rawian tak beda dengan pendapat sebagian ahli hukum yang pesimis tentang hadis, tradisi atau riwayat keagamaan. Sikap para ahli hukum ini disebut "menutup pintu ilmu". Para kritikus sejarah rawian juga dapat digambarkan sebagai kaum penghalang kemajuan. Di antara mereka ada satu orang yang mengatakan bahwa sejarah merupakan cerita tentang peristiwa-peristiwa yang tak pernah ada, cerita ini disusun oleh seseorang yang tidak melihat peristiwa-peristiwa itu. Seorang jurnalis konon mengatakan, "Fakta itu sakral, namun orang bebas mau percaya atau tidak." Ada juga yang tidak sepesimis itu, namun tetap lebih suka menerima filsafat skeptisisme.

Dalam buku berjudul "What is History f Sir George dark dikutip mengatakan: Pengetahuan tentang masa lalu yang diriwayatkan melalui satu benak manusia atau lebih, dan telah diproses oleh benak manusia, dan karena itu tak mungkin isinya berupa atom-atom yang esensial dan impersonal yang tak mungkin diubah oleh apa pun. Eksplorasi kelihatannya tak akan ada akhirnya, dan beberapa pakar yang kurang toleran mencari perlindungan kepada skeptisisme, atau setidak-tidaknya kepada doktrin yang mengatakan bahwa karena semua pandangan tentang sejarah melibatkan person-person dan berbagai sudut pandang maka pandangan yang satu dengan yang lain sama saja sehingga tak ada kebenaran historis yang objektif." (E. H. Carr, What is History? halaman 8)

Faktanya adalah meskipun tidaklah mungkin mempercayai begitu saja riwayat periwayat atau perawi sekalipun, namun dalam sejarah ada banyak fakta yang tak terbantahkan sehingga sama dengan prinsip ilmu lain, dan fakta tersebut mudah dikaji oleh peneliti. Peneliti sendiri dapat meneliti detail-detailnya yang relevan untuk memastikan kebenaran banyak riwayat dan kemudian membuat kesimpulannya sendiri. Dewasa ini temyata peneliti telah membuktikan bahwa riwayat mengenai banyak peristiwa tidak dapat dipercaya kendatipun riwayat tersebut berabad-abad oleh kalangan luas dianggap sebagai fakta. Riwayat bahwa buku yang ada di perpustakaan Iskandariah telah dibakar, pertama kali muncul pada abad ke-7 Hijriah dan berangsur-angsur menyebar ke mana-mana sampai dicatat dalam kebanyakan buku sejarah. Namun pada abad belakangan ini peneliti membuktikan bahwa riwayat ini sama sekali tak berdasar dan merupakan rekayasa beberapa Kristiani yang berprasangka. Untuk beberapa lama kebenaran memang tersembunyi, namun kemudian semua orang akhirnya tahu kebenaran. Karena alasan inilah maka tidak boleh pesimis total terhadap riwayat sejarah.

Prinsip Sebab-Akibat

Apakah yang mengatur sejarah adalah prinsip sebab-akibat? Jika ya, maka setiap peristiwa yang terjadi harus dianggap tak terelakkan dan tak terhindarkan, sehingga harus diakui bahwa memang sejarah diatur oleh semacam tekanan, paksaan atau keharusan. Kalau demikian, maka di mana posisi prinsip kemerdekaan dan kehendak manusia? Jika peristiwa sejarah memang tak terelakkan, maka individu tak bisa dipandang bertanggungjawab dan juga tak layak mendapat penghargaan dan pujian atau kritik dan cacian. Kalau prinsip sebab-akibat tidak diakui efektif, maka tak mungkin ada hukum universal, dan jika tak ada hukum universal, maka sejarah tak memiliki hukum atau norma, karena hukum merupakan cabang dari generalitas, sedangkan generalitas bergantung kepada prinsip sebab-akibat Inilah problem yang dihadapi sejarah ilmiah dan filsafat sejarah. Sebagian orang yang cenderung mempercayai prinsip sebab-akibat dan generalitas, menolak prinsip kemerdekaan dan kehendak manusia dalam arti sebenarnya. Apa yang mereka terima atas nama kemerdekaan, sesungguhnya tidak begitu. Sebagian lagi justru menerima prinsip kemerdekaan, dan menolak kalau sejarah itu tunduk kepada hukum tertentu. Kebanyakan sosiolog berpendapat bahwa prinsip sebab-akibat dan kemerdekaan tak mungkin eksistensinya simultan. Mereka pada umumnya cenderung menerima sebab-akibat dan menolak kemerdekaan.

Hegel, mengikuti langkah Marx, mendukung keharusan sejarah. Dari sudut pandang Hegel dan Marx, kemerdekaan tak lain hanyalah kesadaran akan keharusan sejarah. Dalam buku berjudul "Marx and Marxism", Engels dikutip mengatakan: "Hegel adalah orang pertama yang mengungkapkan dengan benar hubungan antara kemerdekaan dan keharusan. Baginya, merdeka berarti mengapresiasi keharusan. Keharusan itu buta hanya sejauh keharusan itu tidak dapat dimengerti. Kemerdekaan bukanlah mimpi bebas dari hukum alam, namun kemerdekaan adalah mengetahui hukum alam dan bila dengan pengetahuan ini dapat mengarahkan secara sistematis hukum alam untuk tujuan tertentu. Ini berlaku untuk hukum alam eksternal dan hukum yang mengatur eksistensi jasmani dan mental manusia itu sendiri."

Setelah menguraikan secara ringkas bahwa karena kondisi khusus sejarah manusia dapat menuju ke arah yang ditentukan oleh kondisi ini, buku ini mengatakan: "Kalau kondisi ini dapat diidentifikasi dan dipahami, maka langkah manusia jadi lebih efektif. Setiap langkah ke arah sebaliknya berarti menentang dan merintangi jalannya sejarah. Melangkah ke arah yang ditentukan oleh jalannya sejarah berarti melangkah di jalan sejarah dan ikut dalam prosesnya. Namun pertanyaan, mengenai apa yang dimaksud dengan kemerdekaan, masih belum terjawab. Mazhab Marxis menjawab bahwa individu merdeka kalau dia dapat mengapresiasi keharusan sejarah dan gerakan sosial yang menjadi arah seluruh perjalanan sejarah."

Jelaslah pernyataan ini tidak menyelesaikan masalah. Masalah yang sebenarnya adalah apakah manusia mampu mengendalikan kondisi sejarah. Mampukah manusia membawa kondisi sejarah ke arah yang diinginkannya, atau mampukah manusia mengubah jalannya sejarah?

Jika manusia tak mampu mengarahkan jalannya sejarah atau mengubah jalannya sejarah, maka jelaslah kalau mau bertahan hidup dan berevolusi, manusia tak punya alternatif selain mengikuti jalannya sejarah. Kalau tidak, manusia tak mungkin bertahan hidup. Sekarang pertanyaannya adalah apakah manusia bisa memilih untuk mengikuti atau tidak mengikuti jalannya sejarah, dan—kalau kita perhatikan prinsip superioritas masyarakat atas manusia dan teori bahwa hati nurani, perasaan dan sentimen individu hanyalah produk kondisi sosial dan historis, khususnya kondisi ekonominya—apakah ada ruang bagi kemerdekaan manusia?

Lantas apa makna pernyataan yang menyebutkan bahwa ke­merdekaan adalah mengetahui keharusan? Apakah kalau seseorang terjebak dalam banjir dan tahu persis bahwa sebentar lagi dirinya akan terseret masuk sungai, atau kalau seseorang jatuh dari puncak bukit dan tahu bahwa berkat kekuatan hukum gaya berat sebentar lagi dirinya akan hancur berkeping-keping, lantas dia bisa saja terseret atau tidak terseret masuk sungai atau jatuh atau tidak jatuh ke bawah? Menurut teori materialisme sejarah, kondisi sosial membatasi ruang gerak manusia, mengarahkan manusia, membangun kata hati dan personalitas manusia, dan menentukan kemauan dan pilihan manusia. Terhadap kondisi sosial, manusia tak ubahnya seperti wadah kosong dan hanyalah bahan baku. Kalau manusia dianggap produk dari kondisi sosialnya, bukan yang membentuk kondisi sosialnya, dan kalau dinyatakan bahwa kondisi sosial yang ada menentukan nasib manusia, maka jelaslah itu bukanlah manusia yang menentukan kondisi sosial ke depan.

Jelaslah kemerdekaan seperti ini tak mungkin ada artinya sama sekali. Faktanya adalah tak mungkin kita membayangkan manusia itu merdeka kalau kita tidak menerima teori kecenderungan alamiah manusia yang berarti bahwa dalam proses gerakan funda­mental dan umum dunia manusia memiliki dimensi lain yang membentuk basis awal personalitasnya dan yang menjadi matang berkat pengaruh faktor-faktor eksternal. Berkat dimensi eksistensial ini manusia memiliki personalitas manusiawinya dan dimungkinkan untuk mendominasi sejarah dan menentukan jalannya sejarah. Poin ini sudah dijelaskan ketika membahas masyarakat, persisnya pada sub-bab "Determinisms dan Kemauan", dan akan dijelaskan lebih lanjut ketika membahas peran pahlawan, persisnya pada sub-bab "Dimensi Sejarah".

Kemerdekaan manusia tidak bertentangan dengan hukum sebab-akibat, tidak bertentangan dengan universalitas masalah-masalah sejarah, tidak bertentangan dengan fakta bahwa sejarah tunduk kepada hukum tertentu. Kalau manusia bisa memilih bentuk tertentu kehidupan sosialnya atas kemauan bebasnya sendiri, maka itu artinya adalah meskipun ada keharusan namun masih ada ruang bagi kehendak atau kemauan manusia. Ini beda dengan keharusan mutlak yang menguasai manusia dan kehendaknya. Ada kesulitan lain mengenai universalitas persoalan sejarah dan ketundukan persoalan tersebut kepada hukum tertentu. Studi atas peristiwa sejarah menunjukkan bahwa terdakang beberapa kejadian kecil dan kebetulan dapat mengubah jalannya sejarah. Tentu saja kejadian kebetulan, bertentangan dengan pikiran beberapa orang yang tidak tahu, tidak berarti kejadian tersebut terjadi tanpa sebab. Kejadian kebetulan hanyalah kejadian yang penyebabnya bukan sebab umum dan universal dan karena itu aturannya tidak umum. Sekarang jelaslah, kalau kejadian yang aturannya tidak umum itu memang efektif perannya dalam gerakan sejarah, tentunya sejarah tidak ada hukumnya, aturannya, normanya, dan jalannya tidak pasti. Namun kita tahu bahwa kejadian kebetulan dalam sejarah temyata mempengaruhi jalannya sejarah. Kejadian seperti ini terkenal dengan sebutan "hidung Cleopatra". Cleopatra adalah seorang ratu Mesir yang kesohor. Tak dapat dihitung contoh peristiwa kecil dan kebetulan yang ternyata mengubah jalannya sejarah dunia ini.

Edward Hallett Carr, dalam bukunya "What is History?", mengatakan sebagai berikut: "Sumber lain terjadinya serangan adalah soal hidung Cleopatra. Inilah teori yang mengatakan bahwa sejarah pada umumnya merupakan satu bab peristiwa, serangkaian kejadian yang terjadi karena kejadian kebetulan, dan penyebabnya adalah hal-hal yang sangat begitu saja atau kebetulan. Terjadinya Perang Actum bukanlah disebabkan oleh hal-hal yang lazim didalilkan oleh sejarawan, namun penyebabnya adalah karena Antony tergila-gila kepada Cleopatra. Ketika Bajazet tidak jadi masuk ke Eropa Tengah akibat mendapat serangan encok, Gibbon berkomentar bahwa 'berkat urat seseorang mendapat kehormatan pahit (serangan encok—pen.), maka banyak bangsa tak jadi sengsara.' Raja Alexander dari Yunani mati pada musim gugur tahun 1920 gara-gara digigit seekor monyet kesayangan. Peristiwa ini merupakan awal dari serangkaian peristiwa yang membuat Sir Winston Churchill menyatakan bahwa 'seperempat juta orang mati akibat gigitan monyet ini.' Atau perhatikan komentar Trotsky mengenai demam yang menyerang ketika tengah asyik dengan acara menembak bebek sampai-sampai tak bisa berbuat apa-apa ketika sudah sampai titik kritis pertengkarannya dengan Zinonev, Kamerev dan Stalin pada musim gugur 1923, 'Orang bisa saja meramalkan revolusi atau perang, namun mustahil memperkirakan konsekuensi acara menembak di musim gugur—berburu bebek liar."

Di dunia Islam peristiwa kekalahan Marwan bin Muhammad, Khalifah Umayah terakhir, merupakan contoh bagus mengenai bagaimana suatu kebetulan mengintervensi nasib sejarah. Dalam pertempuran terakhirnya melawan kaum Abbasiyah, dia sangat kebelet kencing. Lalu dia pergi kencing ke suatu tempat. Secara kebetulan seorang tentara musuh lewat tempat itu dan melihat Marwan tengah sendirian. Tentara musuh itu lalu membunuhnya. Berita bahwa Marwan telah terbunuh menyebar cepat di kalangan tentaranya seperti kobaran api yang tak terkendali. Karena kejadian ini tak terduga, tentara Marwan jadi patah semangat, lalu mengambil langkah seribu. Dengan demikian, maka berakhirlah kekuasaan dinasti Umayah. Mengenai peristiwa ini dikatakan, "Sebuah kerajaan jatuh gara-gara kencing."

Setelah menjelaskan bahwa setiap kebetulan merupakan hasil dari rangkaian sebab-akibat yang membatalkan rangkaian sebab-akibat yang lain dan bukan kejadian yang tak bersebab sama sekali, Carr mengatakan: "Mana mungkin dalam sejarah dapat ditemukan rangkaian sebab-akibat yang pertaliannya logis, mana mungkin kita menernukan makna dalam sejarah, bila rangkaian kita dapat saja hancur atau berbelok kapan saja akibat, dari sudut pandahg kita, rangkaian lain yang tidak relevan?"

Jawaban untuk problem ini bergantung kepada pertanyaan apakah masyarakat dan sejarah pada dasarnya memiliki arah atau tidak. Jika sejarah pada dasarnya memiliki arah, maka dampak kejadian-kejadian kecil tidak akan berarti. Dengan kata lain, kejadian kecil bisa saja mengubah posisi beberapa bidak di papan catur sejarah, namun tidak dapat mempengaruhi arah umum sejarah. Paling banter sejurus dapat mempercepat atau memperlambat jalannya sejarah. Kalau sejarah tak memiliki karakter, tak memiliki personalitas, dan tak memiliki arah yang ditentukan karakter dan personalitasnya, berarti sejarah tak memiliki arah yang jelas dan tak memiliki hukum yang universal sifatnya, sehingga sejarah sama sekali tak akan dapat diperkirakan.

Menurut kami, karena kami percaya sejarah memiliki karakter dan personalitas, dan kita berpandangan bahwa karakter dan personalitasnya merupakan produk dari perpaduan personalitas individu-individu manusia dan karena itu evolusioner sifatnya, maka berbagai kejadian yang sifatnya kebetulan tak mengganggu universalitas dan keharusan sejarah. Montesquieu menggambarkan peran kejadian kebetulan dalam sejarah bagus sekali. Kami kutipkan sebagiannya: "Jika hasil dari perang—perang merupakan sebab khusus—adalah hancurnya negara, maka ada sebab umum yang menetapkan bahwa negara itu akan hancur akibat perang." Dia juga mengatakan sebagai berikut: "Bukan perkara Poltava yang menghancurkan Charles. Seandainya Charles tidak hancur di tempat itu, dia akan hancur di tempat lain. Korban kecelakaan tidak sulit disembuhkan. Namun siapa yang dapat aman dari peristiwa demi peristiwa yang tak henti-hentinya terjadi karena memang hams terjadi?"

Apakah Sejarah pada Dasarnya Materialistik?

Bagaimanakah karakter sejarah? Apakah karakter sejarah itu kultural, politis, ekonomi, religius, atau moral? Apakah material, spiritual, atau perpaduan keduanya? Inilah pertanyaan-pertanyaan sangat penting tentang sejarah. Tak mungkin sejarah dapat dipahami dengan benar kalau pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab dengan benar. Jelaslah bahwa semua faktor material dan spiritual tersebut di atas efektif dalam tekstur sejarah. Pertanyaannya adalah faktor mana yang paling penting dan karakternya menentukan? Pertanyaannya adalah di antara faktor-faktor ini mana yang membentuk jiwa sejati sejarah dan menunjukkan identitasnya? Di antara faktor-faktor ini mana yang dapat menjelaskan dan menafsirkan faktor-faktor lainnya? Di antara faktor-faktor ini mana yang membentuk infrastruktur sejarah, sementara faktor-faktor lainnya menjadi suprastrukturnya?

Pada umumnya kaum pakar berpendapat bahwa sejarah merupakan sebuah mesin bermotor banyak, dan motor-motor ini satu sama lain saling mandiri. Yang mereka maksud adalah bahwa sejarah memiliki banyak karakter. Namun pertanyaannya adalah kalau sejarah memang bermotor banyak dan berkarakter banyak, lantas apa yang terjadi dengan perkembangan evolusionernya? Evolusi sejarah tak mungkin jelas dan pasti kalau sejarah digerakkan oleh beberapa motor yang satu sama lain saling mandiri, masing-masing motor melakukan gerakannya sendiri dan membawa sejarah ke arah yang dipilihnya sendiri, kecuali kalau faktor-faktor tersebut di atas dianggap sebagai semata-mata naluri sejarah yang jiwanya mengalahkan naluri-naluri ini, dan jiwa inilah, dengan dibantu oleh berbagai naluri sejarah, membawa sejarah ke arah yang jelas dan membentuk identitasnya. Namun, kalau demikian sejarah berarti satu karakternya, karena karakternya adalah seperti yang digambarkan sebagai jiwanya dan bukan faktor-faktor yang disebut sebagai nalurinya.

Dewasa ini ada sebuah teori baru yang banyak pendukungnya. Teori ini dikenal sebagai materialisme sejarah atau materialisme dialektis. Arti materialisme sejarah adalah interpretasi ekonomi atas sejarah, dan interpretasi ekonomi dan sejarah atas manusia, bukan interpretasi manusia atas ekonomi atau sejarah. Dengan kata lain, arti materialisme sejarah adalah sejarah berkarakter material dan eksistensinya dialektis. Yang dimaksud dengan sejarah berkarakter material adalah basis semua gerakan sejarah dan fenomena masyarakat adalah sistem ekonominya yang meliputi produk materialnya, kekuatan, hubungan dan sistem produksinya. Menurut teori ini, sistem ekonomilah yang memberi bentuk dan arah kepada semua fenomena sosial dan moral, seperti ilmu pengetahuan, filsafat, etika, agama, hukum dan budaya. Kalau sistem ekonomi mengalami perubahan, maka semua ini (ilmu pengetahuan, filsafat, etika, agama, hukum dan budaya—pen.) pun mengalami perubahan.

Adapun eksistensi sejarah yang sifatnya dialektis itu, artinya adalah bahwa gerakan evolusi sejarah terjadi akibat serangkaian kontradiksi dialektis yang ada saling hubungannya yang khusus. Kontradiksi dialektis beda dengan kontradiksi nonndialektis, karena pada kasus kontradiksi dialektis, setiap fenomena dalam dirinya wajib ada penafian terhadap dirinya, maka akibat kontradiksi inter­nal ini, fenomena tersebut berkembang ke tahap yang lebih tinggi, perkembangan ini merupakan sintesis dua tahap sebelumnya.

Dengan demikian, materialisme sejarah menunjukkan dua pikiran. Pertama, sejarah berkarakter materialistis; kedua, gerakan sejarah adalah gerakan dialektis. Pembahasan kedua hal ini nanti ketikarmembahas perkembangan dan evolusi sejarah.

Teori yang mengatakan bahwa sejarah berkarakter materialistis, dasarnya adalah serangkaian prinsip tertentu yang sifatnya filosofis, psikologis, atau sosiologis. Teori ini kemudian menyebabkan lahirnya sejumlah teori lain berkenaan dengan problem ideologis. Untuk menjelaskan poin penting ini, khususnya kalau diingat fakta bahwa para penulis Muslim modern tertentu mengklaim bahwa sekalipun Islam tidak menerima materialisme filosofis, namun Islam menerima materialisme sejarah, dan para penulis ini membangun teori sejarah dan sosialnya berdasarkan anggapan ini, maka kami rasa poin ini perlu dibahas dengan cukup mendalam. Untuk itu, yang dibahas terlebih dahulu adalah dua prinsip yang menjadi dasar dari teori ini dan akibat yang ditimbulkan oleh dua prinsip ini. Setelah itu teori ini akan ditelaah dari sudut pandang ilmu pengetahuan maupun Islam.

Prinsip Dasar Materialisme Sejarah

Prioritas Materi atas jiwa

Manusia, selain memiliki tubuh, juga memiliki jiwa. Atas tubuh manusia dapat dilakukan kajian biologis, medis, fisiologis dan lainnya. Sedangkan atasjiwa dan urusan spiritual manusia, dapat dilakukan kajian filosofis dan psikologis. Gagasan, kepercayaan, perasaan, kecenderungan, teori dan ideologi merupakan subjek psikologis. Arti prinsip prioritas materi atas jiwa adalah bahwa masalah psikologis itu tidak fundamental. Masalah psikologis hanyalah serangkaian refleksi material pada saraf dan otak, dan asal dari refleksi material ini adalah masalah aktual.

Nilai masalah psikologis terbatas pada fungsinya sebagai penghubung antara fakultas material yang ada pada jiwa manusia dan dunia luar, sehingga fakultas ini tidak bisa diperlakukan sebagai kekuatan yang terpisah dari kekuatan-kekuatan material lainnya yang mengatur eksistensi manusia. Untuk itustrasinya, masalah psikologis dapat disamakan dengan lampu mobil. Di malam hari mobil tak bisa jalan tanpa lampu. Di malam hari mobil baru jalan kalau lampunya menyala. Namun yang membuat mobil bisa jalan adalah mesinnya, bukan sinar lampunya.

Kalau masalah psikologis, seperti pikiran, kepercayaan, teori dan ideologi, selaras dengan proses berbagai kekuatan material sejarah, maka masalah ini membantu gerak maju sejarah. Namun masalah ini sendiri tidak bisa menyebabkan terjadinya gerak, juga tidak dianggap sebagai kekuatan yang terpisah dari kekuatan-kekuatan material lainnya. Pada dasamya masalah psikologis bukanlah kekuatan. Karena itu salah kalau mengatakan bahwa masalah psikologis adalah kekuatan yang tak ada realitas materialnya. Sesungguhnya kekuatan yang mempengaruhi eksistensi manusia adalah kekuatan yang dikenal sebagai kekuatan material dan kekuatan ini dapat diukur dengan ukuran material.

Jadi masalah psikologis tak mampu menciptakan gerakan atau mengarahkan gerakan. Masalah psikologis tidak dianggap sebagai tuas untuk menggerakkan masyarakat. Nilai psikologis dapat mendukung dan mengarahkan nilai material, namun tidak dapat menjadi sumber atau objek gerakan sosial. Berdasarkan ini, kalau menafsirkan sejarah, jangan sampai terkecoh oleh apa yang kelihatan. Pada momen sejarah tertentu, suatu gagasan, doktrin atau kepercayaan mungkin kelihatan mampu menggerakkan masyarakat ke tahap evolusi, namun kalau dilakukan analisis yang saksama atas sejarah ternyata posisi kepercayaan atau doktrin tidak dominan. Kepercayaan atau doktrin hanyalah refleksi berbagai kekuatan material masyarakat. Terkadang dengan berbaju doktrin dan kepercayaan juga berbagai kekuatan material masyarakat ini menggerakkan masyarakat. Kekuatan material yang membuat sejarah bergerak maju, dari sudut pandang teknis, adalah sistem produksi, dan dari sudut pandang manusiawi adalah kelas-kelas kurang mampu dan tereksploitasi masyarakat.

Feuerbach, seorang filosof materialis terkenal, dari tokoh ini Marx mengambil banyak teorinya, mengatakan, "Apa teori itu? Apa praksis itu? Apa bedanya teori dan praksis?" Feuerbach sendiri kemudian menjawabnya, "Kalau sebatas pikiran saja, maka itu teori. Kalau yang menggerakkan pikiran banyak orang, maka itu keharusan praktis. Aksilah yang mempersatukan banyak pikiran dan mengorganisasi massa, dan dengan cara seperti inilah aksi mendapatkan tempatnya di dunia."

Muridnya, Marx, menulis, "Jelaslah bahwa senjata kritik tak mampu menggantikan kritik senjata. Yang dapat menghancurkan kekuatan material hanyalah kekuatan material." Marx, yang tak mempercayai independensi kekuatan non-material, menyatakan bahwa yang dapat dilakukan kekuatan non-material hanyalah menambah nilai kekuatan material. Marx mengatakan bahwa begitu sebuah teori atau doktrin berurat berakar di tengah massa, maka teori atau doktrin itu berubah menjadi kekuatan material. Prinsip superioritas materi atas non-materi dan superioritas raga atas jiwa merupakan salah satu prinsip dasar materialisme filosofis. Prinsip ini mengatakan bahwa kekuatan mental dan nilai spiritual serta moral tidaklah fundamental.

Ada prinsip filosofis lain yang bertentangan dengan prinsip ini. Prinsip filosofis yang lain ini didasarkan pada fundamental!tas jiwa. Menurut prinsip ini, mustahil menjelaskan dan menafsirkan semua dimensi riil eksistensi melalui aspek material dan materi. Jiwa adalah realitas dalam eksistensi manusia, sedangkan energi spiritual tidak bergantung kepada, atau lepas dari, semua energi material. Karena itu semua kekuatan psikologis, seperti kekuatan akal, kekuatan doktrin, kekuatan agama dan kekuatan sentimen dianggap sebagai faktor independen yang menyebabkan gerakan tertentu pada individu dan masyarakat. Tuas-tuas ini dapat digunakan untuk menggerakkan sejarah. Sesungguhnya banyak gerakan sejarah bersumber terutama dari tuas-tuas ini. Khususnya gerakan manusiawi yang berkarakter mulia, entah itu gerakan individu atau sosial, penyebab langsungnya adalah kekuatan-kekuatan ini. Berkat kekuatan-kekuatan ini gerakan tersebut menjadi gerakan yang mulia.

Kekuatan psikologis sering mempengaruhi kekuatan fisis dan material. Kekuatan psikologis ini mengarahkan kekuatan fisis dan material bukan saja pada tataran aktivitas opsional, namun bahkan pada tataran aktivitas mekanis, kimiawi dan biologis juga. Efektivitas sugesti psikologis dalam pengobatan penyakit jasmani, dan efektivitas luar biasa kerja hipnotis, termasuk dalam kategori ini dan tak dapat disangkal.

Kekuatan pengetahuan dan agama, khususnya kekuatan agama dan terutama lagi bila dua kekuatan ini selaras, merupakan kekuatan yang dahsyat dan bermanfaat. Dua kekuatan ini perannya luar biasa dan dinamis untuk membuat sejarah bergerak maju atau untuk mengubah arah gerakan sejarah. Posisi sentral kekuatan jiwa dan spiritual merupakan salah satu prinsip dasar realisme filosofis.

Kebutuhan Material Dahulu, Baru Kebutuhan Spiritual

Manusia, setidak-tidaknya sejauh menyangkut eksistensi sosialnya, memiliki dua macam kebutuhan. Kebutuhan material manusia antara lain adalah pangan, air, papan, sandang, obat dan sebagainya. Kebutuhan spiritual manusia adalah pendidikan, pengetahuan, sastra, seni, gagasan filosofis, agama, ideologi, prinsip moral dan sebagainya. Manusia selalu memiliki dua macam kebutuhan ini. Pertanyaannya adalah mana yang lebih dahulu, kebutuhan material atau kebutuhan spiritual? Ataukah kedua macam kebutuhan tersebut sama pentingnya? Para pendukung fundamentalitas kebutuhan material berpendapat bahwa kebutuhan material lebih penting bukan saja dalam pengertian bahwa manusia memenuhi kebutuhan material dahulu, baru kemudian memenuhi kebutuhan spiritualnya, namun juga dalam pengertian bahwa kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya. Ketika lahir, manusia tidak memiliki dua macam kebutuhan atau dua macam naluri. Ketika lahir, manusia hanya memiliki satu macam kebutuhan dan satu macam naluri. Kebutuhan spiritual manusia merupakan kebutuhan sekundernya, dan sesuhgguhnya hanyalah sarana untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan lebih baik.

Itulah sebabnya bentuk, kualitas dan karakter kebutuhan spiri­tual manusia tunduk kepada kebutuhan materialnya. Dalam setiap zaman kebutuhan material manusia bentuk dan kualitasnya tertentu sesuai dengan perkembangan sarana atau alat produksi. Kebutuhan spiritual manusia yang merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya, tentu saja bentuk, kualitas dan karakternya sesuai dengan kebutuhan materialnya. Karena itu antara kebutuhan material dan kebutuhan spiritual ada dua macam preseden (prioritas). Yang satu berkenaan dengan eksistensi kebutuhan, dan satu lagi berkenaan dengan karakter kebutuhan. Kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya. Bentuk dan karakter lain kebutuhan spiritual juga tunduk kepada kebutuhan material manusia. Dalam bukunya "Historical Materialism" (Materialisme Sejarah), P. Royan mengutip Hymen Louis mengatakan dalam bukunya "Philosophical Ideas " (Gagasan Filosofis):

"Karena eksistensi manusia arahnya material, maka selaras dengan kebutuhan material zamannya, manusia mengajukan berbagai teori mengenai dunianya, masyarakatnya, seninya, dan moralitasnya. Semua manifestasi intelektual merupakan produk yang dihasilkan dari berbagai kondisi material dan metode produksi."

Itulah sebabnya cara berpikir setiap individu mengenai masalah ilmiah, pikiran filosofisnya, cita rasanya, rasa estetika dan artistiknya, evaluasi moralnya dan kecenderungan religiusnya mengikuti cara hidupnya dan caranya mencari nafkah. Prinsip ini, kalau diterapkan pada individu, maka bunyinya begini, "Sebutkan makanannya, maka akan aku sebutkan cara berpikirnya." Kalau prinsip ini diterapkan pada masyarakat, maka bunyinya, "Sebutkan sejauh mana perkembangan alat produksi dalam masyarakat itu dan bagaimana hubungan ekonomi di antara anggota masyarakat itu, maka akan aku sebutkan ideologi, filsafat, prinsip moral dan ajaran agama yang dianut masyarakat itu."

Bertentangan dengan teori ini adalah teori independensi kebutuhan spiritual. Menurut teori independensi kebutuhan spiritual, sekalipun pada diri manusia kebutuhan material ada lebih dahulu, dan ini terlihat pada keadaan bayi yang setelah lahir langsung mencari-cari susu dan payudara ibu, kemudian berangsur-angsur kebutuhan spiritual yang terpendam (potensial) dalam fitrah manusia muncul dan berkembang sedemikian rupa sehingga ketika sudah dewasa manusia mau mengorbankan kebutuhan materialnya demi kebutuhan spiritualnya. Dengan kata lain, bagi manusia kenikmatan spiritualnya bersifat fundamental dan juga lebih kuat dibanding kenikmatan materialnya dan desakan materialnya.

Poin ini sudah dibahas dengan bagus oleh Ibn Sina dalam bukunya, al-Isyârât. Kalau manusia semakin terdidik dan terlatih, maka kebutuhan spiritualnya, kenikmatan spiritualnya dan akhirnya kehidupan spiritualnya jadi jauh lebih penting daripada kebutuhan materialnya, kenikmatan materialnya dan kehidupan materialnya. Tentu saja dalam masyarakat primitif kebutuhan material jauh lebih penting dibanding kebutuhan spiritual. Namun setelah masyarakat mengalami perkembangan, maka kebutuhan spiritual jadi jauh lebih periling. Kebutuhan spiritual ini menjadi tujuan yang ingin dicapai manusia, sedangkan kebutuhan material menjadi semata-mata sarana.

Bertindak Dahulu, Baru Berpikir

Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, memahami dan bertindak. Mana yang lebih penting, tindakannya atau pikirannya? Mana yang menjadi esensi manusia? Apakah martabat manusia ditentukan oleh perbuatannya atau pikirannya? Dan mana yang membentuk dirinya?

Materialisme sejarah mempercayai independensi tindakan dan lebih pentingnya tindakan dibanding pikiran. Materialisme sejarah memandang tindakan sebagai fundamental dan pikiran sebagai subsider. Di lain pihak, filsafat dan logika kuno menganggap pikiran sebagai kunci berpikir. Menurut sistem lama logika, pikiran dibagi menjadi dua: persepsi dan penegasan (penguatan), dan masing-masing selanjutnya dibagi menjadi aksiomatis dan teoretis. Menurut sistem logika dan filsafat itu, hakikat ego manusia dianggap semata-mata sebagai gagasan. Manusia akan sempuma dan mulia kalau dia mau arif. Manusia sempuma sama dengan manusia arif. Namun materialisme sejarah didasarkan pada prinsip bahwa tindakan merupakan kunci dan kriteria berpikir. Hakikat manusia adalah aktivitas produktifnya. Manusia dikenal melalui aktivitasnya yang membentuk dirinya. Marx pernah mengatakan, "Seluruh sejarah dunia tak lain hanyalah kreasi manusia melalui kerja keras manusia."

Engels mengatakan, "Manusia sendiri merupakan kreasi aksi," karena alih-alih memikirkan kesulitan alam, manusia justru berupaya keras menaklukkan lingkungannya, dan dengan demikian (melalui aksi revolusioner melawan tiran agresif) manusia mem­bentuk masyarakat seperti yang dikehendakinya."

Penulis Marx and Marxism mengatakan sebagai berikut: "Kalau dalam filsafat wujud (sebuah filsafat yang menafsirkan bahwa dunia adalah 'wujud', beda dengan filsafat 'menjadi', yang menafsirkan bahwa dunia adalah gerak. Marxisme termasuk filsafat 'menjadi') pada mulanya biasa-biasa saja kalau mengemukakan gagasan dan prinsip yang dapat dibuat kesimpulan praktisnya. Sementara praksis (filsafat praktis) menganggap aksi sebagai asal dan basis semua pikiran. Praksis menggantikan kepercayaan pada pikiran dengan filsafat kekuatan."

Seperti Hegel, praksis mengatakan, "Pertama-tama wujud sejati manusia adalah aksinya sendiri." Dalam kepercayaan ini dia seperti pemikir Jerman yang menolak frase terkenal, "Pada mulanya ada kata"—di mana kata berarti roh, karena melalui katalah roh mengungkapkan dirinya—dan menyatakan, Tada mulanya ada aksi."

Teori ini merupakan salah satu prinsip materialisme Marxis, dan dikenal sebagai filsafat praktis. Marx mengambilnya dari materialis pendahulu dan gurunya, Feuerbach dan Hegel.

Bertentangan sekali dengan prinsip ini adalah prinsip filosofis realisme. Prinsip filosofis realisme ini menyatakan bahwa pikiran dan aksi saling mempengaruhi satu sama lain, sekalipun pikiran mendahului aksi. Menurut filsafat ini, hakikat manusia adalah pikiran (pengetahuan hakiki tentang eksistensi diri sendiri). Manusia, melalui aksi dan kontaknya dengan dunia luar, mendapatkan material informatif mengenai dunia. Dia tak dapat mengetahui sesuatu kalau dalam benaknya tak ada bahan baku ini. Setelah menghimpun materialnya, benaknya menggunakan data yang didapat dari aksi dengan cara lain seperti generalisasi, deduksi dan argumentasi. Dengan demikian aksi memudahkan jalan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan tidak berarti semata-mata sekadar refleksi material eksternal pada benak. Adanya pengetahuan adalah berkat refleksi yang terjadi melalui suatu proses mental yang berasal dari substansi imaterial jiwa ini. Dengan demikian aksi adalah sumber pikiran. Namun pada saat yang sama pikiran juga merupakan sumber aksi. Aksi adalah kriteria pikiran, dan pada saat yang sama pikiran adalah kriteria aksi. Namun ini bukan lingkaran setan. Yang membuat seseorang menjadi manusia adalah kemuliaan akhlaknya, pengetahuannya, imannya, martabatnya, harga dirinya dan perbuatannya. Manusia berbuat, dan dirinya eksis karena perbuatannya. Inilah sifat khas manusia. Makhluk lain tak memiliki sifat ini. Sifat ini berasal dari karakter khusus yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Namun, manusia berbuat, itu dalam pengertian kreatif, sedangkan perbuatan membentuk manusia, itu dalam pengertian persiapan. Sesungguhnya manusia menciptakan perbuatannya sendiri, sedangkan perbuatan sesungguhnya tidak menciptakan manusia. Namun aksi, kalau dilakukan dan diulang-ulang, memuluskan jalan bagi penciptaan manusia dari dalam. Dalam semua kasus di mana saling hubung antara dua hal di satu sisi sifatnya kreatif dan imperatif (tidak boleh tidak), dan di sisi lain sifatnya persiapan dan potensial, maka yang lebih dahulu selalu sisi kreatif dan sisi imperatifnya.

Pendek kata, manusia, yang hakikatnya merupakan pengetahuan (pengetahuan hakiki tentang eksistensinya sendiri), hubungannya dengan aksi sifatnya timbal balik, dalam pengertian bahwa manusia menciptakan dan mengembangkan aksi, sedangkan aksi mengembangkan manusia. Namun kalau diingat fakta bahwa manusia adalah sebab kreatif dan imperatif bagi adanya aksi, sedangkan aksi hanyalah sebab persiapan dan potensial bagi adanya manusia, maka manusia dahulu baru aksi, bukan aksi dahulu baru manusia.

Eksistensi Sosial Manusia Mendahului Eksistensi Individualnya

Dari sudut pandang biologis, manusia adalah hewan yang paling sempurna. Manusia dapat menciptakan evolusi tertentu dan membangun dirinya sendiri. Inilah yang disebut evolusi manusiawi. Manusia dapat memiliki kepribadian istimewa yang dibentuk oleh berbagai dimensi manusiawi. Berkat pengalaman dan pengetahuan, manusia memiliki dimensi intelektual, filosofis dan ilmiah. Dan berkat faktor-faktor tertentu lainnya manusia memiliki dimensi lain, dimensi ini disebut dimensi moral. Dalam dimensi inilah manusia menciptakan nilai-nilai dan "apa yang harus dan yang tidak boleh" secara moral. Manusia juga memiliki dimensi seni dan religius. Dalam dimensi intelektual dan filosofisnya manusia menemukan sejumlah prinsip dan hukum umum. Prinsip dan hukum umum ini kemudian menjadi basis pemikirannya. Melalui apresiasi moral dan sosialnya manusia memperoleh beberapa nilai yang mutlak dan semi-mutlak. Semua dimensi manusiawi ini berpadu membentuk eksistensi manusiawi.

Dimensi manusiawi sepenuhnya merupakan konsekuensi ber­bagai faktor sosial. Ketika lahir, manusia tidak memiliki semua dimensi ini. Ketika lahir, manusia hanyalah bahan baku yang mampu berbentuk intelektual atau emosional. Bentuk final manusia ditentukan oleh berbagai faktor yang kelak mempengaruhinya. Pada mulanya manusia tak ubahnya seperti wadah kosong yang dapat diberi isi dari luar. Manusia seperti pita magnetik kosong. Suara apa pun dapat direkam dengan pita ini. Pendek kata, faktor-faktor sosial eksternal yang disebut aksi sosial inilah yang membangun kepribadian manusia dan mengubah manusia dari sesuatu menjadi seseorahg. Manusia sendiri hanyalah "sesuatu", dan semata-mata berkat faktor-faktor sosial maka manusia menjadi "seseorang". Dalam bukunya "Historical Materialism", P. Royan mengutip perkataan Plekhanov dalam bukunya "Fundamental Problems of Marxism". Katanya:

"Karakteristik sebuah sistem sosial ditentukan oleh tingkat perkembangan sarana dan alat produksi masyarakat. Artinya adalah kalau tahap perkembangan sarana dan alat produksi itu ditentukan, maka karakteristik tata sosial dan psikologi (masyarakat) yang terkait, dan semua kaitan lainnya dalam sistem itu di satu pihak, dan gagasan serta kemajuan di pihak lain, juga (atas kemauan sendiri) ditentukan."

Dalam buku itu juga dikatakan sebagai berikut: "Kalau psikologi, melalui sarana dan alat produksi, ditentukan, maka konsekuensinya ideologi, yang berurat berakar dalam psikologi masyarakat, juga ditentukan. Namun karena ideologi, pada tahap sejarah tertentu, merupakan produk dari kebutuhan sosial, dan karena ideologi selalu melindungi kepentingan kelas berkuasa, tentu ideologi memperkuat dan menyempurnakan struktur sosial yang ada. Karena itu struktur sosial dalam masyarakat berkelas, yang eksistensinya adalah untuk melindungi kelas berkuasa dan untuk menyebarkan ideologinya, sesungguhnya merupakan hasil dari tata sosial dan berbagai tuntutannya, dan pada akhirnya merupakan produk dari karakter mode, sarana dan alat produksi. Misal, di gereja dan masjid disampaikan berbagai keyakinan religius, yang dalam semua agama didasarkan pada iman kepada Hari Kiamat. Mempercayai Kiamat merupakan hasil logis dari tata sosial tertentu yang didasarkan pada pembagian masyarakat menjadi kelas-kelas, yang pada gilirannya merupakan produk dari tahap tertentu perkembangan sarana dan alat produksi. Karena itu mempercayai Kiamat merupakan produk dari sarana dan alat produksi (pada tahap tertentu perkembangan sosial)."

Ada prinsip lain yang beda dengan prinsip ini. Prinsip lain tersebut adalah prinsip antropologis. Prinsip antropologis didasar­kan pada pandangan bahwa fondasi kepribadian manusia merupa­kan basis pemikiran manusia dan kecenderungan lebih tinggi manusia, dan berakar dalam kreasinya. Beda dengan teori terkenal Plato, manusia datang ke dunia bukan dengan kepribadian yang sudah jadi, namun manusia masih menerima karakter dasar kepribadiannya dari kreasinya, bukan dari masyarakat. Kalau mau menggunakan istilah fitasofis, dapat dikatakan bahwa unsur utama dimensi manusiawi, entah itu religius, moral, filosons, artistik, teknis atau cinta kasih, merupakan bentuk dan karakter khas spesies manusia dan jiwa rasionalnya yang dibentuk secara simultan dengan faktor-faktor kreasi. Karena bergantung pada kemampuan personal manusia, masyarakat kalau tidak melayani dan membantu mengembangkan manusia, maka masyarakat mendistorsinya. Pada mulanya eksistensi jiwa rasional atau fakultas intelektual manusia hanya bersifat potensial. Kemudian berangsur-angsur menjadi aktual. Dari sudut pandang pemikirannya, kecenderungannya, kecondongan material-spiritualnya dan sentimennya, manusia tak ubahnya seperti makhluk hidup lainnya. Pada mulanya segenap fakultas manusia eksis secara potensial, kemudian setelah terjadi perkembangan dasar tertentu berangsur-angsur berkembang. Berkat faktor-faktor dari luar, manusia mengembangkan kepribadian alamiahnya dan menyempurnakannya, atau terkadang mendistorsinya dan menjauhkannya dari arah yang normal. Inilah prinsip yang dalam ilmu-ilmu Islam digambarkan sebagai prinsip fitrah dan dianggap sebagai prinsip paling dasar.

Menurut prinsip ini, psikologi manusia mendahului sosiologinya. Sesungguhnya sosiologi manusia bergantung pada psikologinya. Menurut prinsip alam, ketika anak lahir, sekalipun tidak memiliki persepsi, konsepsi, argumentasi dan bakat, manusia datang ke dunia dengan membawa dimensi manusiawi dan dimensi hewani. Dimensi inilah yang berangsur-angsur menjadi basis pemikiran manusia. Tanpa dimensi ini, pemikiran logis tidak mungkin ada. Dimensi inilah yang mewujudkan kecenderungan yang tinggi dan mulia. Dimensi inilah yang dipandang sebagai basis sejati kepribadian manusia. Menurut teori sosiologi manusia mendahului psikologi manusia, manusia hanyalah makhluk pe-nerima dan tidak otomatis ke arah tertentu. Dia adalah bahan baku. Baginya, bentuk yang diterimanya, tak jadi masalah. Dia bagaikan pita kosong. Tak jadi masalah suara apa yang direkam dengan pita. Bahan baku ini tidak cenderung ke bentuk tertentu. Juga tak ada bentuk yang bisa disebut bentuk khas pita. Pita ini tak hanya untuk merekam suara tertentu. Juga tak dapat dikatakan bahwa kalau suara lain direkam dengan pita ini maka suara tersebut tidak akan sesuai dengan realitas pita ini. Karena bahan baku ini sama hubungannya dengan semua bentuk, maka pita ini juga sama hubungannya dengan semua suara.

Namun menurut prinsip fundamentalitas fitrah dan psikologi manusia mendahului sosiologi manusia, sekalipun manusia pada awalnya tidak memiliki persepsi dan kecenderungan aktual, namun dari dalam diri manusia sendiri manusia melakukan gerakan dinamis menuju serangkaian penilaian primer yang dikenal sebagai prinsip primer atau apriori, dan menuju serangkaian nilai yang lebih tinggi yang membentuk standar kemanusiaannya. Menyusul masuknya sejumlah konsepsi primer ke dalam benak manusia, dan konsepsi ini membentuk bahan dasar pemikirannya, prinsip ini berkembang menjadi afirmasi teoretis atau praktis, dan ke­cenderungan yang sebelumnya tidak kelihatan jadi kelihatan.

Dalam keadaan seperti ini manusia, misal, menyatakan bahwa 2x2 = 4. Manusia mengira bahwa norma ini mutlak dan benar kapan dan di mana pun. Menurut teori pertama, penilaiannya ini merupakan produk dari kondisi khusus lingkungannya. Kondisi khusus ini memberinya norma ini, dan penilaiannya merupakan reaksinya terhadap kondisi lingkungan. Dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda, manusia mungkin berpikiran lain. Misal, dia mungkin percaya bahwa 2 x 2 = 26.

Namun menurut teori kedua, yang diterima manusia dari lingkungan hanyalah konsepsi 2, 4, 8,10 dan seterusnya. Adapun penilaian bahwa 2x2 = 4 atau 5x5 = 25, itu tak dapat dipisahkan dari struktur jiwa manusia, dan dalam keadaan apa pun tak mungkin berbentuk lain. Begitu pula, hasrat manusia untuk mencapai kesempurnaan juga merupakan bagian esensial dari jiwa manusia.

Segi Material Masyarakat Mendahului Segi Intelektualnya

Dalam masyarakat terdapat banyak sektor dan organisasi: ekonomi, budaya, politik, administrasi, agama, kehakiman dan sebagainya. Dari sudut pandang ini, masyarakat bagaikan rumah yang sudah sempurna. Dalam rumah ini ada ruang tamunya, kamar tidurnya, dapurnya, toiletnya dan sebagainya. Di antara berbagai organisasi sosial ada satu organisasi yang menjadi fondasi sejati masyarakat, karena segenap struktur masyarakat dibangun di atas fondasi tersebut. Seandainya fondasi tersebut hancur, maka seluruh bangunannya otomatis hancur juga. Inilah struktur ekonomi masyarakat. Atau dengan kata lain, semua yang berhubungan dengan produksi material masyarakat, termasuk alat produksi, sumber daya ekonomi, hubungan produksi dan lain-lain.

Alat produksi merupakan bagian paling dasar dari struktur masyarakat Alat produksi terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan. Dan dap tahap perkembangannya menyebabkan terjadinya pertibahan hubungan produksi, sehingga terjadi perbedaan dengan yang sebelumnya. Hubungan produksi antara lain adalah norma dan regulasi berkaitan dengan hak mtlik dan hubungan kontraktual antara manusia dan produk dalam masyarakat. Kalau hubungan ini mengalami perubahan, otomatis semua prinsip hukum, intelektual, moral, agama, filsafat dan ilmu pengetahuan manusia juga mengalami perubahan. Ringkas kata, dapat dikatakan, "Ekonomi adalah fondasi masyarakat."

Dalam buku "Marx and Marxism", Marx dikutip mengatakan dalam bukunya berjudul "Critique of Political Economy": "Dalam produksi sosial kehidupan manusia, manusia melakukan hubungan tertentu. Hubungan ini sangat diperlukan dan lepas dari kehendaknya, hubungan produksi yang sesuai dengan tahap perkembangan kekuatan produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, fondasi sejatinya, dan di atas fondasi ini berdiri bangunan hukum dan politik, dan bentuk-bentuk kesadaran sosial sesuai dengan fondasi ini. Cara produksi kehidupan material menentukan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual pada umumnya. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, namun justru eksistensi sosialnya yang menentukan kesadarannya."

Mengutip surat Marx, buku yang sama mengatakan: "Perkembangan fasilitas produktif manusia menentukan bentuk perdagangan dan konsumsi. Perkembangan produksi, perdagangan dan konsumsi menentukan bentuk tatanan keluarga atau kelas. Singkat kata, menentukan bentuk masyarakat sipil."

Penjelasan Peter mengenai pandangan Marx adalah, "Dengan cara ini Marx menyamakan masyarakat dengan bangunan. Fondasi bangunan ini adalah lembaga ekonomi. Dan bangunannya itu sendiri adalah norma, adat dan pola politik, agama dan hukum. Kalau bangunan bergantung pada posisi fondasinya, maka bentuk ekonomi (hubungan produksi) dan mode teknis juga bergantung pada dan berhubungan dengan cara berpikir, sistem politik dan adat, dan semuanya ini bergantung pada kondisi ekonomi."

Buku yang sama mengutip dari buku Lenin Marxisme Marx-Engels seperti termaktub dalam "Capital" jilid 3: "Mode produksi terejawantahkan dalam aktivitas manusia dalam kaitannya dengan alam, dan setelah itu terejawantahkan dalam kondisi sosial dan pola intelektual produk kondisi sosial tersebut." Dalam Pengantar untuk "Contribution to the Critique of Political Economy", Karl Marx mengatakan: "Hasil telaah formal saya menunjukkan bahwa hubungan legal rnaupun bentuk negara dapat dimengerti bukan dari hubungan maupun bentuk itu sendiri, juga bukan dari apa yang disebut perkembangan umum pikiran manusia, namun karena berakar pada kondisi material kehidupan anatomi masyarakat sipil dapat ditemukan dalam ekonomi politik."

Marx, dalam bukunya berjudul "Poverty of Philosophy ", menulis: "Hubungan sosial erat kaitannya dengan kekuatan produktif. Untuk mendapatkan kekuatan produktif baru, manusia mengubah cara produksinya. Dalam mengubah cara produksinya, dalam mengubah cara mencari nafkahnya, manusia mengubah semua hubungan sosialnya. Penggilingan tangan melahirkan masyarakat dengan penguasa atau tuan feodal. Penggilingan uap melahirkan masyarakat dengan kapitalis industrial."

Teori yang mengatakan bahwa sistem material masyarakat mendahului semua sistem sosial lainnya, selaras dengan teori yang mengatakan bahwa aksi mendahului pikiran. Sesungguhnya teori yang pertama berlaku untuk tataran individu, sedangkan teori kedua berlaku untuk tataran sosial. Kalau mengingat fakta bahwa para pendukung teori ini juga beranggapan bahwa sosiologi manusia mendahului psikologinya, maka dapat dikatakan bahwa aksi individu mendahului pikiran individu merupakan manifestasi dan juga hasil dari sistem material mendahului semua sistem sosial lainnya. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa psikologi manusia mendahului sosiologinya, maka lebih dahulunya sistem material masyarakat merupakan hasil dari aksi individu mendahului pikiran individu.

Sistem material masyarakat yang digambarkan sebagai struktur ekonomi dan basis ekonomi juga, terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa alat produksi yang merupakan hasil dari kontak manusia dengan alam. Bagian kedua berupa hubungan ekonomi anggota masyarakat di bidang distribusi kekayaan. Hubungan ini terkadang digambarkan sebagai hubungan produktif juga. Alat produksi beserta hubungan produksi pada umumnya digambarkan sebagai cara atau metode produksi. Dapat dicatat bahwa istilah-istilah ini, seperti yang digunakan oleh tokoh-tokoh materialisme sejarah, dapat ditafsirkan macam-macam, dan maknanya tidak jelas. Ketika mereka mengatakan bahwa ekonomi adalah infrastrukturnya dan sistem material masyarakat mendahului semua sistem lainnya, maka yang mereka maksud dengan ekonomi adalah sistem produksi, yaitu alat produksi dan hubungan produksi.

Di sini ada poin yang juga perlu dicatat. Seperti terlihat jelas dari apa yang dikatakan oleh para tokoh materialisme sejarah, infrastruktur masyarakat itu sendiri merupakan struktur bertingkat dua. Fondasinya dibentuk oleh alat produksi yang sesungguhnya melibatkan kerja. Berkat keterlibatan kerja maka tumbuh hubungan ekonomi khusus untuk tujuan distribusi kekayaan. Hubungan ini mencerminkan tingkat perkembangan alat produksi, dan pada mulanya bukan saja selaras dengan alat produksi, namun juga mendorong penggunaan alat produksi dan menawarkan cara terbaik untuk memanfaatkan alat produksi. Hubungan ini bagaikan pakaian yang pas untuk tubuh alat produksi. Namun alat produksi masih terus berkembang, dan dengan berkembangnya alat produksi, maka keselarasan antara dua bagian mesin produksi itu jadi kacau. Hubungan produksi dan hubungan ekonomi, yaitu hukum yang sebelumnya selaras dengan alat produksi, menjadi pakaian yang terlalu sesak bagi tubuh alat produksi yang mengalami perkembangan dan merintangi perkembangan alat produksi selanjutnya. Dengan demikian terjadi kontradiksi antara dua bagian mesin produksi. Setidak-tidaknya hubungan produktif baru, yang selaras dengan alat produksi baru, pun berkembang, sehingga insfrastruktur mengalami perubahan total. Dengan berubahnya infrastruktur, maka berubah pula suprastruktur legal, filosofis, moral dan religius.

Jika dipertimbangkan sangat pentingnya keterlibatan kerja, yaitu alat produksi, dan diperhatikan pula fakta bahwa Marx juga tergolong sosiolog yang berpendapat bahwa sosiologi manusia mendahului psikologi manusia dan bahwa karena itu manusia adalah makhluk sosial atau, dalam kata-kata Marx sendiri, makhluk "sui generis," maka dapat diketahui peran filosofis kerja dari sudut pandang Marxisme. Dapat disebutkan bahwa peran filosofis kerja merupakan poin utama filsafat Marxis. Namun ini kurang men-dapat perhatian. Pemikiran Marx tentang eksistensi manusia atau kerja dan eksistensi kerja manusia persis seperti pemikiran Descartes, Bergson dan Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia yang rasional, sinambung dan ofensif. Descartes mengatakan, "Aku berpikir, karena itu aku ada." Bergson mengatakan, "Aku sinambung, karena itu aku ada." Sartre mengatakan, "Aku ofensif, karena itu aku ada." Dan Marx ingin mengatakan, "Aku kerja, karena itu aku ada."

Meski metode yang digunakan beragam, namun di antara para filosof ini tidak ada yang bermaksud membuktikan eksistensi ego manusia pada hal-hal lain selain berpikir, sinambung dan ofensif. Sebagian dari mereka bahkan tidak percaya kalau eksistensi manusia tidak ada kaitannya dengan hal-hal ini. Mereka hanya ingin mendefinisikan di antaranya hakikat manusia dan realitas eksistensial manusia.

Descartes hendak mengatakan, "Eksistensiku serupa dengan eksistensi pikiran. Kalau tidak ada pikiran, maka aku tak ada." Bergson ingin mengatakan, "Eksistensi manusia serupa dengan eksistensi kesinambungan dan waktu." Sartre mengatakan, "Hakikat manusia dan eksistensi riil manusia terletak pada semangat ofensifnya. Kalau semangat ini tak ada padanya, maka dia bukan lagi manusia." Marx juga mau mengatakan, "Segenap eksistensi manusia adalah kerjanya. Kerja adalah hakikat manusia. Aku ada karena aku kerja, bukan dalam pengertian bahwa kerja merupakan bukti eksistensiku, namun dalam pengertian bahwa kerja serupa dengan eksistensiku. Sesungguhnya kerja merupakan eksistensiku."

Itulah yang ingin ditunjukkan Marx ketika mengatakan, "Bagi seorang sosialis, segenap apa yang disebut sejarah dunia tak lain adalah kreasi manusia melalui kerja manusia." Atau ketika dia membedakan antara kesadaran manusia dan eksistensi riilnya, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya. Namun justru eksistensi sosialnya yang menentukan kesadarannya." Dia juga mengatakan, "Bukan berdasarkan kehendak, orang membuat keputusan. Namun dasarnya adalah individu serta kondisi material dan kondisi eksistensialnya." Menjelaskan individu, dia selanjutnya mengatakan, "Sesungguhnya individu bukanlah apa yang dapat dibayangkan. Individu adalah bagaimana kreasinya. Dengan kata lain, individu adalah bagaimana dia bertindak dalam kondisi material tertentu yang sama sekali lepas dari kehendaknya. Engels mengatakan, "Ekonom mengatakan bahwa kerja adalah pangkal kaya. Sesungguhnya bagi manusia, kerja lebih dari itu. Kerja adalah kondisi fundamental eksistensi kehidupan manusia. Sekilas dapat dikatakan bahwa kerjalah yang membentuk manusia itu sendiri."

Marx dan Engels sesungguhnya mengambil alih teori peran kerja dalam eksistensi manusia ini dari tulisan Hegel. Hegel inilah yang kali pertama mengatakan, "Mula-mula eksistensi manusia adalah kerjanya."

Dari uraian di atas jelaslah dua poin: pertama, dari sudut pandang Marxisme, eksistensi manusiawi manusia adalah sosial, bukan individualistis; kedua, eksistensi manusia sosial adalah kerja sosialnya, yaitu keterlibatan kerjanya, dan kerja individualnya seperti perasaan individual dan setiap karya sosial lainnya semisal filsafat, etika, seni, agama dan sebagainya hanyalah manifestasi dari eksistensinya, bukan eksistensinya itu sendiri.

Karena itu evolusi manusia adalah evolusi aksi sosialnya. Sejauh menyangkut evolusi intelektual, sentimental dan emosionalnya atau evolusi sistem sosial, itu merupakan manifestasi dari evolusi, bukan evolusi itu sendiri. Sesungguhnya evolusi material masyarakat merupakan kriteria evolusi imaterialnya, seperti kerja adalah kriteria pikiran. Betul atau tidak betulnya pikiran harus diukur dengan standar kerja, bukan dengan standar intelektual atau standar logika. Kriteria segala yang imaterial adalah evolusi segala yang material. Jika ditanyakan mazhab filosofis, moral religius atau artistik mana yang lebih progresif, maka standar intelektual atau standar logika tak dapat menjawab pertanyaan ini. Kriteria satu-satunya untuk menilai progresif tidaknya mazhab adalah mengetahui kondisi dan derajat kerja sosial, yaitu perkembangan alat produksi, yang melahirkan mazhab itu.

Cara berpikir seperti ini, menufut kami, tampak mengherankan, karena kami berpandangan bahwa eksistensi manusia adalah egonya, ego merupakan substansi imaterial, dan bahwa ego ini merupakan bagian dari gerakan hakiki alam, bukan produk masyarakat. Namun orang seperti Marx yang berpikir secara material saja, dan yang tidak mempercayai substansi imaterial, semestinya menafsirkan manusia dan realitasnya dari sudut pandang biologi dan semestinya mengatakan bahwa hakikat manusia tak lain adalah struktur fisisnya, seperti dikemukakan oleh kaum materialis abad ke-18. Namun Marx menolak pandangan ini. Marx menyatakan bahwa dalam masyarakatlah, bukan dalam alam, hakikat manusia menjadi kenyataan aktual. Yang menjadi kenyataan aktual dalam alam adalah manusia potensial, bukan manusia aktual. Selain itu, Marx semestinya menganggap pikiran sebagai hakikat manusia dan memandang aksi sebagai manifestasinya, atau memandang aksi sebagai hakikat manusia dan menganggap pikiran dan gagasan sebagai manifestasinya. Marx memilih altematif kedua, karena Marx berpikir secara material saja. Marx bukan saja mempercayai fundamentalitas materi dan menolak eksistensi substansi imaterial pada individu, namun mempercayai materialitas sejarah.

Sesungguhnya Marx begitu asyik dengan filsafat kerja. Pandangannya mengenai kerja sosial adalah sedemikian sehingga dapat dikatakan bahwa, menurut jalan pikirannya, manusia bukanlah manusia yang ada di jalanan, yang berpikir dan yang memilih, namun sesungguhnya manusia adalah alat dan mesin yang, misalnya, menjalankan pabrik. Manusia yang bicara, berjalan dan berpikir hanyalah imaji dari manusia yang sesungguhnya, bukan manusia itu sendiri. Menurut pandangan Marx tentang kerja sosial dan alat produksi, hal-hal ini dapat digambarkan sebagai makhluk hidup yang secara otomatis, membuta dan tak dipengaruhi oleh kehendak "imaji manusia" (bukan manusia itu sendiri), tumbuh, berkembang, dan mengendalikan "manusia pertunjukan'' sekalipun berkehendak dan berpikir.

Dengan mudah dapat dikatakan bahwa pernyataan Marx tentang supremasi dan dominasi kerja sosial atas kesadaran dan kehendak manusia adalah seperti pernyataan para filosof tentang aktivitas fisis tak sadar manusia, seperti aktivitas sistem pencemaan, jantung, hati dan sebagainya, yang dipengaruhi oleh kehendak gaib. Menurut para filosof ini, semua hasrat, kecenderungan dan semua fungsi sistem tubuh yang terlihat pada tataran pikiran sadar sesungguhnya merupakan sebuah jaringan kebutuhan alamiah. Semuanya diatur oleh sebuah kekuatan psikis gaib, dan pikiran sadar tak tahu di mana dan bagaimana kejadiannya. Kekuatan psikis ini terlihat sama dengan apa yang oleh Freud disebut pikiran tak sadar. Menurut Freud, pikiran tak sadar ini mendominasi pikiran sadar.

Namun sesungguhnya pernyataan Marx beda dengan pandangan Freud atau para filosof masa lalu. Apa yang mereka katakan berkaitan dengan bagian dari pikiran sadar dan dominasi pikiran gaib atas pikiran sadar. Selanjutnya, apa yang mereka bicarakan bukanlah sesuatu di luar eksistensi manusia, namun apa yang dibicarakan Marx merupakan sesuatu di luar eksistensi manusia. Kalau teori Marx dinilai dengan benar, ternyata dari sudut pandang filsafat, teori tersebut sangat mengherankan. Marx menyebut teorinya sebagai temuan, dan menyamakannya dengan teori biologis Darwin yang terkenal. Darwin membuktikan bahwa perkembangan yang terjadi di luar kehendak dan kesadaran binatang berangsur-angsur dan tanpa disengaja menimbulkan perubahan pada tubuh binatang. Marx juga mengklaim bahwa blind event (eksistensi sejati manusia itu sendiri adalah blind event) berangsur-angsur dan tanpa disengaja membawa perubahan pada struktur sosial manusia, yaitu pada semua yang oleh Marx disebut suprastruktur dan pada banyak di antara semua yang disebut Marx infrastruktur, yaitu hubungan sosio-ekonomi. Marx mengatakan: "Darwin telah membuat ilmuwan memperhatikan sejarah seleksi alamiah, formasi organ tumbuhan dan binatang yang sesuai dengan sarana produksi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Bukankah sejarah generasi dan formasi organ yang melahirkan manusia sosial, yaitu basis material bagi semua jenis organisasi sosial, layak diperlakukan seperti itu? Seleksi alamiah mengungkapkan cara manusia bertindak terhadap alam. Cara produksi mengungkapkan eksistensi material manusia dan, akibatnya, sumber hubungan sosial, pikiran, dan produk intelektual yang berasal dari eksistensi material manusia.''

Karena itu, dari apa yang diuraikan jelaslah bahwa teori materialisme sejarah didasarkan pada beberapa teori lain, sebagian teori psikologis, sebagain teori sosiologis, dan sebagian lagi teori filosofis dan antropologis.

Kesimpulan

Dari teori materialisme sejarah dapat ditarik sejumlah kesimpulan yang praktis mempengaruhi strategi dan bentuk tujuan sosial. Teori materialisme sejarah bukanlah teori hipotetis atau spekulatif yang tak ada pengaruhnya pada perilaku sosial. Berikut ini kesimpulannya:

1. Kesimpulan pertama berkaitan dengan pemastian identitas masyarakat dan sejarah. Berdasarkan materialitas sejarah, cara terbaik dan yang paling memuaskan untuk menganalisis dan memahami kejadian sejarah dan sosial adalah mengkaji basis ekonominya. Tanpa mengetahui basis ekonomi ini, maka mustahil memahami fenomena sejarah dengan benar, karena sudah ada anggapan bahwa tabiat semua perubahan sosial adalah ekonomi, sekalipun perubahan itu mungkin kelihatannya perubahan kultural religius atau moral. Dengan kata lain, semua perkembangan budaya, agama dan moral merupakan refleksi posisi ekonomi masyarakat dan terjadi karena posisi ini. Para filosof dahulu juga berpandangan bahwa cara terbaik dan paling sempurna untuk mengetahui identitas sesuatu adalah mengetahui sebab adanya sesuatu itu. Karena itu kalau struktur ekonomi masyarakat diakui sebagai sebab utama terjadinya semua perkembangan sosial, maka analisis sosio-ekonominya merupakan cara terbaik untuk memahami sejarah. Karena pada tahap kejadiannya sebab mendahului akibat, maka pada tahap mengetahui dan membuktikan, sebab juga mendahului akibat. Karena itu situasi ekonomi bukan saja penyebab perkembangan lain, namun mengetahui sebab dapat membantu memahami perkembangan lain tersebut dan membukti­kan eksistensinya.

Membahas poin ini, buku "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan sebagai berikut: "Untuk menganalisis revolusi sosial, tidak boleh menilai konflik sosial dari sudut pandang politis, legal atau ideologis. Sebaliknya harus ditafsirkan dari sudut pandang kontradiksi antara kekuatan produksi dan hubungan produksi. Marx memperingatkan bahwa penilaian seperti itu berbahaya. Pertama, penilaian seperti itu tidak realistis, karena menggantikan sebab, yang merupakan kontradiksi dan perubahan ekonomi, dengan akibat, yang merupakan bentuk politik, hukum dan ideologi. Kedua, penafsiran seperti itu dangkal. Tidak menelaah sebab sebenarnya. Yang dikaji hanya permukaan. Dan realitas yang terlihat dipandang cukup untuk dijelaskan. Ketiga, menyesatkan. Karena suprastruktur, yang umumnya bersifat ideologis, tak lain hanyalah gambaran yang tidak akurat mengenai realitas. Bersandar pada gambaran yang tidak akurat, bukannya bersandar pada analisis yang realistis mengenai problemnya, tak syak lagi membuat kita jadi kacau dan salah."

Buku yang sama mengutip dari buku lain yang berisi tulisan penting Marx dan Engels sebagai berikut, "Untuk individu, instropeksi diri saja tidak membantu kita membuat penilaian. Begitu pula, selama periode kekacauan, pikiran-pikiran pada periode itu tidak dapat dianggap bermanfaat untuk menilai karakternya."

Marx mencoba menafikan peran pengetahuan, pikiran dan kecenderungan inovasi yang lazimnya dianggap sebagai faktor dasar bagi perkembangan. Misal, Saint Simon—yang banyak pikirannya telah diadopsi oleh Marx—mengenai peran kecenderungan inovasi dalam perkembangan, mengatakan: "Masyarakat diatur oleh dua kekuatan moral. Kedua kekuatan ini sama kuatnya, dan kerjanya secara bergiliran. Yang satu adalah kekuatan kebiasaan atau adat, dan yang satu lagi adalah ke­cenderungan berinovasi dan berkreativitas. Setelah beberapa lama adat jadi buruk. Pada masa seperti itu kebutuhan akan sesuatu yang baru mulai terasa. Kebutuhan inilah yang sesungguhnya membentuk situasi revolusioner."

Mengenai peran kepercayaan dan gagasan dalam perkembangan masyarakat, Proudhon, yang juga guru Marx, mengatakan: "Bentuk politik suatu bangsa merupakan manifestasi kepercayaan bangsa itu. Gerakan bentuk itu, transformasi dan kehancuran bentuk itu merupakan ujian, dan dari ujian ini kelihatan nilai gagasan pokoknya, sehingga dengan demikian berangsur-angsur kita jadi tahu realitas yang absolut dan final. Namun kita tahu bahwa semua lembaga politik mau tak mau harus berupaya menyesuaikan diri dengan kondisi sosial yang ada kalau mau selamat dari kematian yang tak terelakkan."

Meskipun demikian, guru-guru Marx mengatakan bahwa Marx menegaskan bahwa setiap perubahan sosial pada pokoknya merupakan suatu prasyarat sosio-ekonomi yang terjadi akibat polarisasi natur dan bentuk masyarakat sipil, kekuatan produktif dan hubungan sosial. Marx ingin mengatakan bahwa naluri untuk berinovasi dan berkeyakinan belum cukup untuk mendorong terjadinya perubahan sosial. Justru prasyarat sosio-ekonomilah yang melahirkan kecenderungan untuk berinovasi atau kecenderungan untuk berkeyakinan.

Kalau berdasarkan pandangannya tentang materialitas sejarah kita menganalisis, misalnya, perang Iran-Yunani, Perang Salib, penaklukan oleh Islam, Renaisans Karat atau Revolusi konstitusional Iran, maka akan keliru kalau yang kita telaah hanya kulit luar dari peristiwa-peristiwa ini, yang mungkin bersifat politik, agama atau budaya, lalu kita menilai peristiwa-peristiwa ini berdasarkan kulit luar ini. Juga akan salah kalau menilai peristiwa-peristiwa ini dengan perasaan kaum revolusioner yang mungkin memandang gerakan mereka sebagai gerakan politis, keagamaan atau moral. Agar kesimpulannya benar, maka harus diperhatikan karakter sejati gerakan-gerakan ini yang sifatnya ekonomi dan material.

Bahkan dewasa ini kaum muda Marxis mencoba menafsirkan setiap gerakan sejarah dengan cuma beberapa kalimat tentang situasi ekonomi periode bersangkutan, kendatipun mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya.

Hukum yang mengatur sejarah tak dapat ditawar-tawar dan di luar kehendak manusia. Pada bab-bab terdahulu sudah dibahas apakah sejarah diatur oleh beberapa hukum kausatif yang menunjukkan keharusan kausatif. Di sana dijelaskan bahwa sebagian filosof yang berargumen kebetulan dan sebagian yang berargumen pilihan bebas manusia, menafikan supremasi hukum kausatif dan konsekuensinya eksistensi keharusan kausatif dan norma-norma masyarakat dan sejarah yang tak dapat ditawar-tawar. Namun kami membuktikan bahwa teori para filosof ini tak berdasar, dan bahwa hukum sebab-akibat dan keharusan kausatif mengatur masyarakat dan sejarah sebagaimana juga mengatur lainnya. Pada saat yang sama kami juga membuktikan bahwa sejarah, yang merupakan satu unit yang eksistensinya nyata dan memiliki karakter khusus, diatur oleh sejumlah hukum yang esensial dan universal. Kami menyebut esensialitas (tidak boleh tidak) seperti ini sebagai keharusan filosofis. Teori keharusan sejarah ini merupakan perpaduan dua teori yang berbeda. Yang pertama adalah teori keharusan filosofis.

Menurut teori ini, fenomena baru terjadi kalau fenomena tersebut tak boleh tidak harus terjadi, dan kalau sebab-sebabnya muncul maka setiap fenomena tak terelakkan harus terjadi. Sebaliknya, suatu fenomena mustahil terjadi kalau tak ada sebabnya. Yang kedua adalah teori basis material masyarakat mendahului semua faktor penentu lainnya. Teori ini sudah dijelaskan. Hasil penting dari teori-teori ini adalah teori keharusan material sejarah, yang artinya adalah bahwa suprastruktur masyarakat terikat untuk mengikuti fondasinya, kalau fondasinya mengalami perubahan maka suprastrukturnya mengalami perubahan juga, dan kalau fondasinya tak mengalami perubahan, maka mustahil suprastrukturnya berubah.

Kaum Marxis mengklaim bahwa prinsip inilah yang membuat ilmiah sosialisme Marxis dan membentuknya menjadi hukum alam, karena menurut prinsip ini alat produksi, yang merupakan bagian paling pokok dari struktur ekonomi masyarakat, masih terus berkembang sesuai hukum alam tertentu, seperti halnya beragam spesies tumbuhan dan hewan secara gradual selama jutaan tahun masih terus berkembang dan pada tahap atau momen tertentu mengalami transformasi menjadi spesies baru. Karena perkembangan dan evolusi tumbuhan dan hewan bukan hasil kehendak siapa pun, maka begitu pula dengan perkembangan dan evolusi alat produksi.

Dalam perkembangan gradualnya, alat produksi melewati beberapa tahap. Pada setiap tahap alat produksi membawa perubahan yang tak terelakkan pada semua urusan masyarakat. Tak mungkin suprastruktur sosial mengalami perubahan kalau alat produksi belum mencapai tahap tertentu perkembangannya. Upaya para sosialis dan penganjur tatanan adil itu, yang karena keinginan emosionalisme untuk mensosialiskan masyarakat dan menegakkan tatanan yang adil tanpa mempertimbangkan apakah perkembangan alat produksi menjamin perubahan semacam itu, hanyalah upaya yang sia-sia. Dalam pengantar "Capital", Karl Marx mengatakan:

"Negara yang lebih maju industrinya hanya memperlihatkan kepada negara yang kurang maju industrinya gambaran masa depannya sendiri. Sekalipun suatu masyarakat sudah berada di jalan yang benar untuk menemukan hukum alam gerakannya. Namun masyarakat tersebut, meski dengan langkah yang berani dan dengan pengundangan undang-undang, tidak dapat menyingkirkan rintangan yang diakibatkan oleh fase demi fase perkembangan normalnya. Namun masyarakat tersebut dapat mengurangi kesulitan-kesulitan pada permulaan sesuatu."

Pada bagian terakhir dari pernyataannya Marx menyebutkan satu poin. Poin ini tidak mendapat perhatian, atau kalau pun mendapat perhatian, sangat sedikit. Sesungguhnya Marx ingin menjawab masalah. Seseorang mungkin mengatakan:

"Perkembangan bertahap masyarakat, mengikuti perkembangan konstan dan bertahap alam, sifatnya tak terelakkan, itu kalau manusia belum mengetahui hukum alam. Kalau manusia sudah memahami hukum alam, maka alam dapat dikendalikannya, dan manusia pun dapat menguasai alam. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kalau alam belum dipahami, maka alam menguasai manusia, namun kalau manusia sudah memahami alam, maka alam menjadi abdi manusia. Ambil contoh penyakit. Kalau belum diketahui penyebabnya dan cara membasminya, penyakit tersebut tak dapat dikendalikan. Namun begitu penyebab dan cara membasminya sudah diketahui seperti sekarang ini, maka penyakit tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak lagi ada kasus-kasus yang fatal. Begitu pula dengan badai, banjir dan sebagainya."

Dalam pernyataannya Marx ingin mengemukakan bahwa gerakan konstan dan bertahap masyarakat bersifat dinamis. Dengan kata lain, gerakan tersebut sifatnya otomatis, dan dari dalam seperti gerakan konstan pertumbuhan tanaman dan hewan, bukan perubahan mekanis yang ditimbulkan oleh faktor-faktor dari luar, seperti perubahan teknis dan industrial. Pembasmian hama dengan menggunakan pestisida dan pembasmian kuman penyakit dengan menggunakan obat juga termasuk dalam kategori ini. Dalam semua kasus itu di mana mengetahui hukum alam membuat alam dapat dikendalikan oleh manusia, maka hubungan hukumnya bersifat mekanis. Namun dalam kasus perubahan dinamis dari dalam, peran pengetahuan manusia tak lebih daripada manusia membiasakan diri dengan hukum bersangkutan dan memanfaatkannya. Dengan diketahuinya hukum yang mengatur tumbuh dan berkembangnya tumbuhan dan hewan, termasuk pertumbuhan janin dalam rahim, manusia akhirnya mengetahui sejumlah hukum yang tak terelakkan, dan manusia tak bisa berbuat apa-apa selain tunduk kepada hukum ini.

Marx ingin mengatakan bahwa perkembangan sosial manusia, menyusul perkembangan dan evolusi alat produksi, sifatnya dinamis dan otomatis. Pengetahuan dan kesadaran tak mungkin mengubahnya, juga tak mungkin membentuknya sekehendaknya. Manusia mau tak mau hams menerima arah perkembangan sosial dan harus melalui tahapan-tahapannya, seperti halnya manusia mau tak mau harus menerima arah perkembangan janin. Manusia tidak boleh berangan-angan mau mengubah arah perkembangan itu. Masyarakat tak mungkin sampai pada tahap final perkembangannya, kecuali setelah melewati tahap-tahap pertengahannya. Masyarakat juga tak mungkin sampai pada tahap finalnya, kecuali melalui jalannya.

Pandangan kaum Marxis bahwa gerakan perkembangan sosial bersifat otomatis, alamiah dan tak terelakkan, menyerupai pandangan Socrates tentang benak manusia dan kemampuan kreatif alamiahnya. Dalam ajarannya Socrates menggunakan metode pertanyaan objektif. Dia percaya jika secara bertahap pertanyaan diajukan secara konstan dan disertai pengetahuan yang benar tentang kerja benak manusia, maka benak manusia secara otomatis akan menjawab pertanyaan itu. Benak manusia tidak membutuhkan instruksi dari luar. Ibu Socrates adalah seorang bidan. Socrates suka berkata bahwa apa yang dilakukannya dengan pikiran adalah persis apa yang dilakukan ibunya dengan wanita yang sedang dalam proses melahirkan. Bukan bidan yang me-nyebabkan kelahiran bayi, namun kelahiran terjadi karena natur ibu pada momen yang tepat. Namun demikian, jasa bidan tetap dibutuhkan agar tak terjadi hal yang abnormal, agar ibu dan bayi tidak mendapat bahaya.

Meskipun dari sudut pandang Marxisme, pengetahuan tentang hukum sosiologi dan sejarah filsafat tidak bisa mengubah masyarakat, namun kedua ilmu pengetahuan ini harus dipandang penting. Sosialisme ilmiah tak lain adalah pengetahuan tentang hukum sosiologi dan sejarah filsafat. Setidak-tidaknya keduanya membantu menghapus sosialisme yang aneh dan angan-angan untuk menegakkan tatanan yang adil. Sekalipun hukum dinamis tak dapat mengubah apa-apa, namun ada satu poin yang baik tentang hukum tersebut, yaitu pengaruh hukum tersebut dapat diperkirakan. Dengan sosiologi ilmiah dan sosialisme ilmiah tahap perkembangan masyarakat dapat dikaji, dan masa depannya dapat diramalkan. Dapat dipastikan pada tahap apa bayi sosialisme ada dalam rahim masyarakat dan apa persisnya yang dapat diharapkan dari bayi itu pada dap tahap selanjutnya. Dengan demikian dapat dihindarkan harapan yang tidak pada tempatnya. Karena tidak mungkin berharap lahir bayi, padahal janin baru berusia empat bulan, maka begitu pula mustahil kalau masyarakat yang masih berada pada tahap feodal tiba-tiba beralih ke sosialisme.

Marxisme mencoba menemukan dan menguraikan tahap-tahap natural dan dinamis masyarakat dan hukum-hukum yang tak terelakkan yang mengatur perkembangannya dari satu periode ke periode lainnya. Dari sudut pandang Marxisme, pada umumnya untuk ke sosialisme masyarakat harus melewati empat tahap. Keempat tahap ini adalah periode sosialisme primitif, periode perbudakan, periode kapitalisme dan periode sosialisme ilmiah. Terkadang bukan empat periode saja yang disebutkan, malah lima, enam atau tujuh periode, karena periode perbudakan, periode kapitalisme dan periode sosialisme masing-masing dapat dibagi menjadi dua periode.

2. Tiap-tiap periode historis memiliki ciri khasnya sendiri, dan beda karakternya dengan periode lain. Dari sudut pandang biologi, bila binatang mengalami transformasi dari satu spesies ke spesies lain, maka karakternya pun berubah. Begitu pula dengan periode historis. Setiap zaman memiliki hukum khasnya sendiri Hukum zaman yang satu tidak dapat diterapkan pada zaman yang lain.

Ambil contoh air. Sepanjang masih air, hukum yang berlaku untuk zat cair berlaku untuk air. Namun begitu air berubah menjadi uap, maka tak lagi tunduk kepada hukum itu. Lantas tunduknya kepada hukum gas. Begitu pula, selama masyarakat berada pada tahap feodalisme, maka yang mengaturnya adalah seperangkat hukum. Namun begitu tahap itu dilaluinya dan sampai pada tahap kapitalisme, maka mustahil mencoba mempertahankan hukum periode feodalisme. Karena itu masyarakat tak mungkin abadi hukumnya. Menurut materialisme sejarah, yang percaya bahwa ekonomi adalah infrastruktur masyarakat, klaim bahwa hukum itu abadi sama sekali tidak dapat diterima. Inilah salah satu poin materialisme sejarah yang bertentangan dengan agama, khususnya Islam, karena Islam mempercayai keabadian hukum.

Dalam buku "Revisionism from Marx to Mao", mengutip dari lampiran untuk edisi kedua "Capital", penulis mengatakan: "Setiap periode sejarah ada hukumnya sendiri, karena itu ketika kehidupan berjalan dari satu tahap ke tahap lain, kehidupan tersebut berkembang dan diatur oleh seperangkat hukum baru. Kehidupan ekonomi, dalam perkembangan sejarahnya, memunculkan fenomena yang kita jumpai dalam berbagai cabang biologi... organisme sosial berbeda antara yang satu dan yang lainnya, seperti berbedanya organisme hewan dan tumbuhan."

3. Akibat perkembangan alat produksi, maka lahir hak pribadi, dan masyarakat pun terbagi ke dalam kelas-kelas: pengeksploitasi dan tereksploitasi. Sejak fajar sejarah hingga kini, dua kelas ini selalu menjadi kelas utama dalam masyarakat. Selalu saja terjadi konflik antarkelas itu. Namun adanya kelas ini tidak berarti bahwa semua kelompok dalam masyarakat kalau tidak pengeksploitasi, tentu tereksploitasi. Ada juga kelompok yang tidak termasuk dalam kelas-kelas ini. Maksud kami adalah bahwa dua kelas ini merupakan kategori yang efektif pada nasib masyarakat dan membentuk kelas-kelas utamanya. Semua kelompok lain dalam masyarakat mengikuti satu di antara dua kelompok utama ini.

Penulis "Revisionism from Marx to Mao"menulis: "Berdasarkan kelas dan konfliknya, dalam masyarakat terdapat dua pola kelas yang berbeda. Menurut Marx dan Engels, yang satu dua kutub, dan yang satunya lagi banyak kutub. Dalam dua pola itu, definisi kelas juga berbeda. Pada pola pertama, itu adalah kelas imajiner, sementara pada pola lain, itu adalah kelas yang nyata. Aturan untuk kelas-kelas juga berbeda. Engels, dalam pengantarnya untuk "The Peasant's War in Germany", berupaya merujukkan dua pola ini dengan merumuskan standar yang sama untuk kelas-kelas. Dia membedakan berbagai kelas dalam masyarakat. Dan di dalam setiap kelas, dia membedakan berbagai sub-kelompok. Namun menurut kepercayaannya, hanya ada dua kelas yang misi historisnya jelas: kelas borjuis dan kelas proletar. Keduanya ini merupakan dua kutub masyarakat, dan dua kutub ini saling bertentangan."

Menurut filsafat Mantis, karena mustahil suprastruktur masyarakat mendahului infrastrukturnya, maka mustahil pula suprastruktur masyarakat tetap utuh kalau masyarakat, dari sudut pandang infrastrukturnya, yaitu hubungan sosial dan ekonominya, terbagi menjadi dua kelas yang saling bertentangan: pengeksploitasi dan tereksploitasi. Dalam keadaan seperti ini had nurani sosial juga terbagi menjadi had nurani si tereksploitasi dan hati nurani si pengeksploitasi, dan konsekuensinya ada dua konsepsi dunia, dua ideologi, dua sistem moral dan dua macam filsafat. Posisi sosial dan ekonomi masing-masing kelas melahirkan cara berpikir yang berlainan, cita rasa berlainan dan masing-masing kelas mengikuti gagasan berlainan. Dua kelas ini tak mungkin hati nuraninya, cita rasanya atau cara berpikirnya bertentangan dengan posisi ekonomi­nya. Agama dan pemerintah dikendalikan oleh kelas pengeksploitasi saja. Agama dan pemerintah merupakan dua institusi yang diciptakan oleh kelas pengeksploitasi dengan tujuan untuk melanggengkan kontrolnya atas kelas tereksploitasi. Karena kelas pengeksploitasi menguasai semua sumber daya material masyarakat, maka budaya kelas ini, termasuk agamanya, berpengaruh pada kelas tereksploitasi. Dengan demikian budaya penguasa, termasuk konsepsi dunianya, ideologinya, moralitasnya, cita rasanya dan perasaannya, dan terutama agamanya, merupakan budaya kelas pengeksploitasi. Adapun budaya kelas terskploitasi, selalu tidak dibiarkan tumbuh berkembang dan maju.

Dalam "German Ideology", Marx mengatakan: "Pada setiap masa pandangan yang berkuasa adalah pandangan kelas penguasa. Kelas penguasa merupakan kekuatan material yang berkuasa dalam masyarakat dan sekaligus merupakan kekuatan intelektual yang berkuasa dalam masyarakat. Kelas yang menguasai sarana produksi material. Pikiran yang berkuasa tak lebih daripada ekspresi ideal hubungan material yang dominan, hubungan material yang dominan yang dipahami sebagai gagasan, karena itu ungkapan ideal hubungan yang membuat satu kelas menjadi kelas penguasa, karena itu pikiran dominasinya. Individu-individu yang membentuk kelas penguasa di antaranya memiliki kesadaran, dan karena itu mereka berpikir. Karena mereka berkuasa sebagai sebuah kelas dan menentukan ruang lingkup sebuah masa historis, maka jelas mereka melakukan ini dalam seluruh bidangnya. Karena itu di antaranya mereka juga berkuasa sebagai pemikir, sebagai produsen gagasan, dan mengatur produksi serta distribusi gagasan dan pikiran pada masa mereka. Dengan demikian gagasan dan pikiran mereka selalu menentukan."

Karena itu kelas berkuasa dan pengeksploitasi bersifat reaksioner, konservatif dan konvensional. Selalu memandang ke masa lalu. Budayanya, budaya yang berkuasa dan berpengaruh pada rakyat, juga reaksioner, konvensional dan memandang ke masa lalu. Adapun kelas tereksploitasi, sifatnya revolusioner, menentang kepercayaan dan lembaga yang ada, berpandangan ke depan dan progresif. Budaya kelas ini juga revolusioner dan nonkonvensional. Prasyarat untuk revolusioner adalah dieksploitasi. Dengan kata lain, hanya kelas tereksploitasi sajalah yang mampu mewujudkan revolusi.

Setelah mengutip kalimat di atas dari pengantar "The War of German Peasants", penulis "Revisionism from Marx to Moo"mengatakan: "Setahun setelah terbitnya pengantar ini (pengantar The Peasants' War in Germany) Kongres Sosialis Jerman menulis dalam Program Gothanya bahwa semua kelas membentuk fron reaksioner menentang kelas pekerja. Marx mengkritik keras pernyataan ini. Namun kalau mau logis, semestinya mengakui fakta bahwa para sosialis yang menyedihkan ini tak mungkin dapat menemukan perbedaan antara pola dua kutub dan pola banyak kutub Marx setelah apa yang ditulis Marx dalam "Manifesto". Dalam "Manifesto of the Communist Parly", Marx mengemukakan konflik kelas pada masa-masa itu sebagai perang antara kaum proletar dan kaum borjuis. Marx menulis, 'Di antara semua kelas yang berhadap-hadapan dengan kaum borjuis dewasa ini, hanya kaum proletar sajalah kelas yang revolusioner.'"

Marx mengatakan bahwa hanya kelas proletar sajalah yang memenuhi semua syarat dan memiliki karakteristik yang diperlukan untuk revolusioner. Syarat-syarat ini adalah: Pertama, dieksploitasi oleh kaum produsen; kedua, tidak memiliki kekayaan (kaum petani juga memiliki dua karakteristik ini); ketiga, terorganisasi, karenanya diperlukan konsentrasi di satu tempat. (Karakteristik ini berlaku untuk kaum pekerja industri saja yang bekerja di satu pabrik dan sebagainya. Karakteristik ini tak ada pada kaum petani yang selalu terserak di berbagai sektor tanah).

Mengenai karakteristik kedua, Marx mengatakan, "Pekerja leluasa, dalam dua pengertian. Dia leluasa menjual tenaganya dan dia tidak terikat pada kekayaan." Mengenai karakteristik kedua Marx mengatakan dalam "Manifesto'-nya: "Tumbuhnya industri bukan saja meningkatkan jumlah kaum proletar, namun juga mengkonsentrasikan mereka dalam massa yang sangat besar. Kekuatan kaum proletar bertambah, dan mereka pun jadi sadar akan kekuatan mereka."

Prinsip tersebut di atas dapat disebut prinsip kesesuaian basis ideologis dengan basis sosial. Menurut prinsip ini, setiap kelas hanya melahirkan pikiran, prinsip moral, filsafat, seni, puisi dan sastra yang sesuai dengan cara hidupnya, cara mencari nafkahnya dan kepentingannya. Prinsip ini juga dapat disebut prinsip kesesuaian dorongan untuk berpikir dengan arah pikiran. Setiap pikiran dan doktrin dan setiap sistem moral atau religius yang ada dalam sebuah kelas, selalu diarahkan untuk keuntungan kelas itu. Sistem intelektual kelas tertentu tidak untuk kepentingan kelas lain atau tidak untuk kemanfaatan umat manusia pada umumnya. Mustahil kalau ada gagasan atau sistem yang bebas kecenderungan atau favoritisme kelas. Pikiran atau gagasan baru bisa manusiawi dan tak berwarna kelas kalau sudah tak ada kelas lagi berkat perkembangan alat produksi. Hanya peniadaan kontradiksi basis kelas sajalah yang dapat berakibat peniadaan kontradiksi basis ideologis, dan hanya peniadaan kontradiksi kampanye atau dorongan intelektual sajalah yang dapat meniadakan kontradiksi orientasi intelektual.

Dalam beberapa karya sebelumnya yang ditulis ketika muda (Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right) Marx menunjukkan lebih pentingnya aspek politis kelas (penguasa dan rakyat) ketimbang aspek ekonomi kelas (pengeksploitasi dan tereksploitasi). Dia mengatakan bahwa tujuan perjuangan kelas adalah untuk tidak lagi diperbudak. Dia berpendapat bahwa dalam perjuangan ini ada dua tahap. Tahap pertama bersifat parsial dan politis, sedangkan tahap kedua bersifat universal dan manusiawi. Marx mengatakan bahwa revolusi proletar, yang merupakan tahap terakhir revolusi perbudakan sejarah, merupakan revolusi yang fundamental, dalam pengertian bahwa revolusi tersebut untuk emansipasi total manusia dan untuk penghapusan total sistem penguasa-rakyat dalam segala bentuknya. Menjelaskan mana mungkin sebuah kelas dalam orientasi sosialnya berpikir tentang sesuatu yang jauh di luar posisi kelasnya dan mana mungkin tujuan kelas tersebut universal dan liberal dan juga sesuai dengan prinsip materialisme sejarah, Marx mengatakan, "Karena perbudakan kelas ini fundamental, maka revolusi juga fundamental. Adalah ketidak-adilan itu sendiri yang diterima oleh kelas ini. Itulah sebabnya kelas ini mengupayakan keadilan itu sendiri dan berupaya keras memerdekakan umat manusia."

Ini merupakan pemyataan puitis, bukan pernyataan ilmiah. Apa maksud perkataan "ketidakadilan itu sendiri yang diterima"? Apakah kelas pengeksploitasi berbuat tidak adil demi ketidakadilan dan bukan demi mengeksploitasi dan memperoleh keuntungan, sehingga kelas proletar mengupayakan keadilan itu sendiri? Selanjutnya, bertentangan dengan konsepsi materialisme sejarah dan cukup idealistis kalau beranggapan bahwa sikap kelas peng­eksploitasi ini hanya terjadi di masa kapitalistis saja.

Karena prinsip kesesuaian basis ideologis dengan basis kelas mengharuskan adanya kesesuaian antara ideologi dan orientasinya, maka harus ada kesesuaian antara kecenderungan individu dan filosofi kelasnya. Dengan kata lain, setiap individu tentu cenderung kepada filosofi kelasnya sendiri, filosofi yang orientasinya adalah untuk keuntungan kelasnya. Namun, menurut logika Mantis, prinsip ini sangat bermanfaat untuk memahami karakter ideologi dan kecenderungan kelas sosial.

4. Kesimpulan kelima adalah bahwa masalah suprastruktur seperti ideologi, petunjuk, nasihat, peringatan dan sebagainya, terbatas perannya dalam mengarahkan masyarakat atau kelas sosial. Yang biasa dipahami adalah bahwa ideologi, khutbah, argumen, ajaran, pendidikan, dakwah dan nasihat dapat mengubah had nurani manusia dan membentuknya. Kalau had nurani merupakan cermin spontan dari posisi kelas, maka had nurani setiap individu, setiap kelompok dan setiap kelas selalu cuma dibentuk oleh posisi sosial dan kelas individu itu, kelompok itu dan kelas itu, dan cuma suatu konsepsi idealistis tentang masyarakat kalau berpikiran bahwa masalah suprastruktur seperti tersebut di atas bisa menjadi sumber perubahan sosial. Itulah sebabnya dikatakan bahwa intelektualitas, reformasi dan revolusi ada aspek otosugestinya. Perasaan akan penderitaan kelas, bukan faktor eksternal seperti ajaran dan pendidikan, inilah yang menyemangati orang untuk melakukan reformasi dan menjadi revolusioner. Setidak-tidaknya dasar untuk melakukan reformasi dan menjadi revolusioner dipersiapkan oleh posisi kelas, dan peran ideologi, petunjuk dan sebagainya paling banter hanyalah menyadarkan kelas yang menderita akan kontradiksi kelas dan posisinya sendiri, atau mengubah kelas tertentu menjadi kelas yang memiliki kesadaran kelas. Dengan demikian, dalam suatu masyarakat yang didominasi kelas, basis intelektual satu-satunya yang mendorong kelas untuk beraksi adalah kesadarannya akan posisinya dan kesadarannya bahwa dirinya tereksploitasi. Dalam masyarakat yang didominasi kelas—dalam masyarakat seperti ini manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu pengeksploitasi dan tereksploitasi, dan hati nurani sosial terbagi menjadi dua macam—nilai-nilai manusiawi yang asasiah seperti keadilan dan kasih sayang kepada sesama manusia tak mungkin ada perannya. Tentu saja bila, akibat perkembangan alat produksi, lalu berdiri pemerintah proletar, maka kelas pun akan terhapus dan manusia pun akan kembali ke altruisme sejatinya yang tak ada batasan atau rintangan kelasnya. Kemudian had nuraninya tak akan tercabik-cabik oleh sistem milik pribadi, sehingga hadi jelas peran nilai-nilai intelektual dan manusiawi yang mencerminkan posisi perkembangan alat produksi. Dari sudut pandang periode sejarah, sosialisme merupakan suprastruktur zaman tertentu. Tidak mungkin menempatkannya pada zaman sebelumnya. (Seperti yang ingin dilakukan kaurn sosialis yang tak keruan.) Begitu pula, dalam suatu zaman ketika masyarakat terbagi menjadi dua kelas, mustahil mendiktekan kesadaran khusus satu kelas pada kelas lain. Pada waktu ini tak ada kesadaran umum manusia.

Karena itu dalam masyarakat yang didominasi kelas, tak mungkin ada ideologi umum dan universal yang tak berorientasi kelas. Setiap ideologi dari masyarakat yang didominasi kelas selalu saja ada sedikit warna kelas tertentunya. Sekalipun misalkan saja ideologi umum yang tak ada karakteristik kelasnya mungkin adanya, namun yang pasti ideologi seperti itu praktis tak akan ada perannya. Karena itu misi agama dan setidak-tidaknya misi petunjuk, nasihat dan dakwah tentang persamaan hak dan keadilan kepada umat manusia itu sendiri setidak-tidaknya aneh, jika bukan palsu.

5. Kesimpulan lainnya adalah bahwa pemimpin revolusioner selalu berasal dari kelas tereksploitasi. Sudah dibuktikan bahwa hanya kelas ini yang siap mental untuk reformasi dan revolusi. Faktor-faktor yang menyebabkan kesiapan ini adalah tereksploitasi dan penderitaan. Paling banter mungkin dibutuhkan beberapa faktor suprastruktural untuk menciptakan kesadaran akan kontradiksi kelas. Jelaslah tokoh-tokoh terkemuka yang menciptakan kesadaran ini di kalangan kelas tereksploitasi tentu saja berasal dari kelas ini juga, dan sama pandangan serta keinginannya dengan motif kelas ini. Tokoh-tokoh ini tentunya adalah dari kelas ini yang sudah sadar diri. Karena mustahil posisi suprastruktural masyarakat mendahului posisi infrastrukturalnya, dan mustahil tingkat pemikiran sosial suatu kelas lebih tinggi daripada posisi sosialnya. Juga mustahil kalau tuntutan pemimpin mencerminkan sesuatu yang melebihi aspirasi aktual kelasnya. Karena itu mustahil kalau anggota kelas pengeksploitasi bangkit menentang kelasnya sendiri untuk kepentingan kelas tereksploitasi.

Penulis "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan: "Kontribusi lain The German Ideology adalah analisis tentang kesadaran kelas. Di sini Marx, bertentangan dengan karya-karya terdahulunya, memandang kesadaran kelas sebagai produk dari kelas itu sendiri. Kesadaran kelas datangnya bukan dari luar. Kesadaran aktual tak lain hanyalah ideologi, karena kesadaran ini merumuskan secara umum kepentingan kelas tertentu. Kesadaran ini, yang dasarnya adalah kesadaran akan kondisinya sendiri, memperkuat kepentingan kelas. Namun kelas tak mungkin dewasa kalau kelas tersebut tidak melahirkan kesadaran kelasnya yang khas. Pandangan Marx menguatkan pembagian kerja di dalam kelas pekerja itu sendiri, yaitu kerja intelektual (kerja ideologis, kepemimpinan) dan kerja kasar. Sebagian orang menjadi pemikir atau ideolog kelas, sebagian lagi cuma tinggal menerima dan mengerjakan gagasan dan konsep yang disodorkan."

Buku ini juga, yang menganalisis pandangan Marx dalam "Manifesto"'-nya dan dalam "Poverty of Philosophy"-nya, mengatakan: "Dengan demikian membangkitkan kesadaran kelas dan mengorganisasikannya dalam bentuk 'kelas untuk kelas itu sendiri' merupakan tugas kaum proletar dan juga hasil dari kompetisi ekonominya, kompetisi ekonomi yang dilakukan atas dorongan sendiri. Revolusi ini terjadi bukan karena teori intelektual yang tidak dikenal oleh gerakan kaum pekerja, juga bukan karena partai politik. Marx mengecam kaum sosialis Utopian yang, sekalipun berkecenderungan proletar, tidak melihat historisitas dorongan sendiri kaum proletar dan gerakan politik khasnya dan mencoba menggantikan dengan angan-angan mereka sendiri pembentukan gradual—pembentukan yang dilakukan atas inisiatif sendiri—kaum proletar menjadi sebuah kelas."

Prinsip berkembang sendiri ini sangat penting dalam logika Marxis, dan dapat dipandang sebagai pedoman untuk mengetahui masyarakat, kecenderungan sosialnya dan kecenderungan individu-individunya, khususnya kecenderungan individu-individu yang mengklaim sebagai pemimpin dan pembaru masyarakat.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa Marx dan Engels tidak dan tak mungkin mempercayai kemandirian super-kelas intelektual. Prinsip-prinsip Marxisme tidak memungkinkan mempercayai itu. Kalau dalam beberapa karyanya Marx mengemukakan pandangan sebaliknya, itu mungkin saat dia tak mau jadi Marxis. Nanti akan ditunjukkan bahwa saat seperti itu tidak jarang. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana Marx dan Engels menerangkan sikap mereka sebagai intelektual dengan memperhatikan prinsip-prinsip Marxis. Keduanya bukan dari kelas proletar. Keduanya adalah filosof, bukan pekerja. Namun teori pekerja yang hebat berasal dari keduanya.

Jawaban Marx untuk pertanyaan ini patut diperhatikan. Penulis "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan: "Marx tak banyak bicara soal kaum intelektual. Kelihatannya Marx memandang kaum intelektual bukan sebagai lapisan khusus masyarakat, namun sebagai bagian dari kelas-kelas lain tertentu, khususnya kelas borjuis. Dalam "The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte", Marx melihat akademisi, jumalis, dosen dan pengacara sebagai bagian dari kelas borjuis, seperti pendeta dan tentara. Dalam "Manifesto", ketika mau menyebutkan nama-nama teoretisi kelas pekerja yang bukan berasal dari kelas pekerja, seperti Engels dan dirinya sendiri, Marx tidak menyebut mereka intelektual, namun memandang mereka sebagai 'kelompok orang dari kelas berkuasa yang sudah kuat akarnya dalam kelas proletar,' dan 'telah menawarkan banyak hal untuk pendidikan dan pelatihan kelas itu.'"

Marx tidak menjelaskan bagaimana dirinya dan Engels turun dari kelas penguasa ke kelas rakyat, dengan membawa hal-hal berharga untuk pendidikan dan pelatihan kelas yang bersahaja ini yang digambarkan Al-Qur'an sebagai "kaum tertindas dan papa". Nasib baik yang diterima Marx dan Engels, dan melalui kedua orang ini kelas tertindas kaum prole tar juga menerima nasib baik tersebut, tidak pernah diterima Adam, bapak ras manusia, yang menurut tradisi keagamaan Adam turun dan langit ke bumi. Adam tidak membawa hal-hal berharga seperti itu.

Marx tidak menjelaskan bagaimana sebuah teori pembebasan kaum proletar dapat berkembang di bagian terpenting dari kelas berkuasa. Marx juga tidak menyebutkan apakah "turun" ini khusus terjadi pada dua orang ini saja atau bisa juga terjadi pada orang lain. Kalau memang pintu langit dan bumi bisa terbuka untuk satu sama lain, sekalipun untuk kasus yang sangat khusus, namun tidak jelas apakah yang mungkin hanya turun saja, atau anggota kelas bawah bisa naik ke posisi langit. Namun kalau memang bisa naik, anggota kelas bawah itu tidak membawa hal-hal berharga yang sesuai.

Pada dasarnya mustahil membawa hal-hal berharga dari bumi ke langit. Kalau dapat naik ke langit namun tidak betah di langit, maka ketika turun ke bumi bisa saja membawa hal-hal berharga, seperti yang dilakukan Marx dan Engels.

Kritik dan Ulasan tentang Materialisme Sejarah

Setelah menjelaskan basis teori materialisme sejarah dan mengemukakan kesimpulannya, sekarang tiba saatnya untuk mengulasnya. Terlebih dahulu perlu diketahui bahwa kami tak bermaksud melakukan pembahasan serius mengenai pandangan-pandangan Marx yang diungkapkan Marx dalam semua karyanya. Juga kami tidak bermaksud mengkritisi Marx, Marx sebagai suatu keseluruhan.

Di sini kami hanya bermaksud membuat analisis yang tidak mendalam mengenai materialisme sejarah. Materialisme sejarah merupakan salah satu prinsip pokok Marxisme. Pada dasarnya mengkritisi pandangan-pandangan Marx atau mengkritisi Marxisme sebagai suatu keseluruhan adalah satu hal, sedangkan mengkritisi prinsip tertentu Marxisme seperti materialisme sejarah adalah hal lain. Studi mendalam atau kritis atas semua pandangan Marx yang terserak di banyak karya Marx di berbagai periode hayatnya, memperlihatkan banyak kontradiksi. Studi seperti itu sudah di­lakukan di Barat oleh beberapa orang. Di Iran, sejauh pengetahuan kami, buku terbaik tentang subjek ini adalah "Revision of Views from Marx to Mao".[1] Buku ini banyak kami kutip di bab ini.

Kritik atas Marxisme sebagai suatu keseluruhan, atau kritik atas prinsip pokoknya, sungguh memuaskan, bahkan dari sudut pandang personalitas Marx. Kritik atas prinsip-prinsip itu, yang tidak dianggap final oleh Marx sendiri, dan tentang prinsip-prinsip itu Marx mengungkapkan pandangan-pandangan yang bertentangan, juga terjelaskan dalam kasus-kasus yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Marxisme, dan pandangan-pandangan kontradiktif yang dikemukakan Marx sendiri dapat dipandang sebagai penyimpangan Marx dari Marxisme. Dalam membahas materialisme sejarah di buku ini, prinsip ini tidak kami lupakan.

Di sini kritik kami didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang dikemukakan Marx, terlepas dari fakta apakah dalam karya-karya dan tulisan-tulisannya yang kontradiktif Marx mengemukakan atau tidak mengemukakan pandangan sebaliknya, karena tujuan kami adalah mengulas materialisme sejarah, bukan mengulas pandangan-pandangan Marx. Sungguh ironi sejarah bila dalam buku-buku filosofis, sosial dan ekonominya Marx lebih kurang mendukung teori materialisme sejarah. Namun ketika menganalisis dan menafsirkan berbagai peristiwa kontemporer, Marx tidak banyak memperhatikan prinsip-prinsip teori ini. Kenapa demikian? Jawabannya beragam, dan itu bukan khas problem ini saja. Dalam banyak kasus Marx bersikap kontradiktif, dan secara teoretis atau praktis Marx menyimpang dari Marxisme. Karena itu yang dibutuhkan adalah jawaban yang umum sifatnya.

Ada yang menganggap kelemahan ini terjadi akibat Marx belum matang pada masa mudanya. Namun penjelasan ini tidak kuat, setidak-tidaknya dari sudut pandang Marxisme, karena banyak teori Marx yang dewasa ini dipandang sebagai prinsip-prinsip baku Marxisme ternyata berkaitan dengan masa muda atau setengah bayanya, dan banyak penyimpangan Marx, termasuk sebagian interpretasinya mengenai berbagai peristiwa kontemporer, ber­kaitan dengan masa tuanya.

Ada juga yang menganggap kontradiksi ini terjadi karena kepribadian ganda Marx. Yang menganggap seperti ini berpendapat bahwa di satu pihak Marx adalah Filosof, ideolog dan pendiri mazhab. Karena itu wajar saja kalau Marx memandang prinsip-prinsip yang dikemukakannya sebagai prinsip yang final, dan wajar pula kalau Marx menggunakan semua daya yang ada untuk merujukkan antara aktualitas dan estimasinya. Di pihak lain Marx juga berkepribadian dan berjiwa intelektual. Jiwa ini memaksa Marx untuk selalu menerima aktualitas dan untuk tidak menganut prinsip tertentu.

Ada lagi yang membedakan antara Marx dan Marxisme. Mereka ini mengklaim bahwa Marx beserta gagasan-gagasannya hanyalah satu tahap dari Marxisme. Pada hakikatnya Marxisme merupakan mazhab evolusioner, maka dari itu tak ada yang tidak beres kalau Marxisme mendahului Marx sendiri.

Dengan kata lain, kalau Marxismenya Marx yang hanya merupa­kan tahap awal dari Marxisme ternyata cacat, maka tidak betul kalau berkesimpulan bahwa Marxisme itu sendiri cacat. Namun orang-orang ini tidak menjelaskan apa yang membentuk hakikat utama komunisme. Suatu mazhab bisa disebut evolusioner kalau semua prinsip pendahuluannya jelas dan kuat. Hanya masalah-masalah sekunder sajalah yang dapat diperselisihkan. Kalau tidak, maka tak ada bedanya antara pencabutan sebuah teori dan evolusinya. Jika prinsip-prinsip yang kuat tidak diterima sebagai kondisi penting evolusi, maka tak ada alasan kenapa tidak memulai dengan teoretisi-teoretisi dan pemikir-pemikir pra-Marx seperti Hegel, Saint Simon, Proudhon atau beberapa tokoh lainnya, dan kenapa tidak menyebut Hegelisme atau Proudhonisme sebagai mazhab yang berkembang, dan memandang Marxisme sebagai satu tahap dari mazhab itu.

Menurut kami, kontradiksi Marx terjadi karena fakta bahwa Marx sendiri kurang Marxis dibanding kebanyakan kaum Marxis. Pernah dalam suatu pertemuan kaum Marxis, Marx membela pandangan yang bertentangan dengan teori terdahulunya sendiri. Audiensnya sangat kaget. Kata Marx, "Saya tidak se-Marxis Anda." Konon di masa tuanya Marx menyatakan bahwa dirinya sama sekali bukan Marxis.

Marx tidak sependapat dengan pandangan-pandangan tertentu Marxisme, karena Marx terlalu pandai untuk jadi Marxis seratus persen. Kalau mau jadi Marxis baku, maka harus lebih daripada sedikit mudah tertipu. Materialisme sejarah, yang sekarang tengah dibahas, merupakan bagian dari Marxisme. Prinsip-prinsip tertentunya membawa hasil-hasil tertentu. Baik Marx sang sarjana maupun Marx sang Filosof dan pemikir tidak bisa sependapat, menganut dan menerima prinsip-prinsip dan hasil-hasil ini. Berikut ini adalah ulasan kami mengenai materialisme sejarah.

Tidak Berdasar

Keberatan pertama adalah pandangan ini tak lebih daripada 'teori' belaka yang tak ada buktinya. Sebuah teori historio-filosofis haruslah didasarkan pada bukti historis kontemporer dan kemudian sampai ke periode lain, atau didasarkan pada bukti historis peristiwa masa lalu dan sampai ke peristiwa sekarang dan mendatang; atau harus ada argumen ilmiah, logis atau filosofisnya yang kuat untuk membuktikannya.

Teori materialisme sejarah tidak mengikuti metode di atas. Berbagai peristiwa di zaman Marx dan Engels tak dapat dijelaskan dengan teori materialisme sejarah. Engels sendiri mengakui bahwa dirinya dan Marx telah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu ketika membahas pentingnya ekonomi dalam beberapa buku mereka. Namun mereka tak melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu ketika menganalisis berbagai peristiwa kontemporer karena pada saat itu mereka memang berhadapan dengan realitas. Berbagai peristiwa yang terjadi ribuan tahun yang lalu juga tidak mendukung teori materialisme sejarah.

Revisi atas Berbagai Pandangan oleh Para Pendirinya

Seperti sudah berulang-ulang kami kemukakan, Marx memandang basis ekonomi masyarakat sebagai infrastruktur masyarakat, sedangkan basis lainnya dipandangnya sebagai suprastruktur masyarakat. Pandangan ini cukup untuk menunjukkan bahwa posisi basis lain masyarakat berada di bawah basis ekonomi masyarakat dan bergantung pada basis ekonomi masyarakt. Banyak pernyataan Marx yang kami kutip terdahulu menjelaskan bahwa menurut Marx ketergantungan ini berat sepihak. Faktor ekonomi sajalah yang mempengaruhi masalah sosial lainnya.

Adalah suatu fakta bahwa sekalipun Marx tidak jelas-jelas menyatakan demikian, namun pandangan-pandangannya mengenai "materi dulu baru jiwa", "kebutuhan materi dulu baru kebutuhan jiwa", "psikologi dulu baru sosiologi" dan "kerja dulu baru pikiran" membuat kita berkesimpulan sama. Namun dalam banyak tulisannya, Marx mengemukakan pandangan yang lain mengenai basis logika dialektis. Ini bisa dipandang sebagai semacam perubahan dalam pandangan-pandangannya dan sedikit banyak penyimpangan dari materialitas mutlak sejarah. Pandangan yang kami rujuk adalah teori pengaruh timbal baliknya. Bcrdasarkan teori ini, hubungan sebab-akibat tidak boleh dipandang sepihak. Kalau A adalah penyebab B dan mempengaruhi B, pada gilirannya B juga penyebab A dan mempengaruhi A. Menurut prinsip ini, ada semacam ketergantungan dan pengaruh timbal balik di antara semua unsur alam dan semua unsur masyarakat.

Saat ini kami tidak mau membahas apakah prinsip dialektis seperti dikemukakan di atas benar atau salah. Namun mesti kami katakan bahwa, menurut prinsip ini, pada dasarnya sia-sia kalau berbicara tentang mana yang lebih dulu dalam hubungan antara dua hal, apakah itu mated dan jiwa, kerja dan pikiran, atau basis ekonomi masyarakat dan lembaga sosial lainnya, karena jika yang satu bergantung pada yang lain dan penting sekali bagi eksistensinya, maka tak ada pertanyaan mengenai mana yang lebih dulu atau lebih penting dan mana yang infrastruktur.

Dalam beberapa pernyataannya, Marx tidak menyebut pengaruh infrastruktur masyarakat pada suprastruktur masyarakat. Marx hanya memberikan perah, entah esensial atau tidak esensial, kepada basis ekonomi masyarakat. Namun lialam sebagian pernyataan lainnya Marx bicara soal pengaruh timbal balik infrastruktur dan suprastruktur, meski dengan tetap menyatakan bahwa peran utama dan finalnya adalah peran infrastruktur. Ketika membandingkan dua buku Marx, "The Capital" dan "The Critique of Political Economy". "The Revisionism from Marx to Afao" menyebutkan bahwa dalam kedua buku ini Marx rnenggambarkan ekonomi sebagai faktor penentu. "Revisionism" selanjutnya mengatakan: "Meskipun demikian, sengaja atau tidak, Marx telah menambahkan dimensi baru pada definisi ini dengan mengatakan bahwa suprastruktur bisa berperan penting dalam masyarakat."

Penulis "Revisionism" selanjutnya bertanya: "Apa bedanya antara peran penentu yang selalu dimainkan infrastruktur ekonomi dan peran utama yang di sini dimainkan suprastruktur? Kendatipun peran utama suprastruktur hanya kadang-kadang, namun tentunya menentukan dalam kasus-kasus di mana peran utama tersebut dimainkan suprastruktur. Bukan saja itu, namun juga dalam kasus-kasus itu apa yang kita sebut infrastruktur, itu suprastruktur, dan apa yang kita sebut suprastruktur, itu infrastruktur."

Dalam sepucuk surat yang ditulisnya menjelang akhir hayatnya untuk Joseph Bloch, Engels mengatakan: "Menurut konsepsi material mengenai sejarah, unsur penentu dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi dalam kehidupan nyata. Saya dan juga Marx tak pernah mengatakan lebih dari ini. Karena itu kalau ada orang yang memelintir ini menjadi pernyataan bahwa unsur ekonomi merupakan satu-satunya unsur penentu, berarti orang itu telah mengubah proposisi itu menjadi frase imajiner yang tak ada artinya. Situasi ekonomi merupakan basis, namun berbagai unsur suprastruktur (seperti bentuk politis perjuangan kelas dan hasilnya, konstitusi yang ditegakkan kelas pemenang setelah sukses berjuang dan seterusnya, bentuk yuridis, dan bahkan refleks semua perjuangan aktual ini dalam benak partisipan, teori politik, yuristik dan filosofis, pandangan keagamaan dan perkembangan selanjutnya menjadi sistem dogma) juga berpengaruh pada arah pergulatan sejarah, dan dalam banyak kasus lebih besar pengaruhnya dalam menentukan bentuknya. Ada interaksi di antara semua unsur ini. Dalam interaksi ini, di tengah-tengah kejadian yang tak terhingga banyaknya dan tak jelas sebabnya, pada akhirnya gerakan, ekonomi menyatakan dirinya sebagai gerakan yang sangat diperlukan."

Kalau teori itu—teori yang menyebutkan bahwa faktor ekonomi sajalah yang merupakan faktor penentu—merupakan fantasi tak berarti, maka mengherankan bila proposisi ini diajukan oleh Marx sendiri. Kalau memang apa yang disebut faktor-faktor supra-struktural di banyak kasus benar-benar menentukan bentuk pergulatan sejarah, maka faktor-faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu. Karena itu tidak pada tempatnya kalau mengatakan bahwa gerakan ekonomi memperoleh kemajuan melalui kontradiksi yang tak berkesudahan.

Yang lebih mengherankan adalah bahwa dalam surat ini Mon­sieur Engels membebankan tanggung jawab atas kesalahan ini atau, menurut kata-katanya sendiri, distorsi ini sebagian pada dirinya dan Marx. Katanya: "Marx dan saya sebagian patut dikecam atas fakta bahwa kaum muda terkadang memandang lebih pentirig sisi ekonomi. Perlu kami tekankan prinsip utama terhadap lawan kami yang menolak prinsip tersebut. Kami tak selalu berkesempatan menjelaskan unsur-unsur lain yang terlibat dalam interaksi itu."

Namun ada juga yang menafsirkan bahwa Marx dan Engels terlalu memandang penting faktor ekonomi. Penafsiran tersebut sedikit banyak beda dengan pernyataan Engels. Mereka mengatakan bahwa sikap memandang terlalu penting faktor ekonomi ini bukan ditujukan terhadap para penentang teori ini, namun dimaksudkan untuk meredakan penentangan lawan, Dalam "The Critique of Political Economy", Marx memandang lebih penting peran faktor ekonomi. Sikap Marx seperti ini tak terlihat dalam karya-karya lainnya. Sudah kami sajikan kutipan terkenal dari pengantar buku ini. Menggambarkan keadaan ketika buku ini ditulis, "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan, "Yang juga mendorong penulisan "The Critique of Political Economy" adalah terbitnya karya Proudhon, "Manuel du speculateur a la Bourse", dan karya lain Darimon, pengikut Proudhon...." Ketika tahu bahwa lawan-lawannya dari kubu Proudhon dan pengikut Lassalle secara reformatif (bukan revolusioner) mempercayai atau bersandar pada unsur ekonomi, Marx berupaya keras merebut senjata ini dari tangan mereka dan menggunakan senjata ini untuk maksud revolusi. Ini menuntut sikap keras, karena sikap keras ini sesuai dengan tujuan penyebaran kepercayaan-kepercayaannya.

Untuk memenuhi tuntutan kondisi khusus Cina dan untuk menunjukkan bahwa memang benar dibutuhkan pengalaman praktisnya untuk memimpin gerakan revolusi Cina, Mao mengubah konsepsi-konsepsi mengenai materialisme sejarah dan sangat pentingnya ekonomi sedemikian sehingga konsep-konsepsi tersebut dan sosialisme tak ada lagi yang didasarkan pada materialisme sejarah, kecuali perniainan kata-kata.

Di bawah judul "The Principal Contradiction and the Principal Aspect of Contradiction", dalam risalahnya tentang kontradiksi Mao mengatakan: "Aspek pokok dan aspek non-pokok dari suatu kontradiksi berubah bentuk menjadi satu sama lain, dan kualitas sesuatu pun jadi berubah karenanya. Dalam proses tertentu atau pada tahap tertentu dalam perkembangan suatu kontradiksi, aspek pokoknya adalah A sedangkan aspek non-pokoknya adalah B, pada tahap lain perkembangan atau dalam proses lain perkembangan, perannya berbalik—suatu perubahan yang terjadi seiring bertambah atau berkurangnya kekuatan dua aspek yang saling bergulat dalam perkembangan sesuatu. Sebagian orang beranggapan bahwa ini tidak terjadi pada kontradiksi tertentu. Misal, dalam kontradiksi antara kekuatan pro.duksi dan hubungan produksi, kekuatan produksi adalah aspek pokoknya; ... dalam kontradiksi antara fondasi ekonomi dan suprastrukturnya, fondasi ekonomi adalah aspek pokoknya, dan posisi masing-masing tak mengalami perubahan. Ini merupakan pandangan materialisme mekanistik. Memang kekuatan produksi, praktik, dan fondasi ekonomi pada umumnya termanifestasi dalam peran-peran pokok dan menentukan. Siapa saja yang mengingkari ini, maka dia seorang materialis. Namun karena kondisi tertentu, maka aspek-aspek seperti hubungan produksi, teori, dan suprastruktur satu demi satu termanifestasikan dalam peran pokok dan menentukan. Ini juga mesti diakui. Bila kekuatan produksi tak dapat berkembang kecuali bila hubungan produksi berubah, maka perubahan yang terjadi pada hubungan produksi perannya pokok dan menentukan.... Bila suprastruktur (politik, budaya dan seterusnya) merintangi perkembangan fondasi ekonomi, maka reformasi politik dan budaya menjadi faktor pokok dan menentukan. Dengan mengatakan begini, apakah berarti kita bertentangan dengan materialisme? Tidak. Alasannya adalah ketika kita mengakui bahwa dalam per­kembangan sejarah sebagai suatu keseluruhan esensi material dari hal-hal menentukan hal-hal spiritual, dan eksistensi sosial menentu­kan kesadaran sosial, pada saat yang sama kita juga mengakui dan mesti mengakui reaksi hal-hal spiritual dan kesadaran sosial pada eksistensi sosial, dan reaksi suprastruktur pada fondasi ekonomi. Ini tidak bertentangan dengan materialisme. Ini persisnya menghindari materialisme mekanistik dan mendukung materialisme dialektis." Sebenarnya perkataan Mao bertentangan sekali dengan teori materialisme sejarah. Ketika Mao mengatakan, "Ketika hubungan produksi merintangi tumbuh dan berkembangnya kekuatan produksi," atau ketika mengatakan, "Ketika gerakan revolusioner membutuhkan teori revolusioner," atau ketika mengatakan, "Kalau suprastruktur merintangi tumbuh dan berkembangnya infrastruktur," Mao menyebutkan apa yang selalu terjadi dan harus selalu terjadi. Namun menurut teori materialisme sejarah, situasi seperti itu tak pernah ada, karena menurut teori ini perkembangan kekuatan produksi mau tak mau mengubah hubungan produksi; kemunculan teori revolusioner selalu otomatis; dan suprastruktur mau tak mau mengalami perubahan karena pengaruh infrastruktur. Tidakkah Marx dalam pengantarnya untuk "The Critique of Political Economy" dengan jelas mengatakan, "Pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan produktif material masyarakat mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada atau—apa yang tak lain adalah ungkapan legal mengenai hal yang sama—dengan hubungan milik. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan produksi, hubungan ini berubah menjadi pengekangnya. Kemudian dimulailah zaman revolusi sosial. Dengan berubahnya fondasi ekonomi, maka seluruh suprastruktur cepat atau lambat pasti mengalami transformasi."

Terjadinya perubahan hubungan produksi sebelum terjadinya perkembangan kekuatan produksi, teori revolusioner yang muncul sebelum terjadinya gerakan revolusioner dan perubahan supra­struktur yang melicinkan jalan bagi perubahan infrastruktur, semua ini artinya adalah bahwa pikiran itu primer sedangkan aksi atau kerja itu sekunder, jiwa itu primer sedangkan materi itu sekunder, basis intelektual dan politik masyarakat itu penting dan independen dibanding basis ekonomi masyarakat. Dengan demikian hancur sudah gagasan materialisme sejarah.

Mao mengatakan bahwa berarti bertentangan dengan materialisme dialektis kalau beranggapan bahwa pengaruh hanya sepihak. Itu betul. Namun problemnya adalah bahwa sosialisme ilmiah didasarkan pada pengaruh sepihak ini yang bertentangan dengan prinsip dialektis ketergantungan timbal balik. Karena itu sosialisme ilmiah harus diterima dan logika dialektis harus diabaikan, kalau tidak maka logika dialektis harus diterima dan sosialisme ilmiah dan materialisme sejarah yang menjadi fondasinya harus diabaikan.

Selanjutnya, apa maksud Mao ketika mengatakan dirinya mengakui bahwa pada umumnya, dalam perkembangan sejarah, esensi material hal-hal menentukan hal-hal spiritual, dan eksistensi sosial menentukan kesadaran sosial. Mengakui bahwa aspek utama kontradiksi kadang-kadang bisa berubah sama saja dengan mengatakan bahwa kadang-kadang kekuatan produksi menentukan hubungan produksi, dan terkadang sebaliknya, artinya prosesnya terbalik. Terkadang seorang revolusioner menciptakan teori revolusioner, dan terkadang sebaliknya. Terkadang pendidikan, politik, agama, kekuatan dan sebagainya mengubah basis ekonomi masyarakat, dan terkadang prosesnya terbalik. Karena itu kadang-kadang materi menentukan jiwa, dan kadang-kadang jiwa menentu­kan materi. Terkadang eksistensi sosial menentukan kesadaran sosial, dan terkadang kesadaran sosial menentukan eksistensi sosial. Sesungguhnya perkataan Mao mengenai perubahan yang terjadi pada posisi aspek utama kontradiksi merupakan teori Maois yang praktis bertentangan dengan teori materialisme sejarah Marxis. Itu bukan interpretasi atas teori Marxis seperti klaim Mao. Praktisnya Mao telah menunjukkan bahwa seperti Marx sendiri Mao juga terlalu pandai untuk selalu jadi Marxis. Revolusi Cina yang dipimpin Mao praktis menginjak-injak sosialisme ilmiah maupun materialisme sejarah, dan karena itu menginjak-injak Marxisme itu sendiri.

Dengan dipimpin Mao, Cina menumbangkan sistem feodal lama dan mendirikan rezim sosialis. Padahal menurut sosialisme ilmiah dan materialisme sejarah, sebuah negara setelah melewati tahap feodalisme, tahap selanjutnya dari negara tersebut harusnya tahap industri dan kapitalistik dulu. Negara tersebut baru dapat ke tahap sosialisme kalau sudah tinggi tingkat industrialisasinya. Sebagaimana janin dalam rahim tak mungkin mencapai suatu tahap tanpa melalui tahap sebelumnya, maka begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat tak mungkin sampai ke tahap final tanpa melewati tahap demi tahap sebelumnya. Namun Mao praktis telah memperlihatkan bahwa dirinya adalah bidan yang dapat melahirkan janin berusia empat bulan dalam keadaan sehat dan sempurna. Mao telah menunjukkan bahwa beda dengan apa yang dikatakan Marx, seorang pemimpin bisa saja mengabaikan ajaran sosialisme ilmiah, mengubah sepenuhnya hubungan produksi dan mengindustrialisasi sebuah negara melalui ajaran partai, lembaga politik, teori revolusioner, dan informasi sosial. Inilah hal-hal yang juga oleh Marx disebut sebangsa kesadaran dan suprastruktur dan bukan sebangsa eksistensi dan infrastruktur. Menurut Marx, hal-hal itu tidak fundamental. Mao menunjukkan bahwa hubungan produksi dapat ditiadakan dan sebuah negara dapat diindustrialisasikan dengan, demi tujuan praktisnya, mengabaikan apa yang disebut sosialisme ilmiah.

Dengan cara lain Mao juga memperlihatkan tidak berdasamya teori sejarah Marxis. Menurut teori Marxis dan setidak-tidaknya dari sudut pandang personal Marx, kelas petani hanya memenuhi dua syarat pertama untuk menjadi kelas revolusioner. Yaitu kelas yang tereksploitasi dan tak punya tanah. Namun tidak memenuhi syarat ketiga, yaitu terkonsetrasi, saling kerja sama, saling memahami dan sadar akan kekuatannya. Karena itulah kelas petani tidak siap untuk meluncurkan revolusi. Dalam masyarakat semi-pertanian dan semi-industri, paling banter petani dapat menjadi pengikut proletariat revolusioner. Bukan saja itu, namun dari sudut pandang Marx, kelas petani pada dasarnya menyedihkan dan reaksioner. Kelas petani sama sekali tidak memiliki prakarsa revolusioner. Dalam sepucuk surat untuk Engels, mengenai revolusi di Polandia, Marx membuat pernyataan ini tentang petani, "Petani yang pada dasarnya reaksioner dan menyedihkan itu mustahil untuk diajak berjuang." Namun Mao mengubah kelas yang sangat menyedihkan dan revolusioner ini menjadi kelas yang revolusioner, dan dengan bantuan kelas ini rezim lama pun dapat ditumbangkan. Menurut Marx, petani bukan saja tidak dapat membawa negara ke sosialisme, namun juga tak dapat memberikan sumbangsih untuk mengubah negara dari feodalisme ke kapitalisme. Kelas borjuislah yang mewujudkan revolusi sosial pada suatu momen sejarah. Namun Mao langsung melompat dari feodalisme ke sosialisme dengan bantuan apa yang disebut kelas petani yang reaksioner. Karena itu tepatlah kalau untuk membedakan antara Maoisme dan Marxisme Mao mengajukan teorinya sendiri mengenai perubahan pada posisi aspek utarna kontradiksi. Namun Mao sendiri tidak bicara tentang Maoisme. Mao mengemukakan pandangan-pandangannya hanya sebagai interpretasi ilmiak mengenai Marxisme, materialisme sejarah dan sosialisme ilmiah.

Dari pendahulunya, Lenin, Mao mendapat pelajaran bahwa kalau perlu seorang Marxis bisa praktis melepaskan diri dari Marxisme. Leninlah yang sebelum Mao membawa revolusi di Rusia ketika negeri ini masih semi-pertanian dan semi-industri. Lenin lah yang untuk pertama kalinya mendirikan negara sosialis.

Lenin tidak berharap bisa melihat Rusia nyaris menjadi negara industri penuh dan berubah menjadi negara kapitalis di mana eksploitasi atas pekerja sampai pada puncaknya sehingga gerakan yang sadar diri dan dinamis serta merta dapat mewujudkan perubahan total. Lenin merasa terlalu terlambat kalau untuk bisa melakukan pekerjaan bidan dirinya harus menunggu dulu selesainya periode kehamilan. Karena itu Lenin memulai dengan supra-struktur dan menggunakan partai, politik, teori revolusioner, perang dart kekuatan untuk dapat mengubah Rusia yang saat itu semi-industri menjadi negara sosialis Soviet.

Lenin praktis membuktikan kebenaran pepatah termasyhur bahwa seekor burung di tangan lebih bernilai ketimbang dua burung di semak-semak. Untuk melakukan revolusi, Lenin merasa tak perlu menunggu dua burung Marx dan kesiapan otomatis dan dinamis basis ekonomi masyarakat Rusia. Dia sepenuhnya memanfaatkan satu burung yang ada di tangan dan mewujudkan revolusi yang sukses dengan menggunakan kekuatan, politik, doktrin partai dan persepsi politiknya sendiri.

Menghancurkan Prinsip Keselarasan Tak Terelakkan antara Infra­struktur dan Suprastruktur

Menurut tepri materialisme sejarah, harus selalu ada semacam keselarasan antara infrastruktur masyarakat dan suprastruktur masyarakat, sehingga dengan mengetahui suprastrukturnya (dengan menggunakan metode deduktif, yang memberikan pengetahuan semi-sempurna) maka dapat diketahui pula infra-strukturnya, dan dengan mengetahui infrastrukturnya (dengan menggunakan metode induktif, yang memberikan pengetahuan yang sempurna) maka dapat pula diketahui suprastrukturnya. Jika mfrastruktur berubah, maka hancurlah keselarasan ini, keseimbangan sosial pun tergariggu, dan terjadilah krisis seperti itu, sehingga cepat atau lambat krisis tersebut akan menghancurkan supra­struktur. Sebaliknya, selama infrastruktur tetap utuh, suprastruktur pun akan tetap utuh.

Berbagai peristiwa sejarah kontemporer telah membuktikan kesalahan proposisi di atas. Menyusul sejumlah revolusi politik dan sosial yang menyertai pergolakan demi pergolakan ekonomi yang terjadi pada periode dari 1827 sampai 1847, Marx dan Engels jadi percaya bahwa revolusi sosial merupakan akibat tak terelakkan dari krisis ekonomi. Tapi menurut penulis buku "Revisionism from Marx to Mao": "Adalah ironi sejarah bahwa belum pernah terjadi krisis ekonomi yang disertai dengan sebuah revolusi di negara-negara industri sejak 1848. Di masa hayat Marx, sebelum kematiannya, empat kali kekuatan produksi menentang hubungan produksi tanpa menimbulkan revolusi... kemudian, beberapa ekonom seperti Joseph Sehumpeter bahkan sampai menyebut krisis-krisis yang ditimbulkan oleh inovasi teknik ini sebagai 'badai penghancur yang. kreatif dan sebagai 'kelep penyelamat' untuk mewujudkan kembali keseimbangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi."

Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika, kemajuan industrinya mengagumkan. Negara-negara tersebut sudah berada di puncak kapitalisme. Namun beda dengan prediksi Marx yang menyebutkan bahwa negara-negara ini yang pertama akan mengalami revolusi pekerja dan akan menjadi negara-negara sosialis, apa yang disebut suprastruktur negara-negara tersebut lernyata tak mengalami perubahan politik, hukum atau agama. Anak yang diharapkan Marx akan lahir, usianya sudah sempurna sembilan bulan, bukan saja usianya sudah sembilan bulan, bahkan sudah sembilan puluh tahun, namun belum juga lahir. Sekarang tak ada lagi harapan anak itu akan lahir.

Tentu saja tak syak lagi rezim-rezim sekarang di negara-negara tersebut cepat atau lambat akan tumbang, namun revolusi pekerja yang diharapkan tak kunjung tiba, dan teori sejarah Marxis pun terbukti salah. Sungguh pula rezim-rezim yang memerintah di apa yang disebut negara-negara sosialis dewasa ini kelak juga akan tumbang. Namun yang pasti di masa mendatang rezim-rezim di negara-negara ini bukan kapitalistik.

Ternyata beberapa negara di Eropa Timur, Asia dan Amerika Selatan sudah berada di tahap sosialisme tanpa melewati fase kapitalisme. Dewasa ini ada negara-negara yang satu sama lain serupa infrastrukturnya, namun tetap saja berbeda jauh supra-strukturnya. Dua adikuasa, Amerika dan Uni Soviet merupakan contoh terbaik untuk fenomena ini. Amerika dan Jepang sistem ekonominya sama, namun sistem politik, keagamaan, moral, kultural dan artistiknya berbeda. Di lain pihak, ada negara-negara yang sistem politik, keagamaan dan suprastruktural lainnya nyaris sama, namun tetap saja kondisi ekonominya sepenuhnya sama. Semua ini menunjukkan bahwa kesesuaian yang tak terelakkan antara suprastruktur masyarakat dan infrastruktur masyarakat seperti yang dibayangkan oleh materialisme sejarah hanyalah kilasan khayalan saja.

Ketidaksesuaian Basis Kelas Ideologi

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, menurut materialisme sejarah suprastruktur periode apa pun tidak mungkin mendahului infrastrukturnya. Karena itu pengetahuan setiap periode hanya terbatas pada periode itu. Dengan berlalunya waktu, pengetahuan tersebut jadi usang, dan tinggal menjadi arsip sejarah saja. Gagasan, filsafat, rencana, prediksi dan agama, semuanya merupakan produk sampingan dari tuntutan khusus zamannya, dan tak mungkin sesuai dengan tuntutan zaman lain. Namun praktis buktinya tidak demikian. Sungguh doktrin dan agama, banyak filsafat, tokoh, gagasan dan cabang ilmu pengetahuan tampaknya mendahului zaman atau kelasnya. Banyak sekali gagasan yang merupakan produk dari kebutuhan material zaman tertentu. Meskipun zaman berubah, gagasan-gagasan tersebut tetap bersinar di ufuk sejarah. Mengherankan kalau dalam kasus ini juga Marx, dalam beberapa pernyataannya, melepaskan diri dari Marxisme. Dalam karyanya yang terkenal, "German Ideology", Marx mengatakan:

Terkadang kesadaran terlihat mendahului hubungan empiris kontemporer sehingga dapat diketahui bukti mengenai konflik yang terjadi di masa kemudian dalam tulisan-tulisan teoretisi masa sebelumnya."

Independensi Perkembangan Budaya

Menurut materialisme sejarah, seperti basis lain masyarakat semisal basis politik, basis yudisial, dan basis keagamaan, basis kultural dan ilmiah masyarakat juga bergantung pada basis ekonomi masyarakat dan tak mungkin bebas berkembang semaunya. Menyusul perkembangan alat produksi dan perkembangan basis ekonomi masyarakat, ilmu pengetahuan pun berkembang.

Sesungguhnya kita tahu bahwa alat produksi, minun manusia, perkembangannya tidaklah terjadi secara otomatis. Alat produksi berkembang akibat kontak manusia dengan alam dan akibat upaya ingin tahu manusia. Tumbuh berkembangnya dibarengi perkembangan teknik dan ilmu pengetahuan manusia. Sekarang pertanyaannya adalah mana yang lebih dahulu. Apakah manusia terlebih dahulu membuat penemuan, baru kemudian menerapkan penemuan itu untuk menciptakan peralatan yang relevan, atau peralatan terlebih dahulu ada, baru kemudian manusia membuat penemuan yang relevan? Tak diragukan lagi, alternatif kedualah yang benar.

Jelaslah hukum ilmiah dan prinsip teknis ditemukan berkat rasa ingin tahu manusia dan kontak eksperimen manusia dengan alam. Kalau manusia tidak melakukan penyelidikan dan tidak membuat eksperimen, maka manusia tak mungkin mengetahui hukurn ilmiah atau hukum alam. Mengenai itu, tak mungkin ada dua pendapat. Satu-satunya yang jadi pertanyaan adalah apakah setelah mengadakan penyelidikan dan eksperimen, terlebih dahulu manusia mengalami perkembangan ilmu pengetahuan di dalam dirinya, baru kemudian manusia menciptakan peralatan teknis, ataukah sebaliknya? Tak syak lagi, alternatif pertamalah yang benar.

Lagi pula, bila kata "perkembangan'' digunakan untuk manusia, penggunaannya adalah dalam pengertian harfiah dan sesungguhnya, namun bila digunakan untuk peralatan teknis dan produktif, penggunaannya adalah dalam pengertian kiasan. Dalam pengertian yang sebenarnya, arti perkembangan adalah evolusi sesuatu dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi. Namun kalau digunakan dalam arti kiasannya, maka yang terjadi adalah satu hal hilang dan hal lainnya muncul menggantikan hal yang hilang itu.

Ketika seorang anak tumbuh, maka sesungguhnya terjadi perkembangan. Namun kalau seorang guru digantikan oleh guru lain yang lebih berpendidikan dan lebih efisien, tentu saja terjadi perkembangan dalam mengajar, namun perkembangan seperti ini hanya kiasan saja. Dalam kasus penciptaan peralatan, maka perkembangan manusia memang nyata. Manusia mengalami perkembangan mental dalam arti yang sesungguhnya. Namun perkembangan industri, seperti perkembangan industri otomotif yang setiap tahun membanjiri pasar dengan model-model baru, hanya kiasan saja, karena dalam kasus ini sesungguhnya tak ada yang bergerak dari tahap yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi. Mobil tahun lalu teknologinya belum begitu bagus, namun sudah digantikan oleh mobil lain yang desain dan modelnya lebih bagus dan mutakhir.

Dengan kata lain, unit yang tidak sempurna dicampakkan dan digantikan oleh unit yang sempurna. Dalam kasus ini, unit yang sama tidak mengalami perubahan dari tahap tidak sempurna ke tahap sempurna. Jelaslah kalau terjadi perkembangan nyata dan perkembangan kiasan sekaligus, maka yang primer adalah perkembangan nyata, sedangkan yang sekunder adalah per­kembangan dalam arti kiasan.

Beginilah posisi teknologi. Sejauh menyangkut ilmu pengetahuan yang lain seperti kedokteran, psikologi, sosiologi, filsafat, logika dan matematika, ketergantungan sepihak ini tak mungkin dibuktikan kebenarannya. Perkembangan ilmu pengetahuan bergantung pada posisi ekonomi, seperti posisi ekonomi bergantung pada per­kembangan ilmu pengetahuan, atau bahkan kurang dari ketergantungan posisi ekonomi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Mengkritik Marxisme, K. Schmoller mengatakan, Tak diragukan lagi, kondisi material dan ekonomi penting sekali untuk mencapai budaya yang lebih tinggi. Juga tak diragukan lagi, perkembangan intelektual dan moral arahnya bebas."

Kalau satu kesalahan dalam doktrin Filosof Perancis, August Comte, ini diabaikan, yaitu August Comte meringkaskan sisi manusiawi manusia dalam 'pikiran' manusia, padahal pikiran hanyalah satu bagian dari berbagai kemampuan manusia dan hanyalah separo dari jiwa manusiawi manusia, maka teori August Comte mengenai perkembangan sosial lebih berharga dibanding teori Marx. Kata August Gomte, "Fenomena sosial tunduk kepada determinisme yang ketat, dan determinisme ini bekerja dalam bentuk evolusi masyarakat manusia yang tak terelakkan—suatu evolusi yang ditentukan oleh kemajuan pikiran manusia."

Dalam Materialisme Sejarah Terjadi Inkonsistensi Internal

Menurut materialisme sejarah, setiap pikiran, setiap pandangan, setiap teori filosofis atau ilmiah, dan setiap sistem moral, yang merupakan manifestasi dari kondisi khsus material dan ekonomi, bergantung pada pemenuhan kondisi khususnya sendiri, dan nilainya tidak mutlak. Setiap gagasan, setiap teori dan setiap sistem moral kehilangan keabsahannya kalau masanya sudah lewat dan kalau terjadi perubahan pada kondisi material dan ekonomi yang mengharuskan munculnya gagasan, teori dan sistem moral tersebut. Dengan berubahnya keadaan, maka setiap gagasan dan setiap teori hams digantikan oleh gagasan atau teori baru.

Jelaslah hukum universal ini harus juga berlaku pada teori materialisme sejarah, seperti dikemukakan oleh beberapa filosof dan sosiolog. Kalau tidak, berarti hukum ini ada kekecualiannya, berarti ada hukum filosofis dan ilmiah yang bekerja secara mandiri dan tidak tunduk kepada infrastruktur ekonomi. Kalau diakui bahwa hukum ini berlaku pada teori materialisme sejarah juga, maka keabsahan teori ini hanya untuk periode tertentu saja, yaitu periode kemunculan teori ini, dan teori ini tak ada nilainya untuk periode sebelum atau sesudahnya.

Jika materialisme sejarah sebagai teori filosofis tidak berlaku untuk dirinya, berarti dalam materialisme sejarah ada inkonsistensi internal. Dan jika berlaku untuk dirinya maupun teori lain, berarti keabsahannya hanya untuk periode terbatas. Bisa muncul keberatan yang sama terhadap materialisme dialektis juga. Menurut materialisme dialektis, prinsip dinamisme dan magnetisme berlaku untuk setiap sesuatu termasuk teori filosofis dan hukum ilmiah. Poin ini sudah dibahas dalam "The Principles of Philosophy and The Methode of Realism", jilid 1 dan 2. Semua ini menunjukkan betapa tak berdasarnya klaim bahwa dunia ini adalah pertunjukan besar materialisme dialektis dan bahwa masyarakat adalah pertunjukan besar materialisme sejarah.

Teori materialisme sejarah juga menghadapi keberatan yang lain, namun sekarang ini keberatan tersebut kami abaikan dulu. Sungguh mengherankan mengapa teori yang tak berdasar dan tak ilmiah seperti itu bisa terkenal sebagai teori ilmiah! Reputasi teori ini kelihatannya tak lain adalah hasil dan trik propaganda.

Catatan:

[1] Buku ini semula ditulis dalam bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Dr Anwar Khameh'i. Beliau memperlihatkan kearifan yang mendalam dalam membahas pokok masalahnya dan kemampuan yang patut dipuji untuk mengevaluasi dan menganalisis problem-problem yang ada. Beliau sendiri pernah bertahun-tahun menjadi eksponen dan pendukung bersemangat mazhab ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar