Label

Pengetahuan Manusia


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Manusia berupaya mengenal dirinya dan mengenal dunia. Manusia ingin lebih tahu siapa dirinya dan bagaimana dunia. Dua jenis pengetahuan ini menentukan evolusi, kemajuan dan kebahagiaannya. Dari dua jenis pengetahuan ini mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting? Jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah mudah. Ada yang menganggap mengenal diri itu lebih penting, dan ada yang memandang mengenal dunia lebih penting. Perbedaan jawaban untuk pertanyaan ini terjadi akibat perbedaan cara berpikir Timur dan Barat. Juga akibat perbedaan pandangan ilmu pengetahuan dan pandangan agama. Ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mengetahui dunia, sedangkan agama adalah produk dari kenal, tahu atau sadar diri.

Ilmu pengetahuan, selain berupaya membuat manusia mengenal dirinya, juga berupaya membuat manusia mengenal dunia. Tanggung jawab ini diemban berbagai cabang psikologi. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui ilmu pengetahuan, maka kenal diri seperti ini menjemukan dan tidak hidup. Kenal diri seperti ini tidak menghidupkan jiwa manusia dan juga tidak membangkitkan kemampuan terpendam manusia. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui agama, maka kenal diri seperti ini membuatnya mengetahui realitasnya, menghilangkan apatinya, membakar jiwanya dan membuatnya memiliki rasa kasih sayang dan simpati. Tugas seperti ini tak mungkin diemban oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Bukan saja itu, ilmu pengetahuan dan filsafat terkadang justru membuat manusia tidak sensitif dan lupa akan dirinya. Itulah sebabnya mengapa ilmuwan dan filosof tidak sensitif dan egois. Kata pepatah, mereka ini laksana anjing dalam palungan (bak tempat makanan dan minuman ternak—pen.). Mereka lupa akan dirinya, sedangkan banyak orang tak berpendidikan sadar akan dirinya.

Agama mengajak manusia untuk mengenal dirinya. Pokok-pokok ajaran agama adalah: Kenalilah dirimu agar kamu tahu Tuhanmu. Jangan lupa Tuhanmu agar kamu tidak lupa akan diri­mu. Al-Qur'an mengatakan: Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa akan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-arang yang fasik. (QS. al-Hasyr: 19). Nabi saw bersabda, "Barangsiapa kenal dirinya, maka kenal Tuhannya." Imam All bin Abi Thalib as mengatakan, "Pengetahuan yang paling bermanfaat adalah pengetahuan tentang diri." Imam Ali as juga mengatakan, "Saya heran mengapa orang yang mencari apa-apa yang dihilangkan oleh dirinya, tidak mencari dirinya."

Kritik pokok yang dilontarkan berbagai kalangan berpendidikan dunia terhadap budaya Barat, adalah bahwa budaya Barat merupakan budaya mengenal dunia dan budaya lupa diri. Di sinilah sesungguhnya penyebab merosotnya altruisme atau kebajikan di Barat. Jika manusia, dalam kata-kata Al-Qur'an Suci, kehilangan dirinya, maka kalau dia memperoleh dunia, perolehannya itu tak ada manfaatnya. Sejauh pengetahuan kita, Mahatma Gandhi, mendiang pemimpin India, inilah yang dari sudut pandang ini sangat cerdas kritiknya terhadap budaya Barat. Dia mengatakan: "Manusia Barat dapat menyelenggarakan pesta besar. Pesta yang bagi bangsa-bangsa lain hanya dapat diadakan oleh Tuhan saja. Namun manusia Barat tak mampu melakukan satu hal. Dia tak dapat menelaah diri rohaniahnya. Fakta ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa gemerlap palsu budaya modern tak ada artinya. Jika budaya Barat telah menyebabkan orang Eropa berkubang minuman anggur dan seks, itu karena orang Eropa cenderung lupa dan menyia-nyiakan 'diri' mereka, 'diri' yang semestinya mereka cari. Sebagian besar prestasi besar mereka dan bahkan perbuatan baik mereka merupakan produk dari lupa diri. Kemampuan praktis manusia Barat untuk membuat penemuan, dan menciptakan peralatan perang, terjadi karena dia lari dari 'diri' dan bukan karena kontrol dirinya yang hebat. Kalau manusia kehilangan jiwanya, maka apa manfaatnya dia menaklukkan dunia?" Selanjutnya Gandhi mengatakan: "Hanya ada satu kebenaran di dunia ini, dan kebenaran itu adalah mengetahui diri. Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhan dan lainnya. Barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka dia tidak mengetahui apa pun. Di dunia ini ada satu kekuatan, satu kemerdekaan dan satu keadilan, dan kekuatan itu adalah kekuatan penguasaan diri. Di dunia ini hanya ada satu kebajikan, yaitu kebajikan menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri. Dengan kata lain, orang lain harus dilihat seperti kita melihat diri kita sendiri. Seluruh soal lainnya imajiner dan tak ada." (Introduction to My Religion, 1959)

Entah kita memandang lebih penting mengenal diri atau mengenal dunia, atau kita memandang keduanya itu sama penting, maka yang pasti perluasan pengetahuan berarti perluasan kehidupan manusia. Hidup sama saja dengan pengetahuan, dan pengetahuan sama saja dengan hidup. Barangsiapa lebih mengenal dirinya dan dunia, maka dia lebih memiliki kehidupan. Jelaslah dalam konteks ini arti mengenal diri bukanlah mengetahui isi kartu identitas diri seperti nama diri, nama kedua orang tua, nama tempat kelahiran, nama tempat tinggal dan sebagainya. Juga artinya bukan me­ngetahui biologi diri yang dapat diikhtisarkan dalam pengetahuan tentang binatang yang lebih tinggi daripada beruang dan kera. Untuk lebih jelasnya, kita lihat secara ringkas berbagai jenis sadar diri. Kita loncati saja sadar diri sebagai mengetahui kartu identitas itu, yang sifatnya kiasan dan tidak riil itu. Ada beberapa jenis sadar (mengenal) diri yang riil:

Sadar Diri yang Fitri Sifatnya

Manusia secara fitrah tahu siapa dirinya. Bukanlah ego manusia yang terbentuk duluan baru kemudian dia jadi sadar diri. Lahirnya ego sama dengan lahirnya sadar diri. Pada tahap itu, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang. Ego adalah realitas, dan realitas itu sendiri adalah mengenal diri. Pada tahap-tahap selanjutnya, ketika manusia kurang lebih mengetahui hal-hal lain, dia tahu dirinya juga, seperti dia tahu hal-hal lain. Dengan kata lain, dia membuat gambar tentang dirinya di benaknya. Secara teknis, dia jadi mengenal dirinya berkat pengetahuan yang didapatnya. Namun sebelum mengenal dirinya dengan cara seperti ini, dan bahkan sebelum mengenal hal lain, dia sudah mengenal dirinya melalui pengenalan diri yang fitri sifatnya. Para psikolog yang biasanya membahas masalah mengenal diri, cuma mempertimbangkan fase kedua dari mengetahui diri, yaitu pengetahuan mental yang didapat melalui upaya. Sedangkan para filosof kebanyakan fokusnya adalah fase pertama, yaitu tahap pengetahuan non-mental yang fitri sifatnya. Pengetahuan seperti ini tak lain adalah apa yang dalam filsafat digambarkan sebagai salah satu bukti kuat keniskalaan (abstraksi) ego.

Dalam kasus pengetahuan seperti ini tak ada masalah keraguan atau pertanyaan seperti "Adakah aku? Kalau aku ada, lantas siapa aku?" Keraguan muncul hanya dalam kasus pengetahuan yang didapat melalui upaya, yaitu dalam kasus di mana pengetahuan tentang sesuatu beda dengan eksistensi aktual sesuatu itu. Namun di mana pengetahuan, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang, dan pengetahuan ini sifatnya fitri, maka tak dapat dibayangkan adanya keraguan. Dengan kata lain, mustahil adanya keraguan dalam kasus seperti itu. Di sinilah Descartes membuat kekeliruan yang fundamental. Dia tidak tahu bahwa "aku ada" tak menimbulkan keraguan, sehingga tak perlu meniadakannya dengan perkataan "aku berpikir, karena itu aku ada."

Kendatipun tahu diri yang sifatnya fitri itu nyata adanya, namun pengetahuan seperti itu bukanlah pengetahuan yang didapat melalui upaya. Seperti eksistensi ego, pengetahuan seperti itu merupakan sifat khas manusia yang sifatnya fundamental. Karena itu kenal diri yang sifatnya fitri ini bukanlah pengetahuan tentang diri, suatu pengetahuan yang manusia selalu diseru untuk memilikinya. Al-Qur'an menyebutkan berbagai tahap perkembangan janin dalam rahim. Ketika menggambarkan tahap terakhimya, Al-Qur'an mengatakan, Sesudah itu Kami jadikan ia ciptaan yang berbeda. Yang dirujuk ayat ini adalah sadar diri yang sifatnya fitri itu, dan sadar diri ini berkembang akibat perubahan materi non-sadar menjadi substansi spiritual yang sadar diri.

Sadar Diri Filosofis

Filosof ingin tahu karakter riil ego sadar diri. Apakah ego sadar diri itu substansi atau bentuk? Apakah materi atau abstraksi? Bagaimana hubungannya dengan tubuh? Apakah sudah ada sebelum adanya tubuh, atau eksistensinya bersamaan dengan eksistensi tubuh, atau ada setelah adanya tubuh? Dan seterusnya. Pada tahap sadar diri ini pertanyaan utamanya adalah bagaimana karakter dan jenis ego? Jika filosof mengklaim memiliki sadar diri, itu artinya bahwa dia mengklaim tahu karakter, jenis dan substansi ego.

Sadar Diri Universal

Sadar diri universal artinya adalah mengetahui diri dalam kaitan diri dengan dunia—mengetahui jawaban pertanyaan "Dari mana aku berasal?" "Hendak ke mana aku?" Dalam sadar diri seperti ini manusia menyadari dirinya adalah bagian dari suatu keseluruhan yang disebut dunia. Dia juga sadar bahwa dirinya bukanlah makhluk yang independen, namun dirinya bergantung pada makhluk lain. Kedatangannya bukan tanpa bantuan, kehidupannya bukan tak membutuhkan yang lain, untuk mencapai tujuannya manusia tidak bisa sendirian. Pada tahap ini manusia berupaya menentukan posisinya dalam keseluruhan ini yang dikenal dengan sebutan dunia ini.

Kata-kata penting Imam Ali as berikut menggambarkan sadar diri seperti ini. Imam Ali as mengatakan, "Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya." Sadar diri seperti ini membuat manusia sangat mendambakan kebenaran. Sadar diri seperti ini tak ada dalam diri binatang, juga tak ada dalam diri makhluk lain. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia ingin tahu, dan meyakinkan manusia untuk mencari jawaban dan kepastian. Dalam diri manusia, sadar diri seperti ini mengobarkan api keraguan dan penyangkalan, sehingga manusia jadi ragu apakah pandangan ini atau pandangan itu yang hams diikuti. Api ini pulalah yang membakar jiwa "orang-orang seperti Ghazali," sehingga mereka resah, tak dapat tidur, tak dapat makan, turun dari jabatan pemimpin Nizamiah, dan kemudian mengembara di gurun, dan bertahun-tahun hidup resah jauh dari rumah. Api ini pulalah yang membuat "orang-orang seperti Inwan Basri" mencari kebenaran dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, dan dari kota ke kota. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia memperhatikan ide nasib.

Sadar Diri Kelas

Sadar diri kelas merupakan bentuk sadar diri sosial. Artinya adalah kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan kelasnya. Dalam masyarakat yang didominasi kelas, dari sudut pandang gaya hidup dan suka-dukanya, setiap orang mesti menjadi bagian dari lapisan tertentu, atau sadar diri kelas merupakan kesadaran orang akan posisi kelasnya dan tanggung jawab kelasnya. Berdasarkan teori-teori tertentu, mamttia memiliki ego yang melampaui kelas­nya. Ego setiap orang merupakan jumlah seluruh kekuatan psikisnya, yaitu jumlah seluruh perasaan, pikiran, niat dan hasratnya. Semua ini terbentuk dalam kerangka kelas tertentu. Para pendukung teori ini berpandangan bahwa tidak eksis manusia sebagai semata-mata manusia. Eksistensinya hanyalah konseptual, bukan riil. Yang sungguh-sungguh eksis adalah kaum aristokrat dan massa. Manusia hanya dapat eksis dalam masyarakat tak berkelas, kalau saja masyarakat seperti ini ada. Karena itu dalam masyarakat yang didominasi kelas, sadar diri sosial itu identik dengan sadar din kelas.

Menurut teori ini, sadar diri kelas sepadan dengan kesadaran orang akan kepentingannya sendiri, karena filosofi teori ini didasarkan pada pandangan bahwa personalitas setiap indtvidu diatur oleh kepentingan materialnya. Dalam struktur sosial, faktor terpentingnya adalah basis ekonominya. Kehidupan material yang sama dan kepentingan material yang sama membuat individu-individu dari kelas tertentu memiliki suara had yang sama, cita rasa yang sama, dan penilaian yang sama. Kehidupan kelas melahirkan pandangan kelas, dan pandangan kelas membuat orang melihat dunia dan masyarakat dari sudut tertentu dan menafsirkannya sesuai dengan tuntutan kepentingan kelas. Karena itu upaya dan pandangan sosialnya selalu berorientasi kelas. Marxisme meyakini sadar diri seperti ini, dan sadar diri seperti ini dapat disebut sadar diri Mantis.

Sadar Diri Nasional

Artinya adalah kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan orang lain yang memiliki ikatan rasial dan kebangsaan dengan dirinya. Manusia —akibat menjalani kehidupan bersama dengan sekelompok orang yang memiliki hukum yang sama, jalan hidup yang sama, sejarah yang sama, sukses dan gagal sejarah yang sama, bahasa dan sastra yang sama, dan akhirnya budaya yang sama— mengembangkan perasaan yang sama dan rasa sebagai bagian dari kelompok itu. Karena individu memiliki ego, maka bangsa pun— karena memiliki budaya yang sama—mengembangkan ego kebangsaan. Budaya yang sama—yang lahir akibat menjadi bagian dari ras yang sama—mewujudkan kesamaan dan kesatuan di kalangan individu-individu manusia. Kebangsaan, yang didukung budaya yang sama, mengubah "aku" menjadi "kita". Demi kepentingan "kita" ini orang sering mau bekorban. Mereka merasa bangga kalau bangsanya sukses, dan merasa sedih kalan bangsanya gagal. Sadar diri nasional artinya adalah kesadaran akan budaya nasional, personalitas nasional, dan ego nasional. Pada dasarnya budaya dunia itu tak ada. Berbagai budaya eksis secara serempak, dan masing-masing budaya memiliki sifat khasnya sendiri. Karena itu ide satu budaya dunia yang tunggal merupakan ide yang mustahil. Nasionalisme yang populer pada abad ke-19, dan lebih kurang masih digembar-gemborkan, didasarkan pada filosofi ini. Dalam sadar diri seperti ini segalanya—yaitu penilaian, pembuatan keputusan, dan orientasi—mengandung aspek nasional dan berada dalam orbit nasional, sedangkan dalam sadar diri kelas, segalanya mengandung aspek kelas.

Kendatipun sadar diri nasional bukan tergolong kesadaran akan kepentingan diri, namun tergolong egoisme. Sadar diri seperti ini mengidap penyakit egoisme seperti prasangka, sikap memihak, keangkuhan dan mengabaikan kesalahan sendiri. Karena itu, seperti sadar diri kelas, sadar diri nasional juga tidak ada sisi moralnya.

Sadar Diri Manusiawi

Arti sadar diri manusiawi adalah kesadaran orang akan hubungannya dengan orang lain. Dasar sadar diri manusiawi adalah filosofi bahwa semua manusia merupakan satu unit tunggal, dan semua manusia memiliki "hati nurani manusiawi yang sama." Semua manusia memiliki rasa mencintai manusia dan memiliki perasaan yang sama. Sa'di, penyair Persia terkenal kelas dunia, mengatakan, "Semua manusia seperti organ-organ satu tubuh. Seorang manusia yang tak memiliki rasa simpati kepada manusia lainnya, tak layak disebut manusia."

Itulah gagasan yang dianut orang-orang yang, seperti Auguste Comte, senantiasa mencari agama manusia. Itulah juga prinsip pokok humanisme yang kurang lebih merupakan sebuah filosofi yang dianut sebagian besar orang di zaman kita yang lapang hatinya. Humanisme melihat semua manusia sebagai satu unit tunggal, terlepas dari kelas, kebangsaan, budaya, agama yang dianut dan rasnya. Humanisme menolak setiap bentuk diskriminasi. Piagam hak asasi manusia yang diisukan di dunia dari waktu ke waktu juga didasarkan pada filosofi ini. Piagam ini juga mendakwahkan sadar diri manusiawi seperti ini.

Kalau sadar diri seperti ini dikembangkan oleh individu, maka perasaan dan hasratnya menjadi manusiawi, maka orientasi upayanya adalah manusiawi, dan persahabatan serta permusuhannya berwarna manusiawi. Dia mulai menyukai ilmu, budaya, aktivitas yang sehat, kesejahteraan manusia, kemerdekaan, keadilan dan kebaikan hati. Dia juga mulai membenci kebodohan, kemiskinan, kekejaman, penyakit, penindasan dan diskriminasi. Kalau dikembang­kan, maka sadar diri manusiawi ini, beda dengan sadar diri nasional dan sadar diri kelas, ada makna moralnya. Kendatipun sadar diri manusiawi ini lebih logis ketimbang sadar diri jenis lain, dan sekalipun banyak digembar-gemborkan, namun dalam praktiknya sadar diri manusiawi merupakan sesuatu yang relatif langka. Kenapa?

Jawabnya ada dalam aktualitas manusia. Karakter aktualitas manusia beda dengan karakter aktualitas selain manusia, entah itu benda non-organis, tumbuhan atau binatang. Segala yang ada di dunia ini selain manusia, sesungguhnya merupakan bagaimana segala yang ada itu. Karakternya, aktualitasnya dan sifat khasnya ditentukan oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sejauh menyangkut manusia, tahap bakal seperti apa dia, dimulai setelah dia diciptakan. Manusia bukanlah bagaimana dia diciptakan. Manusia adalah ingin bagaimana dia. Manusia adalah bagaimana dia dibentuk oleh faktorfaktor asuhan atau didikan, termasuk di dalamnya adalah kehendak dan pilihannya sendiri.

Dengan kata lain, mengenai karakter dan kualitasnya, maka selain manusia sesungguhnya merupakan bagaimana dia dicipta­kan. Namun manusia, dari sudut pandang ini, diciptakan hanya secara potensial saja. Dalam diri manusia ada benih sisi manusiawi, dan bentuknya adalah berbagai potensinya. Jika benih ini tetap aman dari gangguan hama, maka benih ini berangsur-angsur tumbuh dari eksistensi manusia dan berkembang menjadi naluri manusia dan kemudian menjadi hati nurani natural dan sifat manusiawinya.

Tak seperti benda non-organis, tumbuhan dan binatang, maka manusia memiliki person dan personalitas. Person manusia, yaitu jumlah seluruh sistem fisisnya, datang ke dunia dalam bentuk yang benar-benar ada. Kalau dilihat dari segi sistem fisisnya, maka manusia sama "aktuar”-nya dengan binatang. Namun kalau diingat perkembangan yang terjadi kemudian pada personalitas manusiawi­nya, maka manusia secara spiritual hanyalah makhluk potensial.

Nilai-nilai manusiawi ada dalarn eksistensinya, dan nilai-nilai ini siap untuk dikembangkan.[1] Formasi spiritual dan moral manusia merupakan satu tahap setelah formasi fisisnya. Tubuh manusia dibentuk dalam rahim oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sistem spiritual dan moral manusia serta berbagai komponen personalitasnya harus dikembangkan kemudian. Karena itu setiap manusia merupakan pembangun dan perekayasa personalitasnya sendiri. Kuas yang digunakan untuk melukis personalitas manusia, telah diserahkan ke tangan manusia sendiri.

Memisahkan non-manusia dari karakternya merupakan sesuatu yang tak terbayangkan. Batu tak dapat dipisahkan dari karakternya sebagai batu. Begitu pula dengan pohon, anjing dan kucing. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ada, yang ada bedanya antara dirinya dan karakternya, yaitu antara manusia dan sisi manusiawinya. Banyak manusia yang tak dapat memiliki sisi manusiawi dan, seperti sebagian orang biadab dan pengembara, tetap berkutat dalam sisi hewaniahnya. Banyak juga orang yang kehilangan sifat khas manusiawinya, seperti yang terjadi pada sebagian besar kaum yang sok berbudaya. Mengenai masalah bagaimana karakter sesuatu dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri ketika karakter sesuatu itu sangat penting bagi eksistensi segala sesuatu, dapat dikatakan bahwa jika eksistensi sesuatu aktual, maka karakter sesuatu itu konsekuensinya juga aktual. Namun jika sesuatu ada hanya secara potensial, maka tentu saja sesuatu itu tak memiliki karakter yang sesuai.

Itulah satu-satunya penjelasan filosofis teori eksistensial, sebuah teori yang mengatakan bahwa eksistensi bersifat fundamental dan bahwa manusialah yang memilih karakternya. Kaum filosof Muslim, khususnya Mulla Sadra, sangat menggarisbawahi poin ini. Mulla Sadra mengatakan: "Manusia bukan tergolong satu spesies tunggal. Manusia adalah makhluk multi-spesies. Sesungguhnya individu suatu saat menjadi bagian dari satu spesies dan di saat lain menjadi bagian dari spesies yang berbeda."

Dari sini jelaslah bahwa manusia biologis bukanlah manusia nil. Manusia biologis hanya menjadi dasar bagi dapat eksisnya manusia nil. Dalam bahasa filosof, manusia biologis cenderung memiliki sisi manusiawi, meski sebenarnya tidak memilikinya. Maka tak ada artinya kalau kita bicara tentang sisi manusiawi tanpa menerima peran pokok jiwa. Setelah pembahasan pendahuluan ini, kini kita lebih dalam posisi untuk memahami makna sadar diri manusiawi. Seperti sudah dijelaskan, sadar diri manusiawi didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia secara kolektif membentuk satu unit dan memiliki had nurani manusiawi yang sama, suatu hati nurani yang lebih penting daripada hati nurani religius, nasional, rasial dan kelas mereka.

Sekarang perlu dijelaskan manusia-manusia seperti apa yang secara kolektif memiliki satu ego dan diatur oleh satu semangat, yang di kalangan manusia-manusia seperti ini terjadi perkembangan kesadaran manusiawi dan perasaan yang sama? Apakah kesadaran manusiawi tumbuh berkembang hanya dalam diri orang-orang yang sesungguhnya telah mencapai sisi manusiawi dan nilai-nilai manusiawi, atau dalam diri orang-orang yang belum melewati tahap potensialitas, atau dalam diri orang-orang yang telah mengalami transformasi menjadi seburuk-buruk binatang, atau dalam diri semua jenis orang yang disebutkan barusan?

Jelaslah bahwa saling simpati dan perasaan yang sama hanya terjadi pada orang-orang yang penuh kebajikan dan merasa bahwa semua manusia adalah organ dari satu tubuh.

Tentu saja perasaan seperti ini tidak mungkin dimiliki semua manusia. Manusia yang masih berada dalam tahap kanak-kanak dan yang fitrahnya masih tidur, tak mungkin memiliki rasa simpati yang aktif. Manusia seperti ini tidak dapat diatur oleh satu semangat bersama. Untuk kasus orang-orang yang kehilangan sifat khas manusiawinya, terlalu jelas untuk diberi ulasan. Hanya orang-orang yang telah mencapai sisi manusiawi dan yang fitrahnya telah mengalami perkembangan penuh sajalah yang sesungguhnya merupakan organ-organ dari satu tubuh dan yang benar-benar diatur oleh satu roh atau semangat yang sama.

Hanya orang beriman sajalah yang bisa menjadi orang-orang yang dalam dirinya terjadi perkembangan seluruh nilai alamiah, karena iman merupakan nilai manusiawi yang pokok dan sangat penting. Iman yang sama, bukan ras yang sama, bukan negara yang sama atau hubungan darah yang sama, inilah yang sesungguhnya membentuk manusia menjadi "kita" dan mengobarkan semangat yang sama pada diri mereka. Keajaiban ini hanya dapat diwujudkan oleh iman saja. Seorang Musa tak mungkin punya rasa simpati kepada seorang Fir'aun. Seorang Abu Dzar tak mungkin punya rasa simpati kepada seorang Muawiyah.

Yang merupakan fakta aktual maupun ideal adalah kesatuan manusia-manusia nil yang telah mencapai sisi manusiawi dan kebajikan. Itulah sebabnya Nabi saw, bukannya membuat pernyataan umum yang kira-kira isinya adalah bahwa semua manusia adalah organ dari satu tubuh, namun justru mengatakan, "Kaum mukmin merupakan organ-organ dari tubuh yang satu. Bila satu organ mengalami kesakitan, demam atau tak bisa tidur, maka organ yang lain secara otomatis bersimpati."

Tak terpungkiri lagi bahwa orang yang telah mencapai sisi manusiawi, maka dia memperlihatkan kelembutan hati kepada semua orang atau juga kepada segala sesuatu, bahkan kepada orang yang kehilangan sifat khas manusawinya, orang yang telah mengalami kerusakan fitrah. Itulah sebabnya Allah SWT melukiskan Nabi-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Orang-orang yang telah mencapai sisi manusiawi, memperlihatkan kebaikan hati, sekalipun kepada orang-orang yang memusuhinya. Imam Ali bin Abi Thalib as berkenaan dengan Abdurahman Ibn Muljam Muradi (pembunuh Imam Ali bin Abi Thalib as—peny.), mengatakan: "Aku mau dia hidup sekalipun dia mau aku terbunuh." Hanya dalam masyarakat mukmin sajalah dapat dibicarakan saling cinta dan saling simpati. Jelaslah kalau umat manusia sudah saling cinta bukan berarti kedamaian total, bukan berarti tak ada tanggung jawab, bukan berarti perbuatan orang yang jahat dibiarkan saja. Justru sebaliknya, karena ada perasaan yang sama, maka ada tanggung jawab yang berat.

Pada masa ini Bertrand Russell, ahli matematika sekaligus pemikir Inggris kenamaan, dan Jean-Paul Sartre, pemikir eksistensialis Perancis termasyhur, keduanya merupakan tokoh yang terkenal karena humanismenya. Russel mendasarkan filosofi moralnya pada sebuah prinsip yang bertentangan dengan humanismenya: filosofinya didasarkan pada pragmatisme dalam keuntungan (perolehan) personal, yaitu dalam pemastian keuntungan personal yang optimal seraya tetap tunduk kepada prinsip-prinsip moral. Dia tidak mempercayai filosofi moral lainnya. Karena itu, dari sikap memandang pending kepentingan personal semata lahir humanisme­nya. Kelas masyarakat menengah ke atas, yang telah menaklukkan masa lalu dan membentangkan panji-panji nasionalisme, tak ada lagi yang perlu dipikirkannya kecuali kesembronoan. Generasi muda Eropa tengah di ambang ketidakpantasan. Dewasa ini Barat tengah menerima kembali apa yang pemah diekspomya. Kekacauan sosial, keputusasaan, kebingungan, nihilisme (sikap menolak semua prinsip agama dan moral; skeptisisme ektrem yang menganggap tak ada yang benar-benar eksis—pen.) merupakan hal-hal yang suka ditransfer Barat ke bangsa dan budaya lain Kaum nihilis beranggapan kalau sesuatu itu bukan milik kami, maka orang lain pun tidak usah memiliki sesuatu itu. Itulah sebabnya kaum nihilis cenderung membuat kehancuran bagi dirinya sendiri.

Reaksi lain terhadap situasi ini berupa munculnya gerakan romantis, semacam filosofi pro-manusia yang mengundang perhauan masyarakat Barat pada berbagai tataran. Pada satu ujungnya ada Russel dengan pandangan-pandangannya yang sederhana dan praktis, dan pada ujung lainnya ada Sartre dengan filosofinya yang kompleks dan gelisah. Di tengahnya ada banyak ekonom dan politisi yang lapang hati. Ekonom dan politisi seperti ini berupaya menemukan solusi praktis untuk berbagai problem yang dihadapi mereka dan orang lain. Adapun Sartre, dengan teori tanggung jawabnya yang kompleks serta dengan pandangannya yang bebas, merupakan perwujudan lain dari semangat Barat yang dengan rasa bersalah berkeinginan membayar kerugian akibat kesalahan di masa lalu. Seperti kaum stoic (pengikut mazhab filosofi Yunani kuno yang didirikan di Athena oleh Zeno sekitar 308 sebelum Masehi, mazhab ini memandang kebajikan sebagai kebaikan tertinggi, dan mengajarkan pengendalian perasaan dan nafsu— pen.), Sartre mempercayai persaudaraan dan persamaan hak bagi umat manusia, pemerintahan dunia, kemerdekaan dan kebajikan (kebaikan tertinggi). Dewasa ini dia mewakili kecenderungan masyarakat Barat yang lapang hati, suatu masyarakat yang berupaya mengatasi keresahan mentalnya, keresahan mental yang timbul akibat kehampaan budaya Barat. Upaya masyarakat seperti ini adalah bersandar sepenuhnya pada ras manusia murni, dan mengganti agama dengan humanisme (pandangan atau sistem berpikir yang perhatiannya adalah masalah-masalah manusiawi bukan masalah-masalah supranatural atau ilahiah, kepercayaan atau pandangan yang menekankan kebutuhan bersama manusia dan mengupayakan semata-mata cara rasional untuk memecahkan problem manusia, dan perhatiannya adalah manusia sebagai makhluk intelektual yang progresif dan bertanggung jawab—pen.). Mereka mengupayakan bagi diri mereka sendiri dan juga bagi Barat seluruhnya, pengampunan untuk ras manusia sebagai suatu keseluruhan yang, menurut mereka, telah mengganti ide Tuhan.

Hasil yang mencolok dari humanisme Sartre adalah Sartre sekali-kali meneteskan air mata buaya atas apa yang diduga sebagai kezaliman terhadap Israel, dan atas apa yang disebut sebagai tirani bangsa Arab, khususnya para pengungsi Palestina. Dunia telah menyaksikan dan masih terus menyaksikan demonstrasi praktis humanisme kaum humanis Barat yang telah menandatangani piagam hak asasi manusia yang mentereng. Demonstrasi ini tak perlu dikomentari. Sadar diri sosial, entah itu kesadaran sebagai bangsa, sebagai manusia atau sebagai kelas, di zaman sekarang ini dikenal sebagai kesadaran yang tidak picik pendiriannya. Orang yang tidak picik pikirannya memiliki beragam sadar sosial. Dia peduli kepada problem bangsa, problem manusia atau problem kelas. Dia berupaya memajukan dan memerdekakan kelasnya, bangsanya atau seluruh umat manusia. Dia berupaya menularkan kesadarannya kepada orang lain. Dia berupaya agar orang lain juga bekerja untuk kemerdekaan sosial.

Sadar Diri Sufi

Sadar diri sufi adalah tahu tentang diri dalam hubungannya dengan Allah. Menurut kaum sufi, hubungan ini bukan jenis hubungan yang lazim terjadi antara dua wujud, seperti hubungan antara seseorang dan orang lain dari masyarakatnya. Namun hubungan yang terjadi antara pokok dan cabang, atau antara yang sejati dan yang perlambang. Dalam terminologi kaum sufi itu sendiri, hubungan antara yang mutlak dan yang terbatas.

Perasaan seorang sufi beda dengan perasaan seorang yang berpikiran liberal. Perasaan seorang sufi tidak merepresentasikan kesadaran akan derita batin yang dirasakan orang sebagai kebutuhan alamiahnya. Orang yang liberal pikirannya pertama-tama menyadari derita yang terjadi di luar, baru kemudian merasakan deritanya sendiri. Di pihak lain, derita sufi merupakan kesadaran batin akan kebutuhan spiritual, persis sebagaimana derita jasmani merupakan peringatan tentang adanya kebutuhan jasmani.

Derita yang dirasakan seorang sufi juga beda dengan derita yang dirasakan seorang filosof . Baik sufi maupun filosof sama-sama merindukan kebenaran. Kalau filosof ingin tahu kebenaran, maka sufi ingin mencapai kebenaran dan terserap dalam kebenaran. Derita filosof merupakan sifat khas yang membedakan filosof dengan fenomena alam lainnya: tumbuhan, binatang dan benda non-organis. Di antara semua makhluk yang ada di alam ini, hanya manusia saja yang berkeinginan untuk memiliki pengetahuan. Namun derita sufi merupakan derita yang terjadi akibat cinta yang kuat dan pengagungan rohani. Derita seperti ini bukan saja tak terjadi pada binatang, bahkan juga tak terjadi pada malaikat, sekalipun esensi malaikat itu sendiri adalah sadar diri.

Derita filosof merupakan pernyataan tentang kebutuhan naluriah filosof untuk mencari pengetahuan. Dan pada fitrahnya manusia itu menginginkan pengetahuan. Derita sufi, di pihak lain, merupakan pernyataan tentang kebutuhan naluriah rasa cintanya. Rasa cintanya itu ingin melayang tinggi dan tak mungkin terpuasi kecuali setelah dia dengan segenap eksistensinya mencapai kebenaran. Seorang sufi percaya bahwa sadar diri yang sejati tak lain adalah mengetahui Allah. Menurut sufi, apa yang oleh filosof disebut ego manusia, bukanlah ego yang sejati. Bisa jadi itu adalah roh, semangat, jiwa manusia atau faktor-faktor yang menentukan eksistensi manusia. Ego yang sejati adalah Allah. Hanya dengan menerobos faktor-faktor yang menentukan eksistensinya, baru manusia dapat mengetahui diri sejatinya. Filosof dan teolog skolastis banyak menulis tentang masalah sadar diri. Namun melalui metode-metode seperti itu, diri tak mungkin diketahui. Orang yang percaya bahwa apa yang diketahui filosof ini tentang sadar diri merupakan suatu fakta, maka orang seperti itu keliru sekali. Orang seperti itu telah berbuat keliru. Dia telah salah mengira, bengkak dianggapnya gemuk.

Menjawab pertanyaan apa diri dan ego itu, Syaikh Mahmud Syabistar menyusun syair sufi yang terkenal, "Gulsyan-e Râz". Dalam syair ini Syaikh mengatakan, "Bila kebenaran sudah jelas bentuknya berkat fakta-fakta yang menentukan, maka dalam kata, kebenaran itu terungkapkan sebagai 'aku' dan 'kamu'. Namun sesungguhnya 'aku' dan 'kamu' hanyalah perwujudan dari satu eksistensi yang nil. Jiwa dan raga merupakan refleksi dari cahaya yang sama yang terkadang tampak dalam lampu dan terkadang tampak dalam cermin."

Mengkritisi pandangan-pandangan kaum filosof tentang jiwa, ego dan sadar diri, Syaikh mengatakan, "Dikira kata 'aku' selalu merujuk ke jiwa. Kamu tidak tahu apa diri itu, karena kamu mengikuti akal. 'Aku' dan 'kamu' lebih daripada jiwa dan raga, karena keduanya merupakan bagian dari ego. 'Aku' tidak merujuk ke person tertentu sehingga merujuk ke jiwanya. Upayakan untuk menjadi lebih daripada seluruh makhluk. Tinggalkan dunia, maka otomatis kamu akan menjadi dunia."

Jadi menurut sufi, jiwa bukanlah ego, juga mengetahui jiwa tidak sama dengan sadar diri. Jiwa hanyalah manifestasi ego dan diri. Ego yang sejati adalah Allah. Bila manusia melenyapkan dirinya, maka dia menghancurkan faktor-faktor yang menentukan eksistensinya, sehingga tak ada lagijejak jiwanya. Pada saat itu tetes air yang pernah terpisah dari laut, balik ke laut dan lenyap di laut. Itulah tahap sadar diri yang sejati. Pada tahap ini manusia melihat dirinya ada dalam segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam dirinya. Dengan demikian dia tahu diri sejatinya.

Sadar Diri Nabi

Sadar diri nabi beda dengan semua jenis sadar diri. Nabi memiliki kesadaran akan Tuhan dan juga kesadaran akan dunia. Nabi memiliki dedikasi kepada Allah dan juga kepada makhluk-Nya. Itu tidak berarti nabi mempercayai dualisme. Juga tidak berarti separo perhatian nabi kepada Allah dan separo lagi kepada makhluk. Tujuan nabi sama sekali tidak terpecah-pecah. Al-Qur'an mengatakan: "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rangganya." (QS. al-Ahzâb: 4) Karena hanya ada satu hati, maka tak mungkin ada dua jantung hati.

Para nabi senantiasa memperjuangkan monoteisme (tauhid). Tak mungkin ada jejak kemusyrikan dalam segenap perbuatan para nabi, dalam doktrin mereka, dalam tujuan mereka, dan juga dalam dedikasi mereka. Para nabi menyayangi setiap partikel alam semesta, karena semua partikel alam semesta itu merupakan menifestasi person dan sifat-sifat Allah. Seorang penyair berkata, "Senang rasanya bersama dunia, karena dunia yang tumbuh subur ini milik-Nya, dan aku suka seluruh dunia, karena seluruh dunia milik-Nya."

Cinta orang-orang suci kepada dunia merupakan cermin cinta mereka kepada Allah SWT, bukan cinta kepada selain Allah SWT. Mereka peduli kepada makhluk hanya karena mereka memiliki dedikasi kepada Penciptanya, dan bukan karena alasan lain. Tujuan dan hasrat tunggal mereka adalah naik (memajukan kekuatan spiri­tual mereka) selangkah demi selangkah menuju Allah SWT dan membawa manusia bersama mereka. Perjalanan kenabian para nabi diawali dengan cinta berat kepada Tuhan. Cinta seperti ini mendorong para nabi untuk dekat dengan Allah SWT dan mempercepat laju evolusi para nabi. Cinta seperti ini mendorong para nabi melakukan perjalanan yang dikenal dengan nama "perjalanan dari makhluk ke Pentipta." Rasa cinta kepada Tuhan ini tak memungkinkan para nabi berhenti sebentar, sampai para nabi, menurut kata-kata Imam All as, sampai di "tempat yang sentosa."

Akhir perjalanan ini merupakan awal perjalanan yang lain yang dikenal dengan nama "perjalanan dari Allah ke Allah." Selama perjalanan ini para nabi diliputi kebenaran, dan masih mengalamai evolusi yang lain. Bahkan pada tahap ini nabi tidak berhenti. Karena diliputi kebenaran, karena telah menyelesaikan siklus eksistensi, dan karena telah akrab dengan berbagai tahap spiritual, maka nabi diangkat menjadi nabi, dan kemudian memulai perjalanannya yang ketiga, yaitu perjalanan dari Allah ke manusia. Namun ini tidak berarti nabi kembali ke titik awal dan kehilangan semua yang telah dicapainya. Dia kembali, bersama segenap pencapaiannya. Perjalanan nabi dari Allah ke manusia dilakukan bersama Allah, dan bukan tanpa atau jauh dari Allah. Inilah tahap ketiga dalam evolusi seorang nabi.

Diangkatnya nabi menjadi nabi pada akhir perjalanannya yang kedua, artinya adalah lahirnya kesadaran diri akan manusia karena kesadaran diri nabi akan Allah, dan lahirnya dedikasi kepada manusia karena dedikasi nabi kepada Allah SWT. Awal perjalanan keempat nabi dan awal periode keempat evolusi nabi adalah ketika nabi kembali kepada manusia. Selama perjalanan ini, bersama Allah nabi berada di tengah manusia. Nabi berada di tengah manusia untuk membawa manusia menuju kesempurnaan yang tak ada batasnya melalui jalan kebenaran, keadilan dan nilai-nilai manusiawi, dan untuk memberikan bentuk konkret kepada kemampuan potensial manusia yang tak ada batasnya.

Dari sini jelaslah bahwa tujuan akhir pembaru yang berpikiran liberal hanyalah salah satu tahap yang dilalui nabi, yaitu membantu manusia. Begitu pula, tahap tertinggi yang diklaim telah dicapai sufi hanyalah satu tahap dalam perjalanan nabi. Menggambarkan perbedaan antara sadar diri nabi dan sadar diri sufi, Dr. Iqbal mengatakan, "Nabi Muhammad saw dari Arabia naik ke langit ter­tinggi, dan kemudian balik. Aku bersumpah demi Allah, kalau aku yang sampai ke langit tertinggi itu, pasti aku tak akan balik. Inilah kata-kata seorang suci besar dari Gangoh, Abdul Quddus. Dalam segenap literatur sufi, barangkali sulit menemukan kata-kata yang dengan satu kalimat rnenjelaskan persepsi tajam seperti itu tentang perbedaan psikologis antara kesadaran nabi dan kesadaran sufi. Ketika merasakan kedamaian menyatu, sufi tak mau melepaskannya untuk kembali ke masyarakat. Kalau pun kembali, kembalinya ini tidak banyak artinya bagi umat manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif. Nabi kembali untuk berada dalam jalannya waktu, dengan maksud mengendalikan kekuatan sejarah untuk menciptakan dunia baru, yaitu dunia ideal." (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 145-144)

Sekarang ini perhatian kita bukan apakah interpretasi sufi itu benar atau salah. Ada fakta yang tak terbantahkan, yaitu pada awalnya nabi sangat kuat kerinduannya kepada Allah. Itulah satu-satunya derita jiwa yang dirasakan nabi. Nabi mendambakan Allah, dan naik menuju Allah. Nabi mendekati sumber itu. Kemudian nabi merasa simpati kepada sesama manusia. Simpati nabi beda dengan simpati pembaru berpikiran liberal atau filantropis (orang yang cinta kasih kepada sesama manusia—pen.). Simpati nabi bukan sekadar perasaan manusia, juga tidak seperti rasa kasihan karena melihat orang pincang. Derita jiwa nabi sifatnya beda sekali, dan tak sama dengan rasa kasihan lainnya. Sadar diri nabi akan manusia juga khas. Api yang membakar jiwanya beda sekali. Personalitas nabi memang berkembang, sehingga bukan saja jiwanya menyatu dengan jiwa orang lain, namun personalitas nabi juga meliputi seluruh dunia. Nabi merasa sedih ketika melihat penderitaan umat manusia. Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya tdah datang kepadamu seorang Rasid dan kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keselamatan bagimu. (QS. at-Taubah: 128). Kepada Nabi Saw. Al-Qur'an mengatakan: Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpating, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an). (QS. al-Kahfi: 6)

Nabi merasa sedih karena melihat manusia menderita kelaparan, kehilangan, penyakit, dirundung kemiskinan, dianiaya dan di-ganggu. Nabi begitu cemas sehingga tak dapat tidur dengan nyenyak karena tahu seseorang di salah satu penjuru terjauh negerinya tengah kelaparan. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah mengatakan: "Sungguh buruk rasanya kalau aku sampai dikuasai hawa nafsuku dan akibat keserakahan lalu aku memilih hidangan lezat padahal di Hijaz atau Yamamah bisa jadi ada seseorang yang tak punya harapan untuk memperoleh roti kasar dan yang belum pernah makan sampai kenyang! Pantaskah kalau aku tidur dalam keadaan perut kenyang padahal ada perut-perut yang keroncongan dan hati-hati yang tersiksa di sekitarku?" (Nahj al-Balâghah, Surat No. 45)

Perasaan-perasaan seperti ini jangan dianggap lahir dari rasa kasih sayang dan kebaikan hati semata. Nabi, yang juga seorang manusia, pada awal perjalanan kenabiannya memiliki semua kebajikan manusiawi yang bentuk dan warnanya sama dengan yang dimiliki manusia lainnya. Namun setelah segenap eksistensi nabi terbakar api ilahiah, maka kebajikan-kebajikan nabi bentuk dan warnanya baru, yaitu warna ilahiah. Orang-orang yang mendapat pendidikan dari nabi mutlak beda dengan orang-orang yang men­dapat pendidikan dari pembaru berpikiran liberal. Dan masyarakat yang dibentuk oleh nabi beda dengan masyarakat yang dibentuk oleh pemikir dan intelektual.

Perbedaan utamanya adalah nabi berupaya membangkitkan kekuatan-kekuatan naluriah yang dimiliki manusia. Nabi membangkit­kan kesadaran terpendam manusia dan mengobarkan cintanya yang terpendam. Nabi menyebut dirinya sendiri "pemberi peringatan" atau "pembangkit". Nabi menciptakan dalam diri manusia rasa peka terhadap segenap eksistensi, dan menularkan kesadaran dirinya akan segenap eksistensi itu kepada orang lain. Adapun pembaru yang berpikiran liberal, paling banter dia membangkitkan suara hati sosial orang, dan memperkenalkan orang dengan kepentingan nasional atau kelasnya.

Catatan:

[1] Konsepsi Islam mengenai fitrah manusia beda dengan konsepsi Descartes, Kant dan sebagainya. Fitrah manusia artinya bukan eksistensi aktual jumlah tertentu pengertian atau eksistensi aktual kecenderungan dan hasrat tertentu dalam diri manusia sejak dia lahir, atau seperti kata filosof babwa manusia lahir dalam keadaan memiliki rasionalitas dan kehendak. Begitu pula, Islam menolak teori kaum Marxis dan Eksistensialis yang menyangkal eksistensi fitrah dan mengatakan bahwa manusia lahir seperti selembar kertas kosong dan mampu menerima gagasan yang ditanamkan ke dalam benaknya. Menurut Islam, pada awal periode setelah kelahirannya, manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan potensial tertentu, dan manusia ingin mewujudkan kecenderungan-kecenderungan tersebut Kekuatan yang ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk mewujudkan tujuannya, tentu saja dengan bantuan kondisi-kondisi dari luar. Kalau manusia sungguh-sungguh mendapatkan apa yang sesuai dengan dirinya, berarti dia mendapatkan apa yang disebut sisi manusiawi. Kalau sebaliknya, berarti dia mengalami distorsi. Itulah satu-satunya penjelasan yang logis mengenai metamorfosis manusia, dan metamorfosis manusia ini juga menjadi pokok pembicaraan kaum Marxis dan Eksistensialis. Dari sudut pandang mazhab ini, hubungan antara manusia sejak lahir dan nilai-nilai serta kebajikan-kebajikan manusiawi sama dengan hubungan antara anak pohon pir dan pohon pir yang sudah mencapai puncak pertumbuhannya. Hubungan internal, dengan bantuan faktor-faktor dari luar, mengubah anak pohon itu menjadi pohon. Hubungan ini tidak sama dengan hubungan antara papan kayu dan kursi. Karena untuk kasus papan kayu dan kursi, hanya faktor-faktor dari luariah yang mengubah papan kayu menjadi kursi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar