Label

Masyarakat dan Sejarah


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Pandangan sebuah mazhab pemikiran tentang masyarakat dan sejarah berperan penting dalam ideologi mazhab tersebut. Karena itu perlu mengetahui pandangan Islam tentang masyarakat dan sejarah dalam perspektif konsepsi Islam tentang dunia. Jelas Islam bukanlah mazhab sosiologi, bukan filsafat sejarah. Dalam Al-Qur'an tak ada problem sosial maupun sejarah yang tidak dibahas dalam bahasa dua ilmu pengetahuan ini. Al-Qur'an juga tidak menggunakan terminologi yang lazim digunakan dua ilmu pengetahuan yang relevan itu ketika membahas masalah moral, hukum atau filosofis. Pandangan Islam mengenai banyak masalah yang berkaitan dengan dua ilmu pengetahuan ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat Al-Qur'an.

Pemikiran Islam mengenai masyarakat dan sejarah, karena sangat penting, patut ditelaah secara mendalam. Seperti banyak ajaran Islam lainnya, pemikiran Islam mengenai masyarakat dan sejarah juga merupakan tanda bahwa ajaran Islam sangat men­dalam. Untuk singkatnya, pemikiran Islam tentang masyarakat dan sejarah akan dibahas dalam satu bab, dan yang dibahas hanyalah masalah-masalah yang menurut hemat kami sangat penting untuk mengetahui ideologi Islam. Pembahasan pertama adalah masyarakat, baru kemudian sejarah. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang relevan adalah:

(i). Apa masyarakat itu? (ii). Apakah manusia pada dasarnya makhluk sosial? (iii). Apakah individu adalah ide dasarnya, bukan masyarakat, atau sebaliknya, atau adakah alternatif ketiga? (iv). Bagaimana hubungan antara masyarakat dan tradisi? (v). Apakah individu memiliki pilihan bebas untuk berbuat dalam masyarakat dan lingkungan sosial? (vi). Bagaimana segmen-segmen utama masyarakat?

(vii). Apakah semua masyarakat manusia pada umumnya sifat dan esensinya sama, perbedaan antara satu masyarakat dan masyarakat lain seperti perbedaan antar individu dari satu spesies? Ataukah sifat-sifatnya beragam sesuai dengan perbedaan rasionalnya, kondisi ruang dan waktunya, dan tataran budayanya? Kalau demikian, tentu saja berbagai masyarakat memiliki sosiologi yang beragam, dan kalau demikian tiap-tiap masyarakat dapat memiliki ideologi khasnya sendiri. Kita tahu semua manusia, meski dari sudut pandang fisis beda wilayah, ras dan sejarahnya, adalah dari satu spesies, dan itulah sebabnya pada mereka berlaku hukum medis dan fisiologis yang sama. Sekarang pertanyaannya adalah apakah mereka—dari sudut pandang sosial— membentuk satu spesies dan konsekuensinya diatur oleh satu sistem moral dan sosial? Dapatkah satu ideologi berlaku untuk semua manusia, atau apakah setiap masyarakat mesti memiliki ideologi khusus sesuai dengan kondisi wilayah, budaya, sejarah dan sosiologi khususnya?

(viii). Apakah masyarakat-masyarakat manusia, yang sejak fajar sejarah hingga sekarang berserak, satu sama lain independen, dan setidaknya beragam sifat individualnya, dapat bersatu dan seragam? Apakah masa depan ras manusia adalah satu masyarakat, satu budaya, dan lenyapnya kontradiksi dan konflik? Ataukah ras manusia memang harus tetap beragam budaya dan ideologinya? Inilah sebagian pertanyaan yang, dari menurut kita, perlu dijelaskan dari sudut pandang Islam. Satu per satu pertanyaan ini akan dibahas secara ringkas.

Apa Masyarakat Itu?

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama dan hidup bersama. Hidup bersama tidak berarti sekelompok orang mesti hidup berdampingan di satu daerah tertentu, memanfaatkan iklim yang sama, dan mengkonsumsi makanan yang sama. Pepohonan di taman hidup ber­dampingan, memanfaatkan iklim yang sama, dan mengkonsumsi makanan yang sama. Begitu pula, kawanan rasa makan rumput bersama dan ke mana-mana bersama. Namun pepohonan maupun kawanan rusa itu tidak hidup bersama atau bermasyarakat.

Kehidupan manusia adalah kehidupan sosial, dalam arti bahwa kehidupan manusia "bersifat sosial". Kebutuhan, prestasi, kesenangan dan aktivitas manusia semuanya bersifat sosial, karena semuanya itu terjalin erat dengan adat, kebiasaan, dan sistem kerja, pembagian keuntungan, dan pembagian pemenuhan kebutuhan tertentu. Yang membuat sekelompok tertentu orang tetap bersatu adalah pikiran dan kebiasaan tertentu yang dominan. Dengan kata lain, masyarakat adalah kumpulan orang yang, karena desakan kebutuhan dan pengaruh keyakinan, pikiran dan ambisi tertentu, tersatukan dalam kehidupan bersama.

Kebutuhan sosial bersama dan hubungan khusus dalam ke­hidupan manusia mempersatukan manusia sehingga mereka seperti para penumpang yang tengah mengadakan perjalanan dalam satu mobil, satu pesawat udara atau satu kapal menuju tujuan tertentu. Di tengah perjalanan, kalau ada bahaya, mereka menghadapinya bersama, dan nasibnya sama. Ketika menjelaskan filosofi di balik amar makruf nahi munkar, Nabi saw menggunakan perumpamaan yang bagus. Sabda Nabi saw:

"Sekelompok orang naik sebuah kapal. Kapal berlayar membelah lautan. Setiap penumpang duduk di tempatnya masing-masing. Salah seorang penumpang yang berdalih bahwa tempat duduknya adalah khusus miliknya mulai membuat lubang di tempat duduknya. Kalau penumpang yang lain segera mencegah perbuatannya, mereka bukan saja akan menyelamatkan diri mereka sendiri namun juga menyelamatkannya."

Apakah Manusia pada Dasarnya Makhluk Sosial?

Pertanyaan faktor-faktor apa yang membuat manusia jadi makhluk sosial, telah dibahas sejak dulu. Apakah manusia sejak awal diciptakan sebagai makhluk sosial? Dengan kata lain, apakah manusia memang diciptakan sebagai bagian dari keseluruhan, dan secara naluriah cenderung menyatu dengan keseluruhannya? Ataukah diciptakan bukan sebagai makhluk sosial, namun faktor-faktor dari luar telah memaksanya hidup bermasyarakat? Dengan kata lain, apakah sesuai fitrahnya manusia cenderung bebas dan tak mau dibatasi oleh kehidupan bersama, namun berdasarkan pengalaman dia tahu tak mampu hidup sendirian, maka dia terpaksa mau dibatasi oleh kehidupan bersama? Teori lain mengatakan bahwa kendatipun manusia pada dasarnya tidak butuh bermasyarakat, bukan faktor paksaan yang membuat manusia jadi butuh bermasyarakat. Namun manusia, melalui akalnya, menyadari bahwa dengan kerja sama dan kehidupan bersama dia dapat lebih menikmati karunia alam. Menurut teori ini, manusia mau bekerja sama dengan sesamanya karena pilihannya sendiri. Dengan demikian, baik karena fitrahnya, karena terpaksa, atau karena pilihannya sendiri, manusia hidup bermasyarakat.

Menurut teori pertama, kehidupan sosial manusia dapat disamakan dengan kehidupan rumah tangga suami-istri. Suami-istri merupakan bagian dari keseluruhan. Masing-masing secara alamiah cenderung menyatu dengan keseluruhannya. Menurut teori kedua, kehidupan sosial dapat disamakan dengan aliansi dan kerja sama antara dua negara yang merasa tak mampu bila sendirian menghadapi musuh yang sama, karena itu kedua negara ini terpaksa membuat perjanjian aliansi dan kerja sama demi kepentingan bersama. Menurut teori ketiga, kehidupan sosial dapat disamakan dengan kemitraan dua orang pemodal yang atas kemauan sendiri sepakat mendirikan usaha komersial, pertanian atau industri untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Menurut teori pertama, faktor utama yang membuat manusia hidup bermasyarakat adalah fitrahnya. Menurut teori kedua, penyebab utamanya adalah kekuatan dari luar. Menurut teori ketiga, penyebabnya adalah kemampuannya untuk berpikir dan membuat perhitungan. Menurut teori pertama, hidup bermasyarakat merupakan tujuan umum yang secara naluriah ingin dicapai fitrah manusia. Menurut teori kedua, hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang kebetulan dan tidak esensial atau, dalam terminologi filosof, tujuan sekunder. Dan menurut teori ketiga, hidup ber­masyarakat merupakan salah satu tujuan intelektual dan bukan salah satu tujuan alamiah.

Beberapa ayat Al-Qur'an menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan bagian dari penciptaannya. Al-Qur'an Suci mengatakan: Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. (QS. al-Hujurât: 13)

Dalam ayat ini disebutkan filosofi sosial penciptaan manusia. Ayat ini mengatakan bahwa manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga terbentuk berbagai bangsa dan suku. Orang diidentifikasi dengan merujuk ke bangsa dan sukunya. Dengan demikian, ayat ini memecahkan problem sosial, karena syarat penting kehidupan bermasyarakat adalah mampu mengenal satu sama lain. Kalau saja tak ada bangsa, suku dan afinitas lain yang serupa, yang merupakan ciri pemersatu dan pembeda, maka mustahil mengidentifikasi orang, dan akibatnya adalah mustahil ada kehidupan sosial yang dasarnya adalah saling hubungan antar manusia. Afiliasi kebangsaan dan kesukuan serta perbedaan lain seperti bentuk tubuh dan warna kulit membentuk identitas tiap individu. Kalau saja semua individu sama bentuk tubuhnya, sama warna kulitnya, dan sama ciri-cirinya, dan kalau saja afiliasinya sama, maka semua individu akan sama seperti produk buatan pabrik dan satu sama lain tak dapat dibedakan. Akibatnya, mustahil mengenali satu per satu mereka, sehingga tak mungkin ada kehidupan sosial yang didasarkan pada saling hubungan dan pertukaran pikiran, produk dan jasa. Karena itu afiliasi manusia ke suku dan komunitas yang berbeda ada maksud dan tujuannya. Ini merupakan syarat penting bagi kehidupan sosial. Namun afiliasi ke ras atau keluarga tertentu bukanlah soal kebanggaan atau bukan dasar untuk mengklaim lebih unggul. Sesungguhnya dasar keunggulan tak lain adalah kemuliaan manusia dan ketakwaan individu. Al-Qur'an mengatakan: Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan hubungan kekeluargaan (yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya). (QS. al-Furqân: 54)

Ayat ini menggambarkan hubungan darah dan perkawinan yang mengikat satu individu dengan individu lainnya dan mem­bentuk dasar untuk mengidentifikasinya, karena skema penciptaan dirancang untuk tujuan yang arif. Di tempat lain Al-Qur'an mengatakan: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS. az-Zukhruf: 32)

Dalam pembahasan tentang tauhid (konsepsi tauhid tentang dunia), sudah dijelaskan makna ayat ini. Ringkasnya dapat di-katakan, ayat ini menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan sama bakat dan kemampuannya. Seandainya diciptakan sama, tentu setiap orang memiliki apa yang dimiliki orang lain, dan tidak memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain. Kalau demikian, tentu saja satu sama lain saling tidak membutuhkan, sehingga tak terjadi pertukaran jasa. Allah menciptakan manusia berbeda-beda bakatnya, kemampuan fisisnya, kemampuan spiritualnya, dan kemampuan emosionalnya. Allah SWT menjadikan sebagian manusia unggul atas sebagian lainnya dalam hal-hal tertentu, sementara sebagian lainnya itu sering unggul dalam hal-hal lain. Maka semua manusia saling bergantung satu sama lain, sehingga ada hasrat untuk saling bekerja sama. Dengan demikian Allah SWT telah memuluskan jalan bagi terbentuknya kehidupan sosial manusia. Ayat di atas menunjukkan bahwa kehidupan sosial itu alamiah. Manusia tidak dipaksa untuk hidup bermasyarakat. Juga, kalau manusia hidup bermasyarakat, maka itu bukan karena pilihan manusia sendiri.

Apakah Eksistensi Masyarakat Itu Riil dan Substansial?

Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Seandainya tak ada individu-individu, maka tak ada masyarakat. Lantas bagaimana karakter komposisi masyarakat, dan bagaimana hubungan antara masyarakat dan manusia. Dalam hal ini, dikemukakan teori-teori berikut ini:

1. Komposisi masyarakat tidaklah riil. Dengan kata lain, sesungguh-nya tak terjadi persenyawaan. Sesungguhnya persenyawaan hanya terjadi kalau, akibat aksi dan reaksi dua atau lebih benda, muncul fenomena baru dengan segenap ciri khasnya seperti yang terjadi pada senyawa kimiawi. Misal, akibat aksi dan reaksi dua gas, oksigen dan hidrogen, muncul fenomena baru yang disebut air. Fenomena baru ini memiliki ciri khasnya sendiri. Yang esensial adalah, setelah terjadi perpaduan, maka komponen-komponen yang membentuk perpaduan itu kehilangan sifat dan efek individualnya dan sepenuhnya larut menjadi senyawa baru. Dalam kehidupan sosialnya, manusia tak pernah seperti ini. Manusia tidak larut menjadi masyarakat Karena itu eksistensi masyarakat tidak riil dan tidak substansial. Eksistensi masyarakat hanyalah imajiner. Individu saja yang riil eksistensinya. Karena itu, .sekalipun kehidupan manusia dalam masyarakat ada bentuk sosialnya, namun individu-individu tidak membentuk senyawa yang riil yang bernama masyarakat.

2. Teori kedua mengatakan bahwa kendatipun masyarakat bukan senyawa yang riil seperti senyawa-senyawa alamiah, namun masyarakat merupakan senyawa sintetis. Senyawa sintetis juga merupakan sejenis senyawa riil, sekalipun bukan senyawa alamiah. Senyawa sintetis merupakan suatu keseluruhan yang terbentuk dari hasil perakitan seperti mesin. Dalam senyawa alamiah, komponen-komponen pembentuk senyawa itu kehilangan identitas dan efeknya dan larut dalam keseluruhan. Namun dalam senyawa sintetis, komponen-komponennya kehilangan efeknya, sementara identitasnya tetap ada.

3. Dengan cara tertentu komponen-komponennya berpadu, dan akibatnya efeknya juga berpadu. Komponen-komponen tersebut memiliki bentuk efek baru yang sama sekali bukan total dari efek-efek independen komponen-komponen tersebut. Misal, sebuah mobil membawa barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain, namun efek ini bukan berkaitan dengan satu komponennya, juga bukan berkaitan dengan total efek independen semua komponennya. Dalam mobil, semua komponennya saling berkaitan dan bekerja bersama. Namun identitasnya tidak hilang dalam keseluruhan. Sesungguhnya dalam kasus ini keseluruhan ada karena adanya komponen. Sesungguhnya mobil setara dengan jumlah seluruh komponen­
nya plus hubungan khusus antar komponen.

Begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat terdiri atas sistem primer dan sistem sekunder. Sistem dan individu yang terkait dengan sistem, saling berkaitan. Kalau ada perubahan pada salah satu sistem—budaya, agama, ekonomi, hukum atau pendidikan—maka sistem lainnyajuga berubah. Jadi kehidupan sosial adalah produk akhir dari seluruh proses sosial. Namun dalam proses ini individu tidak kehilangan identitasnya dalam masyarakat sebagai keseluruhan maupun dalam sistem masyarakat.

Teori ketiga mengatakan bahwa masyarakat merupakan senyawa yang riil seperti senyawa alamiah lainnya. Namun masyarakat merupakan perpaduan pikiran, emosi, hasrat, kehendak dan juga budaya. Masyarakat bukanlah perpaduan fisik. Kalau terjadi aksi-reaksi elemen-elemen material maka bisa muncul fenomena baru, atau seperti kata filosof, bisa ada bentuk baru, sehingga lahir senyawa baru. Begitu pula, kalau individu-individu manusia memasuki kehidupan sosial, maka yang terbaur adalah semangatnya, sehingga lahir identitas semangat baru yang dikenal dengan nama "semangat bersama". Senyawa ini alamiah namun unik. Alamiah dan aktual, dalam pengertian bahwa komponen-komponennya saling beraksi, bereaksi, membuat perubahan dan menjadi bagian-bagian dari satu identitas baru. Namun senyawa ini beda dengan senyawa alamiah lainnya, karena dalam kasus ini "keseluruhan" atau senyawa itu tidak eksis sebagai "unit yang riil". Dalam kasus senyawa lain, perpaduannya riil, karena komponen-komponen­nya saling beraksi dan saling bereaksi secara riil dan sedemikian rupa sehingga identitas bagian-bagiannya berubah, dan konsekuensi aktualnya berupa senyawa berbentuk satu unit riil, karena pluralitas bagian-bagiannya berubah menjadi unit keseluruhan.

Namun dalam kasus berpadunya individu-individu menjadi masyarakat, kendatipun perpaduan ini sekali lagi riil karena akibat aksi-reaksi aktualnya individu-individu memperoleh identitas baru, namun pluralitasnya sama sekali tidak berubah menjadi unitas. "Manusia total" yang memadukan semua individu menjadi keseluruhan, eksistensinya bukan sebagai unit. Hanya total agregat individu-individulah yang dapat disebut manusia total. Namun eksistensinya hanya imajiner.

4. Menurut teori keempat, masyarakat merupakan senyawa riil dan sungguh juga senyawa yang tinggi tingkat kesempurnaannya. Dalam kasus semua senyawa alamiah, masing-masing komponen-nya, sebelum berpadu, memiliki identitas sendiri. Terlepas dari eksistensi sosialnya, manusia semata-mata binatang yang hanya memiliki potensi manusia atau perasaan ego manusia. Pikiran dan perasaan manusia seperti emosi dan hasrat manusia baru ada setelah adanya semangat kolektif. Semangat inilah yang mengisi kevakuman dan membentuk personalitas manusia. Semangat kolektif selalu ada pada manusia, dan manifestasinya selalu terlihat dalam etika, agama, ilmu pengetahuan, filsafat dan seni. Manusia saling memberikan pengaruh spiritual dan kultural kepada satu sama lain, dan mendapat pengaruh melalui—dan menyusul—semangat kolektif ini, bukan pada tahap sebelum semangat kolektif ini.

Sesungguhnya sosiologi manusia mendahului psikologinya, kebalikan dart teori sebelumnya yang mengatakan bahwa psikologi manusia mendahului sosiologinya. Teori ini mengatakan jika manusia belum memiliki eksistensi sosial dan sosiologi, maka dia tak akan dapat memiliki jiwa manusia dan psikologi individual. Teori pertama murni tentang fundamentalitas individual saja. Menurut teori ini, eksistensi masyarakat tidak riil, masyarakat tak punya hukum, norma atau nasib. Hanya individu saja yang eksistensinya aktual dan dapat diidentifikasi. Nasib setiap individu tidak ditentukan oleh nasib individu lainnya.

Menurut teori kedua, yang penting adalah individu. Para pendukung teori ini tidak percaya kalau masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan suatu perpaduan individu eksistensinya aktual. Namun mereka mengatakan bahwa memang ada ikatan antar individu dan ikatan ini sama dengan ikatan fisis. Menurut teori ini, sekalipun eksistensi masyarakat tergantung pada individu, dan hanya individu inilah yang eksistensinya aktual, namun kalau melihat faktanya bahwa individu dalam sebuah masyarakat berhubungan dengan satu sama lain seperti berbagai komponen pabrik dan semua tindakannya jalin berjalin dalam rangkaian mekanis sebab-akibat, maka individu ini memiliki nasib yang sama, dan karena masyarakat terdiri atas komponen-komponen yang saling berhubungan, maka identitas masyarakat juga tidak ditentu­kan oleh identitas komponennya, yaitu individu.

Adapun teori ketiga, teori ini mengatakan bahwa individu dan masyarakat sama-sama fundamental. Menurut teori ini, karena eksistensi komponen masyarakat (individu) tidak hilang dalam eksistensi masyarakat, dan komponen masyarakat tetap eksis, seperti yang terjadi pada senyawa kimiawi, maka individu juga fundamental. Namun masyarakat juga fundamental, karena perpaduan individu, dari sudut pandang intelektual dan emosional, sama dengan perpaduan kimiawi. Individu dalam masyarakat memiliki identitas baru, yaitu identitas masyarakat, kendatipun individu tetap mempertahankan identitasnya sendiri. Menurut teori ini, akibat saling aksi-reaksi komponerinya, maka muncul realitas baru dan hidup dalam bentuk masyarakat. Selain hati nurani individu, kehendak, hasrat dan pikiran individu muncul dalam bentuk masyarakat, muncul hati nurani baru, kehendak baru, hasrat baru dan pikiran baru. Hati nurani ini mendominasi hati nurani dan kesadaran individu.

Menurut teori keempat, hanya masyarakatlah yang fundamental. Segala yang ada merupakan semangat kolektif, had nurani kolektif, kesadaran kolektif, kehendak dan hasrat kolektif, serta jiwa kolektif. Hati nurani dan kesadaran individu hanyalah manifestasi hati nurani dan kesadaran kolektif.

Teori ketiga mendapat dukungan dari aval Al-Qur'an. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembahasan Al-Qur'an mengenai persoalan manusia tidak seperti pembahasan buku ilmu pengetahuan atau filsafat. Pembahasan Al-Qur'an beda. Namun pembicaraan Al-Qur'an mengenai persoalan masyarakat dan individu sedemikian rupa sehingga memperkuat teori ketiga. Al-Qur'an mengatakan bahwa masyarakat memiliki nasib yang sama, buku catatan perbuatan yang sama, pengertian dan kesadaran yang sama. Ada yang taat, ada yang membangkang. Jelaslah kalau eksistensi masyarakat tidak aktual, maka tak ada nasib, pengertian, kesadaran, ketaatan dan pembangkangan. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an mempercayai kehidupan kolektif dan sosial. Kehidupan kolektif bukan kiasan belaka, namun sebuah realitas, seperti halnya kematian kolektif. Al-Qur'an mengatakan:

Tiap umat mempunyai ajal. Maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. al-A'râf: 34). Lagi, kata Al-Qur'an: Tiap-tiap umat dipanggil untuk (metihat) buku catatan amalnya. (QS. al-Jâtsiyah: 28). Ini menunjukkan bahwa tiap bangsa memiliki buku catatan perbuatannya. Sebagai wujud yang hidup, sadar dan bertanggung jawab, maka tiap bangsa akan disuruh melihat buku catatan perbuatannya. Kata Al-Qur'an: Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaannya. (QS. al-An'âm: 108)

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap bangsa rnemiliki pandangan khusus, cara berpikir yang khusus, dan standar yang khusus pula. Setiap bangsa rnemiliki cara khusus dalam melihat dan memahami sesuatu. Penilaian setiap bangsa didasarkan pada standar khusus-nya. Setiap bangsa rnemiliki seleranya sendiri. Perbuatan yang tampak baik bagi satu bangsa, tampak tidak baik bagi bangsa lain. Lingkungan sosial suatu bangsalah yang menentukan selera individu bangsa tersebut. Al-Qur'an mengatakan: Tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. Karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedih) azab-Ku? (QS. al-Mukmin: 5)

Ayat ini merujuk kepada keputusan kolektif yang memalukan yang bermaksud memerangi kebenaran. Dalam ayat itu juga disebut-sebut hukuman umum bagi kejahatan kolektif ini. Dalam Al-Qur'an ditunjukkan tentang perbuatan seseorang yang dianggap sebagai perbuatan masyarakat, atau perbuatan satu generasi dianggap sebagai perbuatan generasi berikutnya.[1] Ini mungkin hanya bila masyarakat tertentu rnemiliki satu cara berpikir kolektif dan memiliki satu semangat kolektif. Misal, dalam kisah suku Tsamud, perbuatan satu orang yang membunuh unta betina Nabi Saleh as dianggap sebagai perbuatan seluruh suku. Al-Qur'an mengatakan, "Mereka membunuhnya." Jadi seluruh suku dianggap bersalah dan patut dihukum. "Maka Tuhanmu menghancurkan mereka."

Menjelaskan pokok persoalan ini, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan, "Wahai manusia! Satu-satunya yang mempersatukan manusia dan membuat mereka bernasib sama adalah rasa senang dan rasa tidak senang."

Bila orang sama-sama merasa senang atau merasa tidak senang dengan sesuatu yang dilakukan seseorang, maka mereka dianggap satu orang, dan nasib mereka sama. Unta betina Tsamud dibunuh oleh seseorang, namun Allah SWT menghukum seluruh suku, karena mereka senang dengan perbuatan orang itu. Allah SWT berfirman: Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal. (QS. asy-Syu'arâ`: 157)

Allah SWT menghukum mereka semua, karena mereka semua menyetujui keputusan yang diambil satu orang. Karena itu, ketika keputusan itu dilaksanakan, sesungguhnya keputusan itu merupakan keputusan kolektif mereka semua. Kendatipun membunuh merupakan perbuatan satu orang, namun Allah SWT memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan mereka pada umumnya. Allah SWT berflrman bahwa mereka membunuh unta betina. Allah SWT tidak mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka membunuhnya.

Di sini ada satu hal lagi yang patut diingat. Kalau cuma senang dengan suatu dosa namun tidak melakukan dosa itu, maka tidak dianggap berdosa. Jika seseorang merasa senang karena tahu orang lain telah berbuat dosa atau mau berbuat dosa, maka orang itu sendiri tidak dianggap berdosa. Sekalipun seseorang memutuskan mau berbuat dosa, namun ternyata belum berbuat dosa, maka dia belum berdosa. Menyetujui atau mendukung perbuatan dosa yang dilakukan orang lain baru dapat dianggap berdosa kalau persetujuan atau dukungan ini setali tiga uang dengan ikut memutuskan untuk berbuat dosa itu atau ikut melakukan perbuatan dosa itu. Itulah karakter semua dosa kolektif. Pertama lingkungan sosial dan semangat kolektif masyarakat menyetujui perbuatan dosa tertentu dan memuluskan jalan untuk perbuatan dosa itu. Kemudian seseorang yang keputusannya menjadi bagian dari keputusan orang lain, dan yang persetujuannya menjadi bagian dari persetujuan orang lain. Maka orang ini sesungguhnya juga me­lakukan perbuatan dosa itu. Dalam kasus ini dosa seseorang merupakan dosa semua anggota masyarakat itu. Pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib as menggambarkan situasi seperti ini, dan antara lain menjelaskan makna ayat di atas. Namun kalau sekadar senang, sementara tidak ikut dalam keputusan dan tindakan orang yang melakukan dosa, belum dianggap melakukan dosa.

Dalam Al-Qur'an terkadang perbuatan satu generasi juga dianggap perbuatan generasi selanjutnya. Misal, perbuatan kaum Israel di masa lalu dianggap perbuatan kaum Yahudi di zaman Nabi saw. Al-Qur'an mengatakan bahwa kaum ini pantas mendapat penghinaan dan aib karena mereka suka membunuh nabi. Dikatakan demikian karena dari sudut pandang Al-Qur'an kaum Israel pada zaman Nabi saw merupakan kelanjutan dan proyeksi pendahulu mereka. Pendahulu mereka ini suka membunuh nabi. Bukan saja itu, namun dari sudut pandang pikiran kolektif, mereka tak ubahnya kaum di masa lalu itu yang masih terus eksis. Filosof Perancis, Auguste Comte, mengatakan: "Masyarakat manusia lebih terdiri atas orang yang sudah mati ketimbang orang yang masih hidup."

Dengan kata lain, dalam semua periode sejarah, orang-orang yang hidup di masa lampau lebih mempengaruhi umat manusia ketimbang orang-orang yang hidup di masa kini. Pemyataan bahwa "orang yang hidup di masa lalu masih terus menguasai orang yang hidup di masa sekarang," artinya sama saja. (lihat Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 91)

Al-Mîzân, kitab tafsir Al-Qur'an yang ternama, membahas masalah itu. Menurut Al-Mîzân, suatu masyarakat yang semangatnya satu dan pemikiran kolektifhya satu tak ubahnya satu manusia, dan semua anggota masyarakat seperti itu seakan-akan organ satu orang. Selanjutnya Al-Mîzân mengatakan bahwa semua anggota masyarakat menjadi bagian dari personalitas masyarakat sehingga kebahagiaan dan kesedihan anggota masyarakat menjadi ke-bahagiaan dan kesedihan masyarakat, kesejahteraan dan kesengsaraan anggota masyarakat menjadi kesejahteraan dan kesengsaraan masyarakat. Kata "Al-Mîzân": "Al-Qur'an mengungkapkan pandangan ini berkenaan dengan bangsa dan masyarakat yang pemikirannya kolektif, dan pemikiran seperti ini merupakan hasil dari kecenderungan keagamaan atau nasionalnya. Al-Qur'an mengatakan bahwa generasi selanjutnya bertanggungjawab atas perbuatan leluhurnya. Jelaslah ini merupa­kan satu-satunya cara yang benar untuk menilai masyarakat yang pikiran dan jiwanya pikiran dan jiwa kolektif." (Al-Mîzân, Jilid 4 halaman 112)

Masyarakat dan Tradisi

Kalau eksistensi masyarakat nil, tentu masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri. Namun kalau kita terima teori pertama tentang karakter masyarakat seperti yang diuraikan di atas, dan kita tolak eksistensi aktualnya, maka kita harus mengakui bahwa masyarakat tak memiliki hukum atau adatnya sendiri. Kalau kita terima teori kedua, kemudian kita berpendapat bahwa perpaduan masyarakat sifatnya sintetis dan mekanis, tentu masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri, namun hukum dan adat yang berkaitan dengan sistem kausatif (sebab-akibat) komponennya dan efek mekanis yang ditimbulkan komponennya terhadap satu sama lain. Maka masyarakat tak memiliki karakteristik kehidupan. Kalau kita terima teori ketiga, maka masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri yang tak ditentukan oleh hukum dan adat komponennya (individu), karena dalam kasus ini masyarakat memiliki kehidupan kolektif yang independen. Kehidupan kolektif yang independen ini tak terlepas dari kehidupan individu-individunya. Kehidupan kolektif ini berserak dalam kehidupan individu-individunya. Begitu terbentuk menjadi masyarakat, individu relatif kehilangan independensi identitasnya. Kehidupan individu, sumbangsih dan kecakapan individu tidak sepenuhnya larut dalam kehidupan kolektif. Menurut teori ini, manusia hidup dengan dua jiwa, dua semangat dan dua ego. Yang pertama adalah kehidupan manusiawinya, semangat manusiawinya dan ego manusiawinya yang lahir dari fitrahnya. Yang kedua adalah kehidupan kolektifnya, semangat kolektifnya dan ego kolektifnya yang lahir dari kehidupan kolektifnya dan terserap ke dalam ego individualnya. Itulah sebabnya yang mengatur manusia adalah hukum psikologis dan hukum sosiologis. Menurut teori keempat, satu-satunya hukum dan adat yang mengatur manusia adalah adat sosial.

Pakar Muslim pertama yang berpandangan bahwa ada hukum dan adat yang mengatur masyarakat, dan membedakan hukum dan adat ini dari hukum dan adat individu, dan konsekuensinya ber­pandangan bahwa masyarakat memiliki personalitas, karakter dan realitas, adalah Abdurrahman ibn Khaldun dari Tunis. Dalam karya terkenalnya, Mukadimah Sejarah, Ibn Khaldun membahas masalah ini secara terperinci. Pakar modern pertama yang berpendapat bahwa ada adat yang mengatur komunitas, adalah Filosof Perancis abad ke-18, Montesquieu. Tentangnya Raymond Aron mengatakan:

Tujuannya adalah menjelaskan sejarah. Dia berupaya memahami kebenaran sejarah. Dia melihat kebenaran sejarah berbentuk keragaman moral, adat, pikiran, hukum dan lembaga, keragaman yang nyaris tak ada batasnya. Persisnya telaahnya dimulai dari keragaman yang kelihatannya membingungkan ini. Tujuan telaah ini semestinya mengganti keragaman yang membingungkan ini dengan tatanan konseptual. Dapat dikatakan bahwa keinginan Montesquieu, persis seperti Max Weber, adalah berangkat dari fakta yang tak ada artinya ke tatanan yang jelas. Sikap ini adalah sikap sosiolog." (Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 14)

Pokok uraian ini adalah bahwa di balik begitu banyak bentuk fenomena sosial yang kelihatannya satu sama lain bertentangan, sosiolog melihat adanya kesatuan sehingga aneka ragam fenomena itu diidentifikasi sebagai manifestasi kesatuan itu. Begitu pula, semua fenomena dan peristiwa sosial yang sama, asal-usulnya adalah rangkaian sebab yang sama. Inilah kutipan dari telaah atas sebab-sebab kejayaan dan keruntuhan bangsa Romawi:

"Bukan nasib baik yang mengatur dunia. Kita dapat bertanya kepada bangsa Romawi, bangsa yang meraih sukses demi sukses ketika mengikuti rencana tertentu, dan ditimpa bencana terus-menerus ketika mengikuti rencana yang lain. Ada sebab-sebab umum, entah itu sebab moral atau sebab fisis yang efektif pada setiap kerajaan, yaitu sebab kejayaan dan keruntuhan kerajaan. Semua kejadian terjadi karena sebab-sebab ini. Dan jika hasil dari sebuah pertempuran, yaitu sebab tertentu, berupa hancurnya negara, ada sebab umum yang membawa negara itu binasa melalui sebuah pertempuran. Ringkas kata, semua kejadian itu ada dorongan utamanya." (Raymond Aron, Mam Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 4)

Al-Qur'an dengan jelas mengatakan bahwa bangsa dan masyarakat memiliki hukum dan norma. Kemajuan dan kehancuran bangsa dan masyarakat itu ditentukan oleh hukum dan norma itu. Ketika dikatakan bahwa sebuah bangsa atau masyarakat memiliki nasib yang sama, maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa masyarakat memiliki hukum. Mengenai bangsa Israel, Al-Qur'an mengatakan:

Dan telah Kami tetapkan atas Bani Isra'il dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar." Maka bila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang memUiki kekuatan yang besar, lain mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, danjika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan bila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu, dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. al-Isrâ`: 4-8)

Kalimat, "Dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu)," ditujukan untuk komunitas, bukan ditujukan untuk individu. Karena itu ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa hukum yang mengatur masyarakat bersifat universal.

Terpaksa atau Tidak

Salah satu masalah pokok yang dibicarakan di kalangan sarjana, khususnya pada abad terakhir ini, adalah masalah apakah kalau dikaitkan dengan semangat kolektif, semangat individu sifatnya terpaksa atau tidak. Kalau teori pertama—teori tentang susunan masyarakat—-dianggap benar, dan susunan masyarakat dianggap imajiner belaka, kemudian dikatakan bahwa hanya individulah yang fundamental, maka tak ada masalah pemaksaan kolektif, karena dalam kasus itu tak ada kekuatan kolektif. Karena itu, jika ada paksaan, maka paksaan tersebut datang dari individu. Individu tak dapat dipaksa oleh masyarakat, dalam pengertian seperti yang dibicarakan oleh pendukung teori paksaan kolektif. Namun seandainya teori keempat dianggap benar, kemudian individu saja yang dianggap sebagai bahan baku dan wadah kosong dari sudut pandang personalitas manusia, dan yang dirujuk adalah basis masyarakat, dan segenap personalitas manusia, akal dan kehendak manusia—yang dari basis kemauan individu—dipandang sebagai perwujudan kehendak dan akal kolektif dan sebagai dalih semangat kolekuf untuk mempromosikan tujuannya, maka tak ada tempat bagi konsepsi yang mengatakan bahwa dalam masalah sosial individu memiliki kehendak bebas.

Sosiolog Perancis, Emile Durkheim, yang percaya bahwa masyarakat fundamental dan sangat penting, mengatakan: Tak seperti hal-hal semisal makan dan tidur yang mengandung segi hewaniah, sernua masalah sosial dan manusia merupakan produk masyarakat, bukan produk pikiran atau kehendak individu. Masalah-masalah ini memiliki tiga karakteristik: ekstemal, mendorong, dan umum. Ekstemal karena masalah ini datang dari luar, yaitu dari masyarakat. Masalah ini sesungguhnya sudah ada dalam masyarakat, bahkan sebelum individu lahir. Individu menerima masalah ini karena pengaruh masyarakat. Begitulah individu menerima moral dan adat sosial, ajaran agama dan sebagainya. Masalah sosial bersifat memaksa, dalam pengertian masalah itu menimpa individu dan mewarnai suara hati, penilaian, pikiran dan sentimen individu. Karena memaksa, maka masalah ini otomatis juga bersifat umum dan universal."

Namun kalau teori ketiga dipandang benar, dan dikatakan bahwa individu dan masyarakat fundamental, maka sama sekali tidak berarti bahwa individu tak berdaya dalam masalah manusia dan sosial sekalipun diakui bahwa kekuatan masyarakat mengalahkan kekuatan individu. Durkheim mempercayai paksaan, karena Durkheim mengabaikan pentingnya karakter manusia. Karakter manusia berkembang berkat evolusi manusia, suatu evolusi yang sifatnva fundamental dan substansial. Karena karakter manusia ini, maka manusia merdeka, sehingga manusia dapat menentang pengaruh masyarakat. Begitulah keseimbangan terjadi dalam hubungan antara masyarakat dan individu.

Al-Qur'an mengatakan bahwa masyarakat memiliki karakter, personalitas dan aktualitas. Kata Al-Qur'an, masyarakat hidup dan mati. Masyarakat memiliki had nurani dan kekuatan untuk taat dan durhaka. Pada saat yang sama, Al-Qur'an juga mengatakan bahwa individu cukup berdaya untuk mengabaikan pengaruh atau tekanan masyarakat, kalau dia mau, dan kalau dia mendasarkan doktrinnya pada apa yang disebut Al-Qur'an "fitrah Allah".

Di Mekah ada sebagian orang yang menggambarkan bahwa diri mereka lemah. Kelompok orang ini mengemukakan kelemahan mereka sebagai alasan untuk mengelak dari tanggung jawab. Mereka mengatakan tak berdaya dan tak dapat menghadapi masyarakat Al-Qur'an mengatakan bahwa alasan mereka tak dapat diterima karena setidak-tidaknya mereka dapat hijrah dari lingkungan sosial itu. Kata Al-Qur'an: Bukankah bumi Allah luas sehingga kamu dapat ke mana saja. (QS. an-Nisâ': 97). Di tempat lain dikatakan: Wahai orang-arang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orangyang sesat itu akan memberi mudarat hepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS. al-Mâ`idah: 105)

Dalam ayat Al-Qur'an yang populer disebut-sebut juga sifat fitrah manusia. Dalam ayat itu, setelah disebutkan bahwa Allah telah menanamkan perjanjian tauhid ke dalam fitrah manusia, Allah SWT menambahkan: Agar kamu tidak dapat mengatakan bahwa orang-orang tua kami musyrik, dan kami, karma kami ini keturunan mereka, maka kami mau tak mau harus mengikuti mereka. (QS. al-A'râf: 173)

Dengan demikian, karena fitrah ini, maka tak ada masalah paksaan. Ajaran Al-Qur'an sepenuhnya didasarkan pada rasa tanggung jawab—tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan perwujudan pemberontakan individu melawan kemerosotan moral dan kelemahan masyarakat. Kisah-kisah yang dibawakan Al-Qur'an kebanyakan menunjukkan unsur pem­berontakan individu melawan lingkungan masyarakat yang merosot moralnya ini. Kisah Nabi Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, Nabi Muhammad saw, Ashabul Kahfi, orang mukmin suku Fir'aun, semuanya mengandung unsur ini.

Penyebab miskonsepsi tentang ketakberdayaan individu ter­hadap masyarakat dan lingkungan sosial adalah salah anggapan bahwa untuk senyawan riil maka komponennya sepenuhnya larut, dan dengan munculnya realitas baru, maka pluralitasnya menjadi unitas keseluruhan. Katanya hanya ada dua alternatif: eksistensi personalitas, kemerdekaan dan independensi individu diakui dan konsekuensinya harus ditolak kalau masyarakat merupakan aktualitas dan kalau masyarakat merupakan senyawa riil; atau harus diakui bahwa masyarakat merupakan senyawa riil. Untuk alternatif pertama, posisinya seperti teori pertama dan kedua, dan untuk alternatif kedua, hams ditolak kalau individu memiliki personalitas, kemerdekaan atau independensi. Begitulah yang dikatakan proposisi Durkheim. Namun mustahil memadukan teori-teori alternatif ini. Karena semua indikasi dan argumen sosiologis mendukung aktualitas masyarakat, maka kontra-teorinya harus dianggap tidak sahih.

Sesungguhnya semua senyawa riil—dari sudut pandang filsafat—tidak sama. Alam, dalam tingkatannya yang rendah, yaitu dalam kasus benda non-organis dan benda mati, menurut filosof, setiap yang ada diatur oleh satu kekuatan, dan alam menghadapi semuanya itu dengan cara yang sama. Untuk setiap yang ada itu, komponennya sepenuhnya mengalami asimilasi, dan eksistensi komponen tersebut sepenuhnya larut dalam eksistensi keseluruhan. Itulah yang terlihat pada kasus air. Air merupakan senyawa oksigen dan hidrogen. Namun semakin tinggi tingkatan senyawa, maka komponennya semakin relatif independensinya terhadap ke­seluruhan, akibatnya terjadi pluralitas dalam unitas dan unitas dalam pluralitas. Kita melihat bahwa manusia, sekalipun dia itu satu, namun dalam dirinya terjadi pluralitas. Bukan saja kemampuannya dan kekuatan subordinatnya yang untuk sebagian besarnya tetap plural, namun ada pula pergulatan dan konflik permanen antarkekuatan internalnya. Masyarakat adalah wujud yang sangat riil, dan komponennya relatif memiliki banyak independensi.

Komponen masyarakat adalah manusia. Manusia memiliki akal dan kehendak. Eksistensi individual dan alamiah manusia mendahului eksistensi sosialnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, komponen senyawa yang tinggi tingkatannya relatif tetap independen. Kalau melihat semua fakta ini, maka semangat individual manusia mampu menghadapi atau melawan semangat kolektif masyarakat.

Catatan:

[1] Maka kecelakaan yang besarlah bagi arang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk mempewleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS. al-Baqarah: 79) Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karma mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Âli 'Imrân: 112)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar