Label

Imamah dan Penjelasan Terpericni tentang Agama




Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Berbagai aspek imamah sudah kami bahas. Di sana kami jelaskan bahwa untuk dapat membahas masalah imamah dari sudut pandang yang benar, perlu dipahami dengan jelas aspek-aspek itu. Satu aspek imamah, seperti sudah kami sebutkan, adalah masalah pemerintahan. Setelah wafatnya Nabi saw, tugas siapakah memilih penerus beliau saw? Apakah umat itu sendiri yang bertanggung jawab untuk memilih pemimpin mereka dari kalangan mereka sendiri, ataukah Nabi saw sendiri telah menunjuk penerusnya? Belakangan ini pertanyaan tersebut diajukan sedemikian rupa sehingga sepintas lalu sudut pandang Sunni dalam hal ini kelihatan lebih benar.

Biasanya pertanyaannya bunyinya begini: Kami ingin mengetahui seperti apa pemerintahan versi Islam. Apakah turun-temurun, setiap penguasa menunjuk penerusnya, dan rakyat tak berhak campur tangan dalam urusan pemerintahan? Apakah Nabi saw menunjuk orang tertentu menjadi penerusnya, orang itu menunjuk penerusnya, dan penerus itu menunjuk penerusnya, dan dengan demikian bentuk pemerintahannya didasarkan pada penunjukan dan pengangkatan sampai Hari Kiamat? Tentu saja proses ini tak mungkin berlaku pada para imam saja, karena menurut keyakinan kaum Syiah, jumlah imam hanya dua belas orang saja, dan jumlah ini tak mungkin bertambah atau berkurang. Menurut pandangan ini, prinsip umum berkenaan dengan pemerintahan ini dapat disamakan dengan prosedur ini. Nabi saw, yang juga menjadi kepala negara, menunjuk penerusnya, dan penerusnya kemudian menunjuk penerusnya dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Dalam kasus ini, jika Islam menguasai seluruh dunia—dan Islam pernah menguasai separo dunia—kemudian ajaran atau hukum Islam berjalan di seluruh penjuru dunia, maka hukum yang sama akan berjalan entah ada satu pemerintahan di dunia atau beberapa pemerintahan. Menurut pandangan tersebut, berdasarkan norma umum itulah kepala negara haruslah orang yang ditunjuk, Nabi saw menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai penerusnya. Namun, dengan memperhatikan filosofi ini, maka Nabi saw tidak perlu segera menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as begitu menerima perintah dari Allah SWT, karena hanya Nabi dan para imam—yang memiliki pengetahuan ilahiah melalui Nabi—yang dapat menerima perintah ilahiah seperti itu. Karena itu, jika diakui bahwa dari sudut pandang Islam pemerintahan harus didasarkan pada prinsip penunjukan, maka Nabi saw tidak perlu menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as dengan wahyu. Nabi saw dapat menunjuknya sesuai kehendaknya. Para imam juga dapat berbuat sama. Berdasarkan ini penunjukan Imam Ali as untuk mengemban khilafah sama dengan penunjukan gubernur Mekah atau penunjukan Amir al-Haj. Dalam kasus-kasus seperti itu, tak ada yang mengatakan bahwa Nabi saw, begitu menerima wahyu, langsung menunjuk si polan menjadi gubernur Mekah atau, misalnya, mengutus Mu'azd bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah Islam. Setiap orang justru mengakui bahwa Nabi saw mendapat amanat dari Allah SWT, yaitu untuk memerintah atau memimpin umat. Maka Nabi saw mendapat wewenang untuk bertindak menurut pandangannya dalam semua masalah yang tak ada ketentuan wahyunya. Dalam kasus penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk mengemban khilafah, dapat dikatakan bahwa ini merupakan keputusan pribadi Nabi saw.

Jika masalah imamah ini dikemukakan dengan cara sederhana seperti itu, maka jadilah masalah pemerintahan duniawi, dan tak lagi masalah imamah. Kalau seperti ini karakter masalahnya, sungguh wahyu ilahiah tak perlu campur tangan. Paling banter yang dapat dikatakan wahyu ilahiah kepada Nabi saw adalah bahwa Nabi saw berkewajiban menunjuk siapa pun yang dipandangnya tepat untuk menjadi penerusnya, dan bahwa penerusnya juga, dengan cara yang sama, menunjuk penerusnya. Dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Jika imamah artinya hanya sekadar pemerintah atau penguasa, maka apa yang dikatakan kaum Sunni tampaknya lebih menarik dibanding apa yang dikatakan kaum Syiah, karena kaum Sunni berpendapat bahwa penguasa tak berhak memilih penguasa selanjutnya, dan bahwa penggantinya dipilih dengan cara demokratis oleh rakyat, khususnya oleh mereka yang berhak memilih. Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pada umumnya keyakinan kaum Syiah pada penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as dan imam-imam lain untuk mengemban khilafah merupakan cabang dari masalah lain yang lebih fundamental.

Di sini muncul masalah penting. Masalahnya adalah bahwa jumlah imam tak lebih dari dua belas. Lantas setelah dua belas imam ini, siapa penerusnya. Misal saja, Imam Ali bin Abi Thalib as menjadi pemimpin dengan cara persis seperti dia diangkat oleh Nabi saw, dan diikuti oleh Imam Hasan as, Imam Husain as dan seterusnya sampai Imam kedua belas. Kalau begini keadaannya, berdasarkan filosofi kami kaum Syiah, tak ada alasan untuk gaibnya Imam kedua belas. Seperti para pendahulunya, Imam kedua belas hidupnya tidak akan seperti sekarang dan kemudian meninggal. Apa yang terjadi sepeninggal Imam kedua belas ini. Mungkinkah jumlah imam bertambah? Bagaimana dengan masalah lain— masalah pemerintahan yang normal dalam keadaan yang ada sekarang. Jelaslah Imam Zaman (Imam kedua belas—peny.), selama gaib, tak mungkin menjadi pemimpin politik untuk kaum Muslim. Karena itu, masalah pemimpin politik dan pemerintahan duniawi masih belum terpecahkan.

Pemerintah adalah Cabang Imamah

Bila membahas masalah imamah dari sudut pandang Syiah, jangan sampai keliru menyederhanakannya dan mengatakan bahwa arti imamah adalah administrasi pemerintahan, karena penyederhanaan berlebihan seperti itulah yang menimbulkan kesulitan-kesulitan tersebut di atas. Jika imamah diartikan penguasa, timbul masalah apakah kandidat untuk menjadi kepala negara perlu yang terbaik. Apakah belum cukup kalau kandidat itu adalah relatif yang terbaik. Dengan kata lain, apakah belum cukup kalau dia seorang negarawan yang baik, administrator yang baik dan jujur orangnya, meskipun dalam beberapa hal lain lebih rendah di-banding beberapa orang? Perlukah penguasa itu maksum? Apa perlunya ia maksum? Perlukah ia suka melakukan salat malam? Jika demikian, kenapa? Perlukah ia ahli hukum Islam? Tidak dapatkah ia berkonsultasi bila perlu? Orang yang relatif terbaik tentulah cukup baik. Semua pertanyaan ini muncul kalau problemnya dilihat dari sudut yang sempit. Keliru sekali kalau beranggapan bahwa imamah dan penguasa identik. Sebagian ulama awal, khususnya sebagian teolog akademis, membuat kekeliruan ini. Dewasa ini sekali lagi kekeliruan ini sudah terlalu umum. Kalau orang bicara imamah, maka yang terbayang di benaknya adalah penguasa, padahal sesungguhnya masalah penguasa merupakan bagian kecil dari masalah imamah, dan dua masalah ini jangan dikacaukan. Lantas bagaimana imamah itu?

Imam Merupakan Penerus Nabi dalam Menjelaskan Agama

Yang terpenting dalam kaitannya dengan masalah imamah adalah masalah siapa yang menggantikan Nabi saw untuk menjelaskan agama secara terperinci. Tak syak lagi, Nabi saw sajalah yang menerima wahyu, dan tak lagi turun wahyu dengan wafatnya Nabi saw. Sekarang masalahnya adalah sepeninggal Nabi saw siapakah yang bertanggung jawab menjelaskan secara terperinci ajaran-ajaran samawi yang tak memungkinkan pendapat pnbadi.

Apakah tanggung jawab ini beralih ke seseorang yang menjadi tempat bertanya seperti Nabi saw, yang jawabannya selalu benar, yang tak dapat dicurigai memberikan jawaban berdasarkan pendapat pribadi, atau pernah berbuat keliru dan kemudian meturuskannya? Mengenai Nabi saw, tak dapat dikatakan bahwa jawabannya pernah ada yang salah atau dipengaruhi kehendak pribadi. Tuduhan seperti ini berarti tidak mengakui kenabiannya. Kalau Nabi saw mengatakan sesuatu, kita tak dapat mengatakan bahwa itu salah atau bahwa Nabi saw bisa saja keliru. Sebaliknya, kalau pembuat undang-undang, yang undang-undangnya ditaati orang, bisa saja dikatakan bahwa mengenai masalah tertentu dia berbuat keliru atau dia tidak memberikan perhatian penuh kepada masalah tertentu itu atau dia dipengaruhi pertimbangan dari luar. Namun tidak bisa mengatakan demikian terhadap Nabi saw, sebagaimana tidak bisa mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an ada yang keliru atau dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.

Sepeninggal Nabi saw, adakah orang yang dapat dipandang sebagai otoritas yang kompeten untuk semua masalah agama dan yang dapat menjelaskan hukum agama dengan terperinci seperti Nabi saw? Adakah manusia sempurna yang memiliki semua sifat ini? Kami katakan bahwa manusia seperti itu memang ada. Yang membedakan dia dengan Nabi saw hanyalah kalau yang dikatakan Nabi saw dasarnya adalah wahyu langsung dari Allah, sedangkan yang dikatakan imam dasarnya adalah ilmu yang didapatnya dari Nabi saw, bukan dalam pengertian dia dididik dengan cara yang lazim kita kenal, namun dalam pengertian seperti dikatakan oleh Imam All as bahwa Nabi saw membukakan baginya pintu ilmu, dengan terbukanya pihtu ilmu mi seribu pintu yang lain terbuka pula baginya. Kita tak mungkin menjelaskan bagaimana kejadiannya, sebagaimana kita tak dapat menjelaskan wahyu dan menjelaskan cara Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah SWT.

Kita tak mungkin menjelaskan hubungan spiritual seperti apa antara Nabi saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as, namun yang pasti Nabi saw mengajarkan dengan lengkap kepada Imam Ali as semua realitas, dan Nabi saw tidak mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Imam Ali as mengatakan bahwa ketika tengah bersama Nabi saw di gua Mira dia mendengar suara seakan-akan sesebrang tengah menangis. Dia berkata kepada Nabi saw, "Wahai Rasul Allah, aku mendengar tangisan setan ketika wahyu turun kepadamu." Nabi saw berkata, "Wahai Ali, engkau mendengar apa yang aku dengar, dan engkau melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukan Nabi." (Nahj al-Balâgkah, khotbah 192)

Seandainya ada orang lain di tempat itu bersama Imam Ali as, orang lain itu tentu tak akan mendengar suara itu, karena men­dengar seperti itu bukan menangkap gelombang suara sehingga siapa pun yang punya telinga dapat mendengarnya. Mendengar seperti itu adalah persepsi yang lain.

Hadis Tsaqalain

Mengenai imamah, masalah pokoknya adalah aspek spiritualnya. Imam adalah pemimpin spiritual, kedudukannya di bawah Nabi. Imam tahu Islam secara spiritual. Imam maksum seperti Nabi. Imam adalah otoritas mutlak agama. Dalam perkataannya tak ada kekeliruan atau penyimpangan yang disengaja. Itulah yang kami maksud dengan maksum. Dalam hubungan ini Syiah menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat: Kitab Allah dan keturunanku." (Shahih Muslim, Jilid VII, hal. 122)

Sesungguhnya tak dapat dipungkiri bahwa Nabi saw memang berkata demikian. Ini bukanlah hadis yang diriwayatkan oleh Syiah saja, namun juga diriwayatkan oleh lebih banyak sumber Sunni ketimbang Syiah. Ketika kami di Qum, sebuah majalah bernama "Risalah at-Taqrib" diluncurkan oleh Dar at-Taqrib Mesir. Dalam salah satu nomornya seorang ulama Sunni mengutip hadis tsaqalain dengan kata-kata seperti ini: "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan sunahku." Almarhum Ayatullah Burujerdi, seorang ulama dalam arti yang sebenarnya, membahas masalah seperti itu dengan sangat seksama. Seorang muridnya adalah Syaikh Qawam Wisynawahi, seorang yang baik, sangat antusias menelaah banyak buku dan mengumpulkan banyak rujukan.

Almarhum Ayatullah Burujerdi minta kepadanya untuk melacak sumber-sumber hadis ini dalam buku-buku Sunni yang menyebutkan hadis tersebut. Karena itu, dia mengumpulkan rujukan-rujukan seperti itu dan menyebutkan lebih dari dua ratus kitab Sunni tepercaya yang meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan keturunanku." Jelaslah Nabi saw mengungkapkan masalah ini dalam bentuk ini di banyak kesempatan dan di beberapa tempat. Namun kita tidak dapat menafikan kemungkinan Nabi saw ber­sabda di kesempatan tertentu bahwa Nabi saw akan meninggalkan dua perkara: Kitab Allah dan sunahnya. Tak ada perbedaan antara keturunan Nabi dan sunahnya, karena yang dapat menjelaskan sunahnya adalah keturunannya saja. Sedangkan eksistensi keturunannya dan sunahnya satu sama lain tidak terpisah. Keturunan Nabi saw-lah yang menjelaskan secara terperinci dan menjaga sunahnya. Bila Nabi saw menyebut keturunannya bersama Kitab Allah, Nabi saw bermaksud mengatakan bahwa kalau mau mengetahui sunahnya merujuklah ke keturunannya. Bahkan pernyataan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan keturunanku," itu sendiri adalah sunah. Karena itu tak ada perbedaan antara sunah Nabi saw dan keturunan Nabi saw. Kalau di satu tempat, dan bahkan ini belum pasti, Nabi saw mengatakan, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan sunahku," di sedemikian banyak tempat lainnya Nabi saw menggunakan ungkapan lain. Jika dalam satu kitab hadis ini ditulis dalam satu bentuk, di dua ratus kitab lainnya ditulis dalam bentuk lain.

Syaikh Qawam mempersiapkan sebuah risalah dan mengirimkannya kepada Dar at-Taqrib Mesir. Dar at-Taqrib juga bukan tidak adil. Dar at-Taqrib menerbitkan risalah itu. Karena autentik, maka tak dapat ditolak. Tak ada seorang pun yang dapat mengajukan keberatan terhadap risalah itu. Seandainya almarhum Ayatullah Burujerdi melakukan apa yang biasa dilakukan orang lain dalam kasus-kasus seperti ini, tentu dia akan berteriak-teriak, akan menyebut orang-orang Dar at-Taqrib tidak jujur, dan akan menuduh mereka bersekohgkol melawan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw.

Menjelaskan secara terperinci agama merupakan roh sejati imamah. Islam adalah agama yang lengkap dan cemerlang. Namun masalahnya adalah apakah ajaran Islam itu hanya berupa prinsip dan norma umum seperti disebutkan dalam Al-Qur'an dan dijelas-kan lebih lanjut dalam sabda-sabda Nabi saw. Apakah Islam hanya-lah sebatas ini saja? Tak syak lagi, wahyu Allah SWT tidak turun lagi sepeninggal Nabi saw. Islam sudah lengkap. Namun apakah setiap rukun Islam sudah dijelaskan pada masa itu? Atau apakah banyak masalah hukum, yang berada di bawah kepedulian protektif Imam Ali as dan yang harus diketahui orang, dijelaskan secara gradual atau dijelaskan pada beberapa kesempatan yang tepat? Dalam kasus yang disebutkan terakhir ini hadis ini membuktikan kemaksuman para imam, karena Nabi saw telah menyuruh kaum Muslim urituk mendapatkan agama mereka dari dua sumber: Kitab Allah dan keturunannya. Karena sebagai satu dari dua sumber ini Al-Qur'an maksum dan bebas dari segala kesalahan, maka sumber yang satunya lagi, yaitu keturunan Nabi saw, haruslah maksum juga. Mustahil Nabi saw menyuruh pengikutnya untuk mendapatkan agama dari orang yang tidak terlepas dari kemungkinan berbuat salah.

Di sinilah ajaran Syiah pada dasarnya beda dengan ajaran Sunni berkenaan dengan masalah mendapatkan dan menjelaskan agama secara terperinci. Kaum Sunni mengatakan bahwa karena sudah tak ada lagi wahyu sepeninggal Nabi saw, maka yang tepercaya men­jelaskan secara terperinci agama juga sudah tak ada lagi. Sekarang yang ada hanyalah menarik kesimpulan logis dari Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi saw.

Larangan Mencatat Hadis

Kaum Sunni sendiri telah menciptakan suatu situasi yang membuat lemah posisi mereka. Umar melarang penulisan hadis. Ini fakta sejarah, bukan cerita rekayasa orang Syiah. Ini diakui oleh orientalis-orientalis Eropa yang bukan Syiah dan juga bukan Sunni. Bahkan para orientalis itu mengatakan bahwa Umar melarang penulisan hadis karena Umar takut hadis akan mengalihkan perhatian orang dari Al-Qur'an, padahal Umar mau Al-Qur'an menjadi satu-satunya sumber hukum. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri lagi, dan bukan tuduhan kaum Syiah. Pada masa Umar, orang tak berani menulis hadis Nabi saw dan tak berani memperlihatkan tulisannya kepada orang lain. Tentu saja menyampaikan hadis secara lisan dibolehkan. Situasi ini berlangsung sampai masa Umar bin Abdul Aziz, yang menjadi Khalifah pada 99 H dan meninggal pada 101 H. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis-hadis Nabi saw. Dengan demikian Umar bin Abdul Aziz mengganti kebijakan Umar bin Khathab. Perlu dicatat bahwa setelah perintah Umar bin Abdul Aziz itu orang-orang yang sejauh itu menyampaikan hadis Nabi saw secara lisan segera melakukan pencatatan hadis Nabi saw, namun sementara itu sebagian hadis sudah hilang.

Kita tahu bahwa hukum Islam yang disebutkan dalam Al-Qur'an sangat ringkas. Al-Qur'an terutama hanya menyebutkan aturan umumnya saja. Misal, Al-Qur'an sangat menekankan salat. Namun apa yang dikatakan Al-Qur'an tentang salat tak lebih dari Tegakkan salat, rukuk dan sujudlah. Bahkan tidak dijelaskan bagaimana me­lakukan salat itu. Juga banyak sekali ritus yang berkaitan dengan haji. Nabi saw secara pribadi menjalankannya. Kalau saja hadis-hadis Nabi saw bentuknya tidak praktis seperti yang ada sekarang, tentu kaum Muslim tak akan tahu hadis-hadis Nabi saw. Namun masalahnya adalah sempatkah Nabi saw menyampaikan semua ajaran. Selama 13 tahun di Mekah, karena kerasnya penentangan dan situasi yang sangat sulit, jumlah orang yang memeluk Islam mungkin tak lebih dari 400 orang. Orang, kalau mau menemui Nabi saw, secara diam-diam. Sekitar 70 keluarga, yang merupakan separo atau bahkan lebih dari separo total penduduk Muslim, terpaksa harus hijrah ke Ethiopia.

Dari sudut pandang ini Madinah merupakan tempat yang lebih baik. Namun di sana Nabi saw memiliki sedemikian banyak komitmen lain. Meskipun Nabi saw bekerja seperti guru penuh waktu, namun selama 23 tahun ini Nabi saw tak punya cukup waktu untuk menyampaikan semua ajaran Islam, khususnya kalau melihat fakta bahwa Islam adalah aturan hidup manusia yang lengkap terutama di zaman kita ini.

Penggunaan Analogi

Akibat pandangan kaum Sunni dalam hubungan ini, kaum Sunni menghadapi banyak kesulitan praktis berkenaan dengan hukum Islam. Mereka menghadapi banyak masalah yang tak disebut-sebut dalam Al-Qur'an. Mereka merujuk ke koleksi-koleksi hadis mereka, namun tak juga menemukan jawabannya. Lantas harus bagaimana? Untuk memecahkan problem, mereka menggunakan analogi (berdasarkan kesamaan yang ada, dikembangkan norma yang ada dalam nash untuk diterapkan pada kasus yang tak ada jawabannya dalam Al-Qur'an dan sunah. Misal kita katakan bahwa dalam kasus itu hakum mengatakan demikian. Karena kasus ini agak sama dengan kasus itu, maka norma yang sama diterapkan pada kasus ini juga. Mungkin dalam kasus itu Nabi saw memberikan keterituan tertentu karena alasan tertentu, dan karena alasan itu ada dalam kasus ini juga, maka ketentuan yang sama juga berlaku pada kasus ini.

Seperti diketahui, pengambilan kesimpulan analogis didasarkan pada kemungkinan saja. Kasus-kasus yang tak ada hadis Nabinya, terlalu banyak. Dunia Islam bertambah luas selama periode Abasiyah. Banyak negara ditaklukkan. Akibatnya, bermunculan problem-problem baru setiap hari, dan solusinya tak ada dalam Al-Qur'an serta sunah. Akibatnya adalah pengambilan kesimpulan analogis menjadi praktik umum. Kaum Sunni terbagi menjadi dua kelompdk. Yang pertama adalah kelompok Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas. Kelompok ini mencurigai pengambilan kesimpulan analogis. Konon Malik bin Anas banyak menggunakan analogi. Abu Hanifah suka mengatakan bahwa apa yang dianggap sebagai sabda-sabda Nabi saw tak dapat dipercaya. Dia menyatakan hanya me-nemukan lima belas hadis Nabi saw yang dapat dipercaya. Dalam kasus'kasus lainnya dia menggunakan pengambilan kesimpulan analogis. Syafi'i mengambil sikap tengah. Dalam sebagian kasus dia menggunakan hadis Nabi saw, dan dalam sebagian kasus lainnya dia menggunakan analogi. Akibatnya dia melahirkan semacam hukum yang kacau. Konon Abu Hanifah begitu banyak mengguna­kan analogi karena dia asalnya dari Iran, dan orang Iran pada dasarnya cenderung sangat memperhatikan upaya mental, dan karena dia tinggal di Irak yang jauh dari Madinah, pusat ahli hadis. Namun dia terlalu asyik dengan analogi.

Seorang penulis Sunni mengatakan bahwa suatu hari Abu Hanifah pergi ke tukang cukur. Jenggotnya sebagian hitam dan sebagian beruban, namun jumlah ubannya tidak begitu banyak. Dia minta kepada si tukang cukur agar mencabut ubannya. Si tukang cukur berkata, "Jika uban dicabuti, maka tumbuhnya cenderung semakin banyak." Abu Hanifah berkata, "Kalau begitu, cabuti pula rambut hitamnya, karena analogiku mengatakan kalau uban dicabuti maka tumbuhnya semakin banyak, berarti begitu pula rambut yang masih hitam." Namun faktanya adalah bahwa jika ada kaidah seperti itu, berlakunya hanya pada uban saja, tidak pada rambut yang masih hi tarn. Untuk yurisprudensi pun pengambilan kesimpulan yang dilakukan Abu Hanifah juga seperti itu.

Analogi dari Sudut Pandang Syiah

Kalau kita merujuk ke hadis-hadis Syiah, kita akan tahu bahwa menurut Syiah dirasakannya kebutuhan akan analogi hanya akibat anggapan yang keliru bahwa Al-Qur'an dan sunah belum cukup untuk memberikan semua hukum yang diperlukan. Faktanya adalah bahwa anggapan seperti ini salah mutlak. Kami menerima banyak sekali hadis Nabi saw baik secara langsung atau melalui orang-orang pilihan keturunan Nabi saw, sehingga kalau kami merujuk ke prinsip-prinsipnya, kami sama sekali tak memerlukan pengambilan kesimpulan analogis. Itulah jiwa imamah dari sudut pandang agama.

Islam bukanlah sekadar doktrin. Tak dapat dikatakan bahwa setelah ideologinya disampaikan oleh pembawanya, maka yang diperlukan hanyalah adanya pemerintah untuk melaksanakan ideologi itu. Islam adalah aturan yang lengkap, dan ini harus dicamkan.

Tak Ada Pemilihan Kalau Ada Imam yang Maksum

Dari sudut pandang kepemimpinan dan kepenguasaan, posisi-nya adalah bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as adalah penerus Nabi saw yang sama maksumnya dengan Nabi saw sendiri, dan yang ditunjuk oleh Nabi saw untuk menjadi penerusnya, tak dapat digantikan oleh orang lain. Posisinya luar biasa seperti posisi Nabi saw sendiri. Karena itu dalam kasus Imam Ali as tak ada ruang bagi pemilihan, musyawarah atau hal lainnya seperti itu. Dalam kasus Nabi saw tak ada yang pernah mengatakan bahwa Nabi saw hanya­lah Rasul Allah dan umat bebas memilihnya atau siapa pun untuk menjadi penguasa mereka. Setiap orang tahu bahwa karena beliau saw manusia luar biasa dan punya kontak dengan alam ilahiah, maka dengan adanya beliau saw, tak ada pemilihan. Sepeninggal Nabi saw juga, tak ada ruang bagi pemilihan, karena Nabi saw telah menunjuk dua belas penerusnya untuk memperkuat Islam pada dua atau tiga abad selanjutnya, dan untuk menjelaskan Islam secara terperinci dengan penjelasan yang bebas dari kesalahan. Dengan adanya orang-orang seperti itu yang mampu menjelaskan semua ajaran Islam, maka tak ada pemilihan dan seterusnya. Apakah masuk akal memilih orang lain padahal ada seseorang yang mudak maksum, dan luar biasa kompeten dan berilmu dalam setiap arti katanya?

Selanjutnya, ketika Imam All bin Abi Thalib as ditunjuk menjadi Imam dalam pengertian yang kami sebutkan, kepemimpinan duniawi tentu saja juga menjadi prerogatifnya. Sesungguhnya Nabi saw telah menunjuk Imam Ali as untuk mengemban jabatan ini, karena Imam Ali as adalah seorang Imam dan maksum. Namun, kasusnya lain selama gaibnya Imam yang sekarang ini (Imam kedua belas—peny.), karena tak ada imam yang maksum yang leluasa mengemban otoritas duniawinya.

Begitu pula, kasusnya akan lain jika peristiwa-peristiwa pada periode awal Islam tidak terjadi, dan Imam Ali as menjadi Khalifah begitu Nabi saw wafat dan Imam Ali as digantikan oleh Imam Hasan as, kemudian oleh Imam Husain as dan seterusnya sampai zaman Imam terakhir. Kalau begini keadaannya, maka tak akan ada alasan untuk gaib. Sepeninggal Imam maksum terakhir, maka bentuk penguasanya akan lain. Kemudian dapat dipertanyakan bagaimana pemecahan masalah ini. Apakah seorang mujtahid yang memenuhi syarat lantas menjadi penguasa? Dapatkah umat memilih penguasa mereka?

Karena itu, sejak awal masalah imam tidak kami pandang sebagai sekadar masalah pemerintahan duniawi. Adalah keliru kalau pada tahap ini bertanya apakah Islam menginginkan pemerintahan yang berdasarkan penunjukan atau pemerintahan yang berdasarkan pemilihan, dan kemudian bertanya kenapa Syiah mertganjurkan bentuk pemerintahan tertentu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Haras diakui bahwa kalau ada imam yang maksum, maka orang lain tak bisa mengklaim menjadi penguasa, seperti halnya dengan adanya Nabi saw maka orang lain tak bisa menjadi penguasa.

Nabi saw telah menunjuk Ali as sebagai Imam, dan karena itu menjadi hak istimewa Ali as untuk juga menjadi penguasa. Selain itu, pada beberapa kesempatan Nabi saw menjelaskan bahwa Imam Ali as yang akan menggantikannya sebagai penguasa kaum Muslim. Perlu diingat bahwa Nabi saw melakukan penunjukan ini atas dasar karena Imam Ali as adalah Imam setelah Nabi saw.

Masalah Wilayah Spiritual

Sebelumnya sudah saya sebutkan satu poin yang saya yakini dan saya anggap sebagai doktrin yang fundamental, meskipun mungkin bukan prinsip pokok Syiah. Masalah tersebut adalah bagaimana karakter khusus posisi Nabi? Bahwasanya yang diwahyukan kepada Nabi, apakah hanya sebatas perintah ilahiah, prinsip-prinsip pokok dan ajaran tambahan Islam? Apakah yang diketahuinya hanya realitas-realitas Islam saja, ataukah informasi lain juga disampaikan kepadanya oleh Allah SWT? Apakah dia unggul dalam ketakwaan karena dia maksum? Hampir semua pertanyaan seperti ini juga dilontarkan berkenaan dengan para imam. Meskipun para imam tidak menerima wahyu dari Allah SWT, namun mereka menerima pengetahuan tentang Islam melalui Nabi saw, dan pengetahuan mereka bebas dari kemungkinan salah seperti halnya pengetahuan Nabi saw sendiri. Mengenai ketakwaan, para imam juga maksum.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah Nabi saw atau para imam, selain memiliki sifat-sifat ini, juga memiliki sifat-sifat khusus lainnya. Selain ilmu agama, cabang-cabang ilmu apa lagi yang dikuasainya? Benarkah berita tentang perbuatan umat Nabi di­sampaikan kepada Nabi saw, dan berita serupa juga disampaikan kepada tiap imam selama hayatnya. Sekarang, imam yang ada mengetahui, mendengar dan melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia. Dia melihat perbuatan bukan saja dari kaum Syiah saja tetapi juga dari semua orang. Dalam hal ini tak ada bedanya antara imam yang masih hidup dan imam yang sudah meninggal. Seperti disebutkan sebelumnya, bila Anda berziarah ke makam Imam Ali Ridha as, dan memberi salam kepadanya, perbuatan ini terjadi seakan-akan Anda tengah menyapa seseorang yang hidup di dunia ini. Bila Anda memberi salam kepada imam, imam mendengar dan melihat Anda. Itulah manifestasi dari wilayah spiritual.

Sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa masalah wilayah merupakan titik pertemuan tasawuf dan Syiah. Konsepsi mereka dalam hal ini sangat dekat. Kaum sufi mengatakan bahwa pada setiap zaman tentu ada seorang sempurna yang mereka sebut quthb. Menurut kaum Syiah, pada setiap zaman tentu ada imam dan otoritas keagamaan, yang adalah seorang yang sempurna. Karena masalah ini tidak menjadi perselisihan antara Syiah dan Sunni, kami rasa pada tahap ini tak perlu membahasnya lebih lanjut. Pokok perselisihannya ada dua, yaitu imamah dalam pengertian menjelaskan secara terperinci agama, dan imamah dalam pengertian pemimpin duniawi kaum Muslim.

Makna Penting Hadis Tsaqalain

Mengenai masalah imamah, perlu diperhatikan arti penting hadis ini. Kalau kebetulan Anda bertemu ulama Sunni atau bahkan non-ulama, tanyakan kepadanya apakah Nabi saw mengucapkan kalimat seperti itu atau tidak. Jika jawabannya tidak, tunjukkan kepadanya sedemikian banyak kitab Sunni itu sendiri. Sesungguhnya ulama Sunni tak dapat, dan umumnya tidak, menafikan eksistensi dan kesahihan hadis seperti itu.[1] Lalu katakan kepadanya, "Nabi saw menyebut Al-Qur'an sebagai otoritas nomor satu dan orang-orang pilihan keturunannya sebagai otoritas nomor dua. Sekarang sebutkan siapa keturunan ini."

Dapat dicatat bahwa kaum Sunni tidak membedakan antara keturunan Nabi saw dan yang lainnya. Mereka meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw lebih sering dari sahabat-sahabat lain dibanding dari Imam Ali bin Abi Thalib as. Bahkan bila mereka mengutip Imam Ali as, mereka mengutipnya sebagai perawi hadis Nabi saw, bukan sebagai otoritas.

Hadis Ghadir

Seperti sudah dikemukakan, orang yang ahli agama harus juga menjadi pemimpin agama itu. Sejauh menyangkut kepemimpinan, Nabi saw khususnya menunjuk Imam Ali as sebagai pemimpin agama. Hadis Ghadir merupakan contoh deklarasi seperti itu. Deklarasi Ghadir dibuat oleh Nabi saw pada kesempatan Nabi saw menunaikan haji terakhir. Mungkin sekali Nabi saw hanya menunaikan haji sekali saja setelah penaklukan Mekah, dan Nabi saw menunaikan umrah sekali sebelum haji perpisahannya. Pada kesempatan haji perpisahannya, Nabi saw menyerukan ajakan umum kepada semua Muslim untuk menunaikan ibadah haji tahun itu. Ketika semua Muslim sudah berkumpul, Nabi saw menyampaikan khotbah pada kesempatan yang berbeda di Masjidil Haram, di Arafah, di Mina, di luar Mina dan di Ghadir Khum. Setelah menyebutkan beberapa poin lain di Ghadir Khum, Nabi saw akhirnya menyebutkan satu poin yang sangat ditekankannya. Menurut kami, Nabi saw menjadikan poin itu sebagai poin terakhir disebabkan oleh ayat ini yang Nabi saw bacakan di sana: Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu. Danjika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 67)

Nabi saw mengemukakan banyak prinsip Islam dan masalah tambahan dalam khotbah-khotbah yang disampaikannya di Arafah, Mina dan Masjidil Haram. Pada semua kesempatan ini Nabi saw membahas masalah-masalah penting. Namun di Ghadir Khum Nabi saw membuat deklarasi. Mengenai deklarasi ini Nabi saw mengatakan jika Nabi saw tidak membuat deklarasi itu, maka semua yang telah disampaikannya akan batal. Kemudian Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih dekat dengan kalian dibanding diri kalian sendiri?" Nabi saw tengah merujuk ke sebuah ayat Al-Qur'an yang mengatakan: Nabi lebih dekat dengan kaum mukmin dibanding diri mereka sendiri. (QS. al-Ahzâb: 6). Selanjutnya Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding kalian sendiri?" Semua yang hadir me­ngatakan, "Betul, Ya Rasulullah." Kemudian Nabi saw membuat deklarasi, "Ali ini adalah pemimpin (penguasa) orang yang men­jadikan aku sebagai pemimpin (penguasa)-nya."

Ikhtisar lengkap mengenai masalah Ghadir diterbitkan beberapa tahun lalu di Masyhad dalam bentuk buku oleh Lembaga Publikasi Kebenaran Islam. Saya belum membaca buku ini, namun sahabat-sahabat saya yang telah membacanya mengatakan sangat bagus, setidak-tidaknya patut dibaca.

Akan menyita terlalu banyak tempat untuk menelaah semua sumber hadis Ghadir yang, menurut kami, merupakan hadis mutawatir atau hadis Tsaqalain. Mir Hamid Husain, penulis "'Abaqat al-Anwar", telah melacak sumber hadis ini dalam 400 halaman ukuran besar. Dalam membahas substansi problem imamah, kami hanya ingin menyebutkan secara ringkas otoritas-otoritas yang menjadi dasar klaim mereka dalam hal ini, meskipun masalahnya mungkin perlu dibahas lebih terperinci.

Catatan:

[1] Sebagian ulama salah menggunakan hadis ini, karena mereka selalu meng-gunakannya sebagai pengantar kisah tentang kemalangan orang-orang pilihan keturunan Nabi. Mungkin ada anggapan bahwa ketika Nabi saw mengatakan akan meninggalkan dua hal, yaitu Al-Qur'an dan keturunannya, yang dimaksud Nabi adalah agar dua hal dihormati dan jangan dihina. Sesungguhnya yang dimaksud Nabi adalah Nabi akan meninggalkan dua otoritas yang menjadi tempat bertanya tentang semua masalah keagamaan dan sosial. Dalam bagian akhir hadis ini, Nabi bersabda, "Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan sesat." Jadi persoalannya adalah persoalan mengikuti (berpegang). Nabi saw mendeklarasikan bahwa keturunannya sama dengan Al-Qur'an. Nabi sendiri mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah tsaqal besar, sedang keturunannya adalah tsaqal kecil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar