Label

Syi’ah dan Tuduhan Ekstrem


Oleh Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Di sepanjang sejarah ada saja orang ataupun kelompok yang berlebihan dalam meyakini para nabi dan wali Allah swt., ini sebuah kenyataan yang tidak bisa diingkari oleh siapapun, tapi sayangnya dalam beberapa kasus kita melihat oknum-oknum yang bermaksud tidak sehat atau mungkin bodoh yang membubuhkan label ghuluw (sikap yang berlebihan) ini kepada kelompok Syi’ah Imamiyah, sebagai contoh Ahmad Amin Misri menuliskan: “Orang-orang keterlaluan yang bermazhab Syi’ah ini tidak merasa cukup hanya dengan mengatakan Ali adalah makhluk paling utama setelah Rasulullah saw. dan suci, melainkan di antara mereka ada juga yang sampai menuhankan Ali”. [1] Zibadi di dalam kitab Tajul Arus menuliskan: “Imamiyah adalah salah satu kelompok Syi’ah yang melampaui batas”. [2] Dr. Kamil Mustafa menuliskan: “Orang-orang Syi’ah yang berlebihan menciptakan ajaran-ajaran asli Syi’ah seperti bada’, raj’ah, ishmah, dan ilmu laduni, dan dengan berlalunya zaman maka ajaran-ajaran buatan itu menjadi prinsip-prinsip dasar mazhab Syi’ah”. [3]

Itulah yang membuat urgensi pembahasan tentang tuduhan yang diarahkan kepada Syi’ah Imamiyah.

Definisi Ghuluw

Ghuluw dalam bahasa Arab lawan dari kata taqshir dan berarti keluar dari batas atau berlebihan dalam sesuatu; [4] yakni meyakini sesuatu atau seseorang lebih dari apa adanya. Dan secara terminologis syari’at, ghuluw berarti sikap yang keluar batas atau berlebihan dalam meyakini para nabi dan wali Allah swt. serta meyakini mereka sebagai Tuhan atau pengatur alam. Al-Qur’an melarang Ahli Kitab dari sikap yang berlebihan dalam memandang Nabi Isa al-Masih as.:

قُل یَا اَهلَ الکِتَابِ لَا تَغلُوا فِي دِينِکُم غَیرَ الحَقِّ / المائدة: 77

Artinya: “Katakanlah, Hai Ahli Kitab, jangan kalian melebih-lebihkan sesuatu yang tidak benar di dalam agama kalian” (QS. 5: 77). Sikap berlebihan Ahli Kitab (Kristen) adalah meyakini ketuhanan Nabi Isa as., di tempat lain al-Qur’an menyebutkan:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذينَ قالُوا إنَّ اللهَ هُوَ المَسيحُ ابْنُ مَرْيَمَ / المائدة: 72

Artinya: “Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam’” (QS. 5: 77).

Fenomena Ghuluw di Dunia Islam

Tidak diragukan lagi bahwa salah satu fenomena penyimpangan yang menimpa ajaran-ajaran agama di dunia Islam adalah fenomena ghuluw atau sikap yang berlebihan beserta pelaku-pelakunya. Mereka adalah orang-orang yang menuhankan Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib as., imam-imam Ahli Bayt as., atau yang lain, dan meyakini penjelmaan Tuhan dalam diri mereka atau persatuan Tuhan dengan mereka. Akan tetapi sudah barang pasti ini bukan berarti seluruh ajaran yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyah tentang para imam mereka adalah berlebihan, seperti ajaran ishmah (kesucian para imam dari dosa dan kesalahan), raj’ah (kemunculan lagi sebagian manusia suci yang dikehendaki Tuhan), ilmu laduni (pengetahuan yang secara langsung diberikan kepada manusia suci oleh Tuhan), dan lain sebagainya, karena Syi’ah Imamiyah mengajukan bukti-bukti yang valid untuk masing-masing dari keyakinan tersebut.

Tanda-Tanda Ghuluw

Kepercayaan-kepercayaan yang menandai kelompok yang keluar batas dan berlebihan adalah: [1] Kepercayaan yang menuhankan Rasulullah saw., Amirul Mukminin Ali as., atau wali Allah swt. yang lainnya; [2] Kepercayaan bahwa pangaturan alam telah dipasrahkan kepada Rasulullah saw., Amirul Mukminin Ali as., imam-imam Ahli Bayt as., atau siapapun saja yang lain; [3] Kepercayaan Amirul Mukminin Ali as., imam-imam as., atau siapapun saja –selain para nabi yang telah terbukti– sebagai nabi; [4] Kepercayaan bahwa ada orang yang mengetahui alam gaib tanpa melalui wahyu atau ilham; [5] Kepercayaan bahwa makrifat dan kecintaan terhadap imam-imam suci Ahli Bayt as. membuat seseorang tidak membutuhkan lagi ibadah kepada Allah swt. atau melakukan ritual-ritual wajib lainnya. [5]

Adapun kepercayaan-kepercayaan yang didukung oleh bukti yang valid –rasional ataupun tekstual— maka tidak benar jika dikategorikan sebagai tanda ghuluw atau keluar batas dan berlebihan, seperti keyakinan terhadap kesucian Ahli Bayt as. dari dosa dan kesalahan, hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as. secara langsung setelah Rasulullah saw., hak kepemimpinan imam-imam suci Ahli Bayt as. setelah Imam Ali as., raj’at, ilmu laduni para imam, dan lain sebagainya yang masing-masing memiliki bukti-bukti yang kuat dan terbilang sebagai hakikat serta kebenaran.

Sikap Imam-imam Suci Ahli Bayt as. terhadap Kelompok Ghulat

Imam-imam suci Ahli Bayt as. bersikap jelas dan menentang fenomena ghuluw serta orang-orang ataupun kelompok-kelompok yang berlebihan (ghulat), Imam Ja’far Shadiq as. mengatakan: “Waspadailah pemuda-pemuda kalian jangan sampai terkena bahaya ghulat, jangan sampai kepercayaan ghulat merusak mereka, karena ghulat adalah sejelek-jelek ciptaan Tuhan, mereka (ghulat) menganggap remeh keagungan Allah (swt.) dan mempercayai ketuhanan hamba-hamba Allah (swt.)”. [6]

Amirul Mukminin Ali as. berlepas tangan di hadapan Allah swt. dari ghulat seraya berkata: “Ya Allah! aku berlepas tangan dari ghulat sebagaimana Isa putera Maryam berlepas tangan dari orang-orang Kristen. Ya Allah! hinakanlah mereka untuk selama-lamanya dan jangan bantu satupun di antara mereka”. [7]

Imam Ja’far Shadiq as. mengatakan: “Semoga Allah mengutuk Abdullah bin Saba’ yang menuhankan Amirul Mukminin Ali. Demi Allah, Amirul Mukminin Ali adalah hamba yang taat kepada Allah, celakalah orang yang mendustakan sesuatu kepada kami (Ahli Bayt as.). Ada kelompok yang mengatakan hal-hal tentang kami yang sesungguhnya kami tidak meyakini hal-hal itu”. [8]  Di tempat lain Imam Ja’far Shadiq as. mengatakan: “Semoga Allah melaknat siapa saja yang mengatakan kami adalah nabi”. [9]

Perlawanan Teolog-Teolog Syi’ah Imamiyah Terhadap Fenomena Ghuluw

Ulama dan teolog-teolog Syi’ah Imamiyah menentang keras kelompok ghulat (yang keluar batas kebenaran) dan menyatakan mereka sebagai orang kafir serta musyrik, mereka juga berlepas tangan dari kelompok ghulat tersebut. Syekh Shaduq mengatakan: “Keyakinan kami tentang ghulat dan mufawidloh (kelompok yang meyakini orang tertentu sebagai pihak yang dipasrahi untuk mengatur alam semesta) adalah mereka orang-orang yang kafir terhadap Allah”. [10] Syekh Mufid mengatakan: “Ghulat adalah kelompok yang berpura-pura muslim dan menuhankan Amirul Mukminin Ali serta imam-imam keturunannya atau menyatakan mereka sebagai nabi-nabi Allah. Mereka (ghulat) orang-orang yang sesat, kafir dan bahkan Amirul Mukminin Ali as. memerintahkan kita untuk membunuh mereka. Imam-imam as. yang lain juga menyatakan mereka kafir dan keluar dari agama Islam”. [11]

Allamah Hilli mengatakan: “Sebagian dari ghulat menuhankan Amirul Mukminin Ali as. dan sebagian yang lain mempercayai kenabian beliau. Kepercayaan-kepercayaan ini batil, karena kita telah buktikan bahwa Allah bukan benda, penjelmaan Tuhan adalah mustahil, dan persatuan Tuhan dengan yang lain juga batil. Begitu pula kita telah buktikan bahwa Muhammad saw. adalah penutup para nabi”. [12]

Dengan adanya sikap-sikap yang tegas sebagaimana tersebut di atas, maka aneh sekali dan sekaligus sangat disayangkan jika sebagian orang yang bermaksud negatif atau bodoh menuduh Syi’ah Imamiyah telah berlebihan dan keluar batas dalam meyakini imam-imam sucinya. Sudah barang tentu ini tidak lebih dari sekedar anggapan, karena ghuluw –sebagaimana dijelaskan di atas– adalah keluar batas seperti keyakinan terhadap ketuhanan atau kenabian para imam Ahli Bayt as., adapun hal-hal yang di luar kriteria ketuhanan dan kenabian tidak ada kaitannya dengan ghuluw atau sikap yang keluar dari batas agama, sebaliknya Syi’ah Imamiyah mempunyai bukti-bukti yang memuaskan tentang keyakinan-keyakinan mereka yang tidak sampai menuhankan para imam atau menganggap mereka sebagai nabi, keyakinan-keyakinan itu adalah hakikat dan bukan omong kosong. Seperti keyakinan ismah (kesucian para imam), wishoyah (hak kepemimpinan Ali as. secara langsung setelah Nabi saw.), roj’ah (kedatangan kembali manusia suci yang dikehendaki Allah), ilmu laduni dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mereka mempunyai bukti-bukti yang valid maka tidak bisa dikategorikan sebagai kepercayaan yang keluar batas atau berlebihan.

Pada dasarnya, tingkat kemaksuman (kesucian) atau anugrah keramat dan pengetahuan tentang alam gaib adalah kedudukan-kedudukan yang bisa diraih oleh para wali Allah swt. dan tidak khusus untuk para nabi atau imam. Al-Qur’an menceritakan kemaksuman siti Maryam sebagai berikut:

إنَّ اللهَ اصْطَفاكِ وَ طَهَّرَكِ وَ اصْطَفاكِ عَلی نِساءِ الْعالَمينَ / آل عمران: 42

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memilih engkau, mensucikan dan melebihkan engkau atas sekalian perempuan yang ada di alam semesta” (QS. 3: 42). Al-Qur’an juga menceritakan keramat salah satu sahabat Nabi Sulaiman as. sebagai berikut:

قالَ الَّذي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتابِ أنَا آتيكَ بِهِ قَبْلَ أنْ يَرْتَدَّ إلَيْكَ طَرْفُكَ / النمل: 40

Artinya: “Berkata seorang yang baginya ada ilmu tentang kitab, ‘aku akan mendatangkan –singgasananya– sebelum matamu berkedip’” (QS. 27: 40).

Di dalam literatur hadis-hadis Islam, bab tentang muhaddats, disebutkan orang-orang yang mencapai kedudukan tersebut. Muhaddats adalah orang yang tidak mempunyai kedudukan kenabian tapi dia menyaksikan malaikat pada saat tidur ataupun bangun, dan dia mendapatkan ilham tentang alam gaib melalui malaikat yang datang kepadanya. Muhammad bin Isma’il Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Di kalangan masyarakat Bani Isra’il ada orang-orang yang bukan nabi tapi mendapatkan ilham tentang alam gaib”. [13] Adapun di dalam literatur hadis Syi’ah, imam-imam suci Ahli Bayt as. disebut juga sebagai muhaddats, begitupula dengan Sayidah Fatimah Zahra as.. Kulaini mencatat hadis-hadis itu di dalam al-Kafinya dan Allamah Majlisi di dalam Biharul Anwar.

Tolok Ukur

Pada pembahasan di atas telah diisyaratkan bahwa arti bahasa ghuluw adalah keluar batas atau berlebihan, adapun sekarang kita akan coba mencari tolok ukur yang tidak boleh kurang dari itu dan juga tidak boleh melampauinya (ghuluw). Ada empat kemungkinan yang diajukan:

[1] Kebiasaan umum, yakni apa saja yang melampaui batas kebiasaan dan pemahaman umum dikategorikan sebagai ghuluw. Kemungkinan ini tidak benar dan tidak bisa diterima oleh setiap manusia yang beragama, karena ini tolok ukur bagi orang-orang yang tidak beragama bahkan tidak memandang agama berharga.

[2] Kedudukan sahabat Nabi saw., yakni kita harus meyakini kedudukan sahabat yang tidak dimiliki oleh selain mereka, dan ghuluw adalah meyakini keudukan yang sama atau bahkan lebih tinggi bagi selain sahabat. Kemungkinan ini juga tidak beralasan, bahkan sebaliknya termasuk pengulangan asumsi yang hendak kita buktikan.

[3] Pemahaman-pemahaman ulama Ahli Sunnah dari al-Qur’an dan sunnah. Kemungkinan ini juga tidak bisa diterima karena tidak ada alasan dan dokumen yang membuktikan sakralitas pemahaman kelompok tertentu dan menobatkannya sebagai tolok ukur bagi yang lain.

[4] Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.. Inilah satu-satunya tolok ukur yang benar dan bisa diterima baik oleh akal sehat, al-Qur’an, maupun sunnah itu sendiri. [14]

Catatan:

1. Fajrul Islam, hal. 330.
2. Tajul Arus: jilid 8, hal. 194.
3. As-Shilatu baynat Tashowwufi wat Tasyayyu’i, pasal tentang ghullat.
4. Lisanul Arob: jilid 15, hal. 132.
5. Biharul Anwar: jilid 25, hal. 346.
6. Ibid. Hal. 265, menukil dari Amali Syekh Thusi.
7. Ibid.
8. Ibid. Hal. 286, menukil dari Rijal Kassyi.
9. Ibid. Hal. 296.
10. Ibid. Hal. 296.
11. Al-I’tiqodat: hal. 71.
12. Anwarul Malakut: hal. 202.
13. Shohih Bukhori: jilid 2, hal. 295.
14. Tulisan ini diterjemahkan dari kitab Syi’eh Syenosi (Syiahologi) karya Ali Asghar Ridhwani, jilid 2, hal. 555-560.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar