Label

Jalan Kudus Imam Ali al Hadi as

Mereka hidup di atas puncak kekuasaan dengan dikawal oleh pengawal-pengawal kuat tapi puncak kekuasaan tak bermanfaat bagi mereka.  Mereka diturunkan dari kedudukannya setelah beberapa saat merasa mulia,  dan diletakkan di liang kuburan

Ketika itu Mutawakkil al Abbasi yang tengah berkuasa di Dinasti Abbasiyah meminta kepada seorang 'alim kenamaan dan tersohor, Ya'qûb bin Ishâq yang lebih dikenal dengan nama Ibn Sikkît untuk menanyakan suatu masalah yang sangat sulit kepada Imam Al-Hâdî as dengan harapan ia tidak dapat menyelesaikannya. Dengan ini, Mutawakkil dapat menjadikan ketidakbisaannya ini sebagai bahan untuk mengolok-oloknya di depan khalayak ramai. Ibn Sikkît pun mulai mencari sebuah masalah yang sangat pelik untuk dipersiapkan mengujinya. Setelah beberapa waktu berlalu, ia berhasil menemukan masalah tersebut. Mutawakkil pun mengumumkan sebuah seminar ilmiah (resmi) di istananya. Ibn Sikkît maju ke depan.

Setelah berdiri di hadapan Imam Ali Al-Hâdî as, ia mengajukan pertanyaanya seraya berkata: "Mengapa Allah mengutus Mûsâ dengan mukjizat tongkat dan telapak tangan yang putih bersinar, mengutus Isa dengan mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia, dan mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang?" Imam Al-Hâdî as menjawab: "Allah mengutus Mûsâ dengan membawa mukjizat tongkat dan tangan putih bersinar pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu sihir. Lalu, ia membawa mukjizat dari ilmu sihir itu yang dapat mengalahkan ilmu sihir mereka dan menetapkan hujjah atas mereka. Dia mengutus Isa dengan membawa mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu kedokteran. Ia membawa mukjizat dari ilmu kedokteran tersebut yang dapat mengalahkan dan membungkam mulut mereka. Dan Dia mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang pada masa yang dikuasai oleh pedang dan syair. Ia membawa mukjizat dari Al-Qur'an dan pedang yang dapat mengalahkan syair dan pedang mereka, serta menetapkan hujjah atas mereka ...."

Dengan jawab tersebut, Imam Al-Hâdî as memaparkan hikmah di balik pengutusan para rasul-Nya yang agung dengan membawa seluruh mukjizat tersebut di mana seluruh mukjizat itu sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku pada masa masing-masing. Allah swt telah menguatkan Mûsâ dengan mukjizat tongkat yang dapat berubah menjadi ular naga besar yang melahap seluruh tali-temali para penyihir yang disihir oleh mereka menjadi ular-ular itu. Dengan demikian, mereka merasa kalah dan menyerah di hadapan mukjizat tersebut dan mengumumkan keimanan mereka kepada kenabian Mûsâ as. Begitu juga, Allah swt menguatkannya dengan tangan yang putih bersinar bak matahari bersinar, dan ini adalah sebuah mukjizat atas kebenarannya. Allah swt. menguatkan Al-Masih Isa bin Maryam dengan mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia pada masa di mana ilmu medis dan kedokteran telah mencapai puncak kegemilangannya. Di hadapan mukjizat itu, para ahli media menyerah kalah.

Dan Allah swt. juga menguatkan pamungkas para Nabi saw dengan Al-Qur'an, sebuah mukjizat abadi yang bukan hanya dalam segi balaghah dan kefasihannya saja. Tetapi, di dalam kitab ini juga terkandung undang-undang yang sangat maju dan dapat menjamin terwujudnya kemuliaan dan kehidupan umat manusia yang aman. Dengan itu semua, para sastrawan Arab tidak mampu menandingi dan mengungguli kitab ini. Begitu juga, Allah swt. menguatkannya dengan pedang yang senantiasa menang dan unggul. Yaitu, pedang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang telah berhasil memanen kepala-kepala kaum musyrikin Arab yang membangkang. Para jawara Arab tidak memiliki nyali untuk menghadapi pedang ini. Mereka selalu bersemboyan: "Melarikan diri dari peperangan adalah sebuah cela kecuali dari pedang Ali." Pedangnya adalah bak halilintar yang dapat meluluh-lantakkan tokoh-tokoh musyrikin dan kaum kafir. Ala kulli hal, untuk selanjutnya Ibn Sikkît menanyakan dalil yang digunakan oleh Imam Al-Hâdî as untuk menjelaskan semua itu. Ia menjawab: "Akal. Dengan akal ini, pembohong atas nama Allah dapat dikenali. Dengan itu, ia layak dibohongkan." Ibn Sikkît pun bungkam dan tidak mampu untuk menandingi Imam Al-Hâdî as. Yahyâ bin Aktsam menyebarkan kekalahannya kepada khalayak ramai. Ibn Sikkît menjawab: "Ibn Sikkît memang tidak layak untuk berdialog. Ia hanyalah seorang ahli dalam bidang ilmu Nahwu, syair, dan bahasa."

Imam Ali Al-Hâdî as adalah orang yang paling 'alim pada masanya. Bukan hanya dalam bidang syariat Islam, tetapi dalam seluruh bidang ilmu pengetahuan. Kami telah memaparkan kemampuan ilmiah Imam Ali Al-Hâdî as. ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.

Ibadah

Satu hal yang menonjol dalam sirah dan sejarah hidup para imam maksum as adalah hubungan mereka yang erat dengan Allah swt. Kecintaan kepada-Nya telah tertancap di dalam hati mereka dan mengalir ke seluruh wujud dan naluri mereka. Mereka selalu menjalani kahidupan sehari-hari dengan berpuasa dan melewati malam-malam mereka dengan mengerjakan salat, bermunajat kepada Allah, dan membaca kitab-Nya. Ketika membandingkan kehidupan para imam suci ini dengan kehidupan Bani Abbâsiyah, penyair handal, Abu Firâs Al-Hamdânî bersenandung: “Tilawah Al-Qur'an bersenandung dalam rumah-rumah mereka, sementara itu kidungan dan petikan kecapi bersenandung di rumah-rumahmu”.

Umat manusia tidak pernah melihat seseorang yang seperti Imam Ali Al-Hâdî as dalam ibadah, ketakwaan, dan kegetolannya dalam menjalankan agama. Para perawi hadis mengatakan bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu salat sunnah pun. Ketika mengerjakan salat sunnah Maghrib, pada rakaat ketiga, ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Al-Hadîd hingga firman Allah yang berbunyi: "Wa huwa 'alîmun bi dzâtish shudûr." (QS. Al-Hadîd [57]:6) Dan pada rakaat keempat, ia membaca surah Al-Fâtihah dan ayat terakhir surah Al-Hujurât. Ia juga memiliki sebuah shalat sunah khusus. Salat sunnah ini berjumlah dua rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Yasin, serta pada rakaat kedua ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Ar-Rahmân. Kami telah memaparkan doa-doanya pada saat membaca qunut dan setelah mengerjakan salat Shubuh dan 'Ashar dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.

Bersama Mutawakkil

Mutawakkil Al-Abbâsî adalah orang yang paling memusuhi keluarga Nabawi saw. Ia dikenal dengan kebencian dan permusuhannya terhadap mereka. Ia adalah orang yang telah menghancurkan makam suci Sayidus Syuhada' Imam Husain as. dan melarang masyarakat menziarahinya, serta menyiksa orang yang berziarah kepadanya. Ia –seperti diakui oleh para ahli sejarah adalah lebih zalim terhadap Bani Ali as daripada Bani Umayyah yang telah dikenal sebagai keluarga yang memiliki permusuhan besar terhadap Ahlul Bait as. Faktor kebencian sang zalim ini adalah lantaran ia mendengar Imam Ali Al-Hâdî as memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati masyarakat luas dan tempat yang kokoh di dalam lubuk hati mereka. Ia pun marah besar karena itu. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan kondisi kehidupan Imam Ali Al-Hâdî as di bawah kekuasaan sang zalim ini secara ringkas.

a. Fitnah terhadap Imam Al-Imam Al-Hâdî

Salah seorang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama dan tidak mengharapkan perlindungan Allah swt. memfitnah Imam Al-Hâdî as. Abdullah bin Muhammad, gubernur Mutawakkil untuk Madinah mengadukan Imam Al-Hâdî kepadanya. Pengaduannya ini berisi hal-hal yang sangat berbahaya. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Banyak harta berdatangan dari berbagai penjuru negara Islam kepada Imam Al-Hâdî as. Dan tidak jauh kemungkinannya bahwa ia membeli senjata dengan harta tersebut untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Abbâsiyah. 

b. Imam Al-Hâdî as memiliki kecintaan dan keagungan di seluruh penjuru dunia Islam.

c. Ada kemungkinan Imam Al-Hâdî as akan mengadakan revolusi besar-besaran untuk menumbangkan kedaulatan dinasti Bani Abbâsiyah. Sang Gubernur memohon kepada Mutawakkil supaya ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara supaya garis perlawanannya tidak menguat.

b. Imam Al-Hâdî Menggagalkan Tindak Provokasi

Ketika mengetahui fitnah tersebut, Imam Ali Al-Hâdî as khawatir Mutawakkil mengambil keputusan-keputusan keras yang merugikan dirinya. Ia bergegas mengambil sikap untuk menggagalkan tindak provokasi ini. Ia menulis surat kepada Mutawakkil yang berisi penjelasan tentang kedengkian yang dimiliki oleh sang Gubernur, kejahatan tindakannya, dan kebohongan fitnahnya. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak ingin berbuat jahat terhadap Mutawakkil dan mengadakan perlawanan terhadap kekuasaannya. Ketika surat itu sampai di tangan Mutawakkil, ia yakin atas ketidakberdosaan Imam Al-Hâdî as dan kebohongan tuduhan yang telah dinisbahkan kepadanya.

c. Surat Mutawakkil untuk Imam Al-Hâdî

Sebagai jawaban atas surat Imam Ali Al-Hâdî as ini, Mutawakkil menulis sepucuk surat kepadanya. Di dalam surat ini, Mutawakkil menjelaskan bahwa ia telah mengetahui seluruh peristiwa yang sebenarnya dan ingin menurunkan Gubernur Madinah dari jabatannya. Begitu juga, ia mengundangnya untuk datang ke Samirra' dan berdomisili di situ. Berikut ini adalah teks surat Mutawakkil kepada Imam Al-Hâdî as:

Amma ba'du. Amirul Mukminin mengetahui kedudukan Anda, memperhatikan kekerabatan Anda, melaksanakan hak Anda, dan menentukan untuk Anda dan keluarga Anda apa yang Allah akan memperbaiki kondisi Anda dan kondisi mereka, mengokohkan kemuliaan Anda dan kemuliaan mereka, serta menjamin keamanan bagi Anda dan bagi mereka. Ia melakukan semua itu hanya untuk mengharap keridaan Tuhannya dan melaksanakan kewajiban yang telah diwajibkan atasnya terhadap Anda dan mereka.

Amirul Mukminin telah berniat untuk menurunkan Abdullah bin Muhammad dari jabatannya sebagai pemegang pucuk komando perang dan imam shalat di Madinah Rasulullah saw. Hal itu apabila apa yang telah Anda paparkan dalam surat itu karena kebodohannya terhadap hak Anda, peremehannya terhadap kedudukan Anda, dan lantaran sekedar tuduhan yang telah ia lakukan atas Anda di mana Amirul Mukminin tahu bahwa Anda terbebaskan dari semua itu dan Anda memiliki niat yang tulus dalam setiap kebaikan dan ucapan Anda, serta Anda tidak mempersiapkan diri untuk mengadakan apa yang telah dituduhkan kepada Anda tersebut. Sebagai gantinya, Amirul Mukminin telah menentukan Muhammad bin Fadhl dan memerintahkannya untuk menghormati dan mengagungkan Anda, menjadikan keputusan dan pendapat Anda sebagai keputusan terakhir dan penentu, serta mendekatkan diri kepada Allah dan Amirul Mukminin dengan semua itu.

Amirul Mukminin sangat rindu untuk memadu janji dan bersua dengan Anda. Jika Anda tidak berkeberatan, Anda dapat menziarahinya dan berdomisili di sisinya dengan membawa siapa pun di antara keluarga dan pembantu Anda yang Anda sukai, serta dengan penuh ketenangan dan kedamaian; Anda berangkat jika Anda kehendaki, Anda berhenti kapan pun Anda sukai, dan Anda berjalan kapan pun Anda kehendaki. Jika Anda menginginkan supaya Yahyâ bin Hurtsumah, budak Amirul Mukminin dan seluruh bala tentara yang berada di bawah komandonya mengawal Anda, hal itu semua terserah Anda. Dengan itu semua, kami hanya ingin melakukan ketaatan kepada Anda. Beristikharahlah kepada Allah sehingga Anda dapat berjumpa dengan Amirul Mukminin. Tak seorang pun dari keluarga dan orang-orang dekat Amirul Mukminin yang lebih memiliki kedudukan paling mulia, lebih memiliki kedekatan yang layak dipuji, yang lebih layak untuk dipandang, yang lebih dirindukan, yang lebih layak untuk dikucuri kebajikan, dan yang lebih menenangkan hatinya daripada Anda.

Wassalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Surat ini ditulis oleh Ibrahim bin Abbâs pada bulan Jumadits Tsaniyah 243 Hijriah.

d. Imam Ali Al-Hâdî Dihadirkan ke Samirra'

Mutawakkil memerintahkan Yahyâ bin Hurtsumah untuk pergi ke Madinah. Tujuan Mutawakkil adalah supaya menghadirkan Imam Ali Al-Hâdî as. ke Samirra' dan mengadakan sebuah penelitian yang jeli tentang tuduhan yang telah dituduhkan kepada Imam Al-Hâdî bahwa ia ingin menggulingkan kerajaan dan mengadakan perlawanan terhadap penguasa. Yahyâ pergi ke Madinah dengan tidak memiliki niat apa-apa. Ketika sampai di Madinah, ia berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as dan menyerahkan surat Mutawakkil kepadanya. Para penuduk Madinah merasa khawatir ketika mengetahui apa yang sedang terjadi, lantaran takut atas jiwa Imam Al-Hâdî di bawah pengawasan kezaliman sang lalim tersebut. Mereka sangat mencintai Imam Al-Hâdî lantaran ia senantiasa memberikan masukan kepada para ulama mereka, berbuat kebajikan kepada orang-orang miskin mereka, dan tidak memiliki sedikit pun kecenderungan terhadap harta dunia. Yahyâ menenangkan kekhawatiran mereka itu. Ia bersumpah kepada mereka bahwa ia tidak diperintah untuk menyakiti Imam Al-Hâdî as.

Imam Al-Hâdî as meninggalkan Madinah bersama keluarganya. Yahyâ berkhidmat kepadanya. Ia merasa takjub terhadap ketakwaan, ibadah, dan kezuhudan Imam Al-Hâdî as terhadap dunia. Rombongan itu pun berjalan menempuh padang sahara yang luas sehingga sampai di daerah Yâsiriyah. Rombongan ini disambut oleh Ishâq bin Ibrahim di situ. Ketika berita kedatangan Imam Al-Hâdî di Yâsiriyah tersebar, penduduk kota itu berbondong-bondong keluar untuk menyambutnya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan sesuatu terjadi merasa khawatir dengan seluruh penyambutan itu. Akhirnya, ia dimasukkan ke Baghdad pada malam hari supaya ia tidak disambut oleh para pengikut Syi'ah yang selalu haus ingin berjumpa dengannya dengan cara melakukan penyambutan yang semarak.

Yahyâ pergi untuk menjumpai Ishâq bin Ibrahim Azh-Zhâhirî, penguasa Baghdad. Yahyâ menceritakan kedudukan Imam Al-Hâdî as dan seluruh kezuhudan, ibadah, dan ketakwaannya yang telah ia saksikan sendiri. Ishâq berpesan kepadanya: "Sesungguhnya orang ini –yaitu Imam Al-Hâdî as- telah dilahirkan oleh Rasulullah saw, dan engkau telah mengetahui kesesatan dan penyelewengan Mutawakkil. Jika Mutawakkil mendengar sebuah kalimat yang mengandung penghinaan terhadapnya, niscaya Mutawakkil akan membunuhnya, dan Nabi saw akan menjadi musuhmu pada hari kiamat ...." Ishâq telah memberikan peringatan kepada Yahyâ supaya tidak menukil satu ucapan jelek pun bekenaan dengan hak Imam Al-Hâdî as kepada Mutawakkil yang telah dikenal sebagai orang yang memusuhi dan membenci Ahlul Bait as. Yahyâ bergegas menjawab: "Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu darinya yang dapat kuingkari dan juga tidak menemukan sesuatu darinya kecuali sesuatu yang indah."

Setelah itu, rombongan Imam Ali Al-Hâdî as meninggalkan Baghdad untuk menuju ke Samirra'. Ketika tiba di Samirra', Yahyâ bergegas menjumpai Washîf At-Turki, salah seorang yang memiliki kedudukan penting di jajaran kerajaan. Yahyâ memberitahukan kedatangan Imam Al-Hâdî as. di Samirra' kepadanya. Washîf pun segera memberikan peringatan kepada Yahyâ untuk tidak menukil sebuah kalimat pun yang dapat merusak nama baik Imam Al-Hâdî as kepada Mutawakkil seraya berkata: "Hai Yahyâ, demi Allah, jika sehelai rambutnya jatuh, hanya engkau yang akan dimintai pertanggungjawaban." Yahyâ pun merasa takjub dan terheran-heran dengan kesatuan wasiat Washîf At-Turki dan Ishâq, penguasa Baghdad tentang Imam Al-Hâdî as dan kelaziman untuk memeliharanya. 

e. Di Gubuk Sha'âlîk

Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as ditempatkan di gubuk Sha'âlik dengan tujuan untuk menjatuhkan dan meremehkan harga dirinya di mata khalayak ramai. Shâlih bin Sa'îd pernah menemuinya dan merasa sakit hati dengan apa yang dilihatnya seraya berkata: "Semoga aku menjadi tebusan Anda! Dalam setiap hal, mereka ingin memadamkan cahaya Anda dan meremehkan nilai Anda sehingga mereka menempatkan Anda di dalam gubuk yang menjijikkan ini, gubuk Sha'âlik." Imam Ali Al-Hâdî as. berterima kasih atas kecintaan dan ketulusan hatinya itu. Imam Al-Hâdî meringankan rasa sakit hati yang hinggap di kalbunya. Ia menampakkan mukjizat yang telah digunakan oleh Allah untuk menolong para wali dan nabi-Nya. Ia menenangkan kekhawatiran yang ada dalam hati Shâlih sehingga kesedihan hatinya pun sirna. 

f. Imam Al-Hâdî Hidup Bersama Mutawakkil

Yahyâ bergegas menjumpai Mutawakkil dan memberitahukan kebersihan sirah dan kezuhudan Imam Ali Al-Hâdî as kepadanya. Tak lupa ia juga menyampaikan bahwa ia telah menggeledah rumah Imam Al-Hâdî dan tidak menemukan apa pun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf dan kitab-kitab doa. Di samping itu, ia juga memberitahukan bahwa Imam Al-Hâdî terbebaskan dari segala tuduhan ingin menggulingkan kerajaan yang dituduhkan kepadanya itu. Dengan penjelasan ini, amarah sang lalim itu reda. Ia memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. dihadirkan ke hadapannya. Ketika Imam Al-Hâdî telah hadir di hadapannya, Mutawakkil menyambutnya dengan segala pengagungan dan pemuliaan, serta mempererat hubungan dengannya. Hanya saja, ia memaksanya untuk berdomisili di Samirra' supaya segala gerak-geriknya berada di bawah pengawasan dan pantauannya.

g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir?

Mutawakkil pernah bertanya kepada Ali bin Jahm tentang penyair termahir. Ali bin Jahm menyebutkan beberapa nama penyair yang pernah hidup pada masa jahiliyah. Akan tetapi, Mutawakkil tidak tertarik dengan semua nama itu. Akhirnya, ia menoleh ke arah Imam Ali Al-Hâdî as dan menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Imam Al-Hâdî as menjawab: "Al-Humânî. Dalam sebuah syairnya ia pernah berkata, “Sekelompok kaum Quraisy berbangga-bangga atas kami dengan jidad yang lebar dan jari-jemari yang terbentang. Jika kami mengadu perang mulut dengan mereka, ia menangkan kami atas mereka dengan seruan syahadatain. Engkau lihat kami terdiam sedangkan saksi keutamaan kami atas mereka selalu mendengung di setiap perkumpulan. Sungguh Rasulullah Ahmad adalah kakek kami dan kami anak cucunya bak bintang gumintang yang cerlang." Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as seraya bertanya: "Hai Abul Hasan, apa yang dimaksud dengan nidâ' ash-shawâmi'?" Imam Al-Hâdî as menjawab: "Asyhadu an lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammad(an) Rasulullah. Apakah Muhammad itu adalah kakekku atau kakekmu?" Sang lalim itu pun tersulut api amarah dan menjawab pertanyaannya ini dengan suara gemetar sembari berkata: "Ia adalah kakekmu, dan kami tidak mengingkari hal ini."  Namun sang lalim mengingkari seluruh keutamaan Imam Ali Al-Hâdî as dan jiwanya terpenuhi oleh kebencian dan permusuhan atasnya. Oleh karena itu, ia melakukan beberapa tindakan berikut ini:

1. Menggeledah Rumah Imam Al-Hâdî as

Ketika itu Mutawakkil memerintahkan kekuatan militernya untuk menyerang rumah Imam Ali Al-Hâdî as pada malam hari dan menahannya. Mereka menyerang rumahnya di pertengahan malam dan menemukannya sedang berada di dalam sebuah kamar yang tertutup. Pada saat itu, ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu dan duduk di atas pasir dan kerikil yang terhampar di atas lantai kamar itu dengan menghadap ke arah Kiblat sembari membaca firman Allah swt: "Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (al Qur’an Surah Al-Jâtsiyah ayat 21).  Mereka membawa Imam Al-Hâdî as ke hadapan Mutawakkil, sedangkan ia masih tetap dalam kondisi semula yang menggambarkan nilai spiritualitas para nabi as itu dan Mutawakkil sedang duduk di depan hidangan khamar dalam kondisi mabuk sempoyongan. Ketika melihat Imam Al-Hâdî as, ia menawarkan segelas khamar kepadanya. Imam Al-Hâdî as menghardiknya seraya berkata: "Demi Allah, daging dan darahku tidak pernah dikotori oleh khamar untuk selamanya." Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as seraya berkata: "Senandungkanlah syair untukku." Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Aku tidak banyak meriwayatkan syair." Sang lalim itu memaksa sembari berkata: "Engkau harus menyenandungkan syair untukku." Imam Al-Hâdî as tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengabulkan permintaannya itu. Lalu, ia membacakan bait-bait syair menyedihkan berikut ini yang dapat merubah sang lalim yang sedang mabuk sempoyongan itu menjadi sedih dan menangis:

Mereka hidup di atas puncak kekuasaan
dengan dikawal oleh pengawal-pengawal kuat
tapi puncak kekuasaan tak bermanfaat bagi mereka.
Mereka diturunkan dari kedudukannya
setelah beberapa saat merasa mulia,
dan diletakkan di liang kuburan.
Oh, alangkah jeleknya liang mereka.
Sebuah suara menyeru mereka setelah mereka dikuburkan:
"Manakah takhta, manakah pernik perhiasan,
dan manakah gemerlap mahkota?
Manakah wajah-wajah yang sebelumnya
bergelimangan nikmat, yang seluruh kelambu dan tirai
dibentangkan di hadapannya?
Liang kubur pun berbicara ketika ia mempertanyakan mereka:
Itulah wajah-wajah itu tengah digerayangi ulat-ulat
berpesta-pora. Mereka telah banyak makan
dan minum setelah beberapa masa,
dan setelah berselang masa yang lama itu,
mereka telah jadi mangsa.

Mutawakkil pun tersentak dan rasa mabuk pun sirna dari kepalanya. Ia kehilangan kontrol dan menangis sesenggukan. Ia memerintahkan supaya gelas-gelas khamar itu disingkirkan dari hadapannya seraya menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as sembari bertanya: "Hai Abul Hasan, apakah engkau memiliki utang?" Imam Al-Hâdî menjawab: "Ya. Empat puluh ribu dinar." Mutawakkil memerintahkan supaya uang itu diberikan kepadanya, dan ia dikembalikan ke rumahnya. Peristiwa ini mengindikasikan jihad dan sikap Imam Ali Al-Hâdî as yang agung dalam menghadapi sang lalim yang melakukan setiap dosa yang telah dilarang Allah swt. Ia tidak gentar dengan kerajaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Ia menasihati dan memperingatkannya atas siksa Allah yang sedang menanti. Ia juga memberitahukan masa depannya setelah ia meninggalkan dunia ini, dan bahwa bala tentara, kerajaan, dan seluruh kekuatan besar yang dimilikinya itu tidak dapat menolak kematian pasti yang telah dijanjikan. Lebih dari itu, ia memberitahukan nasib tubuhnya yang lemah itu setelah meninggal dunia, yaitu tubuh itu akan menjadi santapan ulat-ulat dengan berpesta-pora. Bisa dipastikan bahwa nasihat semacam ini belum pernah hinggap di telinga Mutawakkil. Karena, telinganya senantiasa dihirukkan oleh suara-suara merdu para penyanyi, dan ia dijemput maut sedangkan ia tersanjung di tengah-tengah para penari gemulai. Ia tidak pernah ingat kepada Allah swt selama masa ia hidup.

2. Embargo Ekonomi Terhadap Imam Al-Hâdî

Mutawakkil pernah memberlakukan embargo ekonomi yang sangat ketat terhadap Imam Al-Hâdî as dan menentukan siksaan yang paling keras bagi para pengikutnya yang mengantarkan harta-harta khumus dan zakat kepadanya atau melakukan jenis hubungan apapun dengannya. Dengan demikian, pada masa kekuasaan Mutawakkil ini, ia dan seluruh keturunan Bani Ali as hidup dalam krisis ekonomi yang sangat parah. Muslimin enggan untuk menunaikan hak-hak mereka karena takut kepada penguasa. Mukminin mengirimkan hak-hak mereka dengan menimbunnya di dalam kaleng minyak goreng dan menjual minyak goreng itu kepada mereka. Pihak penguasa tidak mengetahui strategi ini. Oleh karena itu, sebagian sahabat Imam Al-Hâdî as dikenal sebagai penjual minyak goreng.

3. Penangkapan dan Penahanan Imam Al-Hâdî

Sang lalim Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia mendekam di dalam rumah tahanan selama beberapa waktu. Pada suatu hari, Shaqr bin Abi Dilf menjenguknya di dalam penjara. Penjaga penjara menyambutnya dengan sangat hangat, dan ia tahu bahwa Shaqr adalah seorang pengikut Syi'ah. Penjaga penjara bertanya kepadanya: "Untuk keperluan apa kamu datang kemari?"

Shaqr menjawab: "Untuk sebuah kebaikan."

Ia bertanya lagi: "Mungkin kamu datang untuk menanyakan kondisi tuanmu?"

Shaqr menjawab: "Tuanku adalah Amirul Mukminin." Yang ia maksudkan adalah Mutawakkil.

Penjaga penjara itu tersenyum seraya berkata: "Diam kamu. Tuanmu adalah kebenaran –yaitu Imam Al-Hâdî as- dan janganlah kamu takut kepadaku, karena aku juga seorang Syi’ah."

Shaqr berujar lega: "Alhamdulillâh."

Ia bertanya lagi: "Kamu ingin untuk menjumpainya?"

"Ya," jawab Shaqr pendek.
Ia menjawab: "Duduklah hingga tukang pos itu keluar."

Ketika tukang pos itu keluar, penjaga penjara berkata kepada bawahannya: "Antarlah Shaqr ini dan masukkanlah ke dalam bilik yang dihuni oleh 'Alawi yang sedang ditahan itu, serta biarkanlah mereka berdua sendirian."

Bawahan itu mengantarkan Shaqr dan membawanya masuk ke dalam bilik Imam Al-Hâdî as. Ia duduk di atas sebuah pelepah kurma dan di hadapannya telah digali sebuah kuburan atas perintah Mutawakkil untuk menakut-nakutinya. Ia menoleh ke arah Shaqr seraya bertanya: "Hai Shaqr, apa yang menyebabkan kamu datang kemari?"

Shaqr menjawab: "Aku datang hanya untuk mengetahui kondisi Anda."

Shaqr pun menangis tersedu-sedu karena khawatir atas jiwa Imam Al-Hâdî as. Ia berkata kepadanya: "Hai Shaqr, janganlah kamu menangis. Mereka tidak akan dapat berbuat kejahatan terhadap kami ...." Imam Al-Hâdî as menenangkan rasa takutnya, dan ia bersyukur kepada Allah atas hal ini. Selanjutnya, ia bertanya tentang beberapa masalah agama, dan setelah Imam Al-Hâdî as menjawabnya, ia pun mohon pamit. 

h. Doa Imam Al-Hâdî Demi Kecelakaan Mutawakkil

Imam Al-Hâdî as sudah merasa tidak tahan lagi menghadapi Mutawakkil. Mutawakkil selalu memperlakukannya dengan segala jenis kekerasan dan menyiksanya dengan siksa yang paling pedih. Imam Al-Hâdî as mengadukan hal itu kepada Allah swt dan berdoa untuk kecelakaannya dengan doa Ahlul Bait as yang paling agung. Doa ini dikenal dengan nama "doa orang mazlum untuk kecelakaan orang zalim". Doa ini adalah salah satu doa simpanan yang sangat mulia. Kami telah menyebutkan doa ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as, dan tidak perlu lagi kami menyebutkannya lagi dalam biografi ringkas para imam maksum as. ini.

i. Imam Al-Hâdî Memberitahukan Kematian Mutawakkil

Mutawakkil menggunakan segala cara dan sarana untuk menurunkan derajat Imam Al-Hâdî as dan mengurangi pamornya di hadapan khalayak ramai. Ia memerintahkan seluruh rakyat untuk berjalan di hadapannya. Mereka melaksanakan perintahnya, dan Imam Al-Hâdî as berada di hadapan mereka sedang berkucuran keringat, karena pada waktu itu hawa memang sangat panas. Zurâqah, penjaga pintu istana Mutawakkil melihat Imam Al-Hâdî sedang berkucuran keringat. Zurâqah bergegas menuju ke arahnya dan mendudukkannya di dalam sebuah ruangan. Ia mengambil sebuah sapu tangan dan lantas menyapu keringat Imam Al-Hâdî yang sedang berkucuran. Ia berusaha meringankan kesedihan yang ada di dalam relung hatinya seraya berkata: "Anak pamanmu itu tidak memiliki tujuan apa-apa terhadapmu dengan tindakan ini ...."

Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Diamlah kamu!" Setelah itu, ia membaca firman Allah swt yang berbunyi: "Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." (al Qur’an Sruah Hûd: 65).

Zurâqah berkata: "Aku memiliki seorang sahabat Syi'ah. Aku sering bergurau dengannya. Ketika pulang ke rumahku, aku memanggilnya untuk datang ke rumahku. Ketika ia telah datang, aku memberitahukan kepadanya apa yang telah kudengar dari Imam Al-Hâdî. Lantas wajahnya berubah seraya berkata kepadaku, 'Berhati-hatilah dan kumpulkanlah seluruh harta yang kamu miliki, karena Mutawakkil akan mati atau dibunuh setelah tiga hari.'"

Ia menafsirkan hal itu dari kesaksian Imam Al-Hâdî as dengan ayat tersebut. Ucapannya berpengaruh kuat pada diri Zurâqah. Ia melanjutkan ceritanya: "Tidak ada jeleknya jika aku mempersiapkan segala sesuatunya. Jika memang hal itu terjadi, aku telah bersiap-siap diri sebelumnya, dan seandainya tidak terjadi sesuatu, semua itu tidak akan membahayakan aku. Akhirnya, aku menunggangi kudaku menuju ke istana Mutawakkil dan kukeluarkan seluruh harta milikku, lalu kutitipkan kepada orang yang kukenal. Tiga hari belum berlalu, Mutawakkil pun mati." Peristiwa ini menjadi faktor Zurâqah mendapatkan petunjuk dan meyakini imâmah.

j. Kematian Mutawakkil

Setelah Imam Al-Hâdî as. memberitahukan tentang kematiannya itu, Mutawakkil tidak hidup kecuali selama tiga hari. Anaknya yang bernama Muntashir mengatur rencana untuk membantainya. Beberapa orang berkebangsaan Turki menyerangnya pada malam Rabu yang bertepatan dengan tanggal 4 Syawal 247 Hijriah. Kelompok ini dipimpin oleh seorang berkebangsaan Turki yang bernama Bâghir. Mereka telah menghunus pedang-pedang mereka. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang dalam keadaan mabuk sempoyongan. Fath bin Khâqân ketakutan seraya menjerit: "Celaka kamu sekalian. Ini adalah Amirul Mukminin!" Mereka tidak menggubrisnya. Fath melemparkan dirinya di atas tubuh Mutawakkil supaya menjadi kambing korban baginya. Akan tetapi, tindakan Fath itu tidak dapat membela Mutawakkil dan tidak juga dirinya. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu menyabet tubuh mereka berdua dan memotong-motongnya sehingga tidak dikenali manakah potongan daging tubuh Mutawakkil dan potongan daging tubuh Fath. Sepotong daging mereka jatuh ke dalam gelas-gelas khamar (yang telah dihidangkan). Akhirnya, Mutawakkil dan Fath dikuburkan bersama dalam satu kuburan. Dengan peristiwa mengerikan ini, masa kekuasaan Mutawakkil-sebagai sosok yang paling memusuhi Ahlul Bait as berakhir.

Mengenang kematian Mutawakkil ini, seorang penyair yang bernama Ibrahim bin Ahmad Al-Asadî melantunkan bait-bait syair berikut ini:

Beginilah kematian orang-orang besar,
di dalam pelukan seruling, kecapi,
dan tetesan-tetesan khamar.
Di dalam gelimangan dua gelas
yang selalu mengenyangkannya, gelas kelezatan
dan gelas kematian. Ia selalu terjaga
dalam kebahagiaan hingga datang kematian
yang telah ditentukan Allah ketika ia lelap
tidur. Kematian memiliki tingkat-tingkat
yang berbeda-beda, dan di ujung pedanglah
kematian orang-orang besar.
Ia sendiri tidak tahu malaikat pembawa maut
mengirimkan berbagai macam penyakit
dan mala petaka. Ia merasa ketakutan
dan di malam yang gelap gulita,
pedang-pedang tajam mencabik-cabik tubuhnya. 

Penyair itu menangisinya dengan bait-bait syair yang menggambarkan kegilaan dan kekotoran perangainya. Ia dijemput maut pada saat ia bersenda gurau dengan gelas-gelas khamar dan alat-alat musik, dan segala penyakit yang sedang dideritanya tidak mencegah ia melakukan itu semua. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu telah memanen tubuhnya dan ia tidak meneguk rasa sakit kecuali sedikit. Sebelum ini, para penyair telah mengenang kematian para raja lantaran mereka enggan memperbaiki kondisi kehidupan sosial masyarakat, enggan menebarkan keadilan, keamanan, dan ketentramanan di tengah-tengah mereka. Ala kulli hal, mimpi buruk itu telah sirna dari tengah-tengah kehidupan Bani Ali dan para pengikut mereka. Dan sekarang, Muntashir –yang telah memimpin pemberontakan atas ayahnya sendiri- memegang tampuk kekhalifahan. Pemerintahannya ini diterima oleh masyarakat luas dengan kebahagiaan yang meluap. Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan itu, ia melakukan banyak kebaikan kepada Bani Ali. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Membatalkan pelarangan berziarah kepada Imam Husain as, pelopor kemuliaan ummat manusia itu, dan tindakannya ini mendapatkan pujian dan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Ayahnya telah memberlakukan pelarangan untuk menziarahi cucu Rasulullah saw ini dan menentukan hukuman-hukuman yang sangat berat bagi orang-orang yang berani menziarahinya.
b. Mengembalikan tanah Fadak kepada Bani Ali as.
c. Mengembalikan wakaf-wakaf Bani Ali as yang telah disita oleh pemerintah kepada mereka.
d. Menurunkan gubernur Madinah, Shâlih bin Ali yang telah berbuat jahat terhadap Bani Ali as dari kedudukannya. Sebagai gantinya, ia menunjuk Ali bin Hasan sebagai gubernur Madinah dan ia berwasiat kepadanya supaya bertindak baik terhadap Bani Ali as. 

Para penyair pun berterima kasih kepada Muntashir atas segala karunia dan kebaikan yang telah ia lakukan terhadap Bani Ali as tersebut. Yazid bin Muhammad al Mihlabî pun bersenandung:

Engkau telah berbuat baik kepada Bani Abu Thalib
setelah mereka mendapat cercaan
dan perlakukan jahat sekian lama.
Engkau kembalikan kecintaan kepada Bani Hâsyim
dan kau anggap sebagai saudara
setelah dimusuhi sekian lama.
Engkau tentramkan kehidupan mereka
dan berbuat derma atas mereka
sehingga mereka lupa sakit hati
sekian lama. Seandainya para leluhur
melihat engkau telah berbuat derma kepada mereka,
mereka yakin timbanganmu terberat di sana.

Al Muntashir telah menyambung tali kekerabatan dengan keluarga Nabawi setelah Bani Abbâsiyah, para leluhurnya selalu berusaha untuk memutusnya dan menghinakan mereka. Ia menghentikan segala ancaman, kesengsaraan, penghinaan, dan tekanan-tekanan yang selama itu dialami oleh mereka. Akan tetapi, sangat disayangkan sekali. Masa kekuasaannya tidak berlangsung lama. Seorang dokter kerajaan telah membunuhnya. Ia meracuninya atas dasar perintah dari bangsa Turki. Dan al Muntashir pun meninggal dunia pada saat itu juga. Dengan kematiannya itu, masyarakat telah kehilangan kebaikan yang tak terhingga. Ia telah berhasil memberikan kebebasan beragama kepada mereka dan membasmikan mimpi buruk itu dari kehidupan mereka.

Imam Ali al Hâdî Dibunuh

Setelah meningggalnya al Muntashir, Mu'tamid Al Abbâsî tidak tahan lagi melihat Imam Al Hâdî al Naqi as. Hal itu lantaran Imam Al-Hâdî memiliki kedudukan yang agung nan tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam. Mu'tamid marah besar ketika keutamaan-keutamaannya tersebar luas, dan seluruh majelis dan pertemuan-pertemuan sosial kemasyarakatan selalu membicarakan kehebatan ilmiahnya dan penguasaannya yang luar biasa terhadap masalah-masalah agama. Mu'tamid pun meracuni Imam Al-Hâdî as dengan racun pembunuh. Ketika Imam Al-Hâdî as meminum racun tersebut, sekujur tubuhnya teracuni dan ia tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Para tokoh dan pemuka Syi'ah senantiasa menjenguknya silih berganti. Di antara para penjenguk tersebut adalah Abu Hâsyim Al Ja'farî. Ketika ia melihatnya berperang melawan rasa sakit racun tersebut, tangisannya pun tak tertahan lagi.  

Ia melantunkan beberapa bait syair berikut ini:

Dunia menggoncang hatiku yang sedih pedih
dan rentetan musibah mengganyang
sekujur tubuhku. Ketika kudengar
berita Sang Imam pucat pasi terbentang sakit,
aku menjerit: "Kujadikan tebusannya jiwaku."

Agama pun sakit lantaran kau sakit,
dan bintang gumintang pun turut sakit
bersimpuh di hadapanmu.
Heran, apabila engkau mati lantaran sakit
dan penyakit, padahal engkaulah imam
dan musuh penyakit.
Engkaulah obat termujarab untuk agama
dan dunia, serta penghidup orang mati
dan yang masih hidup.


Bait-bait syair ini mengungkapkan kepedihan Abu Hâsyim dan kedalaman rasa sedihnya lantaran Imam Al-Hâdî as sakit itu, padahal ia adalah musuh penyakit, harapan umat, dan pemimpin mereka, telah menyayat hati Abu Hasyim.

Menuju Surga Abadi

Racun itu merasuki sekujur tubuh Imam Ali Al-Hâdî as dan kematian pun mendekat kepadanya dengan begitu cepat. Ketika merasa ajal sudah dekat, ia menghadap ke arah Kiblat dan membaca beberapa ayat kitab Allah yang mulia. Ajal menjemputnya sedangkan mulut sucinya masih membaca zikir. Ruhnya yang suci telah diangkat menuju Penciptanya dengan diiringi oleh para malaikat Rahman. Dunia akhirat terang benderang menunggu kedatangannya, sementara itu dunia fana menjadi gelap gulita karena kepergiannya. Dengan demikian, ayah, pemimpin, dan pembela hak-hak orang-orang lemah dan tertindas telah meninggal dunia.

Ritual Pemakaman

Putranya, Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as melaksanakan ritual pemakaman atas sang ayah. Imam Hasan al Askari as memandikan tubuh suci sang ayah dan mengafaninya. Ia menyalati sang ayah dengan bercucuran air mata dan hatinya seakan-akan tersayat sembilu karena kepergian ayah tercinta.

Pengantaran Jenazah

Seluruh lapisan penduduk kota Samirra' hiruk-pikuk berebutan untuk mendapatkan kejayaan mengantarkan jenazah Imam Al-Hâdî as yang suci itu. Para menteri, ulama, hakim, dan petinggi angkatan militer memimpin penggotongan jenazahnya, sedangkan mereka merasakan musibah yang sangat menyedihkan dan merenungkan kerugian besar tak terganti yang telah menimpa dunia Islam. Kota Samirra' tidak pernah menyaksikan acara ritual pengantaran jenazah sebesar dan seagung itu di mana seluruh lapisan masyarakat menghâdîrinya, baik orang-orang yang saleh maupun yang taleh. Kantor-kantor resmi pemerintah, pusat-pusat perniagaan, dan lain sebagainya juga libur secara resmi.

Persemayaman Terakhir

Tubuh suci sang iman itu pun dibawa menuju persemayamannya yang terakhir dengan diiringi oleh takbir dan takzim yang menggemuruh. Ia dimakamkan di rumahnya yang memang sudah dipersiapkan untuk makamnya sendiri dan makam keluarganya. Dengan kepergiannya ini, nilia-nilai insani yang sangat tinggi juga dikuburkan. Imam Ali Al-Hâdî as berusia empat puluh tahun dan ia wafat pada hari Senin, 25 Jumadil Akhir 254 Hijriah. Salam sejahtera atasmu, duhai Imam Ali Al-Hâdî as! 

Sumber: Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as oleh Bâqir Syarîf Al-Qurasyî 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar