Label

Islam di Antara Sosialisme dan Kapitalisme Barat


“Tulisan ini merupakan cuplikan pengantar buku Iqtishaduna yang ditulis oleh Syahid Muhammad Baqir Shadr”

Oleh Syahid Muhammad Baqir Shadr

Sejak dunia Islam mengenal bangsa Eropa dan manut begitu saja di bawah arahan intelektual dan kepemimpinannya dalam proses peradaban, ketimbang meyakini risalah nyatanya yang agung (Islam), apalagi menjadikannya sebagai pedoman pokok bagi kehidupan ummat manusia, sejak itu pula dunia Islam mulai menerima perannya dalam kehidupan, dalam rangka pengotak-ngotakan Negara yang diciptakan bangsa Eropa.

Dalam hal ini, mereka (bangsa Eropa) memilah-milah Negara-negara di dunia ke dalam kedua kategori berdasarkan tolok ukur kemampuan ekonomi dan potensi produktivitasnya –yakni Negara maju dan Negara miskin atau terbelakang.

Negara-negara dunia Islam yang semuanya dimasukkan ke kategori terakhir –sesuai logika bangsa Eropa, akhirnya dipaksa untuk mengakui kepemimpinan Negara-negara maju seraya memberi Negara-negara maju itu keleluasaan untuk menanamkan semangat mereka dalam diri ummat Islam, sekaligus –konon, meratakan jalan bagi kemajuan ummat.

Dengan cara ini, dunia Islam yang secara ekonomi digolongkan sebagai kumpulan Negara miskin, memulai kehidupannya dengan peradaban Barat dan melihat problem dirinya sebagai problem ketertinggalan ekonomi di belakang Negara-negara maju, yang kemajuan ekonominya telah memberi mereka tongkat kepemimpinan dunia.

Negara-negara maju tersebut lalu mengajari dunia Islam bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi problema ini –dan mengejar ketertinggalannya, adalah dengan mengadopsi gaya hidup bangsa Eropa yang dianggap sebagai kebiasaan yang prinsipil, seraya mengambil langkah-langkah dari kebiasaan ini dalam upaya membangun kemampuan ekonomi yang sempurna dan utuh demi mendongkrak keberadaan Negara-negara Islam agar sejajar dengan bangsa Eropa modern.

Subordinasi dunia Islam di bawah kebiasaan bangsa Eropa –sebagai pemimpin peradaban Barat, menampakan dirinya dalam tiga bentuk berturut-turut. Dan bentuk-bentuk tersebut tetap eksis hingga kini di berbagai belahan dunia Islam. Pertama, subordinasi politik yang ditandai dengan penguasaan secara langsung Negara-negara maju secara ekonomi atas Negara-negara terbelakang (dunia ketiga).

Kedua, subordinasi ekonomi yang berjalan seiring dengan kemunculan para penguasa yang mandiri secara politik di Negara-negara terbelakang. Subordinasi jenis ini ditandai dengan diberikannya keleluasaan yang penuh bagi perekenomian Eropa untuk berkiprah dalam Negara-negara tersebut dengan cara yang berbeda-beda –mengeksploitasi sumber daya utama mereka, mengisi kekosongan modal mereka dengan kapitalisme asing, dan memonopoli sejumlah alat ekonomi dengan dalih hendak melatih kaum pribumi (persis seperti yang dilakukan Amerika yang bekerjasama dengan orde baru Soeharto, peny.) di berbagai Negara agar siap menanggung beban pembangunan ekonomi negaranya.

Ketiga, subordinasi dalam metode yang dipraktikkan orang-orang di dunia Islam dalam banyak percobaan. Melalui eksperimen-eksperimen tersebut, mereka berupaya meraih kemandirian politik dan mengenyahkan dominasi politik dan ekonomi bangsa Eropa. Mereka mulai berpikir untuk bersandar pada kekuatan sendiri (semisal berdikari-nya Soekarno, peny.) dalam mengembangkan perekenomian dan mengatasi keterbelakangan mereka.

Bagaimana pun juga, mereka hanya mampu memahami karakteristik persoalan yang diperlihatkan oleh keterbelakangan ekonomi mereka dalam bingkai pemahaman bangsa Eropa tentangnya. Karena itu mereka dipaksa untuk memilih metode yang sama dengan yang digunakan bangsa Eropa dalam membangun perekonomian modernnya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar