Label

Islam Sebagai Turats



Oleh KH. Dr. Said Aqil Siradj

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin wa bihi nasta’in ‘ala umurid dunya wad-din….

Islam merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, bukan agama teroris. Dengan misi inilah Allah mengutus Rasul-Nya, Muhammad SAW. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. “ (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107).

Tiga hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang adalah: toleran, moderat, dan akomodatif. Bagi seorang muslim, keimanan yang hanya dibalut dengan simbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (al-akhlaq al-karimah).

Berjenggot panjang, memakai sorban dan bercelana diatas tumit, itu bagus. Tapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Ulama terdahulu, seperti Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Sina, dan sejumlah tokoh Islam terkemuka lainnya juga punya jenggot panjang dan memakai sorban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan sorban saja. Sebab, ajaran Islam sangat luas dan tidak bisa diwakili hanya dengan simbol belaka.

Simbol adalah kulit yang siapapun bisa melakukannya, hingga orang jahat sekalipun bisa melakukan itu dengan mudahnya. Jangan sampai dengan simbol kita terpancing untuk menjustifikasi bahwa seseorang itu muslim puritan atau abangan. Sehingga kita terjebak kepada situasi memprihatinkan seperti sekarang ini, dimana Islam diopinikan sebagai agama teroris, atau teroris diidentikkan dengan Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan terorisme dan perilaku ekstrem lainnya.

Sebaliknya, agama Islam adalah agama sempurna. Agama kebaikan bukan agama perusak. Demikianlah wasiat sakral yang maha penting dari pencipta alam dunia ini kepada Rasulullah SAW, dan seluruh umatnya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “ Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. “ (QS. Al-Qashash (28): 77).

Entitas kelompok-kelompok ekstrem bukan hanya ada di dalam perjalanan “ sejarah “ Islam, pun demikian dengan agama-agama lainnya, semisal Yahudi, Kristen, Shinto dan lainnya. Bahkan sejarah ekstremisme ada dalam semua agama. Doktrin metafora spasial yang beroposisi biner, seperti mukmin-kafir dalam Islam atau extra exclessia nullasalum dalam tradisi kristiani, merupakan potensi munculnya gejala ekstremisme agama. Padahal agama-agama itu mengajarkan kedamaian, tidak mengajarkan ekstremisme, khususnya Islam yang sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan rahmat bagi seluruh umat.

Lahirnya sekte ekstrem dalam sejarah Islam yang mana itu sangat dicela oleh Nabi SAW, sudah ada sejak abad pertama Hijriyah. Kelompok ini mulai berani menunjukkan diri di hadapan Nabi SAW, pada bulan Syawal tahun 8 Hijriyah, saat Beliau SAW, baru saja memenangkan perang Thaif dan Hunain. Dalam perang ini ghanimah yang diperoleh melimpah. Dalam pembagian yang dilakukan di Ja’ranah, tempat miqat umrah, sahabat senior Nabi seperti, Abu Bakar, Usman, Umar, Ali, Sa’ad dan lainnya tidak mendapatkan bagian ghanimah. Tapi sahabat yang baru masuk Islam, mendapat ghanimah meski mereka sudah kaya seperti Abu Sufyan.

Tiba-tiba seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju ke depan dengan sombongnya sambil berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad !“ Nabi SAW pun berkata, “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku saja tidak berbuat adil?“ Lantas Umar berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan kupenggal saja lehernya.“ Nabi menjawab, “Biarkan saja!“ Ketika orang itu berlalu Nabi SAW, bersabda “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya (tidak memahami substansi misi-misi Al-Qur’an dan hanya hafal di bibir saja). Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala, kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti halnya kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada kitab Az-zakah, bab al-Qismah). Dalam riwayat lain Beliau bersabda, “Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.” (HR. Shahih Muslim).

Prediksi Nabi SAW, terbukti pada Ahad pagi, 17 Ramadhan 40 H. Pagi itu al-Khalifah ar-Rasyid ke-4, Ali bin Abi Thalib, dibunuh di Kufah, Irak. Pembunuhnya adalah Abdurrahman Ibnu Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua yakni, Gubernur Syam (Syria) Muawiyah bin Abu sufyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash. Yang akan melakukan eksekusi pembunuhan kedua pemimpin Islam ini masing-masing adalah, Abdullah bin Barak dan Bakr At-Tamimi.

Mereka membunuh Sayidina Ali, karena menganggapnya kafir. Dengan alasan, karena Ali bersedia menerima keputusan hasil perundingan tahun 37 H, antara utusan Khalifah Ali yang dipimpin Abu Musa al-Asy’ari dan utusan Muawiyah yang dipimpin Amr Bin Ash. Masing-masing utusan berjumlah 350 orang. Perjanjian ini dilakukan untuk menghentikan perang saudara dalam peperangan Shifin.

Padahal mereka melakukan pembunuhan adalah kelompok yang memaksa Ali r.a untuk menerima perdamaian (perundingan) ketika peperangan hampir saja dimenangkan oleh pasukan Ali. Ketika Amr bin Ash melakukan tipuan dengan mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda mengajak perdamaian, Ali r.a dan komandan pasukannya, Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya. Tapi karena didesak oleh sekelompok orang, akhirnya Ali r.a pun menerima perdamaian itu. Namun anehnya, mereka yang sebelumnya mengintervensi Ali bin Abi Thalib untuk menerima perdamaian, akhirnya menganggap Ali kafir karena menerima hasil perundingan dan mereka pun akhirnya membunuh Ali r.a.

Mereka adalah kelompok yang tidak memahami Islam. Mereka rata-rata adalah qa’imu al-lail, shai’mu an-nahar, hafidzu al-qur’an. Mereka hafal Al-Qur’an, setiap malam shalat Tahajud, hampir tiap hari puasa sunnah, jidatnya hitam, dan lututnya kapalan untuk sujud. Gambaran ini diriwayatkan secara detail dalam syarah Shahih Muslim, termasuk sosok Dzul Khuwaisirah. Imam Nawawi menjelaskan, Dzul Khuwaisirah adalah sosok yang berjidat hitam, kepalanya botak tidak berambut, tinggi gamisnya setengah kaki dan jenggotnya panjang.

Ini adalah cikal bakal tumbuhnya kelompok ekstrem di dalam tubuh umat Islam. Dari kelompok yang membunuh Khalifah Ali inilah lahir kelompok yang disebut Khawarij. Kelompok ini memiliki prinsip, orang yang melakukan dosa besar satu kali dianggap kafir. Jadi, Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Aisyah, Thalhah, Zubair dan sahabat Nabi SAW lainnya yang terlibat perang saudara (Jamal dan Shifin) yang membunuh sesama muslim, dianggap kafir.

Kelompok ini berkembang menjadi oposisi pemerintah sepanjang masa. Kelompok ini juga memiliki militansi luar biasa dan cenderung nekat, karena 80 orang berani melawan penguasa Bani Umayyah. Akibatnya mereka pun tidak pernah menang, jika mati dalam peperangan mereka menganggap syahid. Kelompok ini pecah menjadi beberapa kelompok seperti Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdat dan ash-Shufriyah. Yang paling ekstrem yakni al-Azariqah, mengatakan, pokoknya selain Khawarij adalah kafir.

Lalu, apa hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi? Sampai akhir abad ke-17, Jazirah Arab masih terbagi empat wilayah, bagian utara berpusat di Syam (Syria), timur di Najd, barat di Hijaz, dan selatan di Yaman. Tapi diawal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad Ibnu Saud, yang didukung seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani. Pertama kali muncul, gerakan ini langsung dihabisi oleh Khalifah Utsmani yang memerintahkan Gubernur Mesir, Raja Fuad, untuk memeranginya. Dalam pertempuran ini Muhammad Ibnu Saud bisa dikalahkan dan salah satu anaknya, Faisal terbunuh.

Akan tetapi, Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Muhammad Saud, cucu Muhammad Saud, melarikan diri ke luar negeri untuk menghimpun kekuatan. Begitu ada kesempatan dengan dukungan pasukan yang sangat militan, Abdul Aziz menyerang Makkah. Begitu masuk Makkah, mereka langsung meratakan semua kuburan, termasuk kuburannya Siti Khadijah, Abdullah bin Zubaer, Asma binti Abu Bakar, kuburan para sahabat, dan semua kuburan ulama.

Situs-situs sejarah perkembangan Islam juga dibongkar; rumah paman Nabi SAW, dijadikan toilet, rumah Siti Khadijah difungsikan sebagai tempat pembuangan, rumah Sayyidina Ali dijadikan kandang keledai, rumah kelahiran Nabi SAW, dibongkar, Bab Bani Syaibah (tempat bersejarah untuk menentukan siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad) dihilangkan jejaknya, Baitul Arqam (tempat pengkaderan as-Sabiqin al-Awwalun) dibongkar, Daran-Nadwah diratakan, dan tempat mengajar Imam Syafi’I juga dibongkar.

Di antara kesimpulannya adalah, Salafi Wahabi bukanlah Khawarij. Karena Khawarij muncul pada tahun ke-37 Hijriyah diawal perkembangan Islam, sedangkan Salafi Wahabi baru hadir diabad ke-18 Masehi, atau 1200 tahun setelah masa Rasulullah SAW, yang ditandai dengan dakwah Muhammad Ibnu Abdul Wahab (w. 1206 H / 1792 M). Namun demikian, ada beberapa sisi kesamaan.

Saya sangat bergembira dengan adanya karya ilmiah dari Syaikh Idahram ini yang merupakan satu karya penting bagi masyarakat muslim Indonesia. Bisa dikatakan belum ditemukan karya setajam ini sebelumnya dalam mengkritisi Salafi Wahabi. Untuk itu, kehadiran buku ini perlu dibaca oleh segenap umat Islam, meskipun tentunya tidak lepas dari segala kekurangannya.

Wallahul-muwaffiq ila aqwamith-thariq.

Jakarta, 25 Mei 2010

Sumber: Dokumentasi PP Baitul Muslimin Indonesia.
Editor: Dwiki Setiyawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar