Label

Surat Cinta Tanpa Alamat


Dik, selami saja musik yang kugubah ini –bila kau tanpa sengaja menemukan puisi yang kutulis untukmu tanpa mesti merasa sia-sia –di antara berkas-berkas kusam dan traktat-traktat yang malas kau baca. Dan masuki kata per-katanya: adakah ia menyebut namamu atau ia terlampau mengigau tentang nasibnya yang sempat kau lupakan –di saat-saat kau sibuk dan bosan untuk menemaninya untuk sesaat saja. Adakalanya ia pun tertidur dan adakalanya ia menunggumu dengan setia.

Telah sekian musim dan tempat ia singgahi sebelum akhirnya ia dituliskan dan dinyanyikan setiap ia hendak menuliskannya.

Inilah November kesekian, Dik, semenjak aku tak lagi menghitung pucuk-pucuk daun yang tumbuh dan berganti, kala gerimisnya tak lagi kupahami sebagai peri-peri kecil yang turun dari langit. Bunga-bunga tebing memang mulai menguning, pertanda aku telah beberapa kali menyayangi dengan gelisah dan gembira sajak-sajak yang kukisahkan untukmu saban kali pagi dan sore hari memberiku seredup matamu yang damai itu, dan malam memberiku secahaya lampu yang tenang.

Dan masih selalu kudengarkan setiap gerak dan desir yang berhenti dan tak sanggup bergetar pada dinding dan kaca jendela.

Dengarkanlah, Dik, dengarkan saja semua yang ingin didongengkan diamnya yang meminta dan mengiba dengan sabar, sebab mulutku tak lagi mampu berbicara dengan bunyi yang telah kujadikan nada-nada musik yang kugubah ini. Sebab aku pun tak mau lagi menulis tentang kesedihan dan kesepian, apalagi tentang lagu-lagu yang aku dan kau enggan untuk menyanyikannya dengan riang dan bebas, seperti ketika seseorang berjumpa dengan kekasih lamanya yang baru datang.

Selami saja musik yang kugubah ini, Dik, bila kau tanpa sengaja menemukan puisi yang kutulis untukmu tanpa mesti merasa sia-sia.

(Sumber: Majalah Sastra Horison Edisi April 2010 dan Buku Mazmur Musim Sunyi, hal. 80). Sulaiman Djaya 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar