Label

Sejarah Penyimpangan Islam –Bagian Kedua


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari

Allah tidak membeda-bedakan keberadaan satu kaum dengan yang lainnya. “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” Coba Anda simak, bagaimana al-Quran dengan jelas membantah angan-angan yang pada gilirannya menjadi pemicu terjadinya dekadensi di kalangan muslimin tersebut. Al-Quran seakan-akan mengatakan, perbaikilah amal perbuatan kalian! Kita menyaksikan bahwa di masa para imam, pemikiran semacam ini tersebar luas ke tengah-tengah komunitas Syi’ah. Para imam dengan upaya maksimal memerangi pemikiran tersebut. Saya akan mengutip dua buah cerita yang berhubungan dengan masalah ini. Salah satunya sebagai berikut: Suatu ketika, khalifah Makmun meminta kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha as untuk menerima jabatan calon pengganti raja (waliy al-‘ahd). Namun beliau menolaknya. Lantaran terus menerus dipaksa, akhimya Imam menerimanya secara lahiriah. Bagi orang yang cermat dalam menganalisis masalah ini, akan diperoleh pemahaman bahwa pada saat Imam Ali Ridha menolak jabatan tersebut, beliau akan dianggap sebagai pembelot sehingga dirinya tidak lagi leluasa dalam bergerak. Kemudian, Makmun membentuk suatu pertemuan yang dihadiri banyak orang, di mana Imam berbicara di hadapan mereka.

Imam Ali Ridha memiliki seorang saudara yang bernama Zaid bin Musa bin Ja’far, yang terkenal dengan julukan Zaid an-Nâr. Zaid bin Musa pernah mengadakan perlawanan terhadap Makmun, namun gagal. Makmun telah memaafkan perbuatannya lantaran dirinya menghormati Imam Ali Ridha. Dalam pertemuan tersebut, Zaid bin Musa juga hadir. Saat itu, terdapat dua orang yang bernama Zaid putra imam. Selain Zaid bin Musa, ia adalah Zaid bin Ali bin Husain, saudara Imam Muhammad al-Baqir. Di antara keduanya, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia. Ia (dianggap sebagai) imam oleh para pengikut aliran Syi’ah Zaidiyyah. Pengikut Syi’ah di wilayah Yaman ini meyakini bahwa Zaid bin Ali adalah sosok imam setelah Imam Ali Zainal Abidin as. Berdasarkan keyakinan kita sebagai penganut Syi’ah Imamiyah –dan juga dari berbagai riwayat yang disampaikan para imam, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia dan tidak pernah mengaku sebagai imam. Pengakuan sebagai imam berasal dari orang lain. Namun Zaid an-Nâr berbeda dengannya. Di saat Imam Ali Ridha as berbicara di hadapan masyarakat umum, beliau memperhatikan Zaid yang saat itu tengah duduk di pinggir dan berbicara dengan orang sekitarnya. Imam mendengar Zaid seringkali menyebut kata-kata “kami Ahlul Bait”. Maksudnya, “Kami Ahlul Bait seperti ini, kami keluarga suci Nabi begitu, begini cara Allah memperlakukan kami Ahlul Bait,” dan seterusnya. Zaid banyak membanggakan kemulian-kemulian yang tidak semestinya.

Di tengah-tengah pidatonya kepada khalayak, Imam Ali Ridha memotong pembicaraannya dan memandang ke arah Zaid bin Musa, seraya berkata: “Wahai Zaid! Omong kosong apa yang kamu sampaikan kepada masyarakat? Keutamaan-keutaman yang kamu sebutkan, apakah kamu kira karena Allah fanatik terhadap kita? Apakah dikarenakan kita sebagai keluarga suci Nabi berarti kita dekat dengan Allah? Jika kamu berkata seperti ini, bahwa karena kita keluarga Nabi, jika melakukan perbuatan buruk, niscaya Allah akan memaafkan. Surga kita sudah dijamin dan kita pasti aman dari siksa neraka. Jika ucapanmu ini benar, berarti kamu lebih mulia dari ayahmu Musa bin Ja’far lantaran engkau telah mendapat jaminan surga. Engkau pasti masuk surga dan ayahmu Musa bin Ja’far juga masuk surga. Ayahmu menghabiskan umurnya dengan beramal, bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berbuat, dan beribadah. Sedangkan kamu hanya menghabiskan umur dengan menganggur. Berdasarkan ucapanmu, seharusnya kamu dan ayahmu Musa bin Ja’far termasuk orang-orang yang didekatkan ke sisi Allah. Jadi kamu lebih mulia dari ayahmu, karena dia menghabiskan umurnya untuk ibadah supaya sampai ke surga sedangkan engkau mencapainya tanpa beribadah.”

Untuk menyadarkannya, Imam ar Ridha segera memandang ke arah Wisya’, seorang perawi hadis yang berasal dari Kufah. Wisya’ termasuk ulama dan ahli hadis Kufah —pada masa itu pemikiran yang keliru dan menyimpang telah tersebar luas di kalangan ulama, di mana Imam Ali Ridha mengetahui hal tersebut dan bermaksud menyinggungnya). Imam berkata kepadanya: “Wisya’! Bagaimana penafsiran penduduk Kufah sehubungan dengan ayat al-Quran yang mengisahkan Nabi Nuh dan putranya. Dalam ayat tersebut Nabi Nuh berseru kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.”[8] Kemudian bagaimana kelanjutan firman Allah itu?” Wisya’ memahami maksud Imam dan berkata: “Wahai Imam, sebagian ulama di Kufah membaca ayat selanjumya sebagai berikut: “Sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.”

Ketika Nabi Nuh as berseru kepada Allah; “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, ampunilah dia (hati Nabi Nuh merasa iba terhadap putranya, sedangkan anaknya seorang pendosa). Ya Allah perkenankanlah aku menaikkan putraku ke atas bahtera agar ia tidak tenggelam. Kemudian turun ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.” Wisya’ mengatakan bahwa sebagian orang Kufah membaca ayat di atas sebagai berikut: Nabi Nuh as berseru kepada Allah; Tuhanku dia adalah anakku, ampunilah dosanya demi aku. Namun, kemudian penduduk Kufah membengkokan pengertian yang sebenarnya dari ayat tersebut, sehingga seolah-olah Allah mengatakan kepada Nabi Nuh as: “Wahai Nuh! Kamu keliru, dia bukan anakmu. Jika dia memang benar anakmu, Aku akan mengampuninya demi kamu. Aku tidak akan membuat susah seorang Nabi gara-gara perbuatan anaknya. Tapi kamu keliru, dia bukan dari keturunanmu. Dia bukan dari hasil perbuatanmu. Dia bukan putramu. Dia anak orang jahat dan fasik.” Tafsiran seperti ini merupakan penghinaan terhadap kedudukan seorang nabi. Orang-orang akan mengatakan kepada nabi tersebut bahwa istrimu di rumah telah berselingkuh, dan anak yang dilahirkannya bukanlah anakmu.

Wisya’ mengatakan bahwa tafsir yang dihasilkan sebagian penduduk Kufah tersebut menjatuhkan nama baik Nabi Nuh as. Imam Ali Ridha mengatakan: “Yang mereka katakan adalah kebohongan.” Mereka telah menyimpangkan ayat al-Quran. Ayat yang sebenarnya berbunyi: “…sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.” Ia telah melakukan perbuatan yang tidak baik meskipun ia adalah anakmu. Secara genetis, ia memang anakmu. Namun secara maknawi (spiritual), ia tidak termasuk keluargamu. Wahai Nuh, mengapa kamu ingin memberi syafa’at kepada anak yang jahat dan fasik ini? Permohonan Nabi Nuh as agar Allah mengampuni dosa anaknya, tidak terkabul. Dalam riwayat disebutkan bahwa selama bertahun-tahun, Nabi Nuh as meratapi dan menangisi serta memohon ampunan atas permohonannya ini. Imam Ali Ridha lantas berkata: “Apakah anak Nabi Nuh as bukan putra seorang Nabi? Wahai Zaid, mengapa Allah tidak mengabulkan permohonan seorang Nabi yang menginginkan supaya anaknya diampuni? Bahkan Allah mengatakan perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik. Apakah kamu mempunyai argumentasi yang lebih baik darinya?”

Pada kesempatan ini, saya juga akan membacakan riwayat lainnya. Dari riwayat sebelumnya bisa diketahui bahwa pada masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap keberadaan hadis dan riwayat. Seseorang mendatangi Imam Ja’far as seraya berkata: “Orang-orang banyak meriwayatkan hadis dari Anda. Saya ingin mengetahui apakah hadis tersebut benar atau keliru. Hadis tersebut sehubungan dengan masalah wilâyah dan amal perbuatan. Apakah benar Anda mengatakan: ‘Jika pengetahuan kamu tentang imâmah sudah benar, maka berbuatlah sekehendak hatimu.'” Imam Ja’far mengatakan: “Benar, saya pernah menyampaikan hadis tersebut.” Lalu orang tersebut menambahkan: “Apakah yang Anda maksud bahwa jika seseorang mengetahui imamnya secara benar, ia boleh berbuat sekehendak hatinya, meskipun dengan berzina dan mencuri?”[9] Imam terkejut mendengar itu. Kemudian beliau berkata: “Celakalah kamu! Seperti inikah kamu memahami ucapan saya? Maksud ucapan saya tidaklah identik dengan yang engkau pahami. Maksud ucapan saya adalah ketika seseorang mengenal imamnya dan mengetahui pengertian imamah secara benar, ia boleh mengerjakan perbuatan baik sekehendak hatinya.

Karena di saat mengenal imam, engkau akan mengetahui bagaimana cara melakukan perbuatan baik. Engkau sudah menemukan prasyarat bagi diterimanya amal perbuatan. Engkau sekarang telah mengenal imam. Engkau mengenal Imam Ali bin Abi Tbalib as, dan Imam Husain as. Kini seluruh perbuatan baik yang ingin engkau kerjakan, kerjakanlah! Kapankah saya mengatakan bahwa pada saat engkau mengenal imam, pada saat itu pula engkau bebas mengerjakan setiap perbuatan jahat dan kefasikan?” Coba Anda perhatikan, ketika kita merujuk kepada al-Quran, sunah Nabi, dan riwayat para Imam, akan nampak bahwa seluruh amal perbuatan memiliki dasar yang kokoh. Kita juga akan menyaksikan bahwa kebahagiaan manusia amat tergantung pada amal perbuatan. Maksudnya, manusia harus mewujudkan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya.

Penyimpangan Pemikiran

Apabila kita menelaah pemikiran kaum muslimin di abad kontemporer ini, kita akan menjumpai bahwa amal perbuatan telah dilecehkan sedemikian rupa. Amal perbuatan hanya dianggap sebatas formalitas dan konsep belaka. Kita menyaksikan bahwa bangsa kita tidak menaruh perhatian yang serius terhadap amal perbuatan. Umpama, seseorang beranggapan bahwa apabila kelak dirinya meninggal dunia dan kuburannya berdampingan dengan makam Imam Ali Ridha as atau Imam Husain as, maka seluruh dosanya akan terampuni. Apakah pemikiran seperti ini sesuai dengan ajaran Islam? Apakah masyarakat bisa menjamin bahwa jika mereka mengerjakan amal selama hidupnya, dan setelah meninggal dunia dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha, maka semua dosa-dosanya akan terampuni dan mereka akan mencapai kebahagiaan abadi di alam akhirat? Jika engkau ingin dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha as agar dosa-dosamu terampuni, maka Harun Ar-Rasyid (ahli maksiat) akan terpelihara dari siksa Allah lantaran ia dimakamkan persis di bawah kaki Imam Ali Ridha.

Namun mengapa ketika hendak dimakamkan di atas kepala Imam Ali Ridha as, jasad Harun tidak bisa diletakkan ke dalam liang lahat? Itu dikarenakan Harun dan putranya (Makmun) merupakan orang-orang yang terkutuk. Semua itu merupakan pemikiran yang menyimpang dan mati. Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa kita hendak menelaah “upaya menghidupkan kembali pemikiran Islam”, yang salah satunya berkenaan dengan masalah “beramal”. Pemikiran kita harus hidup dan dinamis. Kita harus memahami bahwa Islam merupakan agama praktik, bukan agama yang berhubungan dengan imajinasi.

Masalah Kekebalan Hukum

Dalam Islam, sama sekali tidak terdapat kekebalan hukum. Dahulu kala, memang terdapat kekebalan hukum bagi sejumlah individu. Bila seseorang melakukan kejahatan dan pihak aparat hendak menangkapnya, ia bisa meminta perlindungan dari tokoh agama yang sangat berpengaruh. Dengan demikian, pihak aparat berwajib tidak akan mampu menangkapnya. Kejahatan telah dilakukan dan menurut ketetapan undang-undang pelakunya harus dijatuhi hukuman –namun ketika pelakunya berlindung di balik pribadi seorang tokoh berpengaruh, pihak pemerintah tidak akan berani menghukumnya dikarenakan kekebalan hukum yang dimiliki tokoh tersebut. Kadangkala kita menyangka bahwa dalam ajaran Allah terdapat pula konsep kekebalan hukum. Padahal, kekebalan hukum sama sekali tidak termaktub dalam ajaran Islam.

Imam Husain atau Imam Ali Ridha as tidaklah memiliki kekebalan hukum. Bahkan, kekebalan hukum akan bertolak belakang dengan pemikiran Imam Husain dan Imam Ali as. Sepanjang hidupnya, mereka tidak pernah menerima konsep kekebalan hukum. Lantas, apakah setelah wafat (syahid, — peny.), mereka akan menerima konsep tersebut? Jika Anda mempelajari kitab Nahjul Balâghah, Anda akan menjumpai dua perkara yang acapkali disebutkan secara berulang-ulang, yaitu masalah “takwa” dan “amal shaleh”. Anehnya, kita malah menutup mata dari kedua perkata penting tersebut bahkan menolak keduanya. Kita tidak meyakini nilai amal shalih dan ketakwaan. Kita hanya menghabiskan umur tanpa melakukan amal shalih (perbuatan baik), namun kemudian mewasiatkan kepada ahli waris apabila kelak meninggal dunia, kita ingin dimakamkan di Najaf berdampingan dengan makam Imam Ali as. Perbuatan seperti ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Saya akan membacakan dua hadis sekaitan dengan masalah di atas. Pada hari pengangkatan kenabian (yaumul bi’tsah), turunlah ayat yang berbunyi: “Dan berikanlah peringatan kepada keluarga dekatmu.”[10]

Setelah ayat ini turun, Rasulullah SAWW mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim dan berkata di hadapan mereka: “Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Muthalib! Janganlah kalian datang kelak pada hari kiamat dengan mengandalkan hubungan kekeluargaan denganku, sedangkan manusia datang pada hari itu dengan membawa bekal amal perbuatan baik mereka. Hubungan kekeluargaan pada hari kiamat tidak akan berguna.” Terdapat pula riwayat lain yang berhubungan dengan putri Nabi, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, seorang wanita suci yang disebut Rasulullah SAWW sebagai “bagian dari tubuhku”. Berkenaan dengan Sayyidah Fathimah as, Rasulullah SAWW pemah mengatakan: “Wahai putriku Fathimah as, beramallah untuk dirimu sendiri, karena aku tidak bisa membantumu kelak di akhirat. Hubungan kekeluargaan denganku tidak akan bermanfaat pada hari itu. Terimalah ajaran yang aku sampaikan dan amalkanlah. Jangan kamu mengatakan ayahku seorang Nabi. Ucapan ‘ayahku seorang Nabi’ tidak akan berguna pada hari kiamat. Yang berguna adalah mengamalkan perintah dan ajaran ayahmu.”[11]

Anda harus mempelajari biografi kehidupan Sayyidah Fathimah as. Pada saat Anda mengkaji kehidupan wanita suci ini, Anda akan mengetahui bahwa beliau tidak pernah membanggakan diri sebagai putri Nabi akhir zaman. Terdapat riwayat yang menyebutkan, setiap kali Sayyidah Fathimah as berdiri di mihrabnya untuk menunaikan sholat, tubuhnya senantiasa bergetar. Itu dikarenakan beliau akan menghadap Allah Swt, beliau menangis lantaran takut (siksa) Allah. Setiap malam Jumat, beliau tidak pernah tidur dan menghabiskan malam itu untuk menangis dan meratapi dosa-dosa. Saya juga mempersilahkan Anda untuk menyaksikan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as. Saya tidak tahu, mengapa kita seperti ini? Jika amal perbuatan memang tidak ada manfaamya dan tidak menimbulkan pengaruh (dalam menciptakan kebahagiaan), maka Sayyidah Fathimah as lebih layak untuk tidak beramal. Demikian pula halnya dengan Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Hasan as, Imam Husain as, dan Imam Ali bin Abi Thalib as yang setiap tengah malam selalu tenggelam dalam rasa takut terhadap (siksa) Allah. Apa yang menyebabkan semua itu? Apakah Imam Ali as lupa bahwa dirinya merupakan orang yang pertama kali masuk Islam? Apakah Imam lupa kalau dirinya adalah menantu Nabi dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan Rasulullah? Inilah ajaran Islam. Lantaran ajaran Islam telah disampaikan kepadanya dengan benar, maka kendati beliau putra Nabi, namun beliau tidak pernah mengandalkan hubungan nasabnya. Ia lebih mengedepankan kualitas amal perbuatannya sendiri. Prinsip yang dijunjungnya adalah menjalankan ajaran Nabi.

Inilah salah satu musibah pemikiran yang menimpa kaum muslimin pada permulaan Islam. Akan tetapi, kadar musibah yang menimpa tersebut sangatlah lemah lantaran orang-orang Syi’ah dan sebagian besar penganut Ahlussunnah menentang pemikiran itu (pemikiran bahwa amal tidak memberikan pengaruh dalam menciptakan kebahagiaan manusia, —pent.). Banyak terdapat faktor yang menyebabkan tersebarnya pemikiran yang menyimpang. Sehubungan dengan persoalan ini, ada sejumlah mimpi serta kejadian yang pernah saya kemukakan beberapa kali di sejumlah universitas. Di kalangan ulama Syi’ah, Muqaddas Ardibili dikenal sebagai ulama yang zuhud dan bertakwa. Ia termasuk salah seorang tokoh yang berilmu tinggi dan pakar dalam bidang fikih. Syeikh Anshori menyebutnya dengan Muhaqqiq Ardibili. Beliau orang yang sangat bertakwa dan begitu zuhud. Banyak orang yang menuturkan bahwa beliau memiliki berbagai karamah. Ia merupakan orang yang rajin beramal.

Pernah pada suatu ketika, seseorang melihat Muqaddas Ardilibi dalam mimpinya. Orang tersebut bertanya kepada beliau: “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Beliau mengatakan: “Allah menyayangiku dan memperlakukanku dengan baik.” Kembali orang tersebut bertanya: “Apa yang menyelamatkanmu dari siksa-Nya?” Beliau menjawab: “Saya melihat pasar amal perbuatan begitu sunyi (di hari kiamat).” Apa maksud dari ungkapan tersebut? Bahwa pasar amal perbuatan begitu sepi di hari kiamat, sedangkan Al-Quran menyatakan bahwa di hari kiamat, pasar amal perbuatan manusia sangatlah ramai (pada hari kiamat Allah membeli amal perbuatan manusia, di mana amal perbuatan yang baik dibayar Allah dengan pahala surga dan amal perbuatan buruk akan dibayar Allah dengan siksa neraka. Ungkapan ini merupakan ungkapan kiasan, —pent.). Namun menurut kisah dalam mimpi tersebut, pasar amal perbuatan akan sepi di hari kiamat. Jika pada hari kiamat, pasar amal, perbuatan bakal sepi, lantas apa yang menjadikannya ramai oleh para pembeli? Pemikiran seperti ini ibarat penyakit yang menggerogoti kulit dan tubuh sedemikian rupa sampai-sampai ia hanya menyisakan tulang belulang. Pemikiran semacam ini justru akan merusak akidah.

Saya juga akan menyampaikan riwayat dari Imam Muhammad Baqir sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Kâfî. Imam Muhammad Baqir pernah berpesan kepada orang-orang Syi’ah dengan mengatakan: “Sampaikanlah pesanku kepada Syi’ah (pengikut) kami….” Ucapan tersebut mencerminkan bahwa beliau mengetahui adanya pemikiran yang menyimpang yang sedang menyebar di tengah-tengah pengikumya. Beliau mengatakan: “Bukan termasuk pengikut kami, kecuali orang yang wara’ (orang yang berhati-hati dalam menjalankan agamanya), orang yang bertakwa, dan orang yang bersungguh-sungguh dalam perbuatannya, berusaha keras, aktif, dan beramal. Selain dari itu tidak kami terima sebagai pengikut kami (Ahlul Bait).” Dalam kitab Nahjul Balâghah disebutkan adanya seseorang yang mengunjungi Imam Ali as untuk meminta nasihat. Imam mengatakan: “]anganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat, akan tetapi kamu tidak mau beramal. Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang. Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pembicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya.”[12]

Apabila pada hari ini kita meminta nasihat kepada Imam Ali as, beliau pasti akan menyampaikan hal ini. Ucapan Imam Ali as yang berbunyi: “Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan (kebahagiaan) akhirat tanpa beramal.” Maksudnya, seluruh harapan dan angan-angan tak lebih dari kebohongan belaka. “]angan menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang.” Maksudnya, janganlah kamu mengulur-ulur taubat dan mengatakan bahwa untuk bertaubat belum terlambat dan waktu untuk itu masihlah panjang. Tatkala Imam Ali as mengatakan: “Wahai manusia, janganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat akan tetapi kamu tidak mau beramal,” beliau kemudian menjelaskan maksudnya dalam ungkapan berikut: “Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pernbicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar