Label

Minoritas Syi’ah dan Mayoritas Sunni

Oleh Allamah Husain Thabathaba’i

Para pencinta dan pengikut Ali as —mengingat kedudukan yang dimilikinya di sisi Rasulullah saw, para sahabat, dan Muslimin— yakin seratus persen bahwa ia akan memegang kekhalifahan dan kepemimpinan setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Situasi dan kondisi waktu itu —kecuali beberapa peristiwa yang terjadi pada saat Rasulullah saw sakit [1]—memperkuat keyakinan mereka itu (dan memihak kepada mereka).

Akan tetapi, berbeda dengan penantian mereka, ketika Rasulullah saw wafat dan jenazah beliau yang suci belum dikebumikan, serta Ahlulbait as dan sebagian sahabat masih berada dalam suasana berkabung dan mempersiapkan keperluan tasyyi’ jenazah, mereka mendapat berita bahwa sebagian sahabat —yang nantinya dapat memenangkan suara mayoritas— dengan penuh ketergesa-gesaan dan tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengan Ahlulbait, keluarga, dan para pengikut Rasulullah saw yang lain, bahkan mereka pun tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada mereka, di bawah kedok menginginkan kebaikan (bagi kehidupan Muslimin) telah menentukan seorang khalifah bagi mereka dan menghadapkan Ali as dan para pengikutnya dengan sebuah keputusan yang sudah diambil.[2]

Setelah usai mengebumikan Rasulullah saw dan mendengarkan berita itu, Ali as dan para pengikut setianya, seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar Yasir, bangkit dan menentang pemilihan khalifah dan para sutradaranya itu. Mereka juga mengadakan pertemuan-pertemuan resmi dengan masyarakat. Akan tetapi, malah “memang demikianlah kemaslahatan Muslimin menuntut” adalah jawaban yang mereka dapatkan.[3]

Penentangan dan pengakuan (baca: jawaban) itulah yang memisahkan golongan minoritas (Syi’ah) dari golongan mayoritas (Sunni), dan memperkenalkan para pengikut setia Ali as kepada masyarakat (Islam) dengan julukan “Syi‘ah Ali”. Pihak penguasa —sesuai dengan tuntutan politik waktu itu— selalu berusaha supaya golongan minoritas ini tidak dikenal dengan julukan tersebut sehingga masyarakat kala itu tidak —terkesan— terbagi menjadi dua golongan minoritas (Syi’ah) dan mayoritas (Sunni). Mereka mengumumkan bahwa pemilihan khalifah itu adalah hasil pemilihan yang telah disepakati bersama (ijmâ’) dan menamakan penentangnya dengan pengingkar bai’at dan penentang jamaah Muslimin. Dan kadang-kadang, mereka menjulukinya dengan ungkapan-ungkapan yang sangat keji lainnya.[4]

Syi‘ah semenjak hari-hari pertama telah menjadi korban permainan politik kala itu. Hanya dengan penentangan, mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Dan Ali as pun —demi menjaga kemaslahatan Islam dan Muslimin, serta karena tidak adanya kekuatan yang memadai— enggan mengadakan perlawanan berdarah. Akan tetapi, kelompok penentang ini —dari segi keyakinan— tidak pernah menyerah kepada golongan mayoritas dan mereka masih bersiteguh bahwa kekhalifahan Rasulullah saw adalah hak Ali as yang tidak dapat diganggu-gugat.[5] Dalam hal-hal ilmiah dan spiritualitas, mereka hanya merujuk kepadanya, dan mereka selalu mengajak orang lain untuk membelanya.[6]

Kekhalifahan dan Sentralisasi Keilmuan

Berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang telah diperolehnya, Syi‘ah meyakini bahwa kejelasan ajaran-ajaran dan budaya Islam menempati peringkat urgensi yang paling utama,[7] dan setelah itu, pengaktualisasiannya di tengah-tengah masyarakat Islam menempati peringkat berikutnya.

Dengan kata lain, pertama, anggota masyarakat harus melihat dunia dan manusia dengan kaca mata realistis. Mereka harus mengetahui tugas-tugas insaninya sesuai dengan kemaslahatan sejati dan mengamalkannya meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginan hati mereka. Dan kedua, sebuah pemerintahan Islam harus memelihara dan menjalankan undang-undang Islam sejati di dalam masyarakat sedemikian rupa sekiranya basis kecenderungan terhadap Islam tersedia secara sempurna sehingga masyarakat tidak menyembah selain Allah dan dapat merasakan manisnya kebebasan yang sempurna dan keadilan sosial-individual.

Kedua tujuan itu harus dilaksanakan melalui tangan seseorang yang memiliki ‘ishmah (keterjagaan) dan proteksi Ilahi. Jika tidak, sangat mungkin seseorang akan menjadi penguasa pemerintahan atau sentral keilmuan yang dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah dilimpahkan kepadanya tidak terjamin dari penyelewengan pemikiran atau pengkhianatan. Sebagai akibatnya, secara perlahan-lahan, kepemimpinan adil Islam yang memiliki misi pembebasan itu akan berubah menjadi sistem kerajaan yang diktator dan kepemimpinan Kaisar, dan ajaran-ajaran Islam yang suci ini —sebagaimana ajaran-ajaran agama-agama lain— akan mengalami distorsi (tahrîf) dan perubahan-perubahan di tangan para ulama egois dan penyembah hawa nafsu. Dan satu-satunya orang yang —sesuai dengan sabda Rasulullah saw— ucapan dan perilakunya selalu benar dan sirahnya sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah beliau sepenuhnya adalah Ali as.[8]

Jika (alasannya) seperti yang telah dilontarkan oleh golongan mayoritas bahwa Quraisy menentang kekhalifahan Ali yang hak (sehingga mereka terpaksa harus menentukan orang lain sebagai khalifah), semestinya mereka harus memaksa para penentang untuk menerima kebenaran dan menyadarkan para pembangkang (atas kesalahan mereka) sebagaimana mereka telah (berani) memerangi sekelompok orang yang enggan menunaikan zakat dan bersikeras untuk memungutnya, bukannya malah membumihanguskan kebenaran lantaran takut kepada Quraisy.

Iya! Faktor yang mencegah Syi‘ah untuk menyetujui pemilihan khalifah (yang telah disepakati) itu adalah rasa khawatir atas konsekuensinya yang —pasti— sangat mengerikan. Yaitu, kerusakan metode pemerintahan Islam dan terberangusnya ajaran-ajarannya yang tinggi. Secara kebetulan, peristiwa-peristiwa susulan setelah peristiwa (pemilihan khalifah) itu —hari demi hari— membuktikan kebenaran keyakinan atau prediksi tersebut. Dan sebagai konsekuensinya, Syi‘ah semakin teguh memegang keyakinannya. Meskipun mereka —secara eksoteris— dengan jumlah permulaannya yang dapat dihitung dengan jari tertelan di dalam gelombang golongan mayoritas dan —secara esoteris— bersikeras untuk hanya mengambil ajaran-ajaran Islam dari Ahlulbait as dan berdakwah sesuai dengan metode mereka, akan tetapi, demi mencapai kemajuan Islam dan menjaga kekuatannya, mereka tidak mengadakan perlawanan secara terang-terangan. Bahkan, para pengikut Syi‘ah selalu saling bahu-membahu bersama golongan mayoritas untuk melakukan jihad dan hadir aktif dalam menangani masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Ali as sendiri —dalam kondisi yang penting dan esensial— selalu memberikan petunjuk kepada golongan mayoritas dalam rangka mencapai kepentingan Islam.[9]

Catatan:

[1] Ketika sakit, Nabi Muhammad saw mempersiapkan sebuah laskar jihad di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Beliau menegaskan supaya seluruh sahabat ikut serta dalam peperangan tersebut dan keluar dari kota Madinah. Sebagian sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar, tidak mendengarkan perintah tegas beliau itu. Hal itu menyebabkan Rasulullah saw murka. Silakan rujuk Syarah Ibn Abil Hadid, cetakan Mesir, jilid 1, hal. 53.
Menjelang wafat, Rasulullah saw bersabda, “Berilah aku pena supaya kutuliskan bagi kalian sebuah surat yang dapat membukakan jalan petunjuk bagi kalian dan (dengannya) kalian tidak akan tersesat.” Umar mencegahnya seraya berkata, “Sakitnya telah parah dan ia sedang mengigau!” Silakan rujuk Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 436, Shahih Bukhari, jilid 3, Shahih Muslim, jilid 5, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 5, hal. 227, dan Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 133.
“Kondisi” Rasulullah saw ini juga pernah menimpa Khalifah Pertama ketika ia sedang menghadapi kematian dan menulis surat wasiat untuk (kekhalifahan) Umar. Bahkan, ketika sedang menulis wasiat itu, ia tidak sadarkan diri. Anehnya, Umar tidak berkomentar sedikit pun dan tidak mengatakan bahwa ia sedang mengigau, padahal ketika menulis surat wasiat itu, Khalifah Pertama itu sedang tidak sadarkan diri. Rasulullah saw adalah ma’shum dan (pada waktu meminta pena) sepenuhnya sadar. Silakan rujuk Raudhah ash-Shafâ, jilid 2, hal. 260.
[2] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 58 dan 123-135; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 102; Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 445-460.
[3] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 103-106; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 156 dan 166; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 307 dan 352; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 17 dan 134.
[4] ‘Amr bin Huraits pernah bertanya kepada Sa’id bin Zaid, “Apakah ada orang yang menentang pembai’atan Abu Bakar?” Ia menjawab, “Tidak satu pun yang menentangnya kecuali orang-orang yang sudah murtad atau hampir murtad.” Silakan rujuk Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 447.
[5] Dalam hadis Tsaqalain yang masyhur Rasulullah saw bersabda, “Kuamanatkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang sangat berharga yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan pernah tersesat: Al-Qur’an dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga Hari Kiamat tiba.” Hadis ini telah dinukil melalui seratus sanad lebih dari tiga puluh lima sahabat Rasulullah saw. Silakan rujuk silsilah sanad hadis Tsaqalain di dalam buku Ghâyah al-Marâm, hal. 211.
Rasulullah saw juga bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa menginginkan ilmu, hendaknya ia masuk melalui pintunya.” Silakan rujuk al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 7, hal. 259.
[6] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 105-150.
[7] Rasulullah saw bersabda, “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.” Lihat Bihâr al-Anwâr, jilid 1, hal. 172.
[8] Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 7, hal. 360.
[9] Târîkh al-Ya’qubi, hal. 111, 126 dan 1219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar