Label

Arab Pra Islam Bagian Kedua


Oleh Muhammad Husain Haekal

Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia  mengirimkan bersama  orang  Yaman  itu  -  yang  membawa surat – sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha  al Asyram salah  seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia  memerintah  Yaman  ini  sampai  ia dibunuh  oleh  Abrahah yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abrahah inilah  yang  memimpin  pasukan  gajah,  dan  dia  yang kemudian  menyerbu  Mekah  guna  menghancurkan  Ka'bah  tetapi gagal.

Anak-anak Abraha  kemudian  menguasai  Yaman  dengan  tindakan sewenang-wenang.  Melihat  bencana  yang  begitu  lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan  pergi  hendak  menemui  Maharaja Rumawi.  Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman.  Tetapi  karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi  permintaan  Saif  bin Dhi Yazan  itu.  Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi  menemui  Nu'man  bin'l-Mundhir  selaku  Gubernur   yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.

Nu'man  dan  Saif  bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan  Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim  dinginnya  bagian  ini dikelilingi  dengan  tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan  lampu-lampu kendil terbuat  daripada  perak  dan  emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah  terletak  mahkotanya  yang  besar berhiaskan  batu  delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari  emas  pula.  Ia  sendiri memakai  pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona  oleh  kemegahannya.  Demikian  juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.

Kisra   menanyakan   maksud   kedatangannya  itu  dan  Saifpun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang  keluarga  ningrat  Persia  yang paling berani. Persia telah  mendapat  kemenangan  dan  orang-orang  Abisinia  dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu. Sejak  itulah  Yaman  berada  di  bawah  kekuasaan Persia, dan ketika Islam  lahir  seluruh  daerah  Arab  itu  berada  dalam naungan agama baru ini.

Akan  tetapi  orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja  Persia.  Terutama  hal itu  terjadi  setelah  Syirawih  (Shiruya  Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri  menduduki  takhta.  Ia membayangkan  -  dengan  pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat  dikendalikan  sekehendaknya dan bahwa   kerajaannya membantu  memenuhI  kehendaknya  yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan  banyak  sekali  yang tidak  mendapat  perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam  suatu  kemewahan  yang belum pernah   terjadi  Ia  berangkat  diiringi  oleh  pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning  dan  lembayung,  dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang  membawa  wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi  sekalipun  sebenarnya  dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya  duduk  di  atas  permadani  yang  lebar dilukis  dengan  lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan   aneka   warna,   dan   dilatarbelakangi   oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.

Tetapi    sungguhpun    Syirawih    begitu    jauh   mengikuti kesenangannya,  kerajaan  Persia  tetap  dapat  mempertahankan kemegahannya,  dan  tetap  merupakan  lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen.  Sekalipun  dengan naik   tahtanya   Syirawih   ini   telah  mengurangi  kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum  Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.

Yaman  yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya.  Disebutkan  bahwa  Bendungan  Ma'rib  yang  oleh suku-bangsa   Himyar   telah   dimanfaatkan  untuk  keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar.  Disebabkan oleh  adanya  pertentangan  yang  terus-menerus  itu, lalailah mereka  yang  harus  selalu   mengawasi   dan   memeliharanya. Bendungan  itu  lapuk  dan  tidak  tahan  lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah  Rumawi  melihat  Yaman  menjadi pusat  pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa perdagangannya  terancam  karena   pertentangan   itu,   ia pun menyiapkan  armadanya  menyeberangi  Laut Merah - antara Mesir dengan  negeri-negeri  Timur  yang   jauh   -   guna   menarik perdagangan  yang  dibutuhkan  oleh negerinya. Dengan demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.

Mengenai peristiwanya, ahli-ahli  sejarah  sependapat,  tetapi mengenai  sebab  terjadinya  peristiwa  itu  mereka  berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di Yaman  ke  Utara.  Semua  mereka sependapat tentang kepindahan ini,  sekalipun  sebagian  menghubungkannya   dengan   sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa melalui tempat  itu.  Yang  lain  menghubung-hubungkan  kepada rusaknya   bendungan   Ma'rib,   sehingga   banyak  di  antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga  kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi  berhubungan  dengan  negeri-negeri  Arab  lainnya, suatu  hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.

Apabila sistem politik di Yaman sudah  menjadi  kacau  seperti yang  dapat  kita  saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa  negeri  itu  serta  dijadikannya  tempat  itu   medan pertarungan,  maka  struktur  politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa  negeri  Semenanjung  Arab  lainnya  waktu  itu. Segala  macam  sistem yang dapat dianggap sebagai suatu system politik  seperti  pengertian  kita   sekarang   atau   seperti pengertian  negara-negara  yang  sudah  maju pada masa itu, di daerah-daerah  seperti  Tihama,  Hijaz,  Najd  dan   sepanjang dataran  luas  yang  meliputi  negeri-negeri  Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa  itu  bahkan sampai  sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang   mereka   kenal   hanyalah   hidup   mengembara  selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti  keinginan hatinya.   Mereka   tidak  mengenal  hidup  cara  lain  selain pengembaraan itu.

Seperti  juga  ditempat-tempat  lain,  disinipun  dasar  hidup pengembaraan  itu  ialah  kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan  atau tata-cara  seperti  yang  kita  kenal.  Mereka  hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga  dan  kebebasan  kabilah yang  penuh.  Sedang  orang  kota,  atas  nama tata-tertib mau mengalah  dan  membuang  sebagian  kemerdekaan  mereka   untuk kepentingan  masyarakat  dan  penguasa,  sebagai  imbalan atas ketenangan  dan  kemewahan  hidup   mereka.   Sedang   seorang pengembara  tidak  pedulikan  kemewahan,  tidak  betah  dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun  - seperti  kekayaan  yang  menjadi  harapan  orang kota – selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup  dalam  persamaan yang    penuh    dengan    anggota-anggota   kabilahnya   atau kabilah-kabilah  lain  sesamanya.  Dasar kehidupannya   ialah seperti  makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang  sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

Oleh  karena  itu,  kaum  pengembara  tidak  menyukai tindakan ketidak adilan  yang  ditimpakan  kepada  mereka.  Mereka  mau melawannya   mati-matian,   dan  kalau  tidak  dapat  melawan, ditinggalkannya  tempat  tinggal  mereka   itu,   dan   mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling  mudah bagi  kabilah-kabilah  ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah  diselesaikan  dengan  cara  yang  terhormat. Karena  bawaan  itu  juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri,  keberanian, suka   tolong-menolong,   melindungi   tetangga   serta  sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin   kuat   apabila   semakin  dekat  ia  kepada  kehidupan pedalaman, dan akan makin  hilang  apabila  semakin  dekat  ia kepada kehidupan kota.

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman  saja dari  antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih  suka  meninggalkan  tanah  air  daripada  tunduk kepada  perintah.  Baik  pribadi-pribadi  atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada  peraturan  apapun  yang  berlaku  atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.

Sifat-sifat  pengembaraan  itu  cukup mempengaruhi daerah yang kecil-kecil yang tumbuh  di  sekitar  jaziarah  karena  adanya perdagangan  para  kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para  pedagang  sebagai  tempat beristirahat  sesudah  perjalanan  yang  begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat  pemujaan  sang  dewa guna  memperoleh  keselamatan  bagi  mereka  serta  menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan  mereka selamat sampai di tempat tujuan.

Kota-kota  seperti  Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau   gurun   pasir,   terpengaruh   juga   oleh  sifat-sifat pengembaraan  demikian  itu.  Dalam  susunan   kabilah   serta cabang-cabangnya,    perangai   hidup,   adat-istiadat   serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu  cara  hidup  yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci.

Lingkungan  masyarakat  dalam  alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial  yang  ada  pada  mereka,  mempunyai pengaruh   yang   sama   terhadap  cara  beragamanya.  Melihat hubungannya dengan agama Kristen  Rumawi  dan  Majusi  Persia, adakah  Yaman  dapat  terpengaruh  oleh  kedua  agama  itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut  di  jazirah  Arab lainnya?  Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada  pada  masa  itu sama  giatnya  seperti  yang  sekarang  dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta  cara  hidup kaum  pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia  merasakan adanya  wujud  yang  tak  terbatas  dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara  dirinya  dengan alam  dengan  ketak-terbatasannya  itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan  itu   sudah   tertutup   oleh   kesibukannya hari-hari,   oleh   adanya  perlindungan  masyarakat  terhadap dirinya  sebagai  imbalan  atas  kebebasannya  yang  diberikan sebagian  kepada  masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang  penguasa  supaya  memperoleh  jaminan  dan  hak perlindungan.   Hal  ini  menyebabkannya  tidak  merasa  perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan  kekuatan alam  yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa  dengan  unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi berkurang.

Dalam  keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam  menyebarkan  ajaran  agamanya  itu?  Barangkali soalnya hanya akan sampai di  situ  saja  kalau  tidak  karena  adanya soal-soal   lain  yang  menyebabkan  negeri-negeri  Arab  itu, termasuk  Yaman,   tetap   bertahan   pada   paganisma   agama nenek-moyangnya,  dan  hanya  beberapa  kabilah  saja yang mau menerima agama Kristen.

Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu  - seperti  yang  sudah  kita saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah  dan  Laut  Merah.  Agama-agama  Kristen   dan   Yahudi bertetangga  begitu  dekat  sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak  memperlihatkan permusuhan  yang  berarti,  juga  tidak memperlihatkan  persahabatan  yang  berarti  pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan  dan  perlawanan  Nabi  Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja  mau  membendung  arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih  berlindung  dibawah  panji  Imperium  Rumawi  yang membentang luas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar