Label

Arab Pra-Islam

Oleh Muhammad Husain Haekal

Ketika itu ada dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan, dan kedua  kekuatan  yang sedang  berhadap-hadapan  itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan  Majusi,  kekuatan  Barat berhadapan   dengan  kekuatan  Timur.  Bersamaan  dengan  itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah  pengaruh  kedua kekuatan  itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab.  Kedua  kekuatan  itu  masing-masing  mempunyai   hasrat ekspansi   dan   penjajahan.  Pemuka-pemuka  kedua  agama  itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke   atas   kepercayaan   agama  lain  yang  sudah  dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu  tetap  seperti  sebuah  oasis yang  kekar  tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat  di  bagian  pinggir  saja,  juga  tak  sampai terjamah  oleh  penyebaran  agama-agama  Masehi  atau  Majusi, kecuali sebagian kecil  saja  pada  beberapa  kabilah.  Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita lihat letak dan iklim  jazirah  itu  serta  pengaruh  keduanya terhadap  kehidupan  penduduknya,  dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.

Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak  parallelogram.  Ke sebelah  utara  Palestina  dan  padang  Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk  Persia,  ke sebelah  selatan  Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah  ini  dilingkungi  lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan  tetapi  bukan rintangan  itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan  penyebaran  agama,  melainkan  juga karena  jaraknya  yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer  pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar  biasa  hingga  semua  penjajah merasa  enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak ada.  Musim  hujan  yang  akan  dapat  dijadikan pegangan  dalam  mengatur  sesuatu  usaha  juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak  di  sebelah  selatan  yang sangat  subur  tanahnya  dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab  lainnya  terdiri  dari  gunung-gunung,  dataran  tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal  menetap  atau  akan  memperoleh  kemajuan. Samasekali  hidup  di  daerah  itu  tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus  dengan  mempergunakan  unta  sebagai kapalnya  di  tengah-tengah  lautan  padang  pasir itu, sambil mencari padang hijau  untuk  makanan  ternaknya,  beristirahat sebentar  sambil  menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain.  Tempat-tempat  beternak  yang  dicari  oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang  terserak di  sana-sini  dalam  wahah-wahah  yang berada di sekitar mata air.

Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian  itu,  yang  seperti Sahara  Afrika  Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara  hidup  manusia  yang  biasapun  tidak  pula dikenal.  Juga  sudah  biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya  hanya  sekadar  menjelajahinya  dan menyelamatkan  diri  saja,  kecuali  di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi  rumput  dan  tempat  beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena  sedikitnya  orang  yang   mau   mengembara   dan   mau menjelajahi  daerah  itu.  Praktis  orang  zaman  dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja  letaknya  itu telah  dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.

Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna  mengangkut  barang  dagangan  atau mengadakan pelayaran. Dari  peribahasa  Arab  yang   dapat   kita   lihat   sekarang menunjukkan,   bahwa  ketakutan  orang  menghadapi  laut  sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut  barang  dagangan  itu  harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya  maut  itu.  Yang  paling  penting  transport perdagangan  masa  itu  ialah  antara  Timur dan Barat: antara Rumawi dan sekitarnya, serta  India  dan  sekitarnya.  Jazirah Arab  masa  itu  merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia,  lewat terusan  yang  terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana  penduduk  pedalaman  jazirah  Arab  itu menjadi  raja  sahara,  sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai  air daripada  daratan,  menjadi  raja  laut.  Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para  kafilah  sampai  ke  tempat-tempat  yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal  garis-garis perjalanan  kapal  sampai  sejauh-jauhnya.  "Jalan kafilah itu bukan  dibiarkan  begitu  saja,"  kata Heeren,  "tetapi   sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa  dilalui  oleh  para  kafilah,  alam telah   memberikan   tempat-tempat   tertentu  kepada  mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak  menjadi  tempat mereka   beristirahat.   Di   tempat  itu,  di  bawah  naungan pohon-pohon kurma dan di  tepi  air  tawar  yang  mengalir  di sekitarnya,  seorang  pedagang  dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan  yang  melelahkan itu.  Tempat-tempat  peristirahatan  itu  juga  telah  menjadi gudang perdagangan mereka,  dan  yang  sebagian  lagi  dipakai sebagai  tempat  penyembahan,  tempat  ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan  dari  tempat itu."

Lingkungan  jazirah  itu  penuh  dengan  jalan  kafilah.  Yang penting di antaranya ada dua. Yang  sebuah  berbatasan  dengan Teluk  Persia,  Sungai  Dijla,  bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau  batas  daerah-daerah  sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan  dengan  Laut  Merah;  dan  karena  itu diberi  nama  Jalan  Barat.  Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang  di Timur  diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.

Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri  yang  telah  dilalui  perdagangan  mereka  itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik  pihak  Barat maupun  pihak  Timur  sedikit  sekali yang mau mengarunginya -kecuali bagi mereka  yang  sudah  biasa  sejak  masa  mudanya. Sedang    mereka    yang    berani    secara   untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak  yang  hilang  secara  sia-sia  di tengah-tengah  padang  tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan  menempuh  gunung-gunung tandus  yang  memisahkan  Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang  yang  sampai  ke  tempat tersebut - yang hanya mengenal unta  sebagai  kendaraan  -  ia   akan   mendaki   celah-celah pegunungan  yang  akhirnya  akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang  yang  sudah biasa  hidup  dalam  sistem  politik  yang  teratur  dan dapat menjamin segala kepuasannya akan  terasa  berat  sekali  hidup dalam   suasana  pedalaman  yang  tidak  mengenal  tata-tertib kenegaraan.  Setiap  kabilah,  atau  setiap  keluarga,  bahkan setiap  pribadipun  tidak  mempunyai  suatu  sistiem  hubungan dengan pihak lain selain ikatan  keluarga  atau  kabilah  atau ikatan  sumpah  setia  kawan  atau  sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang  lemah  kepada yang lebih kuat.

Pada  setiap  zaman  tata-hidup  bangsa-bangsa  pedalaman  itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota.  Ia  sudah  puas dengan   cara  hidup  saling  mengadakan  pembalasan,  melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah  yang  tidak mempunyai   pelindung.   Keadaan  semacam  ini  tidak  menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.

Oleh karena itu daerah Semenanjung  ini  tetap  tidak  dikenal dunia  pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad s.a.w.  lahir  di  tempat  tersebut  -  orang  mulai  mengenal sejarahnya  dari  berita-berita  yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu  sekarang sudah mulai dikenal dunia.

Tak  ada  yang  dikenal  dunia  tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang  berbatasan  dengan Teluk  Persia.  Hal  ini  bukan  karena  hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan  Samudera  Indonesia  saja, tetapi   lebih-lebih   disebabkan   oleh   -   tidak   seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus.  Dunia  tidak tertarik,  negara  yang  akan  bersahabatpun tidak merasa akan mendapat  keuntungan  dan  pihak  penjajah  juga  tidak  punya kepentingan.  Sebaliknya,  daerah  Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada  setiap  musim.  Ia  menjadi  negeri peradaban   yang   kuat,  dengan  kota-kota  yang  makmur  dan tempat-tempat beribadat yang  kuat  sepanjang  masa.  Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang  menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus  air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.

Sebelum  di  bangunnya  bendungan  ini  , air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu,  menyusur turun  ke  lembah-lembah  yang  terletak di sebelah timur kota Ma'rib. Mula-mula  air  turun  melalui  celah-celah  dua  buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai  di Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti  di  bendungan-bendungan  Hulu  Sungai Nil.  Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu  Bendungan Ma'rib.  Bendungan  ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit,  lalu  dibuatnya  celah-celah  guna  memungkinkan adanya  distribusi  air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.

Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang  pernah diselidiki  -  dan  sampai  sekarang  penyelidikan  itu  masih diteruskan -menunjukkan, bahwa  peradaban  mereka  pada  suatu saat  memang  telah  mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun  menunjukkan  bahwa  Yaman  pernah  pula  mengalami bencana.

Sungguhpun  begitu  peradaban  yang  dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan  gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah  turun-temurun,  kadang  juga  dari kalangan  rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada  agama  Musa (Yudaisma),  dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.  Ia  belajar  agama  ini  dari  orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh  ahli-ahli  sejarah,  yang  termasuk  dalam kisah   "orang-orang  yang  membuat  parit,"  dan  menyebabkan turunnya  ayat:  "Binasalah  orang-orang  yang  telah  membuat parit.  Api  yang  penuh  bahan  bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang  dilakukan  orang-orang  beriman  itu mereka  menyaksikan.  Mereka  menyiksa  orang-orang  itu hanya karena  mereka  beriman  kepada  Allah  Yang  Maha  Mulia  dan Terpuji." (Qur'an 85:4-8)

Cerita  ini  ringkasnya  ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama  Phemion  telah  pindah  dari  Kerajaan Rumawi  ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti  jejaknya,  sehingga  jumlah  mereka makin  lama  makin  bertambah  juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke  Najran  dan  dimintanya  kepada penduduk  supaya  mereka  masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka  digalilah  sebuah  parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang  atau  dibikin  cacat.  Menurut  beberapa  buku sejarah korban pembunuhan itu  mencapai  duapuluh  ribu  orang.  Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas,  ia  lari  ke  Rumawi  dan   meminta   bantuan   Kaisar Yustinianus  atas  perbuatan  Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis  surat kepada  Najasyi  (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang  dipimpin oleh   Najasyi   sedang   berada  dalam  puncak  kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh  armada  yang kuat  dapat  menancapkan  pengaruhnya  sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu  Imperium  Rumawi  Timur  dan yang  memegang  panji  Kristen  di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar