Label

Prinsip Ekologi Islam Mulla Shadra


Oleh Seyyed Mohsen Miri

Krisis Lingkungan: Penyebab dan Solusi

Keprihatinan terhadap krisis lingkungan saya mulai dengan dua proposisi berikut. Pertama, saat ini kita sedang menghadapi dan berjuang atas isu penting mengenai krisis lingkungan hidup yang semakin meluas dan menyebar. Kedua, kita harus mencari jalan untuk mengatasi krisis tersebut dengan menimbang dan mengevaluasi berbagai solusi yang telah dikemukakan oleh para pemikir dan kaum intelektual.

Secara garis besar, terdapat dua pendekatan yang digunakan sebagai solusi untuk mengatasi krisis lingkungan baik secara individual maupun sosial. Pertama, pemecahan krisis melalui pertimbangan atas segala sesuatu yang langsung terlihat, situasi yang sedang berlangsung, membuat perubahan jangka pendek dan membuat suatu perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis melalui penjabaran sebab dan faktor yang mendorong munculnya krisis (aspek ontologis), melalui dasar keilmuan (aspek epistemologis), kerangka rohani, dan intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan krisis tersebut terjadi dengan tetap mengacu kepada pendekatan pertama.

Nampaknya pendekatan kedua merupakan solusi yang memberikan pengaruh lebih nyata. Jika kita hanya berpegang pada pendekatan pertama, maka masalah akan muncul kembali dan menjadi lebih serius karena krisis sebelumnya masih aktif. Meskipun beberapa percobaan penting telah dilakukan semisal proyek penggantian kelengkapan transportasi, membuat bahan bakar non-fosil, merancang teknologi ramah lingkungan, pendekatan pertama tidaklah dapat menghapus krisis lingkungan dan tidak dapat menjadi solusi yang memadai bagi masalah tersebut.

Penyebab munculnya krisis lingkungan (penyebab eksistensi dan kognisi) harus diketahui sebelum kita dapat mengatasi masalah tersebut. Dugaan penyebab kerusakan, kehancuran, dan krisis dalam lingkungan adalah perspektif mengenai manusia dan alam semesta pada era modern, sebuah pandangan-dunia yang merupakan imitasi mutlak saintisme. Perspektif tersebut mengabaikan semua unsur filosofi, budaya, dan kerangka spiritual; mengurangi tingkat kebenaran dan membatasi ruang lingkup kognisi (pengenalan) manusia dan tingkat eksistensi hanya kepada sains sensasional dan segala sesuatu yang bersifat material. Perspektif tersebut secara perlahan menghilangkan kehidupan jiwa, tujuan, harapan, kebahagiaan, dan kesucian dengan cara pemutusan materi alamiah dari jiwa, dari dunia gaib, dan dari kemurnian mutlak dan kebenaran konstan pembentuk filosofi keagungan.

Pengosongan dimensi kesucian menyebabkan indisposisi dan kesalahan pada seseorang, dan dia mencoba untuk menggapai kembali jiwa yang hilang melalui percobaan baru, kedaulatan terhadap alam yang lebih besar, dan mendapatkan produk modern; aksinya seperti seseorang yang meminum air laut yang asin untuk memuaskan dahaga tanpa menghasilkan apapun selain dahaga yang berkepanjangan dan efek samping yang menghancurkan bagi orang tersebut. Manusia modern yang menyenangi sains, melalui penempatan manusia sebagai poros alam raya (humanisme) dan mengabaikan Tuhan dan memutuskan hubungan dengan-Nya, memaksa alam untuk mengupas misterinya (melalui pengaruh sains modern) dengan tujuan untuk memperkaya seseorang, lebih berkuasa, dan memenuhi keinginan dari ketamakan dan jiwa yang tak pernah puas.

Dalam pendangan modern, manusia menganggap alam raya sebagai partikel yang tidak suci, dia menganggap dirinya sebagai dewa yang memiliki segala kekeistimewaan, memerintah, dan menguasai alam raya, tidak memiliki kewajiban terhadap Tuhan dan alam, dan tidak bertanggung jawab terhadap semua orang. Dalam perspektif modern, manusia melalui pencarian kekuasaan dan kedaulatan intelektual akan memisahkankan etika dan spriritualitas dari sains dan alam raya dan berusaha mempopulerkan kapitalisme; pada proses yang merusak ini, semua nilai kemanusiaan dan ekonomi merupakan ikatan materiil.

Selama perspektif ini tidak berubah dan kita tidak memberikan upaya pada dimensi spiritual lingkungan, tidak akan banyak harapan untuk mengembangkan lingkungan hidup. Manusia harus kembali kepada akar spritualnya; dia harus kembali kepada kesucian dirinya, Tuhan dan alam; hanya dengan pendekatann ini dia akan berhenti merusak rangkaian alam, dan disinilah nilai penting untuk kembali kepada agama dan spritulitas menjadi nyata.

Prinsip-prinsip Pemikiran Mulla Shadra untuk Lingkungan

Mazhab filsafat Mulla Shadra yang mendalam dan menarik dapat berperan dalam mendesain filsafat lingkungan hidup serta menguatkan dasar-dasar filosofisnya. Filosof muslim ini telah melahirkan sebuah mazhab filsafat paripurna. Ia berkembang dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran, sunnah Nabi Muhammad SAW dan Ahlulbayt. Disamping itu ia juga terilhami oleh filsafat yang diajarkan oleh Al-Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, pemikiran Yunani, Persia kuno, dan Irfan yang mendalam dari Muhyiddin Ibn Arabi. Filsafat Mulla Shadra membawa berita gembira keserasian teori-teori filsafat dengan obyek-obyek syuhud para arif, dengan Kitab takwini Allah yaitu keindahan alam semesta dan apa yang di baliknya dan dengan Kitab Tadwini Allah yaitu Al-Quran. Mulla Shadra meyakini bahwa Akal, Kalbu dan Al-Quran adalah tiga jalur yang identik untuk mengenali rahasia alam. Ia berusaha keras untuk mendirikan sebuah mazhab filsafat yang dapat menjelaskan syuhud para urafa secara rasional juga berdasarkan ajaran agama, dan dapat mendukung dakwaan-dakwaan akal dengan syuhud para urafa.

Dengan kata lain, akal dan kalbu berjalan seiring dengan kandungan ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat yang shohih. Untuk itu ia berdalil bahwa Tuhan yang merupakan awal dari alam semesta adalah juga yang mengirim Al-Quran, memberi manusia kemampuan berpikir dan juga kalbu yang berkemampuan untuk syuhud hakikat alam. Oleh sebab itu wajar jika ketiganya saling mendukung dan seiring. Di sini kita hendak menjelaskan secara ringkas sejumlah prinsip filsafat Mulla Shadra yang menunjukkan potensi besarnya sebagai basis filsafat lingkungan hidup. Prinsip pertama adalah bahwa semua yang ada, termasuk di dalamnya Tuhan maupun ciptaan Tuhan yang dengan sendirinya memiliki hirarki dan strata keberadaan yang beragam, memiliki persamaan yang penting dan mendasar serta kesatuan erat yang tak dapat dipisahkan.  Walaupun Mulla Shadra tidak meyakini adanya wujud individual, meyakini ada banyak maujud di alam ini yang memiliki keragaman dan derajat yang berbeda, namun dalam keragaman dan keterbilangan itu, terdapat kesatuan dan ikatan yang mendalam antara semua maujud; dari Tuhan yang menduduki posisi tertinggi dan termulia dalam hirarki keberadaan, maujud-maujud di bawahnya sampai maujud yang terendah di alam benda. Mereka semua sama-sama ada.

Untuk memperjelas masalah ini, Mulla Shadra menggunakan perumpamaan yang berawal dari filsafat Persia kuno. Cahaya memiliki misdaq (ekstensi, denotasi) yang banyak. Misdaq-misdaq ini berbeda dari sisi kekuatan, kelemahan dan keragaman. Silsilah ini berawal dari cahaya lilin yang lemah, cahaya lampu kecil, cahaya lampu besar hingga berakhir ke cahaya matahari atau bahkan lebih kuat dari itu. Walaupun cahaya menjelma dalam beragam bentuk dan persona yang tak terhingga; dari segi ini cahaya sangat banyak jumlahnya, namun segenap bentuk dan corak memiliki kesatuan dari sisi ke-cahaya-an mereka. Jika kita menempatkan kegelapan di hadapan cahaya, semua persona cahaya akan serentak dan sepakat sebagai sesuatu yang mematahkan kegelapan. Ia berpendapat bahwa semua ‘yang ada’ sejalan dan laksana rantai yang terkait satu dengan yang lain dalam rangka menentang dan melawan ketiadaan. ‘Yang ada’ mencakup Tuhan, malaikat, manusia, langit, bumi, galaksi, binatang, pohon, tumbuh-tumbuhan, air dan benda-benda padat dan lain sebagainya. Tidak satupun keluar dari lingkaran kebersamaan dan kesatuan ini.

Prinsip kedua Mulla Shadra menyatakan bahwa hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang eksis secara khas dan semacam hubungan matematis. Dalam silsilah angka, misalnya, kita tidak dapat mencabut angka 4 antara 3 dan 5 lalu menempatkannya di tempat lain. Tempat angka 4 hanya antara 3 dan 5. Begitupula hubungan antara sebab ‘A’ dan akibatnya ‘B’. Hubungan tersebut tidak dapat diubah dikarenakan sinkronisitas keberadaan di antara keduanya. Hubungan itu tidak dapat diubah. Tuhan adalah sebab dari ‘keberadaan’ semua maujud. Oleh sebab itu, hubungan keberadaanNya dengan maujud lain seperti langit, alam, bumi, manusia dan yang lain adalah sebuah hubungan keniscayaan. Begitu pula hubungan antara masing-masing akibatNya. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa hubungan antara satu maujud dengan yang lain di alam ini bersifat keniscayaan.

Karena Allah SWT, Maha Bijak dan Maha Mengetahui, Dia telah menciptakan alam dengan tatanan terbaik yang mungkin terjadi. Mustahil dibayangkan sebuah tatanan yang lebih baik dari yang ada. Jika mungkin maka pastilah telah diciptakannya. Dalam tatanan terbaik ini, posisi manusia sangat istimewa. Karena memiliki kehendak, ia berbeda dengan maujud yang tidak berkehendak atau berkehendak namun berlandaskan insting. Manusia memiliki kehendak yang bebas dan selalu berada antara dua jalur kebenaran dan kesalahan. Al-Quran menyatakan, Telah Kami tunjukkan kepadanya jalan, terkadang ia bersyukur dan terkadang mengingkari”. Karena merupakan maujud yang berkehendak bebas, manusia bisa menjadi salah satu kategori berikut di bawah ini:

(a) Hanya memikirkan dorongan syahwat kebinatangan dan mengatur hidupnya berdasarkan itu. Dengan demikian ia telah merubah dirinya menjadi binatang seperti yang tidak memikirkan kecuali perut dan libido.  (b) Melakukan penghancuran, aniaya dan kezaliman terhadap diri, masyarakat dan Tuhan. Dengan demikian ia berubah menjadi serigala yang tidak memikirkan selain kebuasan dan kekejaman. (c) Selalu berpikir untuk menipu orang lain dan mendasari tindakannya dengan itu. Dengan demikian ia menjadi manusia jelmaan setan. (d) Hanya mencari kesempurnaan, kejernihan dan kebersihan. Menghiasi jiwa dengan nilai-nilai kesempurnaan dengan menambah pengetahuan dan beramal salih. Ia adalah manusia yang menjadi malaikat.

Oleh sebab itu dalam tatanan terbaik alam semesta ini, hanya manusia yang memiliki peranan yang menentukan. Hanya kepada manusia, Tuhan menyerahkan pembentukan alam ciptaan sesuai dengan kehendaknya. Hanya manusia yang dapat menyampaikan tatanan terbaik ini ke posisi semestinya. Hanya ia pula yang dapat mendatangkan kerusakan di dalamnya. Hanya manusia yang dapat sampai ke tahapan tertinggi kesempurnaan dan melewati malaikat. Itulah harmoni yang sesungguhnya di dalam tatanan keberadaan. Dengan demikian ia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan cermin seutuhnya Tuhan. Atau sebaliknya, dengan menginjak nilai-nilai moral dan spiritual, ia jatuh ke lembah terdalam kehinaan. Dalam pada itu, Tuhan, pencipta alam semesta termasuk manusia, telah mengirim buku panduan melalui utusan-utusanNya untuk membimbing kehendak bebas manusia. Agar ia dapat mengenali jalur yang benar dari yang salah. Karena alam ciptaan dan kitab bersumber dari Tuhan, keduanya tidak hanya tidak bertentangan, malah terdapat harmoni dan sinkronisitas yang sempurna di antara keduanya. Masing-masing bertanggung jawab terhadap sebagian dari proyek tatanan terbaik ini.

Prinsip ketiga filsafat Mulla Shadra menyatakan bahwa segenap maujud di alam semesta, baik yang material maupun yang metafisikal, kesemuanya adalah tampilan dan jelmaan Tuhan. Semua laksana cermin menampakkan Tuhan di dalamnya. Oleh sebab itu semua maujud adalah tanda Tuhan. Poin lain adalah bahwa sebenarnya jelmaan dan pemunculan Tuhan tidak berbilang dan beragam. Dengan ungkapan lain, Tuhan tidak memiliki lebih dari satu jelmaan dalam tahapan kreasi dan aksi. Sebagai contoh jika kita memancarkan cahaya dari atas ke sejumlah kaca dengan warna yang beragam, cahaya yang terpentul ke benda-benda lain melewati kaca-kaca tersebut akan menjadi beragam sebanyak warna yang ada pada kaca-kaca tadi. Padahal hanya ada satu cahaya yang dipancarkan. Mulla Shadra berpandangan bahwa jelmaan dan emanasi Tuhan ke alam semesta hanya satu. Namun karena terkena pada banyak hal, menjadi beragam dan banyak.

Contoh lain Mulla Shadra mengenai hal ini dinukil dari Ibnu Arabi. Manusia memproduksi suara dengan cara melewatkan nafas yang keluar dari paru-paru melalui banyak titik yang berbeda; lidah, gigi dan bibir. Susunan suara menjadi ribuan kata, susunan kata menjadi kalimat, susunan kalimat menjadi media komunikasi yang dapat memindahkan ide, pandangan dan informasi yang tertutup di hati. Akan tetapi kesemuanya itu tidak lain hanya nafas yang keluar dari paru-paru manusia. Perbedaan hanya disebabkan karena nafas tersebut dalm perjelanannya telah membentur dinding dan permukaan yang berbeda-beda di mulut manusia. Makhluk Allah SWT juga seperti ucapan. Mereka semua adalah emanasi dan Nafas Ilahi (Nafas Ar-Rahman) yang berbenturan dengan quiditas-quiditas yang berbilang dan muncul dengan bentuk-bentuk makhluk yang beragam. Kesemuanya menunjukkan Tuhan sesuai dengan kadar dan kesiapan masing-masing.

Kesatuan di antara keragaman ini sangat mendasar dan penting. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika manusia bergerak melawan bio-sistem dan makhluk lainnya, maka ia sendirilah yang sebenarnya merugi. Implikasi prinsip di muka adalah kenyataan bahwa seluruh bagian dan makhluk yang ada di dunia seluruhnya merupakan perwujudan serta bentuk nyata dari kebenaran Tuhan di alam raya. Semua makhluk merupakan nama dan kata Tuhan; “nama” di sini adalah sesuatu yang menunjukkan kebenaran yang spesifik. Seluruh hal merupakan tanda-tanda Tuhan; alam raya seperti sebuah cermin di mana Tuhan hadir dan nyata, dan semua makhluk ini dengan ukurannya masing-masing mewujudkan Tuhan; yang berarti, mereka semua mengindikasikan kehadiran Tuhan.

Berdasarkan atas deskripsi alam raya tersebut, seorang penyair Persia, Bab Taher mengatakan:

Aku melihat laut, dan aku melihat Engkau
Aku melihat padang pasir, dan aku melihat Engkau
Memandang laut, gunung, dan padang pasir,
Aku melihat semuanya sebagai wujud Engkau yang indah

Kenyataan bahwa semua makhluk, dengan keterbatasan yang ada padanya, merupakan tanda Tuhan akan kesucian, keindahan, kilauan, ilmu pengetahuan, hidup, dan kesempurnaan lainnya dari Tuhan. Seluruh makhluk tanpa terkecuali, diharuskan untuk memuji dan mengagungkan Tuhan, dan berdasarkan hal tersebut, Shadr-ul-Muta’allihin Shirazi percaya bahwa semua atribut kesempurnaan seperti hidup, intelektual, sinar mengalir dan beredar pada semua makhluk di seluruh alam raya.

Prinsip keempat Mulla Shadra adalah bahwa setiap maujud alam ini, yang berada di martabat dan level keberadaan manapun, memiliki semua sifat kesempurnaan. Setiap ‘yang ada’ memiliki kehidupan, pengetahuan, kekuatan, kasih sayang, cinta… sesuai dengan kadar keberadaannya. Sifat-sifat kesempurnaan mengalir di segenap maujud alam ini baik yang material maupun yang tidak. Itu karena semua sifat kesempurnaan adalah eksisten (bersifat ada). Maka, setiap ‘yang ada’ pasti memiliki sifat kesempurnaan. Di dunia, semua mendengar, melihat, sadar dan mencintai.  Semua mencintai Tuhan sebagai pelopor cahaya, kebaikan dan sebagai kekasih yang mereka semua menujuNya. Mereka tidak kunjung tenang sebelum mencapai cahaya, kesenangan dan kesempurnaan absolut, yaitu Allah SWT. Kesemua makhluk itu bertutur kata dengan mengingatNya, bertasbih, dan bersujud kepadaNya; sebagaimana Al-Quran menjelaskan: “Tidak satupun makhluk kecuali bertasbih dengan memujiNya akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka” (Al-Israa’: 44). “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang di bumi…” (An-Nahl: 49).

Karena cinta mereka kepada Tuhan, mereka mencintai diri sendiri dan makhluk lain yang merupakan tanda dan aksi Tuhan. Argumen lain yang mendukung bahwa segenap maujud alam semesta mencintai diri sendiri dan makhluk lain adalah bahwa semua maujud itu baik dan secara alamiah semua mencintai kebaikan dalam ukuran apapun dan di manapun.

Jika kita hendak menyimak lapisan lebih dalam dari filsafat Mulla Shadra, kita akan menemukan bahwa ia meyakini bahwa kekasih dan ‘yang dicintai’ itu tidak lebih dari satu dan dia adalah Tuhan Yang merupakan kemolekan dan cahaya absolut. Namun dikarenakan maujud lain adalah akibat dariNya maka keindahan itu terdapat pada semua namun secara terbatas sesuai dengan level keberadaan masing-masing. Oleh sebab itu kita menemukan para pecinta Tuhan saat menyaksikan jelmaan dan refleksi cahaya dan keindahan Sang Kekasih di segala hal niscaya mencintai jelmaan-jelmaan itu karena Tuhan. Mengingat lingkungan hidup adalah salah satu jelmaan keindahan Tuhan, maka tentu kita akan memelihara keindahan lingkungan.

Peran dan posisi manusia dalam konteks prinsip ini adalah unik. Sebagai bentuk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, manusia adalah perwakilan Tuhan dan wujud nyata Tuhan yang paling sempurna di muka bumi. Dia adalah pengemban kepercayaan yang berat dan tanggung jawab yang besar yang tidak dapat diterima makhluk lain. Manusia adalah perantara antara Pencipta dan makhluk lain mulai dari yang teratas (Tuhan) ke yang terbawah (pergerakan ke bawah) dari seluruh ciptaanNya dan sifat ketuhananNya (kita milik Tuhan)

Melalui manusialah kesempurnaan dan rahmat turun ke bumi; dalam perjalanan menuju Tuhan, melalui manusialah seluruh alam raya dapat menggapai Tuhan; dengan kata lain, manusia adalah penjaga alam, pemelihara, dan penyebab kehidupan di dalamnya. Bagaimanapun juga, sangat menarik bahwa manusia yang sama juga mencari bantuan dari alam dalam pendakiannya dan pergerakan ke atas menuju Tuhan; kesempurnaanya tidak mungkin tanpa alam dan isinya. Imam Ali bin Abi Thalib (AS) menjelaskan hal ini kepada salah seorang Muslim, yang mencoba mengingkari kehidupan dunia alami: “Adalah melalui dunia fana di mana para malaikat mencapai kesempurnaan. Adalah di dunia ini di mana wahyu Tuhan diturunkan ke bumi melalui Nabi dan orang-orang yang dibimbing kearah cahaya dan kesempurnaaan.”

Karena manusia memiliki atribut perwakilan ketuhanan dan kesempurnaan manusia dan mengharuskan keingkaran terhadap poros diri sendiri dan pemujaan diri sendiri, maka ketamakan, sifat materialistis, dan menggapai kesempatan dengan seluruh pengorbanan bukanlah merupakan pertimbangannya. Yang merupakan kepentingannya adalah untuk mengamati batasan dirinya sendiri dan hak makhluk lain (tanpa menghamburkan atau menghancurkan). Di alam dia melihat cahaya Tuhan, dan dia mendengar melalui telinga jiwanya suara makhluk alam yang diwajibkan untuk memuja Tuhan.

Islam dan Lingkungan Hidup

Di akhir bagian tulisan ini, izinkan saya mengulas secara ringkas sejumlah ajaran Islam yang terkait dengan pemeliharaan dan pengelolan lingkungan hidup. Salah satu prinsip filsafat lingkungan hidup Islam adalah bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan keseimbangan dan harmoni antar anggota alam tersebut. Selain itu, manusia harus berusaha maksimal untuk menjaga keseimbangan dan berinteraksi secara benar dengan maujud-maujud lain di alam.

Tentang keseimbangan dan harmoni alam semesta, Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang” (Al-Mulk: 13). Segala sesuatu tercipta berdasarkan perhitungan dan ukuran dan ditempatkan di posisi yang tepat: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapih-rapihnya” (Al-Furqan: 2). “Segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya”(Ar-Ra’d: 8). “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan, bintang dan pohon tunduk kepadaNya, Allah meninggikan langit dan Dia meletakkan necara” (Ar-Rahman: 5-8). “Ciptaan Tuhan Yang telah mengokohkan segala sesuatu” (An-Naml: 88). Tidak satupun benda tercipta sia-sia: “dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.. Ya Tuhan Kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau..” (Ali Imraan: 191). Metode penciptaan terbaik telah digunakan Oleh Tuhan: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya” (As-Sajdah: 7). Kehidupan segala sesuatu tergantung pada air menurut Al-Quran “Dan Kami Jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (Al-Anbiyaa: 30). Air telah diciptakan sesuai takaran khusus: ”Dan Kami turunkan air dari langi menurut suatu ukuran lalu kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya” (Al-Mu’minuun: 18). Relasi danta kuantitas segala sesuatu telah ditentukan dengan sangat teliti: “Dan Kami telah menghamparkann bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran” (Al-Hijr: 19).

Tentang harmoni antara angin, air dan tumbuh-tumbuhan Al-Quran berifrman: “Dan Dialah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmatNya, hingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami kelurkan dengan sebab hujan itu beragam buah-buahan” (Al-A’raaf: 57). Adapun tentang keserasian antara bumi, langit, air dan manusia: “Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap” (Al-Baqarah: 22). “Bukankah Kami telah jadikan bumi sebagai hamparan” (An-Naba’: 6). “Dan bumi sesudah itu dihamparkannya. Dia memancarkan darinya mata air dan tetumbuhan. Dan gunung-gunung dipancangkanNya dengan teguh untuk kesenangan kalian dan ternak kalian” (An-Nazi’at: 30-33).

Jika manusia menjaga keseimbangan ini dan tidak merusaknya ia telah memaksimalkan keuntungannya dari alam, karena sejak semula alam diciptakan untuk digunakan manusia. “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” (Al-Baqarah: 29). “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah menundukkan untuk kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan telah menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin” (Luqmaan: 20). “Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untuk kalian, agar kalian dapat memakan darinya daging yang segar, dan kalian mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan engkau melihat bahtera berlayar padanya dan agar kalian mencari dari karuniaNya dan agar kalian bersyukur” (An-Nahl: 14).

Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit lalu Dia keluarkan darinya dari buah-buahan rizki bagi kalian dan Dia tundukkan bahtera untuk berlayar di laut dengan perintahNya dan menjadikan bagi kalian sungai-sungai. Dan menjadikan bagi kalian matahari dan bulan silih berganti dan menjadikan bagi kalian malam dan siang. Ia telah berikan bagi kalian dari segala yang kalian minta dan jika kalian menghitung nikmat Allah maka tidak akan dapat kalian hitung” (Ibrahim: 32-34). Adapun tentang keharusan manusia menjaga keseimbangan dan tidak merusaknya dan bersikap sebaik mungkin berdasarkan iman dan amal salih dengan alam dan makhluk lainnya, Al-Quran berfirman: “Dan Jika penghuni desa beriman dan bertakwa maka akan kami bukakan untuk mereka berkat-berkat dari langit dan bumi” (Al-A’raaf: 96).

Salah satu prinsip Islam yang penting seputar lingkungan hidup adalah perhatian yang mendalam tentang menanam pohon. Allah swt berulangkali mengingatkan kemudahan yang telah Dia berikan kepada manusia dan menghitungnya sebagai suatu karunia: Dan Dialah yang menurunkan air dari langit dan lalu Kami keluarkan tumbuh-tumbuhan dari segala jenis, lalu Kami keluarkan darinya yang hijau”. Dari sisi lain, berulang kali Rasulullah saw menghimbau kita untuk hal ini: “Seorang muslim tidak menanam tanaman lalu kemudian seekor burung, manusia atau binatang memakan dari tanaman itu melainkan Allah menulis baginya sedekah” (Hadits muttafaqun alaih, lu’lu’ wa lmarjan, hadis ke-1001). “Barangsiapa merawat pohon sampai tegak dan berbuah, maka setiap kali ada yang memakan dari buahnya terhitung sedekah baginya di sisi Allah” (H.R Ahmad, 4, 51, 5, 274).

Dari sisi lain Islam menekankan pemberdayaan tanah dengan cara menanam tanaman. Untuk itu, selain pahala ukhrawi Islam juga menentukan balasan materil: “Barangsiapa menghidupkan tanah, maka itu menjadi miliknya” (H.R Abu Daud 2073). Islam juga melarang pengrusakan bumi: “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya..” (Al-A’raaf: 56). “Makan dan minumlah dari rizki Allah dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqarah: 60). “..dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Maidah: 64).

Tentang bagaimana memenfaatkan binatang ternak, ajaran Islam menunjukkan nilai moral abadi tentang bagaimana seharusnya kehormatan makhluk lain dijaga: “Tidak seorang muslim pun yang membunuh burung gereja atau yang lain, tanpa memberikan haknya, kecuali Allah akan mempertanyakan itu darinya. Ditanya: Apa hak burung itu Ya Rasulullah? Beliau menjawab: menyembelihnya lalu memakannya dan tidak memotong kepalanya lalu membuangnya” (H.R Ahmad, 6001). Islam juga melarang berburu binatang dan burung hanya untuk rekreasi dan hobi.

Islam mengajarkan agar mengisolasi binatang yang berpenyakit menular dari binatang yang lain agar tidak menjangkiti yang lain. Dasar untuk menjaga semua jenis binatang ayat ini saja sudah mencukupi: “Ya Tuhan Kami tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Engkau” (Ali Imraan: 191). Semua makhluk diciptakan berdasarkan tujuan dan fungsi tertentu. Oleh sebabnya dilarang memunahkan spesies tertentu: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab..” (Al-An’aam: 38). Dalam riwayat lain dari Bukhari dijelaskan bahwa seorang wanita disiksa di api neraka. Itu dikarenakan ia memenjarakan seekor kucing lalu tidak memberinya makan dan minum sampai mati. Islam melarang memotong pohon, membakar ladang dan tumbuh-tumbuhan musuh. Begitu juga menutup aliran air minum untuk musuh dan perlakuan kejam terhadap tawanan.

Asketisme Islam dan Lingkungan Hidup

Manusia yang menapak jalan menuju kesempurnaan material dan spiritual, tidak akan melancarkan peperangan, penghancuran dan berlaku serakah. Ia akan dapat memaksimalkan keuntungan dari karunia ilahi dari langit dan bumi. Namun sayangnya, seringnya umat manusia tidak berlaku demikian dan oleh sebab itu terjadi banyak kerusakan di alam semesta: Telah muncul kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia” (Ar-Ruum: 41).

Manusialah dengan perilakunya yang menjauh dari keseimbangan, penyebab krisis dan tercerainya ekosistem bumi. Mungkin para malaikat karena khawatir akan hal ini bertanya kepada Tuhan saat Dia hendak menjadikan manusia sebagai penggantiNya di bumi: “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya yang merusak di sana dan menumpahkan darah, sementara kami bertasbih dan mensucikanMu” (Al-Baqarah: 20). Tuhan tentunya menjawab bahwa Aku mengetahui yang kalian tidak mengetahui yang berarti walaupun apa yang kalian katakan itu benar, tetapi itu bukan seluruh kebenaran. Manusia adalah makhluq yang ditiupkan ke dalamnya dari Ruh Tuhan: “Dan Aku tiup ke dalamnya dari RuhKu” (Al-Hijr: 29). Oleh sebab itulah manusia, dengan keimanan kepada Allah dan mentaati ajaran agamaNya, dapat berinteraksi secara seimbang dan harmonis dengan manusia lain, alam semesta dan ekosistem dan menjaga mereka dari kehancuran.

Doktrin moralitas Islam, secara keseluruhan, terdiri atas keingkaran terhadap poros diri dan azas kepentingan diri sendiri. Dengan melihat Haji, kita dapat melihat perbaikan diri dan kesempurnaan manusia diperoleh melaui penghormatan terhadap alam. Sewaktu di miqat kita memegang janji ihram dan memasuki batasanNya, kita tidak dapat bahkan menyakiti semut atau mencabut tumbuhan maupun semak; kita tidak dapat merusak alam, tidak mengenakan pakaian yang penuh warna, dan lain-lain. Dan kita harus menghindari segala sesuatu yang merupakan wujud sifat keegoisan dan sifat poros diri sendiri. Dalam ihram, manusia belajar bagaimana menyampaikan pelajaran kepatuhan dan menghormati hak makhluk lain dan hak penciptanya sendiri atas seluruh hidupnya dan tidak melupakannya meskipun sejenak. Ibrahim, Nabi besar aliran monotheisme, mencapai kesempurnaan yang sesungguhnya saat dia berhasil melalui ujian ihram.

Untuk memanfaatkan alam, manusia yang beragama, saat merasakan kemiskinan dan masalah, akan berpegang bukan kepada kekuatan yang menghancurkan dan merusak, tetapi atas dasar kebaikan dan kemurahan Tuhan. Mari kita lihat doa untuk mendapatkan hujan dan bagaimana kita harus keluar kota dengan orang yang lebih tua, anak-anak, orang-orang lemah, dan hewan yang haus; bagaimana kita harus mengangkat tangan ke langit dan memohon hujan dari Tuhan; hujan adalah rahmat, kegembiraan, dan kemurahan, yang mebawa pada syukur. Dan berdasaran doktrin religi, cara tepat bersyukur kepad Tuhan adalah dengan melengkapi rahmat Ketuhanan dengan tepat dan cara yang benar.

Tuhan melengkapi pengolahan, kerja, dan pengembangan alam, dan rahmat kepadaNya dan menegaskan: Apakah engkau yang mengolahnya atau Kami? Dengan arti, adalah kerja Tuhan yang menunjukkan hasil dan mempengaruhi alam. Tuhan menyebutkan bahwa air adalah sumber dari segalanya. “Dan Kami buat segalanya yang hidup dari air.”

Berdasarkan doktrin Islam, manusia berterima kasih kepada Tuhan atas segala butir yang dia dapatkan, dan dia mendapatkan kesenangan spiritual dengan memenuhi kewajiban ini. Dalam sudut pandang Islam, “al-mulku li-llah”, sebagaimana disebutkan, kepemilikan yang sesungguhnya merupakan milik yang Maha Kuasa Tuhan , dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak kepemilikan mutlak atas segala sesuatu. Segala sesuatunya adalah kepercayaan Tuhan (amanah), dan manusia sempurna adalah yang menjalankan kepercayaan dengan hati-hati; pencarian kekuasaan atas alam adalah suatu bentuk tirani. Budaya dan dimensi spiritual dibutuhkan untuk mengubah jiwa pencarian kekuasaan pada manusia menjadi rendah hati, sehingga manusia akan mennghargai usaha mempertahankan alam layaknya nyawanya sendiri dan mengubah korelasi destruktif menjadi kreatif dan dinamis. Dalam agama Islam, semua aktivitas manusia melambangkan suatu aspek pelayanan, misalnya saja mempertahankan dan mengembangkan lingkungan alami. “Katakanlah, doaku dan ibadah dan hidup dan mati milik Tuhan, penguasa alam raya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar