Label

Apa ‘Yang Logis’ Itu?


Banyak orang ketika melakukan bantahan kepada lawan bicaranya dengan berkata. “Pendapat dan pernyataan Anda tidak logis”. Pertanyaannya adalah, “Apa itu ‘yang logis’?” Di sini penting untuk dicermati, bahwa ‘Yang-Logis’ dipahami secara berbeda oleh para filsuf dalam sejarah filsafat. Namun, kita bisa mengatakan bahwa sesuatu dapat dikatakan tidak logis jika dia tidak benar. Tetapi tidak benar bisa berarti dua hal: [1] Penarikan kesimpulan yang salah, dan [2] Pengambilan premis yang salah.

Saat kita memeriksa persoalan pertama, itu murni urusan logika. Namun saat memasuki persoalan kedua, hal tersebut membuat kita masuk pada ranah umum filsafat, yaitu metafisika. Pemeriksaan atas apakah premis, contoh: Manusia adalah binatang rasional, itu benar atau tidak, akan berkembang menjadi apakah ‘manusia binatang rasional itu sesuai kenyataan ataukah tidak?’. Sebagai contoh tentang hal tersebut bisa diambil perdebatan, anggaplah, antara kapitalisme dan sosialisme. Dalam penarikan kesimpulan, tidak ada yang salah dari kapitalisme atau pun sosialisme. Masalahnya yang perlu dipertanyakan adalah apakah premis yang mereka ambil sebagai premis universal itu sudah benar atau belum?

Premis universal kapitalisme dalam hubungannya dengan manusia adalah: manusia adalah makhluk yang serakah, oleh karena itulah pasar, sebagai tempat interaksi antar manusia, perlu dibebaskan dari intervensi negara. Hal itu perlu dilakukan karena keserakahan manusia akan membatasi keserakahan yang lain sehingga akan terjadi suatu keseimbangan pasar akibat pembatasan diri tersebut secara natural. Jadi kapitalisme berangkat dari keserakahan, menuju kebebasan, dan akhirnya sampai pada keseimbangan.

Selanjutnya, berbeda dengan kapitalisme, sosialisme beranggapan justru sifat manusia tidak serakah. Struktur kapitalismelah yang membuat manusia menjadi serakah dan menindas. Tidak akan ada keseimbangan yang diimpikan oleh para kapitalis karena kapitalisme adalah sistem yang kontradiktif dalam dirinya sendiri. Oleh karenanya, penghapusan total akan kapitalisme menjadi jalan keluar atas bentuk keserakahan manusia. Tanpa adanya sistem kapitalisme manusia akan hidup dalam natur-nya, yang hasilnya sama sebagaimana diandaikan oleh teori kapitalisme, yaitu ideal keseimbangan.

Singkat kata, secara logis, teori keduanya (kapitalisme dan sosialisme) itu benar, namun secara metafisis, belum tentu. Soalnya di sini adalah bahwa justifikasi manusia serakah atau tidak itu menjadi lebih penting daripada pengambilan keputusannya, karena jika premis universalnya salah, runtuhlah semua teori dan pengandaian keduanya (kapitalisme dan sosialisme) itu.

Persis, pada titik seperti inilah, filsafat menjadi alat legitimasi agar orang memisahkan diri dari dirinya dan dunia untuk melihat kenyataan secara reflektif. Tidak hanya melihat objek secara inderawi, tetapi juga objek dalam hubungannya dengan keseluruhan sistem dunia, melampaui fakta. Filsafat, dalam artian ini menjadi suatu usaha manusia untuk, jika meminjam istilah Al-Mukarom L.O. Kattsoff dan Syaikhunal Kirom Ayatullah Murtadha Muthahhari Sang Filsuf Syi’ah itu, membentuk sistem pandangan dunia “yang memberikan keterangan tentang dunia dan semua hal yang ada di dalamnya”. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar