Di
Uhud, ketika pasukan kafir Quraisy berhasil membuat barisan muslimin
kocar-kacir, bahkan banyak yang melarikan diri, Ali tetap menyertai Nabi dan
berperang dengan gigih di sisi orang yang ia cintai itu. Di tangan Ali-lah
pasukan Quresy yang mengepung dan berusaha membunuh Nabi, berhasil dipukul
mundur. Di medan yang penuh hiruk pikuk itu, luka-luka yang ada di sekujur
tubuhnya, tidak membuat kendur semangat Ali untuk berkorban dan membela
Rasulullah SAW. Di Uhud inilah terdengar suara Jibril yang memuji Ali dengan
mengatakan,"Tidak ada pahlawan seperti Ali dan tidak ada pedang seperti
Dzul Fiqar."
Di
sisi lain, di pojok sebuah mesjid sederhana, Imam Ali as. Bisa menangis
tersedu-sedu di hadapan Sang Khalik. Meneteskan air mata sampai membasahi
janggut dan tanahnya sambil bermunajat, “Allahumma, Ya Allah, Engkaulah yang
paling dekat menghibur para wali-Mu, yang paling menjamin kecukupan bagi siapa
saja yang bertawakal kepada-Mu. Engkau melihat sampai ke lubuk hati mereka,
menembus jauh dalam nurani mereka dan mengetahui kedalaman perasaan mereka.
Semua rahasia mereka terbuka di hadapan-Mu, semua bisikan hati mereka mendamba
rnengharap dari-Mu. Bila menderita keterasingan, mereka segera terhibur dengan
sebutan-Mu. Dan bila tercurah atas mereka aneka ragam musibah, mereka pun
berlindung kepada-Mu. Mereka benar-benar menyadari bahwa kendali segalanya berada
di tangan-Mu sebagaimana kemunculannya berasal dari ketentuan-Mu.”
Itulah
Imam Ali, hadiah bagi peradaban manusia. Ia bukan hanya anak zaman awal
lahirnya Islam dan bukan juga hanya milik satu bangsa atau satu agama. Imam Ali
adalah anak setiap zaman, anak masa depan, dan milik semua bangsa dan semua
agama. Milik semua masa dan tempat. Milik semua umat manusia. Pikiran, ide dan
petuahnya, seakan-akan hidup di tengah kita semua. Semua karya, pemikiran, dan
ucapannya adalah madrasah bagi seluruh generasi.
Dalam
Nahjul Balaghah, kumpulan khutbah, surat dan petuah-petuah, Imam Ali
memberi perhatian yang besar pada persoalan-persoalan tauhid, ibadah, suluk,
kemasyarakatan, hubungan individu dan sosial, hubungan antara penguasa dan
rakyat, persoalan keadilan dan hak asasi manusia. Muhammad Abduh, Syaikh
Muhammad Abduh, salah seorang komentator Kitab Nahjul Balâghah mengatakan:
"Di masyarakat Arab, tidak ada seorangpun yang tidak berkeyakinan bahwa
ucapan Ali as adalah ucapan paling mulia, paling fasih, paling dalam maknanya
dan paling lengkap sesudah al-Qur'an dan Hadits Nabi." Abduh
juga berkata, "Dalam kalimat-kalimat Imam Ali terlihat hakikat mukjizat.
Tokoh besar ini, dengan kalimat-kalimatnya ada kalanya mengantar manusia ke
alam supernatural dan ada kalanya pula ia menggiring perhatian manusia kepada
suasana alam dunia. Keberanian dan keteguhan telah beliau kristalkan, dan
ketika beliau mensifatinya, seorang yang pemberani pun akan bergetar, dan jika
ia menjelaskan mengenai cinta dan kasih sayang, orang yang keras hati pun akan
tersentuh."
Di
antara tema pemikiran Imam Ali dan pandangannya dalam Nahjul Balaghah yang
sangat relevan hingga saat ini untuk dikaji adalah mengenai hak-hak asasi
manusia.
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia.
Dalam
sejarah peradaban Islam, Imam Ali pernah memangku jabatan tertinggi dalam
komunitas Islam yaitu khalifah. Dengan posisi dan jabatan itu, demi keadilan
Imam Ali tidak segan duduk bersama satu bangku dengan pencuri baju
perangnya. Imam Ali menunggu keputusan hakim yang menangani kasus tersebut.
Berikut ini sekilas tentang hak-hak asasi manusia dalam Nahjul Balaghah
tinjauan al-Quran dengan perspektif tafsir Imam Ali.
1. Keadilan
Keadilan
adalah salah satu prinsip agama Ilahi. Keadilan dalam pandangan Imam Ali ialah
bahwa seluruh manusia memiliki hak yang sama. Allah swt banyak mengungkapkan
masalah ini dalam Al-Quran di antaranya Surat al-Nahl [16]:90
Sesungguhnya
Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan dan pemberian perhatian kepada kaum
kerabat. Dan Dia melarang hal-hal yang keji dan jahat. Dan memberi kamu
sekalian petunjuk agar kamu merenungkan.
Dalam
memahami makna ayat ini, Imam Ali berkata dalam Nahjul Balaghah, no. 421
Imam
Ali A.S ditanya, manakah yang lebih utama antara keadilan dan Al-Juud ? Jika
pertanyaan ini dijawab dengan kriteria moralitas individu maka al-Jud lebih
utama daripada keadilan. Namun Imam Ali menjawab sebaliknya. Beliau lebih
mengutamakan keadilan daripada al-Jud dengan dua alasan:
Pertama,keadilan
secara terminologi adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sementara al-jud
tidak demikian. Maksudnya keadilan adalah memperhatikan hak-hak secara kongkrit
dan memberikan orang lain sesuai dengan amal dan kapasitasnya.
Kedua,
keadilan adalah sebuah kendali yang bersifat umum, sementara Al-Juud atau murah
tangan itu bersifat spesifik. Keadilan bisa dijadikan undang-undang bersifat
umum, mengatur seluruh urusan masyarakat dimana seseorang harus komitmen
kepadanya, sementara Al-Juud adalah kondisi yang bersifat eksklusif dan tidak
bisa dijadikan undang-undang umum.
Keadilan
yang dimaksud Imam Ali ialah bahwa seluruh manusia memiliki hak yang sama.
Tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang miskin dan kaya,
antara yang besar dan kecil. Seseorang dalam pandangan Imam Ali harus bekerja
dalam lingkungan dan masyarakatnya, diberi imbalan sesuai dengan kenerjanya
secara proporsional. Seseorang tidak boleh diberi lebih dari apa yang
dilakukannya, meskipun orang itu memiliki kedudukan dan posisi tinggi dalam
masyarakat.
Imam
Ali telah meletakkan dasar hubungan yang adil antara penguasa dengan rakyat dan
antara sesama manusia itu sendiri, jauh sebelum Eropa menyerukan konsep hak
asasi manusianya. Imam Ali berkata : "Sungai adalah untuk yang
memanfatkannya, bukan untuk yang menguasainya." Perkataanya yang lain:
"Aku tidak pernah melihat adanya kenikmatan yang berlimpah ruah, kecuali
di sana ada hak yang terabaikan. Tiap kenikmatan yang dirasakan orang kaya
adalah kelaparan yang diderita orang miskin."
Imam
Ali ibn Abi Thalib menganggap keadilan sebagai kewajiban dari Allah swt, karena
itu beliau tidak membenarkan seorang Muslim berpanggku tangan menyaksikan
norma-norma keadilan ditinggalkan masyarakat, sehingga terbentuk pengkotakan
dan kelas-kelas dalam masyarakat. Imam Ali bin Abi Thalib, sempat menasehati
para hakim, bahwa, “ketika kebenaran tiba, mereka harus menyampaikan
penilaiannya tanpa rasa takut, tidak memihak atau berprasangka.” Sama halnya, ketika Imam Ali menekankan suatu lembaga
peradilan yang berada di atas setiap jenis tekanan pengaruh atau campur tangan
eksekutif, bebas dari rasa takut dan pamrih, intrik dan penyelewengan. Inilah salah satu deklarasi tertua dalam sejarah oleh
seorang pemimpin negara mengenai pentingnya lembaga peradilan yang bebas.
Dalam
surat al-Nisa: 135 dan al-Maidah: 8 adalah konsep Islam yang sangat jelas dalam
membumikan nilai-nilai keadilan, kebaikan, dan persamaan, egaliter pada
masyarakat sehingga malampaui sekat-sekat mazhab, ras, dan keagamaan. Konsep
itu harus tetap ditegakkan sampai dengan orang yang berbeda pendapat atau
berlainan keyakinan sekalipun.
Dalam
penegasan Imam Ali, pemerintah dan pembela hak-hak maysarakat, haruslah
berpegang teguh kepada konsep-konsep keadilan, jika tidak maka hendaknya tampuk
pemerintahan harus diserahkan kepada orang lain. Logika ini dipetik dari
ajaran-ajaran Al-Quran yang tersurat dalam beberapa ayat, antara lain dalam
surah An-Nisa' ayat 58 yang artinya:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Ada
beberapa pendapat dalam penafsiran ayat ini.
Dalam
memahami intepretasi ayat ini, kita bisa melihat surat-surat Imam Ali yang
sebagian dirangkum dalam kitab Nahjul Balaghah. Dalam surat yang ditujukan
kepada para pejabat, Imam Ali berkata:
"Jangan
sekali-kali kamu mengira bahwa kekuasaan yang telah diserahkan kepadamu itu
adalah hasil buruan yang jatuh ke tanganmu. Itu adalah amanat yang diletakkan
ke pundakmu. Pihak yang diatasmu mengharapkan engkau dapat menjaga dan
melindungi hak-hak rakyat. Maka janganlah engkau berbuat sewenang-wenang
terhadap rakyat."
Imam
Ali ketika menjabat sebagai khalifah pernah berpesan kepada gubernur Malik
Al-Asytar:"Pikirlah baik-baik terlebih dahulu untuk memilih seseorang
sebagai penanggungjawab. Angkatlah dia setelah dia siap untuk bekerja dan
janganlah kau angkat mereka hanya dengan kemauanmu sendiri tanpa bermusyawarah
dengannya, karena ini adalah perbuatan khianat.”
Ibnu
Abil Hadid, seorang ulama terkenal mengomentari pesan Imam Ali dalam Kitab
Nahjul Balaghah sebagai berikut: "Maksud dari kalimat Imam Ali ini ialah
memilih seseorang tanpa berdasarkan seleksi yang semestinya adalah perbuatan
khianat dan zalim. Kezaliman disini terjadi karena seorang pemimpin tidak
menyerahkan tanggung jawab kepada orang yang berhak dan malah menyerahkannya
kepada orang yang tidak patut. Kezaliman ini menimpa orang yang layak menerima
tanggung jawab. "Adapun khianat disini, terjadi karena amanat menuntut
penyerahan tugas kepada orang yang layak dan siapapun yang berbuat sebaliknya,
berarti dia telah berkhianat kepada Allah dan umat."
Imam
Ali yang hidup dan besar dalam tarbiyah Rasul dan wahyu telah menempatkan
program-program utamanya untuk penentangan terhadap kezaliman. "Imam Ali
ibn Abi Thalib, sebagai murid utama ajaran Islam, sangat sensitif terhadap
kezaliman. Di banyak bagian dalam kitab Nahjul Balaghah, masalah ini sangat
jelas. Antara lain beliau berkata: "Andaikan aku ditidurkan di atas duri
padang pasir tanpa pakaian, atau seandainya aku dibelenggu rantai dan diseret
di atas tanah, demi Allah aku bersumpah bahwa itu lebih baik daripada seandainya
aku berjumpa Allah dan Rasul di hari kiamat sementara aku pernah menzalimi
makhluk Allah atau aku merampas urusan-urusan duniawi."
Imam
Ali juga pernah berkata kepada anak-anak dan generasinya: "Jadilah kamu
musuh orang zalim dan sahabat orang mazlum atau tertindas. " Menurut Imam
Ali, seorang Muslim bukan saja harus menjauhi kezaliman, tapi juga harus
menjadi kawan dan merasa senasib dengan seorang yang mazlum atau tertindas.
Jadi menurutnya, Islam tidak membenarkan umatnya diam tak bergeming menyaksikan
seseorang menjadi obyek kezaliman.
Kezaliman
sangat dicela oleh Islam. Berkenaan berbagai kezaliman, Hujjatul Islam Bahman
Pur mengatakan: "Menurut Imam Ali, kezaliman ada tiga bentuk yaitu:
Pertama, perbuatan syirik kepada Allah swt. Kezaliman ini sama sekali tidak
akan mendapat pintu ampunan Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran.
Kedua, kezaliman yang dapat diampuni oleh Allah swt yaitu berbuat dosa atau ada
kekurangan dalam mengerjakan perintah Allah. Ketiga, kezaliman yang harus
dibalas atau diqisas, baik di dunia maupun di akhirat. Kezaliman dalam kategori
ini adalah tindakan aniaya yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Imam Ali
pernah menuturkan bahwa balasan Allah sangat keras kepada orang yang berbuat
zalim. Manusia yang paling sempurna dan guru Imam Ali, yaitu nabi besar
Muhammad saww, menegaskan: "Hari dimana seorang yang mazlum atau teraniaya
membalas si zalim, jauh lebih pedih ketimbang hari dimana si zalim menganiaya
si mazlum." Imam Ali bertutur kepada putra-putri dan generasinya.
"Jadilah kalian sahabat orang mazlum dan musuh orang zalim."
Wasiat
Imam Ali ini bukan hanya datang dari seseorang yang berstatus pemimpin umat,
tapi juga dari orang yang berhasil meraih kesempurnaan insani yang tak lupa
berusaha menyirami naluri atau fitrah manusia dengan pesan ini. Kita berharap
masyarakat penghuni dunia ini benar-benar meresapi dan kembali kepada fitrah
mereka demi menjauhi fanatisme agama, golongan, bangsa dan etnis untuk kembali
kemudian menyadari apa tugas mereka terhadap orang-orang tertindas yang dilanggar
haknya.
2. Imam Ali pengusung madhzab cinta
Landasan
kedua dalam menjalankan hak asasi manusia yang dilakukan oleh imam Ali adalah
landasan kecintaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam surat kepada Malik
Asytar Imam mengatakan, ”insafkan hatimu agar selalu memperlakukan rakyatmu
dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kaujadikan dirimu
laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu
sesungguhnya hanya satu di antara dua : saudaramu dalam agama atau makhluk
Tuhan sepertimu.”
Ibnu
Abil Hadid menjelaskan, ”Jadikan kasih sayang sebagai syiarmu, yaitu satu
karakter yang menonjol pada dirimu, karena rakyatmu adalah saudaramu dalam
agama atau manusia sepertimu yang butuh akan kelembutan dan kasih sayang”
Hal
ini dijiwai oleh Al Qur’an ”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi
Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Al maidah : 32)
Tentu
saja kecintaan bukan hanya berarti kelembutan dan menyerah pada kesalahan. Imam
Ali berkata, ”Jika kecintaan dan kelembutan hanya mengakibatkan timbulnya
kekerasan maka kekerasan adalah suatu bentuk kelembutan hati.”
Imam
Ali adalah diantara sedikit manusia yang bisa memadukan dua sifat yang sangat
susah dipadukan yaitu keadilan dan kecintaan. Mudah-mudahan kita diberi berkah
untuk dapat menjadi pengikutnya. Wallahu a’alam
(Syarah Nahjul
Balaghah Muhammad Abduh, darul ma’rifah tt. Imam Ali ibn
Abi Thalib, Sebuah Kumpulan Terpilih Nahj al-Balaghah, (Houston: FIL
Incorporated, 1979) p. 15.