Oleh
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
(‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Bukan
saja tauhid yang terdapat tingkatannya, kemusyrikan juga ada tingkatannya.
Kalau kita membandingkan keduanya, kita dapat lebih mengetahui tauhid maupun
kemusyrikan. Karena membandingkan dua hal yang berseberangan tersebut, maka
kita dapat menjelaskannya. Sejarah memperlihatkan bahwa eksistensi beragam
kemusyrikan selalu menandingi tauhid yang diajarkan oleh para nabi.
Percaya Pluralitas Zat Tuhan
Bangsa-bangsa
tertentu memiliki kepercayaan kepada dua (dualisme), tiga (trinitas) atau lebih
dari sumber kreatif dan abadi yang satu sama lain saling mandiri. Mereka
percaya bahwa dunia ini memiliki banyak kutub dan banyak pusat. Dari mana
sumber gagasan-gagasan seperti itu? Apakah masing-masing gagasan ini
mencerminkan kondisi sosial masyarakat bersangkutan. Misal, ketika orang
mempercayai dua sumber kreatif dan abadi serta dua orbit orisinal dunia,
masyarakat mereka terbagi menjadi dua bagian yang berlainan, dan ketika orang
mempercayai tiga sumber dan tiga Tuhan, sistem sosial mereka trilateral. Dengan
kata lain, dalam setiap kasus, sistem sosial tersebut tecermin pada pikiran
masyarakat dalam bentuk doktrin. Apakah juga merupakan fakta bahwa para nabi
mengajarkan tauhid hanya ketika pusat sistem sosial cenderung satu?
Pandangan
ini berasal dari sebuah teori filsafat yang sudah kita bahas sebelumnya.
Menurut teori ini, aspek-aspek spiritual dan intelektual pada diri manusia, dan
kecenderungan moral serta konvensional masyarakat seperti ilmu pengetahuan,
hukum, filsafat, agama dan seni, kedudukan atau arti pentingnya berada di bawah
sistem sosial manusia, khususnya berada di bawah sistem ekonominya, dan
posisinya tidak mandiri. Teori ini sudah kami buktikan kesalahannya. Kami
mempercayai nilai intrinsik pemikiran, ideologi dan sisi manusiawi manusia,
karena itu kami anggap tak berdasar pandangan-pandangan sosiologis seperti itu
mengenai tauhid dan kemusyrikan.
Namun
demikian, ada masalah lain yang tidak boleh dikacaukan dengan teori ini.
Terkadang ajaran agama disalahgunakan dalam sistem sosial. Misal, sistem berhala kaum Quraisy penyembah
berhala merupakan skema untuk melindungi kepentingan kaum praktisi riba Arab.
Orang-orang seperti Abu Sofyan, Abu Jahal dan Walid bin Mughirah sedikit pun
tidak mempercayai berhala. Mereka membela berhala hanya untuk melindungi sistem
sosial yang ada. Ketika sistem tauhid Islam yang anti-riba tampil, mereka
semakin hebat dalam membela berhala. Karena takut diri mereka bakal hancur,
maka kaum penyembah berhala praktisi riba ini pun mengemukakan dalih bahwa
kepercayaan-kepercayaan masyarakat itu suci. Al-Qur'an banyak menyinggung hal
ini, khususnya dalam kisah tentang Fir'aun dan Nabi Musa. Namun demikian,
haruslah dipahami bahwa masalah ini beda sekali dengan pandangan yang
menyebutkan bahwa sistem ekonomi merupakan infrastruktur sistem doktrin dan
bahwa setiap sistem intelektual merupakan reaksi sistem ekonomi dan sosial.
Yang
ditolak keras oleh mazhab para nabi adalah pandangan yang menyebutkan bahwa
setiap ideologi niscaya merupakan bentuk kristalisasi keinginan masyarakat, dan
keinginan masyarakat ini muncul akibat kondisi ekonomi. Menurut teori
materialistis, mazhab tauhid para nabi itu sendiri merupakan bentuk
kristalisasi keinginan sosial yang muncul akibat kebutuhan ekonomi pada zaman
para nabi tersebut. Perkembangan alat produksi melahirkan banyak keinginan
sosial yang dijelaskan melalui pandangan tauhid. Para nabi sesungguhnya
menjelaskan secara terperinci kebutuhan sosial dan ekonomi ini. Ada kaidah yang
berlaku umum, yaitu bahwa setiap gagasan dan setiap kepercayaan ada
infrastruktur ekonominya. Kaidah ini berlaku pula pada pandangan atau gagasan
tauhid.
Al-Qur'an
percaya bahwa fitrah manusia merupakan dimensi pokok dari eksistensinya.
Al-Qur'an juga berpandangan bahwa fltrah manusia melahirkan sejumlah keinginan
yang hanya dapat dipenuhi dengan tauhid. Karena itu Al-Qur'an memandang dakwah
tauhid para nabi memenuhi kebutuhan manusia. Al-Qur'an tidak mempercayai
infrastruktur lain tauhid, juga tidak memandang kondisi kelas sebagai faktor
yang memaksa lahirnya gagasan atau kepercayaan. Seandamya kondisi kelas
merupakan infrastruktur kepercayaan manusia, maka setiap orang tentu cenderung
ke arah yang dikehendaki posisi kelasnya. Dalam kasus ini tak akan ada pilihan
bagi siapa pun dalam masalah kepercayaan. Orang-orang seperti Fir'aun tak dapat
disalahkan, para penentang mereka juga tak dapat dipuji, karena orang baru
dapat disalahkan atau dipuji kalau dia memiliki pilihan untuk menjadi lain.
Kalau tidak, dia tak dapat disalahkan, juga tak dapat dipuji. Seorang kulit
hitam atau kulit putih tak dapat disalahkan atau dipuji karena warna kulitnya.
Namun kita tahu bahwa manusia tidak harus berpikir seperti pikiran kelasnya.
Dapat saja dia menentang kepentingan kelasnya, seperti yang dilakukan Nabi
Musa, sekalipun Nabi Musa dibesarkan dalam lingkungan mewah Fir'aun. Hal ini
membuktikan bahwa soal infrastruktur dan suprastruktur, di samping meniadakan
sisi manusiawi manusia, tak lebih daripada sebuah mitos.
Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa kondisi material dan intelektual tidak saling
mempengaruhi satu sama lain. Yang ditolak adalah kalau kondisi material dan
kondisi intelektual masing-masing dianggap sebagai infrastruktur dan
suprastruktur. Al-Qur'an mengatakan, Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui
batas ketika melihat dirinya serba cukup (QS. al-'Alaq: 6). Al-Qur'an mengakui bahwa kaum
kaya dan kaum berkuasa berperan penting dalam menentang para nabi, sedangkan
kaum tertindas dan kaum kurang mampu berperan mendukung para nabi. Namun karena
fitrah mereka, mereka pun semuanya dapat menerima kebenaran.
Dari
sudut pandang spiritual, perbedaan satu-satunya adalah bahwa satu kelompok,
kendatipun memiliki fitrah, harus terlebih dahulu mengatasi rintangan besar sebelum
dapat diyakinkan untuk menerima kebenaran, karena kelompok ini harus melepaskan
keuntungan materialnya yang ada dan keistimewaannya yang dimilikinya secara tidak
adil, sementara kelompok lain tak menghadapi rintangan seperti itu. Dengan
bahasa Salman al-Farisi (sahabat istimewa Nabi Muhammad saw), mereka yang
bebannya ringan, terselamatkan. Bukan saja begitu, kelompok kedua ini memiliki
dorongan yang positif. Setelah menerima kebenaran, kondisi hidup kelompok ini
mengalami perbaikan, dan kehidupannya pun semakin enak. Itulah sebabnya
mayoritas pengikut para nabi adalah kaum kurang mampu. Namun demikian, para
nabi selalu mampu mendapat pengikut dari kalangan kaum mampu, dan mampu
meyakinkan mereka untuk menentang kelas mereka sendiri dan kepentingan kelas
mereka. Menurut Al-Qur'an, orang-orang seperti Fir'aun dan Abu Sofyan membela
sistem musyrik pada zaman mereka, dan membangkitkan semangat religius kaum
mereka untuk menentang Nabi Musa dan Nabi Terakhir (Muhammad saw—pen.) bukan
semata-mata lantaran mereka—karena posisi kelas mereka—tidak dapat berpikir
untuk berbuat lain, atau bukan karena tuntutan kelas mereka mengkristal dalam
bentuk kepercayaan musyrik. Al-Qur'an mengatakan bahwa mereka durhaka. Berkat
fitrah mereka, mereka mempercayai Allah dan menyadari kebenaran, namun tetap
saja mereka menolak dan menentang kebenaran. Al-Qur'an menyebutkan: Dan mereka
mengingkari ayat-ayat Kami, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya (QS.
an-Naml: 14).
Al-Qur'an
menggambarkan kekafiran mereka sebagai pengingkaran terhadap apa yang diyakini
hati mereka. Dengan kata lain, pengingkaran mereka merupakan semacam revolusi
menentang hati nurani mereka sendiri. Dalam hubungan ini ada kesalahpahaman
yang serius. Sebagian orang berpendapat bahwa Al-Qur'an mendukung teori
materialisme sejarah Marxis. Masalah ini akan kami bahas secara terperinci pada
saat mengkaji masyarakat dan sejarah di bagian lain buku ini. Teori ini tidak
sesuai dengan realitas aktual sejarah, juga tidak dapat dipertahankan dari
sudut pandang ilmiah. Namun demikian, mempercayai beberapa sumber berarti mempercayai pluralitas
Zat Tuhan, dan bertentangan sekali dengan mempercayai keesaan Zat Tuhan. Dalam
kaitan ini Al-Qur'an mengemukakan argumen: Sekiranya ada di langit dan di bumi
Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa (QS.
al-Anbiyâ': 22). Orang yang meyakini pluralitas Zat Tuhan berarti dia berada di
luar batas Islam, karena Islam menolak keras keyakinan seperti ini dalam setiap
bentuknya.
Pluralitas Pencipta
Sebagian
orang meyakini bahwa Allah tak bersekutu. Mereka meyakini bahwa Allah adalah
satu-satunya sumber alam semesta ini. Namun, sejauh menyangkut Tuhan sebagai
pencipta, mereka menyekutukan Tuhan dengan beberapa makhluk. Misal, sebagian
dari mereka berpendapat bahwa keburukan atau kejahatan diciptakan oleh sebagian
makhluk, bukan oleh Allah. Keyakinan seperti ini sama juga dengan keyakinan
bahwa pencipta itu banyak, dan keyakinan seperti ini bertentangan sekali dengan
ajaran keesaan perbuatan Tuhan. Namun demikian, keyakinan akan pluralitas
pencipta ada beberapa tingkatannya. Sebagiannya tidak sama dengan kemusyrikan
yang terang-terangan, dan karena itu penganut keyakinan ini belum berada di
luar batas Islam.
Pluralitas Sifat-sifat Allah
Karena
pelik, maka bukan orang biasa yang mengangkat persoalan ini. Hanya sebagian
pemikir yang kurang mendalam wawasannya saja yang tertarik dengan persoalan
ini. Di antara kaum teolog skolastis (penganut skolastisisme; skolastisisme
adalah teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada
falsafah Aristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen—pen.),
kaum Asya'irah mempercayai pluralitas Sifat-sifat Allah. Karena keyakinan
seperti ini tidak sama dengan kemusyrikan terang-terangan, maka penganutnya
belum berada di luar batas Islam.
Pluralitas Ibadah (Penyembahan)
Banyak
orang yang menyembah kayu, batu atau logam, atau mereka menyembah hewan,
bintang, pohon atau sungai. Dahulu kemusyrikan seperti ini lazim. Sekarang pun
kemusyrikan seperti ini masih ada di beberapa belahan dunia. Pluralitas
penyembahan merupakan lawan dari tauhid ibadah. Semua tingkat kemusyrikan yang
disebutkan sebelumnya merupakan beragam jenis kemusyrikan teoretis. Semuanya
dapat dilukiskan sebagai persepsi atau pengetahuan yang salah. Pluralitas
ibadah merupakan kemusyrikan praktis, semacam "menjadi" yang salah.
Namun
demikian, kemusyrikan praktis juga begitu banyak tingkatannya. Tingkatannya
yang paling tinggi adalah tingkatan yang membuat orang berada di luar batas
Islam. Tingkatan ini disebut kemusyrikan yang terang-terangan. Namun ada banyak
jenis kemusyrikan yang tersembunyi. Karena memiliki program tauhid praktis,
maka Islam memerangi semua jenis kemusyrikan itu. Ada jenis-jenis kemusyrikan
yang begitu tak kentara dan tersembunyi, sehingga nyaris tidak kelihatan. Nabi
saw bersabda: "Kemusyrikan lebih
tak terlihat ketimbang semut yang berjalan di batu yang licin di kegelapan
malam. Kemusyrikan yang paling kecil kadarnya adalah lebih cenderung kepada
tindak kezaliman ketimbang tindak keadilan."
Orang
baru dapat disebut religius kalau dia mencintai dan membenci karena Allah
semata. Allah SWT berfirman: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutlah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu (QS. Âli 'Imrân: 31). Islam memandang perbuatan
menuruti hawa nafsu, cinta jabatan, cinta kehormatan dan uang, maupun memuja
pahlawan atau tokoh, sebagai bentuk kemusyrikan. Dalam kisah tentang konflik
antara Nabi Musa dan Fir'aun, Al-Qur'an menggambarkan kekuasaan tiran Fir'aun
atas Bani Israil. sebagai pemaksaan dedikasi dan perbudakan. Nabi Musa
digambarkan menjawab Fir'aun: Budi yang kamu Umpahkan kepadaku itu adalah
(disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Isra'il (QS. asy-Syu'arâ’: 22).
Jelaslah
bahwa Bani Isra'il tidak menyembah Fir'aun dan juga tidak menjadi budaknya.
Mereka hanyalah hidup di bawah kekuasaan tirani Fir'aun. Di bagian lain
Fir'aun digambarkan mengatakan: "Sesungguhnya kami memiliki kekuasaan
penuh atas mereka." Di bagian lain lagi Fir'aun digambarkan mengatakan:
"Kaum mereka (kaum Nabi Musa as dan Nabi Harun as) adalah budak kami dan
menyembah kami." Dalam ayat ini kata "kami" penting artinya
(lihat QS. al-A'raf: 127).
Sekalipun
kita berasumsi bahwa Bani Israil dipaksa menyembah Fir'aun, tetap saja tak dapat
dibayangkan bahwa Bani Israil menyembah pembesar-pembesar Fir'aun. Bani Israil
hanya dipaksa tunduk dan menaati Fir'aun. Dalam sebuah khotbah yang menggambarkan
keadaan menyedihkan yang dialami Bani Israil di bawah kekuasaan tirani Fir'aun.
Imam Ali as berkata: "Orang-orang seperti Fir'aun telah memperbudak
mereka." Imam Ali as menjelaskan diperbudaknya Bani Israil dengan
kata-kata seperti ini: "Orang-orang seperti Fir'aun itu menyiksa mereka
dan membuat hidup mereka menyedihkan. Bani Israil hidup di bawah kondisi yang
sangat menindas dan tak dapat menemukan jalan untuk melepaskan diri dari
penindasan dan penghinaan, atau untuk membela diri" (Nahj al-Balâghah).
Ayat
yang menjanjikan bahwa kaum mukmin akan menjadi khalifah Allah, sangat jelas
dalam kaitan ini. Ayat itu mengatakan: Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) Kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. an-Nûr: 55).
Ayat
ini menunjukkan, bahwa bila pemerintahan yang baik dan kekhalifahan Allah
tegak, maka kaum mukmin terbebaskan dari menaati setiap tiran. Ayat ini
mengatakan bahwa kaum mukmin hanya menyembah Allah saja dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ini memperlihatkan bahwa dari sudut
pandang Al-Qur'an, menaati penguasa merupakan tindak menyembah Allah asalkan
penguasa tersebut ditaati karena Allah. Kalau tidak, maka perbuatan seperti itu
merupakan tindak kemusyrikan. Mengherankan bahwa terpaksa taat, yang secara
moral tidak dianggap sebagai tindak menyembah, juga dianggap demikian dari
sudut sosial. Nabi saw bersabda: "Ketika
jumlah Bani al-'As (leluhur Marwan bin Hakam dan sebagian besar khalifah
Umayah) mencapai tiga puluh, mereka akan menjarah milik Allah dan mengubahnya
menjadi milik pribadi mereka, akan memperbudak hamba Allah, dan akan
mengintervensi agama-Nya." Di sini Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa Bani
Umayah akan menjadi penindas atau tiran. Memang Bani Umayah tidak meminta
disembah, juga tidak memperbudak rakyat mereka. Bani Umayah hanya menjalankan
kekuasaan tirani. Nabi saw, melalui wahyu Allah sehingga dapat melihat apa yang
akan terjadi kelak, menyebut posisi ini pembudakan dan semacam kemusyrikan.
Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan
Apa
garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan (termasuk bentuknya yang teoretis
dan praktis?). Mana pandangan yang tauhid dan mana pandangan yang musyrik?
Perbuatan seperti apa yang dapat disebut Tauhid praktis, dan yang dapat disebut
kemusyrikan praktis? Apakah musyrik kalau mempercayai eksistensi apa pun selain
Allah? Apakah Tauhid Zat-Nya menuntut kita untuk tidak mempercayai eksistensi
sesuatu dalam bentuk apa pun di samping Dia, yang bahkan bukan ciptaan-Nya
(semacam monoisme ontologis"). Jelaslah bahwa segala ciptaan adalah pekerjaan Allah.
Tidak dapat dipandang sebagai tandingan-Nya. Ciptaan Allah merupakan
manifestasi kemahakuasaan-Nya. Mempercayai eksistensi suatu ciptaan sebagai
sesuatu yang diciptakan oleh Allah, tidak bertentangan dengan tauhid. Akan
tetapi justru melengkapi tauhid. Karena itu, garis pembatas antara tauhid dan
kemusyrikan bukanlah ada atau tidak adanya sesuatu selain Allah.
Apakah
mempercayai sebab-akibat segala ciptaan sama dengan kemusyrikan atau pluralitas
pencipta? Apakah mempercayai tauhid perbuatan Allah berarti kita juga menolak
sistem sebab-akibat, dan berarti kita juga menganggap bahwa setiap akibat tentu
penyebabnya adalah Allah langsung? Misal, apakah kita percaya bahwa api sama
sekali tak punya peran dalam pembakaran, air sama sekali tak punya peran dalam
menghilangkan dahaga, hujan sama sekali tak punya peran dalam menumbuhkan
tanaman, dan obat sama sekali tak punya peran dalam penyembuhan, dan bahwa
Allah langsung yang membakar, langsung yang menghilangkan dahaga, langsung yang
menumbuhkan tanaman, dan langsung yang menyembuhkan penyakit Benarkah ada atau
tak adanya faktor-foktor lain sama saja? Paling banter dapat dikatakan bahwa
Allah biasanya berbuat bila ada faktor-faktor tertentu. Jika seseorang biasa
memakai topi di kepalanya bila dia mau menulis surat, maka tidak dapat
dikatakan bahwa ada atau tak adanya topi mengakibatkan dia menulis surat. Yang
jelas adalah bahwa dia tak suka menulis surat tanpa mengenakan topi di
kepalanya. Menurut pandangan ini, seperti itulah karakter dan ada dan tidak
adanya segala sesuatu yang disebut sebab dan faktor. Kalau kita mempercayai
sebaliknya, berarti kita menganggap bahwa Allah ada sekutu-Nya dalam berbuat.
Itulah pandangan kaum Asya'irah dan kaum Jabariah.
Sekali
lagi pandangan ini salah. Karena mempercayai eksistensi sesuatu ciptaan
tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas Zat Tuhan, tetapi justru melengkapi
kepercayaan akan keesaan Allah, maka mempercayai sistem sebab-akibat tidaklah
sama dengan mempercayai pluralitas pencipta. Karena eksistensi segala ciptaan
itu bukan dengan sendirinya, maka efektivitas mereka juga bergantung. Karena
eksistensi dan efektivitas segala yang ada bergantung pada Allah, maka tak ada
soal pluralitas pencipta. Mempercayai sistem sebab-akibat sesungguhnya melengkapi
kepercayaan akan kepenciptaan Allah. Tentu saja sama dengan kemusyrikan kalau
kita percaya bahwa segala ciptaan ada sendiri, atau percaya bahwa hubungan
antara Allah dan alam semesta adalah hubungan pabrikan dan produk. Mobil pada
mulanya membutuhkan pabrikan agar mobil itu ada, namun setelah ada mobil itu
berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri. Meskipun pabrikannya mati, mobil
itu tetap dapat jalan. Kalau kita beranggapan bahwa hubungan faktor alamiah,
seperti air, hujan, energi, panas, bumi, tumbuhan dan manusia dengan Allah
seperti itu, seperti terkadang cenderung jadi pandangan kaum Mu'tazilah, maka
pandangan seperti itu tentu saja membawa ke kemusyrikan.
Efektivitas
segala ciptaan bergantung pada Pencipta mereka, karena asal-usul, eksistensi
dan kelangsungan mereka bergantung pada-Nya. Alam semesta adalah ciptaan-Nva
dan merupakan rahmat dari-Nya. Alam semesta sepenuhnya bergantung pada-Nya.
Karena itu, efektivitas segala ciptaan sesungguhnya merupakan efektivitas
Allah, dan kreativitas mereka merupakan kreativitas-Nya dan perpanjangan
pekerjaan-Nya. Bahkan dapat dikatakan bahwa memandang musyrik keyakinan akan
adanya peran makhluk dalam urusan dunia itu sendiri adalah pikiran musyrik,
karena pikiran seperti itu menunjukkan secara tidak sadar mempercayai
kemandirian segala yang ada, seperti ditunjukkan oleh anggapan bahwa
mempercayai efektivitas segala yang ada berarti sama dengan mempercayai adanya
dua pusat. Namun demikian, mempercayai atau mengingkari sebab-akibat segala
ciptaan di samping Allah bukanlah garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan.
Apakah
mempercayai kekuatan supranatural dari sesuatu yang eksis, apakah itu malaikat
atau manusia seperti nabi atau imam, itu musyrik, padahal mempercayai kekuatan
dan efektivitas nabi atau imam dan seterusnva dalam batas-batas normal tidak
musyrik? Begitu pula, apakah dapat disebut berpikiran musyrik kalau mempercayai
kekuatan dan efektivitas seseorang yang sudah mati, mengingat orang yang sudah
mati itu nampaknya hanyalah sebuah benda inorganis. Jelaslah, dari sudut
pandang hukum alam, benda inorganis tak memiliki kesadaran, tak memiliki daya,
tak memiliki kehendak. Karena itu, percaya bahwa orang yang sudah mati bisa
melihat, atau menghormati orang yang sudah mati, dan meminta sesuatu dari orang
yang sudah mati, semuanya itu merupakan perbuatan musyrik, karena dengan
berbuat begitu berarti menganggap bahwa yang punya kekuatan supranatural bukan
saja Allah tetapi juga makhluk.
Begitu
pula, tentu saja musyrik kalau percaya bahwa tanah di tempat tertentu bisa
untuk menyembuhkan penyakit, atau bahwa berdoa di tempat tertentu pasti
dikabulkan, karena kepercayaan seperti itu sama saja dengan mempercayai bahwa
benda tak bernyawa memiliki kekuatan supranatural. Mengingat semua itu alamiah,
dapat diidentifikasi, dapat dialami, dan dapat dilihat, maka bukanlah musyrik,
seperti anggapan kaum Asya'irah, kalau mempercayai efektivitas hal-hal itu.
Namun tentu saja musyrik kalau percaya bahwa makhluk memiliki kekuatan
supranatural.
Eksistensi
memiliki dua segi: fisis dan metafisis. Segi metafisis merupakan wilayah khusus
Allah, sedangkan segi fisis merupakan wilayah khusus makhluk, atau merupakan
wilayah bersama antara Allah dan makhluk. Sejumlah fungsi yang memiliki segi
metafisis, seperti menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, dan seterusnya,
bersama beberapa fungsi normal dan biasa, merupakan wilayah khusus Allah.
Sejauh menyangkut Tauhid Teoretis, begitulah posisinya. Adapun Tauhid praktis,
maka memberikan perhatian kepada makhluk dengan maksud membina hubungan
spiritual dengan makhluk tersebut, agar makhluk tersebut memberikan perhatian
kepada kita, atau agar makhluk tersebut memberikan tanggapan kepada kita, maka
itu semua merupakan kemusyrikan, dan sama saja dengan menyembah makhluk
tersebut. Karena menyembah selain Allah itu tidak dibolehkan oleh akal dan juga
oleh syariat Islam, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut keluar dari
Islam. Kemudian, karakter ritus yang membutuhkan adanya perhatian semacam itu,
tak beda dengan karakter ritus yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala.
Kalau orang melakukan ritus seperti itu, maka artinya dia menganggap sosok yang
jadi objek ritus tersebut memiliki kekuatan metafisis (misalnya Imam atau Nabi
saw). Itulah pandangan kaum Wahabi dan kaum semi-Wahabi di zaman ini.
Di
zaman ini pandangan seperti ini banyak dianut, dan di kalangan-kalangan
tertentu malah dianggap sebagai tanda berpikir jernih. Namun dari sudut pandang
tauhid, teori kaum Asya'irah itu termasuk musyrik. Sesungguhnya teori tersebut
merupakan seburuk-buruk teori, bila dilihat dari sudut pandang tauhid
kepenciptaan dan tauhid perbuatan Tuhan.
Dalam
kesempatan menunjukkan kekeliruan teori kaum Asya'irah, sudah kami kemukakan
sebelumnya bahwa mereka menafikan sistem sebab-akibat, dengan alasan bahwa
kalau orang mempercayai efektivitas dan sebab-akibat makhluk berarti dia
mempercayai adanya beberapa sumber lain selain Allah. Sudah kami kemukakan
bahwa sesuatu dapat menjadi sumber kalau eksistensi sesuatu tersebut terjadi
dengan sendirinya, dan sesuatu tersebut tidak bergantung pada Allah. Kaum
Asya'irah rupanya secara tidak sadar mempercayai independensi makhluk.
Kepercayaan ini jelasjelas musyrik, karena sama saja dengan menyangkal Tauhid
Zat Allah. Namun demikian, mereka tidak menyadari konsekuensi teori mereka.
Mereka ingin menegaskan tauhid kepenciptaan, namun secara tak sadar justru
ujungnya malah mendukung pluralitas Zat Tuhan.
Kritik
yang sama juga tertuju kepada kaum semi-Wahabi. Secara tak sadar mereka pun
setuju dengan semacam independensi-diri makhluk, karena mereka beranggapan
bahwa mempercayai faktor supranatural sama saja dengan mempercayai kekuatan
lain selain kekuatan Allah. Mereka ini mengabaikan fakta bahwa kalau satu
makhluk dapat melakukan perbuatan supranatural, dan segenap eksistensi makhluk
tersebut bergantung pada Allah, dan yang statusnya sendiri tidak mandiri, maka
sebenarnya kualitas untuk melakukan perbuatan tersebut berasal dari Allah yang
diberikan kepadanya. Makhluk tersebut
hanyalah sarana untuk menyampaikan rahmat Allah. Apakah musyrik kalau orang
percaya bahwa Malaikat Jibril merupakan perantara yang digunakan untuk
menyampaikan wahyu dan ilmu, Malaikat Mikail merupakan perantara untuk
memberikan sarana hidup, Malaikat Israfil merupakan perantara untuk Kebangkitan,
dan Malaikat Izrail merupakan perantara untuk mencabut nyawa?
Dari
sudut pandang tauhid, teori ini berakibat seburuk-buruk kemusyrikan, karena
mempercayainya sama saja dengan semacam membagi kerja antara Pencipta (Allah
SWT) dan makhluk. Menurut teori ini, perbuatan supranatural merupakan wilayah
khusus Allah, sedangkan perbuatan alamiah merupakan wilayah khusus makhluk atau
wilayah bersama antara Pencipta dan makhluk. Mempercayai wilayah khusus
makhluk, berarti mempercayai pluralitas kerja yang merupakan gagasan musyrik.
Begitu pula, mempercayai wilayah bersama juga merupakan kemusyrikan.
Bertentangan
dengan konsepsi tauhid, Wahabisme bukan saja merupakan sebuah doktrin yang
bertentangan dengan imamiah, namun juga bertentangan dengan tauhid dan kemanusiaan.
Doktrin Wahabi ini anti-tauhid, karena doktrin ini mempercayai adanya pembagian
kerja. Seperti sudah dijelaskan di atas, Wahabisme
merupakan semacam kemusyrikan terselubung. Juga anti-kemanusiaan, dalam
pengertian tidak menghargai bakat dan kemampuan manusia, dua hal yang membuat
manusia lebih unggul daripada malaikat sekalipun. Dengan jelas Al-Qur'an
menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah, dan malaikat diperintahkan
untuk sujud di hadapan manusia. Namun Wahabisme masih saja berkeinginan menurunkan
martabat manusia sampai ke tingkat binatang buas. Lalu, membedakan antara yang hidup dan yang mat,
seperti katakanlah bahwa yang mati itu tidak akan hidup lagi meski di akhirat
sekalipun, dan bahwa segenap kepribadian manusia itu terletak pada raganya, dan
raga ini kemudian berubah menjadi barang inorganis setelah manusia tersebut
mati, merupakan gagasan materialistik dan keji. Masalah ini akan kami bahas
nanti, yaitu ketika membahas Hari Kiamat.
Yang
juga musyrik adalah, apabila membedakan antara efek sesuatu yang bersifat
supranatural dan tak dapat dimengerti (efek pertama) dan yang bersifat dapat
dimengerti (efek kedua), dan memandang efek pertama sebagai efek metafisis yang
bertentangan dengan efek kedua. Sekarang dapat dimengerti apa maksud Nabi Suci
saw ketika bersabda bahwa kemusyrikan begitu diam-diam, dan tak kelihatan
ketika menyusup masuk ke dalam iman, bagaikan semut yang berjalan di atas batu
pada kegelapan malam.
Faktanya
adalah bahwa garis pemisah antara tauhid dan syirik adalah hubungan antara
Allah di satu pihak, dan manusia serta alam semesta di pihak lain. Hubungan ini
adalah hubungan "dari-Nya" dan "kepada-Nya". Dalam tauhid
teoretis, garis pembatas tersebut adalah "dari-Nya". "Kita semua
dari Allah". Dari sudut pandang tauhid, sikap kita baru benar kalau kita
memandang bahwa hakikat, sifat dan efektivitas kualitas eksistensi pada setiap
kebenaran dan setiap sesuatu yang ada itu dari Allah. Apakah efeknya tunggal,
beberapa, atau tak berefek sama sekali, dan apakah punya efek supranatural atau
tidak, itu tak penting. Allah bukan Tuhannya dunia metafisis saja. Allah adalah
Tuhan alam semesta. Dekatnya Dia dengan dunia fisis, sama dengan dekatnya Dia
dengan dunia metafisis. Dia bersama segala sesuatu, dan rezeki untuk segala
sesuatu' tersebut adalah dari-Nya. Kalau sesuatu memiliki segi metafisis, itu
berarti bahwa sesuatu tersebut memiliki segi ketuhanan. Seperti sudah kami
kemukakan sebelumnya, menurut konsepsi Islam, karakter wujud yang dimiliki alam
ini adalah "dari-Nya". Dalam banyak ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa
para nabi memiliki mukjizat, seperti dapat menghidupkan sesuatu yang sudah
mati, dan mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir.
Namun
demikian, selalu ada tambahannya, yaitu "dengan kehendak-Nya". Frase
"dengan kehendak-Nya" ini menunjukkan karakter mukjizat tersebut, dan
memperlihatkan bahwa mukjizat ini berasal dari-Nya. Orang tak boleh beranggapan
bahwa para nabi itu independen (dalam hal mukjizat—pen.). Yang juga termasuk musyrik
adalah kalau mempercayai adanya eksistensi yang bukan "dari Allah".
Juga, kalau percaya bahwa efektivitas sesuatu yang ada itu bukan
"dari-Nya", maka itu adalah musyrik. Apakah efeknya bersifat
supranatural seperti menciptakan bumi dan langit, atau apakah efeknya begitu
remeh seperti membalikkan daun, itu tak penting.
Kalau
dalam tauhid praktis, maka garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan adalah
"kepada-Nya". "Kita semua akan kembali kepada-Nya", seperti
dikatakan Al-Qur'an Suci. Kalau kita memberikan perhatian kepada sesuatu yang
ada, baik perhatian itu bersifat spiritual atau bukan, dengan maksud untuk
sampai kepada Allah, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri, maka perbuatan kita
ini sama dengan memberikan perhatian kepada Allah. Segala yang ada supaya
dipandang hanya sebagai tanda untuk menuju ke Allah. Hanya Allah sajalah
tujuannya.
Para nabi dan para imam digambarkan sebagai "rute
utama dan jalan lurus, papan penunjuk jalan bagi manusia, mercusuar di darat,
pemandu ke jalan Allah, penyampai risalah-Nya dan penyingkap kehendak-Nya" (Ziyârah Jâmi'ah). Karena
itu, masalahnya bukanlah kalau ber-wasîlah (menjadikan sebagai perantara)
kepada imam, memohon atau berharap agar imam berbuat mukjizat, maka itu
musyrik. Bukan ini masalahnya. Sesungguhnya masalahnya adalah sesuatu yang
lain.
Pertama, kita harus yakin apakah para nabi dan imam itu memang
sedemikian dekat dengan Allah, sehingga mereka dianugerahi kekuatan dan
kualitas supranatural. Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan
posisi seperti itu kepada sebagian orang. Kedua, apakah kalau orang ber-wasîlah kepada imam dan wali, ziarah
ke makam mereka dan memohon kepada mereka, dari sudut pandang tauhid, memiliki
pengertian yang benar mengenai apa yang dilakukannya atau tidak. Apakah dalam
benaknya ada "kepada-Nya", ketika mereka ke makam? Ataukah dia lalai
akan Dia dan menganggap imam atau wali, yang makam mereka dia ziarahl, sebagai
tujuan itu sendiri. Tak syak lagi, sebagian besar orang secara naluriah dalam
benak mereka ada Allah. Sebagian orang mungkin benar-benar tak memiliki
pandangan tauhid. Mereka harus diingatkan tentang pandangan tauhid ini. Namun
demikian, tak ada alasan untuk menyebut musyrik terhadap ziarah ke makam. Ketiga, bahwa juga musyrik kalau
memuliakan dan memuji makhluk sedemikian seakan makhluk tersebut benar-benar
sempurna dan eksis sendiri. Hanya Allah sajalah yang benar-benar sempurna.
Hanya Dia sajalah yang pantas mendapat segala pujian. Hanya Dia sajalah yang
Mahakuasa. Menganggap makhluk memiliki sifat-sifat sempurna seperti itu, baik
anggapan tersebut dilakukan dalam bentuk kata maupun perbuatan, maka hal yang
demikian itu adalah musyrik. Sudah kami bahas sebelumnya perbuatan-perbuatan
yang bisa disebut ibadah dan memuja.
Taat dan Sungguh-sungguh
Kalau
seseorang sadar akan Allah, maka kesadarannya tersebut mempengaruhi segenap
kepribadian, semangat, jiwa, moral dan perilakunya. Sejauh mana pengaruh
tersebut, itu bergantung pada tingkat imannya. Kalau imannya kuat, maka
pengaruh tersebut juga kuat. Pengaruh kesadaran akan Allah pada diri manusia,
bertingkat dan bertahap. Karena tingkat dan tahap tersebut beragam, maka
beragam pula kesempurnaan dan kedekatan manusia dengan Allah. Tingkat ini disebut tingkat
ketaatan dan kesungguhan. Seperti dikemukakan sebelumnya, kalau kita berpaling
kepada Allah dan menyembah Allah, berarti kita memperlihatkan bahwa Dia sajalah
yang patut ditaati dan kita tunduk patuh mutlak kepada-Nya. Penyembahan seperti
ini, dan ungkapan ketundukan total ini tidak boleh dilakukan kepada makhluk,
kecuali kepada Allah. Adapun masalah sejauh mana kesungguhan kita dalam
ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah dan ketidaktundukan dan ketidakpatuhan
kepada makhluk, itu bergantung pada iman kita. Jelas, ketaatan dan kesungguhan
kita semua tidaklah sama.
Sebagian
orang membuat kemajuan sedemikian rupa, sehingga jiwa dan raga mereka hanya
dikendalikan oleh perintah Allah. Hawa nafsu tak dapat mempengaruhi mereka.
Siapa pun tak dapat mutlak mengendalikan mereka. Mereka memenuhi tuntutan hawa
nafsu kalau tuntutan tersebut diridai Allah. Tampak jelas, mencari keridaan
Allah menjadi jalan satu-satunya untuk mencapai kesempurnaan. Orang-orang
seperti ini taat kepada kedua orang tua mereka, guru mereka, dan seterusnya
hanya karena Allah dan hanya dalam batas-batas yang dibolehkan Allah. Bahkan
ada yang lebih dari itu. Mereka hanya mencintai Allah SWT. Kalau mereka
mencintai makhluk-Nya, itu karena makhluk merupakan ayat (tanda kekuasaan)-Nya,
dan mengingatkan akan-Nya. Meski tidak banyak, ada yang bahkan lebih dari tahap
ini. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali Dia, dan memandang segalanya sebagai
perwujudan-Nya. Bagi mereka, dalam segala sesuatu ada Dia.
Imam
Ali as berkata: "Kalau aku melihat sesuatu, maka sebelum atau bersama
sesuatu itu aku melihat Allah." Kalau dalam hidupnya seseorang berupaya
memberikan bentuk nyata pada apa yang dikomunikasikannya kepada Allah ketika
beribadah, maka orang tersebut mencapai kesempurnaan dan mencapai tahap
ketaatan. Bagi orang tersebut, ibadahnya merupakan kontrak nyata, yang
pasal-pasal dalam kontrak tersebut harus ditaatinya. Dalam kontrak ini ada dua
pasal utama:
Pertama, tidak menaati siapa pun dan apa pun,
termasuk di dalamnya hawa nafsunya. Kedua, menerima dan tunduk patuh sepenuhnya kepada perintah Allah.
Baginya,
ibadah merupakan jalan yang tepat untuk mendidik diri dan untuk perkembangan
rohaninya. Ibadah secara sistematis mendidik kita untuk berpandangan terbuka
tanpa prasangka, untuk berkorban diri, untuk mencintai Allah, untuk mencintai
umat manusia, untuk bergaul dengan orang-orang yang berpikiran lurus, untuk
berbuat bajik, dan untuk memberikan jasa kepada umat manusia.
Dari
apa yang telah kami paparkan, jelaslah bahwa Tauhid Islam tak mau adanya alasan
lain selain untuk mendapatkan keridaan Allah. Realitas evolusioner manusia dan
dunia adalah "menuju kepada-Nya." Apa pun yang orientasinya bukan
kepada Allah, maka menyimpang dan bertentangan dengan evolusi alam. Dari sudut
pandang Islam, apa pun yang dilakukan manusia, entah itu untuk dirinya sendiri
atau untuk orang lain, maka haruslah untuk mendapatkan keridaan Allah. Adalah
salah kalau mengatakan bahwa "mencari keridaan Allah" identik dengan
"untuk kepentingan manusia," dan bahwa berbuat sesuatu untuk mencari
keridaan Allah tanpa untuk kepentingan manusia tak lain adalah mistisisme dan
pedagogisme.
Dari
sudut pandang Islam, jalan satu-satunya adalah jalan Allah, dan tujuan
satu-satunya adalah mencari keridaan-Nya. Dan jalan Allah adalah berinteraksi
dengan orang lain. Berbuat demi diri sendiri berarti egoisme, berbuat demi
manusia berarti menyembah berhala, dan berbuat demi Allah dan manusia berarti
kemusyrikan dan dualisme. Tauhid sejati adalah "Berbuat untuk diri sendiri
dan untuk orang lain demi Allah." Menurut Islam, jalan tauhid adalah
memulai segalanya dengan Nama Allah, bukan atas nama manusia, juga bukan dengan
Nama Allah sekaligus atas nama manusia. Dari Surah al-Ikhlâsh dapat ditarik
poin yang menarik: mukhlish, yaitu berbuat semata-mata demi Allah, dan
mukhlash, yaitu tulus atau suci diri, ada bedanya.
Alam Semesta yang Satu
Apakah
alam semesta yang ber-ruang waktu yang diciptakan Allah itu benar-benar satu?
Apakah keesaan Allah, yaitu keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan
perbuatan-Nya mengharuskan ciptaan-Nya juga satu? Kalau alam semesta merupakan
satu unit yang solid dan bertalian, bagaimana sebenarnya pertaliannya itu?
Apakah organis, dalam pengertian bahwa hubungan berbagai bagian alam semesta
dengan keseluruhan alam semesta adalah seperti hubungan berbagai anggota badan
dengan tubuh, atau apakah mekanis sehingga berbagai bagian alam semesta adalah
seperti berbagai komponen sebuah mesin?
Bagaimana
sebenarnya alam semesta yang satu itu, sudah kami bahas dalam buku kami
"Prinsip-prinsip Filsafat". Dalam buku kami yang lain "Keadilan
Ilahi", kami kemukakan bahwa alam semesta merupakan sesuatu yang tak dapat
dipotong-potong. Kalau satu bagiannya tidak ada, berarti alam semesta itu
sendiri tak ada. Dan kalau apa yang disebut keburukan itu sirna, maka sirna
pula alam semesta.
Kaum
Filosof modern, khususnya Filosof besar Jerman, Hegel, mendukung pandangan yang
mengatakan bahwa hubungan antara alam dan berbagai bagiannya adalah seperti
hubungan tubuh dan anggota tubuh. Namun demikian, diterima atau tidak
diterimanya argumen-argumen yang dikemukakannya, tergantung pada diterima atau
tidak diterimanya segenap prinsip filsafatnya. Para pendukung materialisme
dialektis berpandangan seperti ini juga. Mereka mati-matian mempertahankan
pandangan ini di bawah prinsip efek timbal balik dan interdependensi hal-hal
kontrakdisi, dan mengklaim bahwa di alam semesta hubungan antara satu bagian
dan alamnya itu sendiri bersifat organis, namun ketika mereka mengemukakan
argumen, maka yang dapat mereka buktikan hanyalah hubungan mekanis.
Sesungguhnya, berdasarkan filsafat materialistis, tidaklah mungkin membuktikan
bahwa alam sebagai keseluruhan adalah seperti tubuh, dan hubungan
bagian-bagiannya dengan alam itu sendiri adalah seperti hubungan anggota badan
dan tubuh. Hanya kaum Filosof Ilahiah yang—sejak dahulu berpandangan bahwa alam
adalah makrokosmos sedangkan manusia adalah mikrokosmos—telah menggambarkan
hubungan ini dengan benar. Dan kalangan Filosof Muslim, Ikhwan ash-Shafa,
adalah yang banyak menekankan hal ini. Bahkan lebih dan kaum filosof, kaum sufi
memandang alam semesta sebagai satu unit. Menurut mereka, seluruh kosmos
merupakan satu perwujudan tunggal Realitas Ilahiah.
Kaum
ahli makrifat menyebut alam semesta "tumpahan suci." Mereka
mengatakan bahwa alam semesta itu seperti kerucut, puncak kerucut yang ada
kontak dengan Allah tak dapat dilihat, dan dasar kerucut sangat luas sekali.
Pada
kesempatan ini kami tidak bermaksud membahas pandangan kaum filosof dan
pandangan kaum Muslim ahli makrifat itu, dan membahas lagi persoalan yang sudah
kami bahas sebelumnya. Seperti sudah kami katakan, realitas alam semesta adalah
"dari-Nya" dan "kepada-Nya". Bahwa alam semesta bukanlah
semata-mata realitas yang bergerak dan terus berubah, namun alam semesta itu
sendiri merupakan perwujudan dari gerakan dan perubahan terus-menerus,
merupakan fakta yang tak terbantahkan. Fakta ini sudah dapat dibuktikan oleh
filsafat Islam. Ketika mengkaji gerak, juga sudah dijelaskan bahwa satunya
permulaannya, satunya akhir (tujuan)-nya dan satunya jalannya membuat
gerakan-gerakannya satu. Karena itu, bila melihat fakta bahwa awal (permulaan)
alam semesta itu satu, akhir (tujuan)-nya satu, dan jalan evolusionernya juga
satu, maka jelaslah bahwa alam semesta itu merupakan semacam satu unit tunggal.
Kasat Mata dan Tak Kasat Mata
Menurut
konsepsi Islam tentang kosmos, alam merupakan agregat (satuan yang terbentuk
dari) segala yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Menurut konsepsi ini, alam
semesta terbagi menjadi alam kasat mata dan alam tak kasat mata. Al-Qur'an Suci
sendiri menyebut yang kasat mata (syahadah) dan yang tak kasat mata (gaib) ,
khususnya yang gaib. Mempercayai yang gaib merupakan rukun iman. Al-Qur'an
Suci memfirmankan: Mereka yang mempercayai yang gaib (QS. al-Baqarah: 3). Di
sisi-Nya kunci-kunci untuk segala yang gaib. Hanya Dia sajalah yang
mengetahuinya (QS. al-An'am: 59). Ada dua macam kegaiban (tak kasat mata) : Kegaiban
relatif dan kegaiban mutlak. Kegaiban relatif adalah sesuatu yang tak dapat
ditangkap indera seseorang karena sangat jauh letaknya. Misal, bagi seseorang
yang ada di Teheran, Teheran kasat mata sedangkan Isfahan tak kasat mata (gaib)
. Namun bagi seseorang yang ada di Isfahan, Isfahan kasat mata sedangkan
Teheran gaib.
Dalam
beberapa tempat, Al-Qur'an Suci menggunakan kata "gaib" (tak kasat
mata) dalam pengertian yang relatif ini juga. Al-Qur'an Suci menerangkan:
Peristiwa-peristiwa gaib (yang tak diketahui) ini yang telah Kami wahyukan
(singkapkan) kepadamu, tidak pernah kamu mengetahui dan tidak pula kaummu
sebelum ini (QS. Hud: 49).
Jelaslah,
kejadian-kejadian kaum di masa lalu adalah "gaib" bagi masyarakat
dewasa ini, sekalipun kejadian-kejadian tersebut "terlihat" oleh
orang-orang yang menyaksikannya. Di tempat lain, kata "gaib"
digunakan Al-Qur'an Suci untuk realitas-realitas yang mutlak gaib. Ada bedanya
antara realitas-realitas yang nampak jelas oleh indera namun tak nampak karena
letaknya yang sangat jauh, dan realitas-realitas yang tak nampak dan gaib
karena realitas-realitas tersebut non-material dan tak terbatas. Ketika
Al-Qur'an Suci mengatakan bahwa orang mukmin mempercayai yang gaib, maka yang
dimaksud bukanlah kegaiban relatif, karena siapa pun, apakah dia beriman atau
kafir, mempercayai kegaiban relatif. Lagi, ketika Al-Qur'an Suci mengatakan
bahwa di sisi Allah saja kunci-kunci semua yang gaib, maka maksudnya adalah
kegaiban mutlak, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan kegaiban
relatif. Begitu pula dengan ayat-ayat yang menyebutkan hal yang kasat mata dan
hal yang gaib. Misal, Al-Qur'an Suci menyebutkan: Dialah yang mengetahui yang
gaib dan yang kasat mata. Dan Dialah Yang Maha Pemurah lagi Mafia Penyayang
(QS. al-Hasyr: 22).
Ayat
itu juga merujuk kepada kegaiban mutlak, bukan kepada kegaiban relatif.
Bagaimana saling hubungan antara dua alam ini, yaitu alam kasat mata dan alam
gaib? Apakah alam kasat mata ada garis batasnya, yang berada di luar garis
batas tersebut adalah alam gaib? Misal, apakah dari bumi ke langit ada alam
kasat mata, dan di luar itu ada alam gaib? Jelaslah, konsepsi semacam itu
carut-marut. Kalau kita berasumsi bahwa dua alam ini dipisahkan oleh garis
pemisah yang bersifat fisis, maka itu artinya bahwa dua alam ini fisis dan
material. Hubungan antara yang gaib dan yang kasat mata tak dapat dijelaskan
secara material. Paling banter, yang dapat kita katakan agar hubungannya dapat
dipahami adalah, bahwa hubungan dua alam ini hampir mirip dengan hubungan
antara tubuh dan bayangannya. Dengan kata lain, alam ini merupakan refleksi
alam lain. Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa segala yang ada di alam ini
merupakan "bentuk rendah" dari apa yang ada di alam lain. Penyebutan
"kunci-kunci" dalam ayat di atas, dalam ayat lain disebut "khazanah".
Disebutkan dalam Al-Qur'an Suci: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi
Kamilah khazanah-nya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
tertentu (QS. al-Hijr: 21).
Berdasarkan
inilah Al-Qur'an Suci memandang segala sesuatu, bahkan batu dan besi, itu
diturunkan. Kami turunkan (ciptakan) besi (QS. al-Hadîd: 25). Ini tidak berarti bahwa segala
sesuatu, termasuk di dalamnya besi, merupakan pindahan dari tempat yang tinggi
ke tempat yang rendah. Sesungguhnya segala yang ada di dunia ini, maka
"akar" dan "hakikat"-nya ada di alam lain, yaitu alam gaib,
dan segala yang ada di alam gaib, maka "bayang-bayang" dan
"bentuk rendah"-nya ada di dunia ini.
Al-Qur'an
Suci menyebutkan bahwa mengimani kegaiban itu wajib hukumnya. Al-Qur'an Suci
juga memerintahkan supaya kita mengimani para malaikat, para nabi dan
Kitab-kitab Suci. Kata Al-Qur'an, Rasul telah beriman kepada apa yang telah
diwahyukan kepada-nya dari Tuhannya (Al-Qur'an), demikian pula orang-arangyang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
dan Rasu-rasul-Nya (QS. al-Baqarah: 285). Barangsiapa kafir kepada Allah,
Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (QS. an-Nisâ': 136). Dalam dua ayat ini Kitab-kitab
Allah disebutkan secara tersendiri. Seandainya yang dimaksud adalah Kitab-kitab
Suci yang diwahyukan kepada para nabi, maka tentu saja sudah cukup dengan hanya
menyebutkan para rasul. Itu menunjukkan bahwa di sini arti Kitab-kitab tersebut
adalah beberapa realitas yang berbeda. Al-Qur'an Suci sendiri merujuk kepada
beberapa kebenaran yang tersembunyi. Al-Qur'an Suci menyebut
kebenaran-kebenaran ini "Kitab yang nyata", "lembar yang
terjaga", "Kitab induk", "Kitab yang tertulis", dan
"Kitab yang tersembunyi". Mengimani Kitab-kitab metafisis seperti ini
merupakan bagian dari doktrin Islam.
Para
nabi pada dasarnya datang untuk memberdayakan umat manusia untuk, sejauh
mungkin, memiliki pandangan umum tentang seluruh sistem penciptaan. Yang
diciptakan itu bukan saja apa-apa yang terinderakan dan material yang menjadi
bidang kajian ilmu-ilmu eksperimental. Para nabi ingin mengangkat pandangan
manusia, dari yang terinderakan ke yang terpahamkan, dari yang kasat mata ke yang
gaib, dan dari yang terbatas ke yang tak terbatas. Sayangnya, gelombang
pemikiran materialistis yang terbatas yang datang dari Barat telah menyebar
sedemikian rupa, sehingga sebagian orang bersikeras menurunkan konsepsi Islam
yang tinggi dan substansial tentang dunia ke tingkat hal-hal yang terinderakan
dan material.
Dunia dan Akhirat
Prinsip
dasar lain dari konsepsi Islam tentang alam semesta adalah terbaginya dunia
menjadi dunia kini dan dunia kelak (akhirat). Apa yang sudah kami kemukakan
tentang yang nyata (kasat mata) dan yang gaib berkaitan dengan sebuah dunia
yang mendahului dunia ini—sebuah dunia yang memberikan bentuk kepada dunia ini.
Sekalipun dari satu sudut, akhirat adalah alam gaib dan dunia fana ini adalah
alam kasat mata, namun kalau kita ingat fakta bahwa akhirat merupakan akibat
dari dunia fana ini dan merupakan alam yang menjadi tempat kembali manusia,
maka ini perlu dibahas tersendiri. Alam gaib adalah alam yang menjadi asal-usul
kita, dan akhirat adalah alam tempat kita kembali. Itulah yang dimaksud Imam
Ali as ketika mengatakan, "Semoga
Allah memberkati orang yang tahu asal-usulnya, tempat eksistensinya sekarang,
dan tempat kembalinya." Imam Ali as tidak mengatakan, "Semoga
Allah memberkati orang yang tahu dari apa dia berasal dan apa tempat
kembalinya." Kalau Imam Ali as berkata demikian, maka tentunya itu berarti
bahwa kita diciptakan dari debu, kita akan kembali menjadi debu, dan kita akan
dibangkitkan lagi dari debu. Kalau begitu, Imam Ali as tentu merujuk kepada
ayat Al-Qur'an yang menyebutkan: Dari
bumi (tanah) itulah Kami, menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan
mengembalikan kamu, dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain
(QS. Thâhâ: 55).
Yang
dikatakan Imam Ali as di sini merujuk kepada beberapa ayat lain dan menunjukkan
konsepsi yang lebih tinggi. Yang dimaksud oleh Imam Ali as adalah "alam tempat asal-usul kita, alam tempat
kita berada sekarang, dan alam tempat kita kembali nanti." Dari sudut pandang konsepsi
Islam tentang dunia, seperti dunia kasat mata (alam syahadah) dan dunia gaib,
dunia fana dan dunia kelak (akhirat) juga memiliki arti yang mutlak, bukan arti
yang relatif. Yang relatif adalah perbuatan yang kita lakukan. Jika perbuatan
dilakukan untuk memenuhi tuntutan keinginan kita sendiri, maka perbuatan itu
merupakan perbuatan duniawi. Dalam banyak kasus, jika perbuatan dilakukan untuk
Allah dan untuk mendapatkan keridaan-Nya, maka perbuatan itu merupakan
perbuatan akhirat. Kami akan membahas alam semesta dan akhirat secara
terperinci nanti dalam bab "Kehidupan Abadi".
bagus artikelnya enak dibaca semoga bermanfaat
BalasHapusOkeh
BalasHapus