Oleh Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Penyatuan realitas eksistensi manusia dalam sebuah sistem
psikologis yang selaras dengan kecenderungan manusiawi dan evolusionernya, dan
begitu juga penyatuan masyarakat manusia dalam sebuah sistem sosial yang
harmonis dan evolusioner, merupakan dua hal yang selalu saja menarik perhatian
manusia. Kebalikan dari penyatuan adalah polarisasi personalitas individual dan
keterbagian personalitas tersebut menjadi segmen-segmen yang saling berselisih,
dan terbagi-baginya masyarakat menjadi kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang
saling bertentangan. Masalahnya adalah: bagaimana caranya agar personalitas
individual berkembang harmonis, baik dari segi kejiwaan maupun dari segi
sosial? Dalam hal ini ada tiga teori: teori materialistis, teori idealistis,
dan teori realistis.
Teori Materialistis
Yang menjadi pemikiran para penganut teori ini
hanyalah materi. Mereka tidak memandang penting arti jiwa. Mereka mengklaim
bahwa yang membagi-bagi individu secara psikologis dan membagi-bagi masyarakat
secara sosial dan yang menjadi penyebab perpecahan dan ketidakberesan adalah
adanya sistem pemilikan pribadi. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk
sosial. Pada awal sejarahnya, manusia hidup secara kolektif, dan tidak
menyadari eksistensi individualnya. Pada saat itu manusia memiliki jiwa
kolektif dan perasaan kolektif. Sandaran hidupnya adalah berburu. Setiap orang
dapat mencari nafkah dari sungai dan hutan menurut kebutuhannya. Tak ada
masalah surplus produksi. Masalah surplus ini baru muncul ketika manusia
menemukan cara berproduksi. Dengan cara ini muncul kemungkinan surplus produksi
dan kemungkinan sebagian orang bekerja sementara sebagian lainnya tinggal makan
saja tanpa perlu bekerja. Itu merupakan perkembangan yang melahirkan praktik
hak milik. Hak pribadi untuk memiliki sumber-sumber produksi seperti air dan
tanah serta alat produksi seperti bajak, menghapus semangat kolektif dan
membagi-bagi masyarakat yang sejauh itu hidup sebagai satu unit menjadi
"kaum mampu" dan "kaum tak mampu".
Masyarakat yang hidup sebagai "Kami" berubah
bentuk menjadi "Aku". Akibat munculnya hak milik ini, manusia menjadi
tidak menyadari realitasnya sendiri sebagai makhluk sosial. Kalau sebelumnya
manusia merasa hanya sebagai manusia seperti manusia lainnya, maka sekarang
manusia memandang dirinya sendiri sebagai pemilik, bukannya sebagai manusia.
Maka manusia menjadi tidak menyadari dirinya sendiri, dan mulai memburuk
keadaannya. Hanya dengan menghapus sistem hak milik pribadi, manusia dapat
pulih kembali kesatuan moral dan sosialnya serta kesehatan mental dan
sosialnya. Gerakan sejarah yang sifatnya wajib itu sudah terjadi ke arah ini.
Milik pribadi, yang telah mengubah kesatuan manusia menjadi pluralitas, dan
mengubah kebersamaan menjadi sendiri-sendiri, adalah seperti menara kecil yang
disebutkan oleh penyair sufi Persia, Maulawi, dalam sebuah tamsil yang bagus.
Dia mengatakan bahwa menara kecil dan puncak memecah-mecah satu sorot sinar
matahari ke dalam ruang-ruang terpisah dengan menghasilkan segmen-segmen
bayangan di antaranya. Tentu saja Maulawi menggambarkan sebuah kebenaran
makrifat rohaniah, yaitu munculnya pluralitas dari kesatuan, dan pada akhirnya
akan kembali kepada kesatuan. Namun dengan sedikit diplintir, tamsil ini dapat
juga digunakan untuk mengilustrasikan teori sosialismenya Marxis.
Teori Idealistis
Teori ini hanya memandang penting arti jiwa manusia
dan hubungan manusia dengan rohaninya saja. Menurut teori ini, hubungan manusia
dengan benda-benda material telah menghapus kesatuan, telah menyebabkan
terjadinya pluralitas, dan mencabik-cabik kolektivitas. Hubungan seperti itu
menyebabkan orang menderita penyakit mental (schizophrenia: penyakit mental
yang ditandai dengan kerusakan hubungan antara pikiran, perasaan dan tindakan,
yang sering kali disertai khayalan, dan tindakan menjauh dari kehidupan
sosial—pen.), dan membagi masyarakat menjadi kelas-kelas. Namun, yang juga
perlu diingat adalah bahwa dalam kasus keterikatan satu hal dengan hal lain,
maka hal kedua menjadi penyebab tercabik-cabiknya hal pertama. Karena itu,
keterikatan hal-hal seperti harta, istri dan jabatan dengan manusia bukanlah
penyebab penyakit mental manusia dan terbagi-baginya masyarakat menjadi
kelas-kelas. Justru penyebab penyakit mental dan keterbagian masyarakat menjadi
kelas-kelas adalah keterikatan sepenuh hati manusia dengan hal-hal material.
Yang membuat manusia merasa asing adalah "rasa dikuasai"-nya. Dari
sudut pandang moral dan sosial, yang mencabik-cabik individualitasnya bukanlah
"hartaku", "istriku" dan "jabatanku", melainkan
"menjadi harta", "menjadi istri" dan "menjadi
jabatan".
Untuk mengubah "aku" menjadi
"kita" tidaklah perlu memutuskan hubungan hal-hal material dengan
manusia. Namun, yang harus diputus adalah hubungan manusia dengan hal-hal
material. Bebaskan manusia dari keterikatan dengan hal-hal material, agar dia
dapat balik ke realitas manusiawinya. Berilah manusia kebebasan moral dan
spiritualnya. Membebaskan hal-hal material dari dikuasai manusia, tak ada
gunanya. Kesatuan moral dan sosial manusia merupakan masalah pendidikan dan
pelatihan spiritual, bukan masalah ekonomi. Yang dibutuhkan adalah membangun
atau mengembangkan rohani manusia, bukan membatasi raganya. Pada mulanya
manusia adalah hewan, kemudian "manusia". Pada dasarnya manusia
adalah hewan, dan berkat upayanya dia menjadi manusia. Dengan pendidikan yang
benar, manusia dapat memperoleh kembali sisi manusiawinya yang terpendam.
Sebelum memperoleh kembali sisi manusiawi yang terpendam tersebut, manusia pada
dasarnya tetap hewan sehingga tak ada masalah kesatuan jiwa dengan
kehidupannya.
Tidaklah humanistis kalau menganggap hal-hal material
sebagai penyebab perpecahan dan persatuan manusia, dan tidak juga humanistis
kalau berpandangan bahwa karena hal-hal material dimiliki sendiri-sendiri oleh
individu-individu maka manusia terkotak-kotak, dan karena hal-hal material dimiliki
bersama maka manusia bersatu, dan bahwa personalitas moral dan sosialnya
dipengaruhi oleh situasi ekonomi dan produksi. Faham-faham seperti itu
merupakan akibat tidak mengenal manusia dan akibat tidak mempercayai sisi
manusiawi manusia dan kemampuan manusia untuk memahami dan berkehendak.
Juga mustahil memutuskan secara total hubungan pribadi
manusia dengan hal-hal material. Sekalipun hubungan manusia dengan harta
diputus, tetap saja mustahil memutuskan hubungan manusia dengan istri, anak dan
keluarganya. Mungkinkah menampilkan sosialisme di bidang ini juga, dan
membentuk komunisme seksual? Kalau ini mungkin, kenapa negara-negara yang
menghapus hak milik pribadi tetap saja memakai sistem keluarga? Misal saja
sistem keluarga yang alamiah itu juga disosialiskan, lantas apa yang akan
dilakukan terhadap pekerjaan, jabatan, prestise dan kehormatan? Mungkinkah
semua orang sama-sama menikmati hal-hal ini juga? Bagaimana dengan kemampuan
fisis dan mental para individu? Hubungan-hubungan ini merupakan bagian integral
dari eksistensi setiap individu dan tak dapat dipisahkan dari individu.
Teori Realistis
Menurut teori ini, dari sudut pandang individu dan
masyarakat, yang membuat manusia terkotak-kotak bukanlah hubungan manusia
dengan hal-hal material, juga bukan hubungan hal-hal material dengan manusia.
Penyebab manusia menjadi budak bukanlah karena dia memiliki atau menguasai,
juga bukan karena dia dimiliki atau dikuasai. Yang pertama dipandang penting
oleh teori ini adalah faktor-faktor sepeiti pendidikan, pelatihan, revolusi,
pemikiran, ideologi dan kemerdekaan spiritual. Teori ini percaya bahwa manusia
bukanlah makhluk material murni, dan juga bukan makhluk spiritual murni.
Kehidupan di dunia ini dan di akhirat saling berkaitan erat satu sama lain.
Raga dan jiwa berinteraksi.
Faktor-faktor penyebab penyakit mental harus diperangi
dengan bantuan iman dan tauhid ibadah. Diskriminasi, kelaliman, penindasan, dan
Tuhan-tuhan palsu juga harus diperangi.
Inilah jalan pikiran Islam. Begitu datang, Islam mulai
melakukan gerakan, dan mulai mewujudkan revolusi. Namun Islam tidak pemah
mengatakan bahwa jika diskriminasi dan kelaliman dihapus, atau jika hak milik
pribadi ditiadakan, maka segalanya akan beres. Islam juga tidak mengatakan
bahwa jika Anda memperbarui diri dari dalam, tak berhubungan dengan dunia
lahiriah, dan meningkatkan kualitas moral Anda, maka secara otomatis masyarakat
akan teperbarui juga. Islam juga menyerukan agar tauhid rohaniah dicapai
melalui jihad dan agar ketidakadilan sosial diperangi. Ayat berikut ini yang
menyoroti cakrawala kesatuan manusia dan yang dicantumkan oleh Nabi Muhammad
saw dalam surat-suratnya untuk pemimpin berbagai negara, mengejawantahkan
realisme Islam dalam segala hal: Marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu: bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun (QS. Âli 'Imrân: 64).
Sampai pada poin ini ayat ini berbicara mengenai
kesatuan manusia melalui iman, sebuah ideal bersama dan pencapaian kemerdekaan
spiritual. Kemudian ayat itu mengatakan, "Tak ada di antara kita yang akan
menjadikan yang lain sebagai Tuhan-tuhan di samping Allah."
Kalau kita berbuat sesuai dengan ajaran Islam ini,
maka kita tidak akan terkotak-kotak menjadi tuan dan budak, dan akan mampu
mencegah terjadinya hubungan sosial yang tidak beres yang berakibat terjadinya
diskriminasi. Menyusul terjadinya kekacauan dan agitasi pada masa kekhalifahan
Usman yang berakibat terbunuhnya Usman, orang pada beramai-ramai berbaiat
(bersumpah setia) kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. Imam Ali as mau tak mau
harus menerima tanggung jawab kekhalifahan. Menerima tanggung jawab ini
sebenarnya tidak dimaui oleh Imam Ali as secara pribadi. Kewajiban legalnyalah
yang memaksanya menerima jabatan khalifah. Dia menggambarkan ketidaksukaan
pribadinya dan kewajiban legalnya dalam kata-kata berikut ini: "Kalau saja
orang-orang tidak datang kepadaku, kalau saja kehadiran kaum Anshar memberiku
pilihan, dan kalau saja Allah SWT tidak mengambil janji dari orang alim untuk
tidak menerima suatu situasi di mana orang terkotak-kotak menjadi penindas yang
kaya, dan si tertindas yang tidak punya, tentu aku tak peduli siapa yang
menjadi khalifah, dan sikapku akan tetap sama seperti semula" (Nahj al-Balâghah,
khotbah 7).
Kita semua tahu bahwa Imam Ali as, setelah menjabat
sebagai khalifah, memberikan prioritas kepada dua hal. Yang pertama adalah
reformasi spiritual dan moral masyarakat, memasyarakatkan pengetahuan tentang
Tuhan, yang contoh-contohnya terdapat dalam "Nahj al-Balâghah". Dan
yang kedua adalah perjuangannya memerangi diskriminasi sosial. Dia tidak merasa
cukup dengan reformasi rohaniah, juga tidak memandang cukup reformasi sosial
semata-mata. Di satu sisi Islam memiliki program pendidikan masyarakat dan
sosialisasi keimanan kepada Allah untuk mewujudkan kesatuan individual dan
sosial umat manusia, dan di sisi lain Islam memiliki pedang untuk memperbaiki
hubungan antar-manusia yang tidak seimbang, untuk menghapus perbedaan kelas,
dan untuk merubuhkan Tuhan-tuhan palsu.
Masyarakat Islam yang tak berkelas artinya adalah
suatu masyarakat yang adil, dalam masyarakat seperti ini tak ada diskriminasi,
tak ada perampasan, tak ada tirani, dan tak ada Tuhan-tuhan palsu. Artinya
bukanlah suatu masyarakat yang tak ada keragaman di dalamnya, karena tak adanya
keragaman itu sendiri merupakan bentuk ketidakadilan. Ada perbedaan antara
diskriminasi dan keragaman. Dalam sistem penciptaan alam semesta, ada
keragaman, yang memperindah sistem tersebut, namun di dalamnya tak ada
diskriminasi. Masyarakat Islam paripurna
merupakan masyarakat yang menentang diskriminasi, namun tidak menentang
keragaman. Masyarakat Islam adalah masyarakat persamaan dan persaudaraan.
Namun persamaannya positif, bukan negatif. Masyarakat Islam mentolerir
perbedaan alamiah individu-individu dan tidak meniadakan perbedaan yang terjadi
karena upaya para individu. Masyarakat Islam menegakkan persamaan positif
dengan memberikan peluang yang sama kepada semua orang dan dengan menghapus
keunggulan yang imajiner atau yang tidak adil.
Persamaan yang negatif sama dengan persamaan yang
disebutkan dalam sebuah cerita legenda. Seorang tiran tinggal di bukit. Dia
mendapat kunjungan orang-orang yang lewat. Ketika tamu beristirahat untuk
semalam, si tamu diminta tidur di tempat tidur khusus. Jika kebetulan tubuh si
tamu seukuran tempat tidur, tak ada masalah. Namun celaka bagi tamu yang
tubuhnya tidak seukuran tempat tidur. Jika si tamu lebih tinggi, para abdi si
tiran memotong bagian tubuh si tamu. Jika si tamu lebih pendek, para abdi
menarik tubuh si tamu agar pas dengan ukuran tempat tidur. Untuk kedua kasus
ini, hasilnya mudah dibayangkan. Persamaan yang positif adalah seperti
perlakuan yang sama dari seorang guru kepada semua muridnya. Jika dalam ujian
jawaban semua murid benar, maka si guru memberikan nilai yang sama. Jika
jawaban murid beragam, maka si guru memberikan nilai kepada masing-masing murid
dengan nilai yang patut diterima masing-masing murid. Masyarakat Islam adalah
masyarakat alamiah. Bukan masyarakat yang diskriminatif, dan juga bukan
masyarakat yang di dalamnya terjadi persamaan yang negatif. Prinsip Islam
adalah: "Bekerja menurut kemampuan, memperoleh imbalan menurut hasil
kerja."
Dalam masyarakat yang diskriminatif, hubungan antar-individu
didasarkan pada perbudakan dan eksploitasi. Namun dalam masyarakat yang alamiah
tak ada eksploitasi dan orang tak dibolehkan hidup dengan mengorbankan orang
lain. Hubungan antar-individu didasarkan pada saling memberikan jasa. Semua
orang bekerja menurut kemampuannya dan dalam ruang lingkup potensinya. Semua
orang saling melayani satu sama lain. Dengan kata lain, kaidahnya adalah saling
memanfaatkan jasa. Bila seseorang lebih cakap dan kepribadiannya lebih tangguh,
maka dia semakin menarik orang lain. Misal, bila seseorang lebih berilmu, maka
orang-orang yang menuntut ilmu akan lebih tertarik kepadanya untuk memanfaatkan
jasanya. Kalau seseorang memiliki kemampuan teknis yang lebih, maka semakin
banyak orang akan bekerja di bawah petunjuknya. Itulah sebabnya Al-Qur'an yang
menentang eksistensi tuan dan hamba dalam masyarakat, mengakui eksistensi
keragaman alamiah dan perbedaan tingkat kemampuan yang diciptakan oleh Allah.
Al-Qur'an juga mendukung hubungan "saling" memanfaatkan jasa. Al-Qur'an
menyebutkan:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam hehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan
rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan (QS. az-Zukhruf:
32).
Makna yang sangat bagus yang dapat disimpulkan dari
ayat ini adalah bahwa keragaman bukanlah sepihak. Manusia tidak dibagi ke dalam
kelas-kelas, yaitu kelas mampu dan kelas tidak mampu. Kalau demikian halnya,
tentu Allah akan berfirman, "Kami telah meninggikan kedudukan sebagian
mereka agar dapat mempekerjakan sebagian yang lain." Namun Allah SWT tidak
berfirman seperti ini. Allah berfirman bahwa Dia telah meninggikan kedudukan
sebagian mereka atas sebagian yang lain, agar sebagian mereka memanfaatkan jasa
sebagian yang lain. Itu artinya bahwa semua manusia memiliki kemampuan
tertentu, dan bahwa semua manusia memanfaatkan jasa masing-masing. Dengan kata
lain, saling memberikan kemampuan dan jasa.
Makna lainnya adalah bahwa kata "sukhriyyan"
dalam ayat ini diawali dengan vokal "u" (su), yang artinya adalah
pekerjaan dan pemanfaatan. Kata ini juga digunakan di dua tempat yang berbeda
dalam Al-Qur'an dengan vokal "i" (si) dan, menurut sebagian besar
mufasir, artinya adalah olok-olok. Ayat ini menggambarkan hubungan alamiah dan
fitri manusia dalam kehidupan sosialnya, dan mengatakan bahwa hubungan manusia
adalah sedemikian rupa sehingga terjadi pemanfaatan jasa satu sama lain. Dapat
dikatakan bahwa ini merupakan ayat yang sangat penting dari sudut pandang
penjelasan terperinci filosofi sosial Islam.
Baidhawi, dalam tafsirnya yang termasyhur mengenai
Al-Qur'an, dan mengikuti jejaknya, Allam Faiz dalam kitabnya
"ash-Shaft", ketika menjelaskan ayat ini, mengatakan: "Agar
sebagian mereka dapat mempeherjakan sebagian yang lain," artinya adalah
bahwa semua manusia memanfaatkan jasa masing-masing untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Hubungan ini merupakan sarana untuk menciptakan dalam diri manusia
semangat berkehendak baik, dan peduli terhadap satu sama lain sehingga urusan
dunia ini dapat berjalan lancar.
Ada sebuah hadis (riwayat) yang juga mengatakan bahwa
arti ayat ini adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan cara
sedemikian rupa sehingga manusia saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun
untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya manusia saling membutuhkan satu sama lain,
namun masih ada satu ruang lingkup yang memadai dalam masyarakat, yaitu ruang
lingkup kompetisi bebas. Sebaliknya, kehidupan hewan yang suka hidup
berkelompok didasarkan pada hubungan yang sifatnya terpaksa. Karena itu,
kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat beda dengan lebah. Kehidupan lebah
diatur oleh hukum yang tak bisa ditawar-tawar, dan tak ada ruang untuk
kompetisi. Lebah tak punya kemungkinan untuk naik atau turun. Manusia, di
samping sebagai makhluk sosial, juga memiliki kebebasan.
Masyarakat manusia merupakan ajang bagi berlangsung
dan berkembangnya kompetisi. Kalau individu dibatasi kebebasannya untuk
berkompetisi, maka akibatnya adalah kemampuan manusia tidak berkembang. Manusia
model bagi mazhab materialistis, meskipun mendapat beberapa pembatasan
lahiriah, tak mampu meraih kemerdekaan rohaniah. Dia bagaikan burung yang tak
bersayap. Sekalipun tidak dikurung dalam sangkar, burung tersebut tetap saja
tak mampu terbang. Manusia model bagi mazhab idealistis memiliki kemerdekaan
rohaniah namun lahiriahnya diikat. Dia bagaikan burung yang bersayap namun
kakinya diikat kuat-kuat. Sedangkan manusia ideal bagi mazhab realistis adalah
bagaikan burung yang bersayap dan kakinya tidak diikat dan dapat terbang tanpa
mengalami kesulitan.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa tauhid praktis,
baik orang seorang maupun masyarakat, artinya adalah tunduk patuh hanya
menyembah Allah SWT dan menolak setiap pemujaan kepada hawa nafsu, uang,
kehormatan dan privilese, dan seterusnya. Kalau untuk masyarakat, artinya juga
adalah tunduk patuh sepenuh hati kepada aturan yang adil dan keadilan, dan
menolak segala nilai yang palsu, diskriminasi dan ketidakadilan. Kalau para
individu dan masyarakat tidak tunduk patuh sepenuh hati, maka kebahagiaan dan
kesejahteraan tak dapat diraihnya. Mereka baru dapat disebut tunduk patuh
sepenuh hati kalau mereka berlaku benar. Al-Qur'an menggambarkan
terpecah-pecahnya personalitas manusia dan kebingungannya hidup di bawah sistem
kemusyrikan dan pencapaiannya akan persatuan dan tujuan dengan berada di bawah
sistem tauhid dengan kalimat berikut: Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang
lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang lelaki (saja).
Adakah kedua budak itu sama halnya? (QS. az-Zumar 29).
Di bawah sistem kemusyrikan, manusia bagaikan jerami
yang setiap saat diombang-ambingkan oleh ombak laut ke arah yang berbeda. Di
bawah sistem tauhid, manusia bagaikan bahtera yang lengkap peralatannya,
jalannya teratur, dan berada di bawah komando kapten yang bermaksud baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar