Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Ada tiga cara untuk
mendefinisikan sejarah. Sesungguhnya sejarah memiliki tiga cabang. Ketiga
cabang ini saling berhubungan erat.
Pertama, sejarah adalah cabang
dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi yang berkaitan dengan
masyarakat masa lalu. Segenap peristiwa yang berkaitan dengan masa
pencatatannya disebut peristiwa hari ini, dinilai, diberitakan, dan direkam
oleh koran harian. Namun begitu masanya lewat, maka setiap peristiwa menjadi
bagian sejarah. Nah, dalam pengertian ini, arti sejarah adalah cabang
pengetahuan tentang kejadian, peristiwa dan masyarakat masa lalu. Biografi,
kisah penaklukan dan kisah orang-orang termasyhur yang disusun semua bangsa,
termasuk dalam kategori ini.
Dalam pengertian ini,
pertama-tama arti sejarah adalah pengetahuan tentang masalah individu dan
peristiwa yang berkenaan dengan individu, bukan pengetahuan tentang hukum umum
dan aturan pergaulan. Kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan.
Ketiga, sejarah adalah pengetahuan tentang "wujud", bukan tentang
"menjadi". Keempat, sejarah berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan
masa sekarang. Dalam terminologi kami, sejarah seperti ini disebut
"sejarah rawian".
Kedua, dalam pengertian lain, arti sejarah
adalah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan
masyarakat di masa lalu. Aturan dan tradisi ini disimpulkan dari studi dan
analisis atas peristiwa masa lalu. Subjek atau pokok sejarah rawian dan
persoalan yang dibahasnya, yaitu peristiwa dan kejadian masa lalu, berfungsi
sebagai pendahuluan untuk cabang sejarah ini. Sesungguhnya peristiwa masa lalu,
yang relevan dengan sejarah dalam pengertian seperti ini, dapat disamakan
dengan material yang dikumpulkan fisikawan di laboratoriumnya untuk ditelaah,
dianalisis dan dieksperimen dengan tujuan mengetahui karakteristik dan sifat
material itu dan mengetahui hukum umum yang berkenaan dengan material itu.
Dalam pengertian kedua ini, pekerjaan sejarawan adalah menemukan karakter
peristiwa sejarah dan mengetahui hubungan sebab-akibatnya sehingga dapat
disimpulkan beberapa aturan umum yang berlaku pada semua peristiwa serupa di
masa lalu dan sekarang. Cabang sejarah ini kita sebut "sejarah
ilmiah".
Kendatipun peristiwa
di masa lalu merupakan pokok studi dalam sejarah ilmiah, namun aturan umum yang
ditarik dari peristiwa-peristiwa ini tidak saja berlaku hanya untuk masa lalu
saja. Aturan tersebut juga berlaku untuk masa sekarang dan mendatang. Aspek
ini, yang terdapat dalam sejarah ilmiah, membuat sejarah ilmiah sangat
bermanfaat bagi manusia. Sejarah ilmiah bermanfaat sebagai sumber pengetahuan,
dan membantu manusia mengendalikan masa depannya.
Perbedaan antara
kerja periset sejarah ilmiah dan pakar ilmu natural (ilmu-ilmu yang digunakan
untuk mengkaji dunia fisis, seperti fisika, kimia, geologi, biologi dan
botani—pen.) adalah pokok kajian pakar ilmu natural berupa material yang memang
ada saat ini, dan karena itu seluruh telaah dan analisis pakar ilmu natural
bersifat fisis dan eksperimental; sedangkan material yang dikaji sejarawan
adanya hanya di masa lalu, bukan di masa sekarang. Yang dapat digunakan
sejarawan tersebut adalah informasi tentang material tersebut dan beberapa
dokumen yang berkaitan dengan material tersebut. Sejauh menyangkut temuannya,
sejarawan tersebut dapat disamakan dengan hakim di pengadilan. Hakim tersebut
memutuskan perkara berdasarkan bukti yang didapat dari dokumen, bukan
berdasarkan bukti yang didapat dari saksi mata. Karena itu analisis sejarawan,
sekalipun logis dan rasional, namun tidak fisis. Sejarawan melakukan analisis
di laboratorium mentalnya. Peralatan yang digunakannya adalah kemampuan
berpikir dan penyimpulan. Dalam hal ini kerja sejarawan tak ubahnya seperti
kerja filosof, bukan seperti kerja pakar ilmu natural.
Seperti sejarah
rawian, sejarah ilmiah juga berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa
sekarang. Sejarah ilmiah adalah ilmu tentang "wujud", bukan tentang
"menjadi". Namun tak seperti sejarah rawian, sejarah ilmiah sifatnya
umum, bukan khusus. Sejarah ilmiah sifatnya rasional. Sejarah ilmiah bukan
semata-mata rawian atau transferan.
Sejarah ilmiah adalah
cabang sosiologi. Sejarah ilmiah adalah sosiologi masyarakat masa lalu.
Masyarakat kontemporer dan masyarakat masa lalu keduanya merupakan pokok studi
sosiologi. Namun kalau kita menganggap sosiologi hanya mengkaji masyarakat
kontemporer, maka sejarah ilmiah dan sosiologi menjadi dua cabang ilmu. Dua
cabang ini berbeda, kendatipun tetap saling berkaitan erat dan saling
bergantung.
Ketiga, kata
"sejarah" dalam pengertian ketiga digunakan untuk menunjukkan
filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perkembangan masyarakat dari tahap
ke tahap dan pengetahuan tentang hukum yang mengatur perubahan-perubahan ini.
Dengan kata lain, ilmu tentang "menjadi”-nya masyarakat, bukan tentang
"wujud" masyarakat saja.
Di sini pembaca
mungkin bertanya apakah mungkin pada masyarakat ada dua kualitas, yaitu
"wujud" dan "menjadi", dan "menjadi" merupakan
pokok kajian satu cabang ilmu yang bernama sejarah ilmiah, sedangkan
"menjadi" merupakan pokok kajian cabang ilmu lainnya yang bernama
filsafat sejarah, padahal kita tahu bahwa mustahil memadukan dua kualitas ini,
karena "wujud" menunjukkan mandek, sedangkan "menjadi"
menunjukkan gerak. Masyarakat hanya bisa memiliki satu dari dua kualitas ini.
Gambaran yang kita bentuk mengenai masyarakat, dapat melukiskan
"wujud" atau "menjadi".
Poin ini dapat
dikemukakan dalam bentuk yang lebih baik lagi lengkap. Yaitu, gambaf yang kita
bentuk mengenai dunia dan masyarakat sebagai bagian dari dunia, pada umumnya
bisa statis atau dinamis. Kalau statis, maka berkualitas "wujud",
bukan "menjadi". Dan kalau dinamis, maka berkualitas
"menjadi", bukan "wujud". Berdasarkan ini ternyata mazhab
filsafat beragam. Satu sistem filsafat mempercayai "wujud", sedangkan
sistem yang lain mempercayai "menjadi". Mazhab yang mempercayai
"wujud" berpandangan bahwa "wujud" dan
"non-wujud" eksistensinya tak mungkin serentak, karena keduanya
bertentangan, sedangkan dua hal yang bertentangan eksistensinya tak mungkin
serentak. Kalau "wujud" ada, maka "non-wujud" tidak ada.
Jika "non-wujud" ada, maka ?wujud" tak ada. Satu dari keduanya
yang harus dipilih. Mengingat dunia dan masyarakat ada, maka jelas kualitasnya
adalah "wujud", dan tentu saja keduanya diatur oleh diam atau tak ada
gerak. Beda dengan pandangan ini, mazhab yang mempercayai "menjadi"
berpandangan bahwa "wujud" dan "non-wujud" bisa eksis
sekaligus, karena ide "menjadi" menunjukkan gerak, yang artinya bahwa
ada sesuatu dan sekaligus sesuatu itu tidak ada.
Filsafat
"wujud" dan filsafat "menjadi" mencerminkan dua pandangan
yang sama sekali bertentangan tentang eksistensi. Mana yang harus dipilih.
Filsafat yang ini atau yang itu. Kalau yang dipilih adalah filsafat yang
pertama, tentu asumsinya adalah masyarakat berkualitas "wujud", bukan
berkualitas "menjadi". Sebaliknya, kalau filsafat yang kedua yang
dipilih, tentu asumsinya adalah masyarakat berkualitas "menjadi",
bukan "wujud". Ini berarti sejarah ilmiah dalam pengertian tersebut
di atas dan bukan filsafat sejarah, atau filsafat sejarah dan bukan sejarah
ilmiah.
Jawaban untuk masalah
ini adalah pandangan ini tentang eksistensi dan non-eksistensi, tentang diam
dan gerak, dan tentang prinsip mustahilnya eksistensi serentak dua hal
bertentangan, semata-mata isapan jempol gagasan Barat. Cara berpikir seperti
ini terjadi karena tidak mengetahui banyak masalah penting tentang eksistensi,
khususnya esensialitas eksistensi dan beberapa masalah lainnya yang relevan.
Pertama, mengatakan
bahwa "wujud" sama dengan diam, atau dengan kata lain diam berarti
"wujud" dan "gerak" berarti perpaduan "wujud" dan
"non-wujud" yang merupakan perpaduan dua hal bertentangan, adalah
salah besar. Kesalahan besar inilah yang dilakukan beberapa mazhab filsafat Barat.
Kedua, masalah yang
tengah dibahas tak ada kaitannya dengan masalah filsafat tersebut di atas. Yang
terlihat di sini adalah bahwa masyarakat, seperti makhluk hidup, memiliki dua
jenis hukum. Jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka
kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi
dan transformasinya menjadi spesies lain. Jenis pertama ini disebut hukum
"wujud", sedangkan jenis kedua disebut hukum "menjadi".
Beberapa sosiolog
memberikan perhatian yang memadai untuk masalah ini. Auguste Comte termasuk
salah satunya. Reymond Aron mengatakan: "Statis dan dinamis merupakan dua
kategori dasar dalam sosiologi Auguste Comte. Statis pada dasarnya terjadi
karena menelaah, menganalisis apa yang disebut Comte konsensus sosial.
Masyarakat disamakan dengan organisme hidup. Mustahil mengkaji berfungsinya
organ tanpa menempatkannya dalam konteks makhluk hidup. Juga musiahil mengkaji
polilik negara lanpa menempatkan politik dalam konleks masyarakat pada masa
tertentu. Adapun dinamis, pada mulanya semata-mata berupa uraian tentang
rangkaian tahapan yang dilalui masyarakat manusia." (Raymond Aron, Main
Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 85, 86)
Jika setiap spesies
makhluk hidup, dari mamalia, reptilia, burung sampai lainnya, dipertimbangkan,
maka ternyata ada hukum khusus yang berkaitan dengan tiap kelas. Selama anggota
spesies tertentu masih menjadi bagian dari spesies tertentu itu, maka yang
mengatur anggota itu adalah hukum khusus spesies itu, seperti hukum yang
berkaitan dengan tahap-tahap embrionik binatang, sehat dan sakitnya, mode
nutrisinya, mode reproduksinya, caranya membesarkan anaknya, nalurinya,
migrasinya atau kebiasaan kawinnya.
Menurut teori
perkembangan dan evolusi spesies, di samping hukum khusus yang khas bagi setiap
spesies dan yang berlaku dalam bingkai kelasnya sendiri, ada sejumlah hukum
lain yang berkaitan dengan proses evolusi spesies menjadi spesies lain. Hukum
ini berbentuk filosofis dan terkadang disebut filsafat evolusi, bukan hukum
biologis. Karena masyarakat adalah makhluk hidup, maka masyarakat juga memiliki
dua jenis hukum: hukum biologis dan hukum evolusioner. Ada beberapa hukum
masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dan asal-usul
serta kemunduran budayanya. Hukum ini mengatur semua masyarakat dalam semua
tahap perkembangannya. Hukum ini disebut hukum "wujud". Ada hukum
lain yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dari satu tahap ke tahap
lain dan dari satu sistem ke sistem lain. Hukum ini dikenal dengan nama hukum
"menjadi". Kalau nanti kedua jenis hukum ini dibahas, maka akan jelas
perbedaan keduanya.
Jadi sejarah dalam
pengertian ketiga adalah sludi alas evolusi masyarakat dari satu tahap ke tahap
yang lainnya. Bukan sekadar pengetahuan tentang kondisi hidupnya pada tahap
tertentu atau pada semua tahap. Untuk tidak mengacaukannya dengan masalah yang
disebut sejarah ilmiah, maka pengetahuan ini dinamakan filsafat sejarah. Karena
kebanyakan orang tidak membedakan antara masalah gerakan non-evolusioner yang
dibahas sejarah ilmiah, dan masalah gerakan evolusioner sejarah yang dibahas
filsafat sejarah, maka terjadi kekacauan sehingga menimbulkan salah paham.
Seperti sejarah
ilmiah, filsafat sejarah juga umum dan rasional sifatnya, bukan rawian. Namun
tak seperti sejarah ilmiah, filsafat sejarah merupakan pengetahuan tentang
"wujud", bukan tentang "menjadi". Lagi pula, tak seperti
sejarah ilmiah, persoalan yang dibahas filsafat sejarah tidak dianggap sebagai
persoalan historis karena persoalan itu berhubungan dengan peristiwa masa lalu.
Persoalan itu dianggap demikian karena menunjukkan suatu proses yang dimulai di
masa lalu, meskipun masih berlanjut dan akan terus berlanjut ke depan. Waktu
adalah salah satu dimensi dari persoalan ini, bukan semata-mata periode
durasinya saja.
Pengetahuan tentang
sejarah dalam ketiga pengertian ini ada manfaatnya. Bahkan sejarah rawian,
yaitu pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan
individu, juga ada manfaatnya, ada hikmahnya, memberikan semangat, dan positif.
Tentu saja manfaat sejarah rawian tergantung siapa yang diriwayatkan dan apa
saja yang dapat dipetik dari kehidupan orang yang diriwayatkan. Manusia, atas
dasar hukum imitasi, dipengaruhi oleh perilaku, kebiasaan dan adat teman-teman
dan orang-orang sezamannya. Manusia belajar adab dari kehidupan orang-orang
sezamannya dan terkadang, seperti Luqman, belajar sopan santun dari orang yang
tak tahu sopan santun dan belajar kebaikan dari orang jahat. Atas dasar hukum
ini juga, manusia memperoleh manfaat dari riwayat orang-orang masa lalu. Sejarah,
seperti film, menubah masa lalu menjadi masa sekarang. Itu sebabnya Al-Qur'an
menyebutkan hal-hal bermanfaat dari kehidupan orang-orang yang tepat menjadi
model bagi orang lain. Mengenai Nabi Muhammad saw, Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzâb:
21). Mengenai Nabi Ibrahim as, dikatakan: Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim
dan umatnya) ada, teladan yang baik bagimu. (QS. al-Mumtahanah: 6)
Ketika Al-Qur'an
menyebut seseorang sebagai teladan yang sempurna, Al-Qur'an tidak
mempertimbangkan personalitas duniawinya. Yang dirujuk Al-Qur'an hanya
personalitas manusiawi dan moralnya saja. Al-Qur'an bahkan menggambarkan
seorang sahaya berkulit hitam, yang bukan raja, bukan filosof, dan juga bukan
orang kaya, sebagai orang yang arif. Dia berpandangan jernih. Al-Qur'an membuat
namanya sinonim dengan kearifan. Orang beriman dari suku Fir'aun dan orang
beriman dari al-Yasin juga masuk dalam golongan ini.
Dalam buku ini
dibahas masyarakat dan sejarah dari sudut pandang konsepsi Islam tentang dunia.
Di sini yang jadi perhatian hanyalah sejarah ilmiah dan filsafat sejarah,
karena hanya keduanya inilah yang pas dengan kerangka konsepsi dunia. Karena
itu dua pokok masalah inilah yang akan dibahas sedikit lebih jauh. Dimulai
dengan sejarah ilmiah.
Sejarah Ilmiah
Seperti telah
diuraikan sebelumnya, dasar dari sejarah ilmiah adalah gagasan bahwa terlepas
dari individu, masyarakat memiliki personalitasnya sendiri dan nilai penting
yang esensial. Seandainya masyarakat tak memiliki personalitas yang mandiri,
maka tak ada apa-apa lagi selain individu dan hukum yang mengatur individu.
Konsekuensinya, sejarah ilmiah, yang merupakan pengetahuan tentang aturan dan
norma yang mengatur masyarakat, jadi tak ada artinya. Sejarah bisa memiliki
hukum kalau karakter sejarah itu mandiri. Karakter sejarah akan mandiri kalau
masyarakat juga berkarakter. Berkaitan dengan sejarah ilmiah, perlu dikaji
masalah-masalah berikut:
Pertama, seperti
disebutkan sebelumnya, sejarah ilmiah didasarkan pada sejarah rawian
(transferan). Sejarah rawian ini dapat disebut materi yang dianalisis di
laboratorium sejarah ilmiah. Karena itu, harus dipastikan dahulu keandalan
sejarah rawian. Jika tidak andal, maka penelitian tentang hukum yang mengatur
masyarakat jadi tak ada artinya.
Kedua, kalau diakui
bahwa sejarah rawian itu andal dan masyarakat memiliki karakter dan
personalitas yang independen dari individu, maka ada kemungkinan untuk
mendeduksikan hukum dan aturan umum dari peristiwa sejarah asal juga diakui
bahwa hukum sebab-akibat berlaku dalam urusan manusia, yaitu masalah yang
bergantung pada kehendak dan pilihan manusia, dan bahwa peristiwa sejarah
termasuk dalam masalah seperti itu. Kalau tidak, peristiwa sejarah tak dapat
dianggap bergantung pada aturan yang dapat digeneraKsasikan. Jadi pertanyaan
pentingnya adalah apakah sejarah diatur oleh hukum sebab-akibat atau tidak.
Jika diatur oleh hukum sebab-akibat, bagaimana manusia menggunakan kehendak dan
pilihannya?
Ketiga, apakah
sejarah bersifat materialises? Apakah sejarah terutama diatur oleh kekuatan
material, sementara kekuatan spiritual hanya melengkapi kekuatan utama ini.
Ataukah sebalik-nya, kekuatan utama yang mengatur sejarah adalah kekuatan
spiritual, sementara karakter sejarah adalah idealistis? Atau sebagai
alternatifnya, apakah sejarah bersifat multilateral, dan diatur oleh dua atau
lebih kekuatan material dan spiritual, yang bekerja dalam suatu sistem yang
kurang lebih harmonis atau terkadang mengalami konflik?
Sejarah Rawian, Andal
atau Tidak
Ada sebagian orang
yang pandangannya tentang sejarah rawian sangat menyedihkan. Mereka berpendapat
bahwa semua orang yang meriwayatkan peristiwa sejarah karena kepentingan
pribadi atau prasangka keagamaan dan kebangsaannya, atau karena hubungan dan
ikatan sosialnya, kurang lebih mendistorsi dan memalsukan hampir semua
deskripsi peristiwa sejarah, dan membentuk sejarah sesuai keinginannya sendiri.
Bahkan orang-orang yang menganggap tidak bermoral perbuatan yang sengaja
merekayasa dan mendistorsi sejarah, bersikap pilih-pilih dalam meriwayatkan
peristiwa dan selalu hanya meriwayatkan apa yang sesuai dengan tujuan dan
pikirannya sendiri. Sekalipun tidak menambah-nambahi, mereka tak mau
meriwayatkan peristiwa yang bertentangan dengan perasaan dan keyakinannya.
Dengan memilih-milih mana yang disukai, mereka telah membentuk sejarah sesuai
keinginan. Peristiwa atau tokoh dapat dikaji dan dianalisis dengan objektif dan
semestinya kalau si peneliti memiliki bahan yang lengkap lagi relevan. Jika
hanya sebagian saja bahan yang diketahuinya, sementara sebagian lagi tidak
diketahuinya, tentu saja hasilnya berupa gambaran yang berat sebelah dan
keliru.
Pendapat kaum pesimis
ini tentang sejarah rawian tak beda dengan pendapat sebagian ahli hukum yang
pesimis tentang hadis, tradisi atau riwayat keagamaan. Sikap para ahli hukum
ini disebut "menutup pintu ilmu". Para kritikus sejarah rawian juga
dapat digambarkan sebagai kaum penghalang kemajuan. Di antara mereka ada satu orang
yang mengatakan bahwa sejarah merupakan cerita tentang peristiwa-peristiwa yang
tak pernah ada, cerita ini disusun oleh seseorang yang tidak melihat
peristiwa-peristiwa itu. Seorang jurnalis konon mengatakan, "Fakta itu
sakral, namun orang bebas mau percaya atau tidak." Ada juga yang tidak
sepesimis itu, namun tetap lebih suka menerima filsafat skeptisisme.
Dalam buku berjudul
"What is History f Sir George dark dikutip mengatakan: Pengetahuan tentang
masa lalu yang diriwayatkan melalui satu benak manusia atau lebih, dan telah
diproses oleh benak manusia, dan karena itu tak mungkin isinya berupa atom-atom
yang esensial dan impersonal yang tak mungkin diubah oleh apa pun. Eksplorasi
kelihatannya tak akan ada akhirnya, dan beberapa pakar yang kurang toleran
mencari perlindungan kepada skeptisisme, atau setidak-tidaknya kepada doktrin
yang mengatakan bahwa karena semua pandangan tentang sejarah melibatkan
person-person dan berbagai sudut pandang maka pandangan yang satu dengan yang
lain sama saja sehingga tak ada kebenaran historis yang objektif." (E. H.
Carr, What is History? halaman 8)
Faktanya adalah
meskipun tidaklah mungkin mempercayai begitu saja riwayat periwayat atau perawi
sekalipun, namun dalam sejarah ada banyak fakta yang tak terbantahkan sehingga
sama dengan prinsip ilmu lain, dan fakta tersebut mudah dikaji oleh peneliti.
Peneliti sendiri dapat meneliti detail-detailnya yang relevan untuk memastikan
kebenaran banyak riwayat dan kemudian membuat kesimpulannya sendiri. Dewasa ini
temyata peneliti telah membuktikan bahwa riwayat mengenai banyak peristiwa
tidak dapat dipercaya kendatipun riwayat tersebut berabad-abad oleh kalangan
luas dianggap sebagai fakta. Riwayat bahwa buku yang ada di perpustakaan
Iskandariah telah dibakar, pertama kali muncul pada abad ke-7 Hijriah dan
berangsur-angsur menyebar ke mana-mana sampai dicatat dalam kebanyakan buku
sejarah. Namun pada abad belakangan ini peneliti membuktikan bahwa riwayat ini
sama sekali tak berdasar dan merupakan rekayasa beberapa Kristiani yang
berprasangka. Untuk beberapa lama kebenaran memang tersembunyi, namun kemudian
semua orang akhirnya tahu kebenaran. Karena alasan inilah maka tidak boleh
pesimis total terhadap riwayat sejarah.
Prinsip Sebab-Akibat
Apakah yang mengatur
sejarah adalah prinsip sebab-akibat? Jika ya, maka setiap peristiwa yang
terjadi harus dianggap tak terelakkan dan tak terhindarkan, sehingga harus
diakui bahwa memang sejarah diatur oleh semacam tekanan, paksaan atau
keharusan. Kalau demikian, maka di mana posisi prinsip kemerdekaan dan kehendak
manusia? Jika peristiwa sejarah memang tak terelakkan, maka individu tak bisa
dipandang bertanggungjawab dan juga tak layak mendapat penghargaan dan pujian
atau kritik dan cacian. Kalau prinsip sebab-akibat tidak diakui efektif, maka
tak mungkin ada hukum universal, dan jika tak ada hukum universal, maka sejarah
tak memiliki hukum atau norma, karena hukum merupakan cabang dari generalitas,
sedangkan generalitas bergantung kepada prinsip sebab-akibat Inilah problem
yang dihadapi sejarah ilmiah dan filsafat sejarah. Sebagian orang yang
cenderung mempercayai prinsip sebab-akibat dan generalitas, menolak prinsip
kemerdekaan dan kehendak manusia dalam arti sebenarnya. Apa yang mereka terima
atas nama kemerdekaan, sesungguhnya tidak begitu. Sebagian lagi justru menerima
prinsip kemerdekaan, dan menolak kalau sejarah itu tunduk kepada hukum
tertentu. Kebanyakan sosiolog berpendapat bahwa prinsip sebab-akibat dan
kemerdekaan tak mungkin eksistensinya simultan. Mereka pada umumnya cenderung
menerima sebab-akibat dan menolak kemerdekaan.
Hegel, mengikuti
langkah Marx, mendukung keharusan sejarah. Dari sudut pandang Hegel dan Marx,
kemerdekaan tak lain hanyalah kesadaran akan keharusan sejarah. Dalam buku
berjudul "Marx and Marxism", Engels dikutip mengatakan: "Hegel
adalah orang pertama yang mengungkapkan dengan benar hubungan antara
kemerdekaan dan keharusan. Baginya, merdeka berarti mengapresiasi keharusan.
Keharusan itu buta hanya sejauh keharusan itu tidak dapat dimengerti.
Kemerdekaan bukanlah mimpi bebas dari hukum alam, namun kemerdekaan adalah
mengetahui hukum alam dan bila dengan pengetahuan ini dapat mengarahkan secara
sistematis hukum alam untuk tujuan tertentu. Ini berlaku untuk hukum alam
eksternal dan hukum yang mengatur eksistensi jasmani dan mental manusia itu
sendiri."
Setelah menguraikan
secara ringkas bahwa karena kondisi khusus sejarah manusia dapat menuju ke arah
yang ditentukan oleh kondisi ini, buku ini mengatakan: "Kalau kondisi ini
dapat diidentifikasi dan dipahami, maka langkah manusia jadi lebih efektif.
Setiap langkah ke arah sebaliknya berarti menentang dan merintangi jalannya
sejarah. Melangkah ke arah yang ditentukan oleh jalannya sejarah berarti
melangkah di jalan sejarah dan ikut dalam prosesnya. Namun pertanyaan, mengenai
apa yang dimaksud dengan kemerdekaan, masih belum terjawab. Mazhab Marxis
menjawab bahwa individu merdeka kalau dia dapat mengapresiasi keharusan sejarah
dan gerakan sosial yang menjadi arah seluruh perjalanan sejarah."
Jelaslah pernyataan
ini tidak menyelesaikan masalah. Masalah yang sebenarnya adalah apakah manusia
mampu mengendalikan kondisi sejarah. Mampukah manusia membawa kondisi sejarah
ke arah yang diinginkannya, atau mampukah manusia mengubah jalannya sejarah?
Jika manusia tak
mampu mengarahkan jalannya sejarah atau mengubah jalannya sejarah, maka
jelaslah kalau mau bertahan hidup dan berevolusi, manusia tak punya alternatif
selain mengikuti jalannya sejarah. Kalau tidak, manusia tak mungkin bertahan
hidup. Sekarang pertanyaannya adalah apakah manusia bisa memilih untuk
mengikuti atau tidak mengikuti jalannya sejarah, dan—kalau kita perhatikan
prinsip superioritas masyarakat atas manusia dan teori bahwa hati nurani,
perasaan dan sentimen individu hanyalah produk kondisi sosial dan historis,
khususnya kondisi ekonominya—apakah ada ruang bagi kemerdekaan manusia?
Lantas apa makna
pernyataan yang menyebutkan bahwa kemerdekaan adalah mengetahui keharusan?
Apakah kalau seseorang terjebak dalam banjir dan tahu persis bahwa sebentar
lagi dirinya akan terseret masuk sungai, atau kalau seseorang jatuh dari puncak
bukit dan tahu bahwa berkat kekuatan hukum gaya berat sebentar lagi dirinya
akan hancur berkeping-keping, lantas dia bisa saja terseret atau tidak terseret
masuk sungai atau jatuh atau tidak jatuh ke bawah? Menurut teori materialisme
sejarah, kondisi sosial membatasi ruang gerak manusia, mengarahkan manusia,
membangun kata hati dan personalitas manusia, dan menentukan kemauan dan
pilihan manusia. Terhadap kondisi sosial, manusia tak ubahnya seperti wadah
kosong dan hanyalah bahan baku. Kalau manusia dianggap produk dari kondisi
sosialnya, bukan yang membentuk kondisi sosialnya, dan kalau dinyatakan bahwa
kondisi sosial yang ada menentukan nasib manusia, maka jelaslah itu bukanlah
manusia yang menentukan kondisi sosial ke depan.
Jelaslah kemerdekaan
seperti ini tak mungkin ada artinya sama sekali. Faktanya adalah tak mungkin
kita membayangkan manusia itu merdeka kalau kita tidak menerima teori
kecenderungan alamiah manusia yang berarti bahwa dalam proses gerakan fundamental
dan umum dunia manusia memiliki dimensi lain yang membentuk basis awal
personalitasnya dan yang menjadi matang berkat pengaruh faktor-faktor
eksternal. Berkat dimensi eksistensial ini manusia memiliki personalitas
manusiawinya dan dimungkinkan untuk mendominasi sejarah dan menentukan jalannya
sejarah. Poin ini sudah dijelaskan ketika membahas masyarakat, persisnya pada
sub-bab "Determinisms dan Kemauan", dan akan dijelaskan lebih lanjut
ketika membahas peran pahlawan, persisnya pada sub-bab "Dimensi
Sejarah".
Kemerdekaan manusia
tidak bertentangan dengan hukum sebab-akibat, tidak bertentangan dengan
universalitas masalah-masalah sejarah, tidak bertentangan dengan fakta bahwa
sejarah tunduk kepada hukum tertentu. Kalau manusia bisa memilih bentuk tertentu
kehidupan sosialnya atas kemauan bebasnya sendiri, maka itu artinya adalah
meskipun ada keharusan namun masih ada ruang bagi kehendak atau kemauan
manusia. Ini beda dengan keharusan mutlak yang menguasai manusia dan
kehendaknya. Ada kesulitan lain mengenai universalitas persoalan sejarah dan
ketundukan persoalan tersebut kepada hukum tertentu. Studi atas peristiwa
sejarah menunjukkan bahwa terdakang beberapa kejadian kecil dan kebetulan dapat
mengubah jalannya sejarah. Tentu saja kejadian kebetulan, bertentangan dengan
pikiran beberapa orang yang tidak tahu, tidak berarti kejadian tersebut terjadi
tanpa sebab. Kejadian kebetulan hanyalah kejadian yang penyebabnya bukan sebab
umum dan universal dan karena itu aturannya tidak umum. Sekarang jelaslah, kalau
kejadian yang aturannya tidak umum itu memang efektif perannya dalam gerakan
sejarah, tentunya sejarah tidak ada hukumnya, aturannya, normanya, dan jalannya
tidak pasti. Namun kita tahu bahwa kejadian kebetulan dalam sejarah temyata
mempengaruhi jalannya sejarah. Kejadian seperti ini terkenal dengan sebutan
"hidung Cleopatra". Cleopatra adalah seorang ratu Mesir yang kesohor.
Tak dapat dihitung contoh peristiwa kecil dan kebetulan yang ternyata mengubah
jalannya sejarah dunia ini.
Edward Hallett Carr,
dalam bukunya "What is History?", mengatakan sebagai berikut: "Sumber
lain terjadinya serangan adalah soal hidung Cleopatra. Inilah teori yang
mengatakan bahwa sejarah pada umumnya merupakan satu bab peristiwa, serangkaian
kejadian yang terjadi karena kejadian kebetulan, dan penyebabnya adalah hal-hal
yang sangat begitu saja atau kebetulan. Terjadinya Perang Actum bukanlah
disebabkan oleh hal-hal yang lazim didalilkan oleh sejarawan, namun penyebabnya
adalah karena Antony tergila-gila kepada Cleopatra. Ketika Bajazet tidak jadi
masuk ke Eropa Tengah akibat mendapat serangan encok, Gibbon berkomentar bahwa
'berkat urat seseorang mendapat kehormatan pahit (serangan encok—pen.), maka
banyak bangsa tak jadi sengsara.' Raja Alexander dari Yunani mati pada musim gugur
tahun 1920 gara-gara digigit seekor monyet kesayangan. Peristiwa ini merupakan
awal dari serangkaian peristiwa yang membuat Sir Winston Churchill menyatakan
bahwa 'seperempat juta orang mati akibat gigitan monyet ini.' Atau perhatikan
komentar Trotsky mengenai demam yang menyerang ketika tengah asyik dengan acara
menembak bebek sampai-sampai tak bisa berbuat apa-apa ketika sudah sampai titik
kritis pertengkarannya dengan Zinonev, Kamerev dan Stalin pada musim gugur
1923, 'Orang bisa saja meramalkan revolusi atau perang, namun mustahil
memperkirakan konsekuensi acara menembak di musim gugur—berburu bebek
liar."
Di dunia Islam
peristiwa kekalahan Marwan bin Muhammad, Khalifah Umayah terakhir, merupakan
contoh bagus mengenai bagaimana suatu kebetulan mengintervensi nasib sejarah.
Dalam pertempuran terakhirnya melawan kaum Abbasiyah, dia sangat kebelet
kencing. Lalu dia pergi kencing ke suatu tempat. Secara kebetulan seorang
tentara musuh lewat tempat itu dan melihat Marwan tengah sendirian. Tentara musuh
itu lalu membunuhnya. Berita bahwa Marwan telah terbunuh menyebar cepat di
kalangan tentaranya seperti kobaran api yang tak terkendali. Karena kejadian
ini tak terduga, tentara Marwan jadi patah semangat, lalu mengambil langkah
seribu. Dengan demikian, maka berakhirlah kekuasaan dinasti Umayah. Mengenai
peristiwa ini dikatakan, "Sebuah kerajaan jatuh gara-gara kencing."
Setelah menjelaskan
bahwa setiap kebetulan merupakan hasil dari rangkaian sebab-akibat yang
membatalkan rangkaian sebab-akibat yang lain dan bukan kejadian yang tak
bersebab sama sekali, Carr mengatakan: "Mana mungkin dalam sejarah dapat
ditemukan rangkaian sebab-akibat yang pertaliannya logis, mana mungkin kita
menernukan makna dalam sejarah, bila rangkaian kita dapat saja hancur atau berbelok
kapan saja akibat, dari sudut pandahg kita, rangkaian lain yang tidak
relevan?"
Jawaban untuk problem
ini bergantung kepada pertanyaan apakah masyarakat dan sejarah pada dasarnya
memiliki arah atau tidak. Jika sejarah pada dasarnya memiliki arah, maka dampak
kejadian-kejadian kecil tidak akan berarti. Dengan kata lain, kejadian kecil
bisa saja mengubah posisi beberapa bidak di papan catur sejarah, namun tidak
dapat mempengaruhi arah umum sejarah. Paling banter sejurus dapat mempercepat
atau memperlambat jalannya sejarah. Kalau sejarah tak memiliki karakter, tak
memiliki personalitas, dan tak memiliki arah yang ditentukan karakter dan
personalitasnya, berarti sejarah tak memiliki arah yang jelas dan tak memiliki
hukum yang universal sifatnya, sehingga sejarah sama sekali tak akan dapat
diperkirakan.
Menurut kami, karena
kami percaya sejarah memiliki karakter dan personalitas, dan kita berpandangan
bahwa karakter dan personalitasnya merupakan produk dari perpaduan personalitas
individu-individu manusia dan karena itu evolusioner sifatnya, maka berbagai
kejadian yang sifatnya kebetulan tak mengganggu universalitas dan keharusan
sejarah. Montesquieu menggambarkan peran kejadian kebetulan dalam sejarah bagus
sekali. Kami kutipkan sebagiannya: "Jika hasil dari perang—perang
merupakan sebab khusus—adalah hancurnya negara, maka ada sebab umum yang
menetapkan bahwa negara itu akan hancur akibat perang." Dia juga
mengatakan sebagai berikut: "Bukan perkara Poltava yang menghancurkan
Charles. Seandainya Charles tidak hancur di tempat itu, dia akan hancur di
tempat lain. Korban kecelakaan tidak sulit disembuhkan. Namun siapa yang dapat
aman dari peristiwa demi peristiwa yang tak henti-hentinya terjadi karena
memang hams terjadi?"
Apakah Sejarah pada
Dasarnya Materialistik?
Bagaimanakah karakter
sejarah? Apakah karakter sejarah itu kultural, politis, ekonomi, religius, atau
moral? Apakah material, spiritual, atau perpaduan keduanya? Inilah
pertanyaan-pertanyaan sangat penting tentang sejarah. Tak mungkin sejarah dapat
dipahami dengan benar kalau pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab dengan
benar. Jelaslah bahwa semua faktor material dan spiritual tersebut di atas
efektif dalam tekstur sejarah. Pertanyaannya adalah faktor mana yang paling
penting dan karakternya menentukan? Pertanyaannya adalah di antara
faktor-faktor ini mana yang membentuk jiwa sejati sejarah dan menunjukkan
identitasnya? Di antara faktor-faktor ini mana yang dapat menjelaskan dan
menafsirkan faktor-faktor lainnya? Di antara faktor-faktor ini mana yang membentuk
infrastruktur sejarah, sementara faktor-faktor lainnya menjadi
suprastrukturnya?
Pada umumnya kaum
pakar berpendapat bahwa sejarah merupakan sebuah mesin bermotor banyak, dan
motor-motor ini satu sama lain saling mandiri. Yang mereka maksud adalah bahwa
sejarah memiliki banyak karakter. Namun pertanyaannya adalah kalau sejarah
memang bermotor banyak dan berkarakter banyak, lantas apa yang terjadi dengan
perkembangan evolusionernya? Evolusi sejarah tak mungkin jelas dan pasti kalau
sejarah digerakkan oleh beberapa motor yang satu sama lain saling mandiri,
masing-masing motor melakukan gerakannya sendiri dan membawa sejarah ke arah
yang dipilihnya sendiri, kecuali kalau faktor-faktor tersebut di atas dianggap
sebagai semata-mata naluri sejarah yang jiwanya mengalahkan naluri-naluri ini,
dan jiwa inilah, dengan dibantu oleh berbagai naluri sejarah, membawa sejarah
ke arah yang jelas dan membentuk identitasnya. Namun, kalau demikian sejarah
berarti satu karakternya, karena karakternya adalah seperti yang digambarkan
sebagai jiwanya dan bukan faktor-faktor yang disebut sebagai nalurinya.
Dewasa ini ada sebuah
teori baru yang banyak pendukungnya. Teori ini dikenal sebagai materialisme
sejarah atau materialisme dialektis. Arti materialisme sejarah adalah interpretasi
ekonomi atas sejarah, dan interpretasi ekonomi dan sejarah atas manusia, bukan
interpretasi manusia atas ekonomi atau sejarah. Dengan kata lain, arti
materialisme sejarah adalah sejarah berkarakter material dan eksistensinya
dialektis. Yang dimaksud dengan sejarah berkarakter material adalah basis semua
gerakan sejarah dan fenomena masyarakat adalah sistem ekonominya yang meliputi
produk materialnya, kekuatan, hubungan dan sistem produksinya. Menurut teori
ini, sistem ekonomilah yang memberi bentuk dan arah kepada semua fenomena
sosial dan moral, seperti ilmu pengetahuan, filsafat, etika, agama, hukum dan
budaya. Kalau sistem ekonomi mengalami perubahan, maka semua ini (ilmu
pengetahuan, filsafat, etika, agama, hukum dan budaya—pen.) pun mengalami
perubahan.
Adapun eksistensi
sejarah yang sifatnya dialektis itu, artinya adalah bahwa gerakan evolusi
sejarah terjadi akibat serangkaian kontradiksi dialektis yang ada saling
hubungannya yang khusus. Kontradiksi dialektis beda dengan kontradiksi nonndialektis,
karena pada kasus kontradiksi dialektis, setiap fenomena dalam dirinya wajib
ada penafian terhadap dirinya, maka akibat kontradiksi internal ini, fenomena
tersebut berkembang ke tahap yang lebih tinggi, perkembangan ini merupakan
sintesis dua tahap sebelumnya.
Dengan demikian,
materialisme sejarah menunjukkan dua pikiran. Pertama, sejarah berkarakter
materialistis; kedua, gerakan sejarah adalah gerakan dialektis. Pembahasan
kedua hal ini nanti ketikarmembahas perkembangan dan evolusi sejarah.
Teori yang mengatakan
bahwa sejarah berkarakter materialistis, dasarnya adalah serangkaian prinsip
tertentu yang sifatnya filosofis, psikologis, atau sosiologis. Teori ini
kemudian menyebabkan lahirnya sejumlah teori lain berkenaan dengan problem
ideologis. Untuk menjelaskan poin penting ini, khususnya kalau diingat fakta
bahwa para penulis Muslim modern tertentu mengklaim bahwa sekalipun Islam tidak
menerima materialisme filosofis, namun Islam menerima materialisme sejarah, dan
para penulis ini membangun teori sejarah dan sosialnya berdasarkan anggapan
ini, maka kami rasa poin ini perlu dibahas dengan cukup mendalam. Untuk itu,
yang dibahas terlebih dahulu adalah dua prinsip yang menjadi dasar dari teori
ini dan akibat yang ditimbulkan oleh dua prinsip ini. Setelah itu teori ini
akan ditelaah dari sudut pandang ilmu pengetahuan maupun Islam.
Prinsip Dasar
Materialisme Sejarah
Prioritas Materi atas
jiwa
Manusia, selain
memiliki tubuh, juga memiliki jiwa. Atas tubuh manusia dapat dilakukan kajian
biologis, medis, fisiologis dan lainnya. Sedangkan atasjiwa dan urusan
spiritual manusia, dapat dilakukan kajian filosofis dan psikologis. Gagasan,
kepercayaan, perasaan, kecenderungan, teori dan ideologi merupakan subjek
psikologis. Arti prinsip prioritas materi atas jiwa adalah bahwa masalah
psikologis itu tidak fundamental. Masalah psikologis hanyalah serangkaian
refleksi material pada saraf dan otak, dan asal dari refleksi material ini
adalah masalah aktual.
Nilai masalah
psikologis terbatas pada fungsinya sebagai penghubung antara fakultas material
yang ada pada jiwa manusia dan dunia luar, sehingga fakultas ini tidak bisa
diperlakukan sebagai kekuatan yang terpisah dari kekuatan-kekuatan material
lainnya yang mengatur eksistensi manusia. Untuk itustrasinya, masalah psikologis
dapat disamakan dengan lampu mobil. Di malam hari mobil tak bisa jalan tanpa
lampu. Di malam hari mobil baru jalan kalau lampunya menyala. Namun yang
membuat mobil bisa jalan adalah mesinnya, bukan sinar lampunya.
Kalau masalah
psikologis, seperti pikiran, kepercayaan, teori dan ideologi, selaras dengan
proses berbagai kekuatan material sejarah, maka masalah ini membantu gerak maju
sejarah. Namun masalah ini sendiri tidak bisa menyebabkan terjadinya gerak,
juga tidak dianggap sebagai kekuatan yang terpisah dari kekuatan-kekuatan
material lainnya. Pada dasamya masalah psikologis bukanlah kekuatan. Karena itu
salah kalau mengatakan bahwa masalah psikologis adalah kekuatan yang tak ada
realitas materialnya. Sesungguhnya kekuatan yang mempengaruhi eksistensi
manusia adalah kekuatan yang dikenal sebagai kekuatan material dan kekuatan ini
dapat diukur dengan ukuran material.
Jadi masalah
psikologis tak mampu menciptakan gerakan atau mengarahkan gerakan. Masalah
psikologis tidak dianggap sebagai tuas untuk menggerakkan masyarakat. Nilai
psikologis dapat mendukung dan mengarahkan nilai material, namun tidak dapat
menjadi sumber atau objek gerakan sosial. Berdasarkan ini, kalau menafsirkan
sejarah, jangan sampai terkecoh oleh apa yang kelihatan. Pada momen sejarah
tertentu, suatu gagasan, doktrin atau kepercayaan mungkin kelihatan mampu
menggerakkan masyarakat ke tahap evolusi, namun kalau dilakukan analisis yang
saksama atas sejarah ternyata posisi kepercayaan atau doktrin tidak dominan.
Kepercayaan atau doktrin hanyalah refleksi berbagai kekuatan material
masyarakat. Terkadang dengan berbaju doktrin dan kepercayaan juga berbagai
kekuatan material masyarakat ini menggerakkan masyarakat. Kekuatan material
yang membuat sejarah bergerak maju, dari sudut pandang teknis, adalah sistem
produksi, dan dari sudut pandang manusiawi adalah kelas-kelas kurang mampu dan
tereksploitasi masyarakat.
Feuerbach, seorang
filosof materialis terkenal, dari tokoh ini Marx mengambil banyak teorinya,
mengatakan, "Apa teori itu? Apa praksis itu? Apa bedanya teori dan
praksis?" Feuerbach sendiri kemudian menjawabnya, "Kalau sebatas
pikiran saja, maka itu teori. Kalau yang menggerakkan pikiran banyak orang,
maka itu keharusan praktis. Aksilah yang mempersatukan banyak pikiran dan mengorganisasi
massa, dan dengan cara seperti inilah aksi mendapatkan tempatnya di
dunia."
Muridnya, Marx,
menulis, "Jelaslah bahwa senjata kritik tak mampu menggantikan kritik
senjata. Yang dapat menghancurkan kekuatan material hanyalah kekuatan
material." Marx, yang tak mempercayai independensi kekuatan non-material,
menyatakan bahwa yang dapat dilakukan kekuatan non-material hanyalah menambah
nilai kekuatan material. Marx mengatakan bahwa begitu sebuah teori atau doktrin
berurat berakar di tengah massa, maka teori atau doktrin itu berubah menjadi
kekuatan material. Prinsip superioritas materi atas non-materi dan superioritas
raga atas jiwa merupakan salah satu prinsip dasar materialisme filosofis.
Prinsip ini mengatakan bahwa kekuatan mental dan nilai spiritual serta moral
tidaklah fundamental.
Ada prinsip filosofis
lain yang bertentangan dengan prinsip ini. Prinsip filosofis yang lain ini
didasarkan pada fundamental!tas jiwa. Menurut prinsip ini, mustahil menjelaskan
dan menafsirkan semua dimensi riil eksistensi melalui aspek material dan
materi. Jiwa adalah realitas dalam eksistensi manusia, sedangkan energi
spiritual tidak bergantung kepada, atau lepas dari, semua energi material.
Karena itu semua kekuatan psikologis, seperti kekuatan akal, kekuatan doktrin,
kekuatan agama dan kekuatan sentimen dianggap sebagai faktor independen yang
menyebabkan gerakan tertentu pada individu dan masyarakat. Tuas-tuas ini dapat
digunakan untuk menggerakkan sejarah. Sesungguhnya banyak gerakan sejarah
bersumber terutama dari tuas-tuas ini. Khususnya gerakan manusiawi yang
berkarakter mulia, entah itu gerakan individu atau sosial, penyebab langsungnya
adalah kekuatan-kekuatan ini. Berkat kekuatan-kekuatan ini gerakan tersebut
menjadi gerakan yang mulia.
Kekuatan psikologis
sering mempengaruhi kekuatan fisis dan material. Kekuatan psikologis ini
mengarahkan kekuatan fisis dan material bukan saja pada tataran aktivitas
opsional, namun bahkan pada tataran aktivitas mekanis, kimiawi dan biologis
juga. Efektivitas sugesti psikologis dalam pengobatan penyakit jasmani, dan
efektivitas luar biasa kerja hipnotis, termasuk dalam kategori ini dan tak
dapat disangkal.
Kekuatan pengetahuan
dan agama, khususnya kekuatan agama dan terutama lagi bila dua kekuatan ini
selaras, merupakan kekuatan yang dahsyat dan bermanfaat. Dua kekuatan ini
perannya luar biasa dan dinamis untuk membuat sejarah bergerak maju atau untuk
mengubah arah gerakan sejarah. Posisi sentral kekuatan jiwa dan spiritual
merupakan salah satu prinsip dasar realisme filosofis.
Kebutuhan Material Dahulu, Baru Kebutuhan Spiritual
Manusia,
setidak-tidaknya sejauh menyangkut eksistensi sosialnya, memiliki dua macam
kebutuhan. Kebutuhan material manusia antara lain adalah pangan, air, papan,
sandang, obat dan sebagainya. Kebutuhan spiritual manusia adalah pendidikan,
pengetahuan, sastra, seni, gagasan filosofis, agama, ideologi, prinsip moral
dan sebagainya. Manusia selalu memiliki dua macam kebutuhan ini. Pertanyaannya
adalah mana yang lebih dahulu, kebutuhan material atau kebutuhan spiritual? Ataukah
kedua macam kebutuhan tersebut sama pentingnya? Para pendukung fundamentalitas
kebutuhan material berpendapat bahwa kebutuhan material lebih penting bukan
saja dalam pengertian bahwa manusia memenuhi kebutuhan material dahulu, baru
kemudian memenuhi kebutuhan spiritualnya, namun juga dalam pengertian bahwa
kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan
materialnya. Ketika lahir, manusia tidak memiliki dua macam kebutuhan atau dua
macam naluri. Ketika lahir, manusia hanya memiliki satu macam kebutuhan dan
satu macam naluri. Kebutuhan spiritual manusia merupakan kebutuhan sekundernya,
dan sesuhgguhnya hanyalah sarana untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan
lebih baik.
Itulah sebabnya
bentuk, kualitas dan karakter kebutuhan spiritual manusia tunduk kepada
kebutuhan materialnya. Dalam setiap zaman kebutuhan material manusia bentuk dan
kualitasnya tertentu sesuai dengan perkembangan sarana atau alat produksi.
Kebutuhan spiritual manusia yang merupakan produk sampingan dari kebutuhan
materialnya, tentu saja bentuk, kualitas dan karakternya sesuai dengan
kebutuhan materialnya. Karena itu antara kebutuhan material dan kebutuhan
spiritual ada dua macam preseden (prioritas). Yang satu berkenaan dengan
eksistensi kebutuhan, dan satu lagi berkenaan dengan karakter kebutuhan.
Kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan
materialnya. Bentuk dan karakter lain kebutuhan spiritual juga tunduk kepada
kebutuhan material manusia. Dalam bukunya "Historical Materialism" (Materialisme
Sejarah), P. Royan mengutip Hymen Louis mengatakan dalam bukunya
"Philosophical Ideas " (Gagasan Filosofis):
"Karena
eksistensi manusia arahnya material, maka selaras dengan kebutuhan material
zamannya, manusia mengajukan berbagai teori mengenai dunianya, masyarakatnya,
seninya, dan moralitasnya. Semua manifestasi intelektual merupakan produk yang
dihasilkan dari berbagai kondisi material dan metode produksi."
Itulah sebabnya cara
berpikir setiap individu mengenai masalah ilmiah, pikiran filosofisnya, cita
rasanya, rasa estetika dan artistiknya, evaluasi moralnya dan kecenderungan
religiusnya mengikuti cara hidupnya dan caranya mencari nafkah. Prinsip ini,
kalau diterapkan pada individu, maka bunyinya begini, "Sebutkan
makanannya, maka akan aku sebutkan cara berpikirnya." Kalau prinsip ini
diterapkan pada masyarakat, maka bunyinya, "Sebutkan sejauh mana
perkembangan alat produksi dalam masyarakat itu dan bagaimana hubungan ekonomi
di antara anggota masyarakat itu, maka akan aku sebutkan ideologi, filsafat,
prinsip moral dan ajaran agama yang dianut masyarakat itu."
Bertentangan dengan
teori ini adalah teori independensi kebutuhan spiritual. Menurut teori
independensi kebutuhan spiritual, sekalipun pada diri manusia kebutuhan
material ada lebih dahulu, dan ini terlihat pada keadaan bayi yang setelah
lahir langsung mencari-cari susu dan payudara ibu, kemudian berangsur-angsur
kebutuhan spiritual yang terpendam (potensial) dalam fitrah manusia muncul dan
berkembang sedemikian rupa sehingga ketika sudah dewasa manusia mau
mengorbankan kebutuhan materialnya demi kebutuhan spiritualnya. Dengan kata
lain, bagi manusia kenikmatan spiritualnya bersifat fundamental dan juga lebih
kuat dibanding kenikmatan materialnya dan desakan materialnya.
Poin ini sudah
dibahas dengan bagus oleh Ibn Sina dalam bukunya, al-Isyârât. Kalau manusia
semakin terdidik dan terlatih, maka kebutuhan spiritualnya, kenikmatan
spiritualnya dan akhirnya kehidupan spiritualnya jadi jauh lebih penting
daripada kebutuhan materialnya, kenikmatan materialnya dan kehidupan
materialnya. Tentu saja dalam masyarakat primitif kebutuhan material jauh lebih
penting dibanding kebutuhan spiritual. Namun setelah masyarakat mengalami
perkembangan, maka kebutuhan spiritual jadi jauh lebih periling. Kebutuhan
spiritual ini menjadi tujuan yang ingin dicapai manusia, sedangkan kebutuhan
material menjadi semata-mata sarana.
Bertindak Dahulu, Baru Berpikir
Manusia adalah
makhluk yang dapat berpikir, memahami dan bertindak. Mana yang lebih penting,
tindakannya atau pikirannya? Mana yang menjadi esensi manusia? Apakah martabat
manusia ditentukan oleh perbuatannya atau pikirannya? Dan mana yang membentuk
dirinya?
Materialisme sejarah
mempercayai independensi tindakan dan lebih pentingnya tindakan dibanding
pikiran. Materialisme sejarah memandang tindakan sebagai fundamental dan
pikiran sebagai subsider. Di lain pihak, filsafat dan logika kuno menganggap
pikiran sebagai kunci berpikir. Menurut sistem lama logika, pikiran dibagi
menjadi dua: persepsi dan penegasan (penguatan), dan masing-masing selanjutnya
dibagi menjadi aksiomatis dan teoretis. Menurut sistem logika dan filsafat itu,
hakikat ego manusia dianggap semata-mata sebagai gagasan. Manusia akan sempuma
dan mulia kalau dia mau arif. Manusia sempuma sama dengan manusia arif. Namun
materialisme sejarah didasarkan pada prinsip bahwa tindakan merupakan kunci dan
kriteria berpikir. Hakikat manusia adalah aktivitas produktifnya. Manusia
dikenal melalui aktivitasnya yang membentuk dirinya. Marx pernah mengatakan,
"Seluruh sejarah dunia tak lain hanyalah kreasi manusia melalui kerja
keras manusia."
Engels mengatakan,
"Manusia sendiri merupakan kreasi aksi," karena alih-alih memikirkan
kesulitan alam, manusia justru berupaya keras menaklukkan lingkungannya, dan
dengan demikian (melalui aksi revolusioner melawan tiran agresif) manusia membentuk
masyarakat seperti yang dikehendakinya."
Penulis Marx and
Marxism mengatakan sebagai berikut: "Kalau dalam filsafat wujud (sebuah
filsafat yang menafsirkan bahwa dunia adalah 'wujud', beda dengan filsafat
'menjadi', yang menafsirkan bahwa dunia adalah gerak. Marxisme termasuk
filsafat 'menjadi') pada mulanya biasa-biasa saja kalau mengemukakan gagasan
dan prinsip yang dapat dibuat kesimpulan praktisnya. Sementara praksis
(filsafat praktis) menganggap aksi sebagai asal dan basis semua pikiran.
Praksis menggantikan kepercayaan pada pikiran dengan filsafat kekuatan."
Seperti Hegel,
praksis mengatakan, "Pertama-tama wujud sejati manusia adalah aksinya
sendiri." Dalam kepercayaan ini dia seperti pemikir Jerman yang menolak
frase terkenal, "Pada mulanya ada kata"—di mana kata berarti roh,
karena melalui katalah roh mengungkapkan dirinya—dan menyatakan, Tada mulanya ada
aksi."
Teori ini merupakan
salah satu prinsip materialisme Marxis, dan dikenal sebagai filsafat praktis.
Marx mengambilnya dari materialis pendahulu dan gurunya, Feuerbach dan Hegel.
Bertentangan sekali
dengan prinsip ini adalah prinsip filosofis realisme. Prinsip filosofis
realisme ini menyatakan bahwa pikiran dan aksi saling mempengaruhi satu sama
lain, sekalipun pikiran mendahului aksi. Menurut filsafat ini, hakikat manusia
adalah pikiran (pengetahuan hakiki tentang eksistensi diri sendiri). Manusia,
melalui aksi dan kontaknya dengan dunia luar, mendapatkan material informatif
mengenai dunia. Dia tak dapat mengetahui sesuatu kalau dalam benaknya tak ada
bahan baku ini. Setelah menghimpun materialnya, benaknya menggunakan data yang
didapat dari aksi dengan cara lain seperti generalisasi, deduksi dan
argumentasi. Dengan demikian aksi memudahkan jalan untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Pengetahuan tidak berarti semata-mata sekadar refleksi
material eksternal pada benak. Adanya pengetahuan adalah berkat refleksi yang
terjadi melalui suatu proses mental yang berasal dari substansi imaterial jiwa
ini. Dengan demikian aksi adalah sumber pikiran. Namun pada saat yang sama
pikiran juga merupakan sumber aksi. Aksi adalah kriteria pikiran, dan pada saat
yang sama pikiran adalah kriteria aksi. Namun ini bukan lingkaran setan. Yang
membuat seseorang menjadi manusia adalah kemuliaan akhlaknya, pengetahuannya,
imannya, martabatnya, harga dirinya dan perbuatannya. Manusia berbuat, dan
dirinya eksis karena perbuatannya. Inilah sifat khas manusia. Makhluk lain tak
memiliki sifat ini. Sifat ini berasal dari karakter khusus yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya.
Namun, manusia
berbuat, itu dalam pengertian kreatif, sedangkan perbuatan membentuk manusia,
itu dalam pengertian persiapan. Sesungguhnya manusia menciptakan perbuatannya
sendiri, sedangkan perbuatan sesungguhnya tidak menciptakan manusia. Namun
aksi, kalau dilakukan dan diulang-ulang, memuluskan jalan bagi penciptaan
manusia dari dalam. Dalam semua kasus di mana saling hubung antara dua hal di
satu sisi sifatnya kreatif dan imperatif (tidak boleh tidak), dan di sisi lain
sifatnya persiapan dan potensial, maka yang lebih dahulu selalu sisi kreatif
dan sisi imperatifnya.
Pendek kata, manusia,
yang hakikatnya merupakan pengetahuan (pengetahuan hakiki tentang eksistensinya
sendiri), hubungannya dengan aksi sifatnya timbal balik, dalam pengertian bahwa
manusia menciptakan dan mengembangkan aksi, sedangkan aksi mengembangkan
manusia. Namun kalau diingat fakta bahwa manusia adalah sebab kreatif dan
imperatif bagi adanya aksi, sedangkan aksi hanyalah sebab persiapan dan
potensial bagi adanya manusia, maka manusia dahulu baru aksi, bukan aksi dahulu
baru manusia.
Eksistensi Sosial Manusia Mendahului Eksistensi
Individualnya
Dari sudut pandang
biologis, manusia adalah hewan yang paling sempurna. Manusia dapat menciptakan
evolusi tertentu dan membangun dirinya sendiri. Inilah yang disebut evolusi
manusiawi. Manusia dapat memiliki kepribadian istimewa yang dibentuk oleh
berbagai dimensi manusiawi. Berkat pengalaman dan pengetahuan, manusia memiliki
dimensi intelektual, filosofis dan ilmiah. Dan berkat faktor-faktor tertentu
lainnya manusia memiliki dimensi lain, dimensi ini disebut dimensi moral. Dalam
dimensi inilah manusia menciptakan nilai-nilai dan "apa yang harus dan
yang tidak boleh" secara moral. Manusia juga memiliki dimensi seni dan
religius. Dalam dimensi intelektual dan filosofisnya manusia menemukan sejumlah
prinsip dan hukum umum. Prinsip dan hukum umum ini kemudian menjadi basis pemikirannya.
Melalui apresiasi moral dan sosialnya manusia memperoleh beberapa nilai yang
mutlak dan semi-mutlak. Semua dimensi manusiawi ini berpadu membentuk
eksistensi manusiawi.
Dimensi manusiawi
sepenuhnya merupakan konsekuensi berbagai faktor sosial. Ketika lahir, manusia
tidak memiliki semua dimensi ini. Ketika lahir, manusia hanyalah bahan baku
yang mampu berbentuk intelektual atau emosional. Bentuk final manusia
ditentukan oleh berbagai faktor yang kelak mempengaruhinya. Pada mulanya
manusia tak ubahnya seperti wadah kosong yang dapat diberi isi dari luar.
Manusia seperti pita magnetik kosong. Suara apa pun dapat direkam dengan pita
ini. Pendek kata, faktor-faktor sosial eksternal yang disebut aksi sosial
inilah yang membangun kepribadian manusia dan mengubah manusia dari sesuatu
menjadi seseorahg. Manusia sendiri hanyalah "sesuatu", dan
semata-mata berkat faktor-faktor sosial maka manusia menjadi
"seseorang". Dalam bukunya "Historical Materialism", P.
Royan mengutip perkataan Plekhanov dalam bukunya "Fundamental Problems of
Marxism". Katanya:
"Karakteristik
sebuah sistem sosial ditentukan oleh tingkat perkembangan sarana dan alat
produksi masyarakat. Artinya adalah kalau tahap perkembangan sarana dan alat
produksi itu ditentukan, maka karakteristik tata sosial dan psikologi
(masyarakat) yang terkait, dan semua kaitan lainnya dalam sistem itu di satu
pihak, dan gagasan serta kemajuan di pihak lain, juga (atas kemauan sendiri)
ditentukan."
Dalam buku itu juga
dikatakan sebagai berikut: "Kalau psikologi, melalui sarana dan alat
produksi, ditentukan, maka konsekuensinya ideologi, yang berurat berakar dalam
psikologi masyarakat, juga ditentukan. Namun karena ideologi, pada tahap
sejarah tertentu, merupakan produk dari kebutuhan sosial, dan karena ideologi
selalu melindungi kepentingan kelas berkuasa, tentu ideologi memperkuat dan
menyempurnakan struktur sosial yang ada. Karena itu struktur sosial dalam
masyarakat berkelas, yang eksistensinya adalah untuk melindungi kelas berkuasa
dan untuk menyebarkan ideologinya, sesungguhnya merupakan hasil dari tata
sosial dan berbagai tuntutannya, dan pada akhirnya merupakan produk dari
karakter mode, sarana dan alat produksi. Misal, di gereja dan masjid
disampaikan berbagai keyakinan religius, yang dalam semua agama didasarkan pada
iman kepada Hari Kiamat. Mempercayai Kiamat merupakan hasil logis dari tata
sosial tertentu yang didasarkan pada pembagian masyarakat menjadi kelas-kelas,
yang pada gilirannya merupakan produk dari tahap tertentu perkembangan sarana
dan alat produksi. Karena itu mempercayai Kiamat merupakan produk dari sarana
dan alat produksi (pada tahap tertentu perkembangan sosial)."
Ada prinsip lain yang
beda dengan prinsip ini. Prinsip lain tersebut adalah prinsip antropologis.
Prinsip antropologis didasarkan pada pandangan bahwa fondasi kepribadian
manusia merupakan basis pemikiran manusia dan kecenderungan lebih tinggi
manusia, dan berakar dalam kreasinya. Beda dengan teori terkenal Plato, manusia
datang ke dunia bukan dengan kepribadian yang sudah jadi, namun manusia masih
menerima karakter dasar kepribadiannya dari kreasinya, bukan dari masyarakat.
Kalau mau menggunakan istilah fitasofis, dapat dikatakan bahwa unsur utama
dimensi manusiawi, entah itu religius, moral, filosons, artistik, teknis atau
cinta kasih, merupakan bentuk dan karakter khas spesies manusia dan jiwa
rasionalnya yang dibentuk secara simultan dengan faktor-faktor kreasi. Karena
bergantung pada kemampuan personal manusia, masyarakat kalau tidak melayani dan
membantu mengembangkan manusia, maka masyarakat mendistorsinya. Pada mulanya
eksistensi jiwa rasional atau fakultas intelektual manusia hanya bersifat
potensial. Kemudian berangsur-angsur menjadi aktual. Dari sudut pandang
pemikirannya, kecenderungannya, kecondongan material-spiritualnya dan
sentimennya, manusia tak ubahnya seperti makhluk hidup lainnya. Pada mulanya
segenap fakultas manusia eksis secara potensial, kemudian setelah terjadi
perkembangan dasar tertentu berangsur-angsur berkembang. Berkat faktor-faktor
dari luar, manusia mengembangkan kepribadian alamiahnya dan menyempurnakannya,
atau terkadang mendistorsinya dan menjauhkannya dari arah yang normal. Inilah
prinsip yang dalam ilmu-ilmu Islam digambarkan sebagai prinsip fitrah dan
dianggap sebagai prinsip paling dasar.
Menurut prinsip ini,
psikologi manusia mendahului sosiologinya. Sesungguhnya sosiologi manusia
bergantung pada psikologinya. Menurut prinsip alam, ketika anak lahir,
sekalipun tidak memiliki persepsi, konsepsi, argumentasi dan bakat, manusia
datang ke dunia dengan membawa dimensi manusiawi dan dimensi hewani. Dimensi
inilah yang berangsur-angsur menjadi basis pemikiran manusia. Tanpa dimensi
ini, pemikiran logis tidak mungkin ada. Dimensi inilah yang mewujudkan
kecenderungan yang tinggi dan mulia. Dimensi inilah yang dipandang sebagai
basis sejati kepribadian manusia. Menurut teori sosiologi manusia mendahului
psikologi manusia, manusia hanyalah makhluk pe-nerima dan tidak otomatis ke
arah tertentu. Dia adalah bahan baku. Baginya, bentuk yang diterimanya, tak
jadi masalah. Dia bagaikan pita kosong. Tak jadi masalah suara apa yang direkam
dengan pita. Bahan baku ini tidak cenderung ke bentuk tertentu. Juga tak ada
bentuk yang bisa disebut bentuk khas pita. Pita ini tak hanya untuk merekam
suara tertentu. Juga tak dapat dikatakan bahwa kalau suara lain direkam dengan
pita ini maka suara tersebut tidak akan sesuai dengan realitas pita ini. Karena
bahan baku ini sama hubungannya dengan semua bentuk, maka pita ini juga sama
hubungannya dengan semua suara.
Namun menurut prinsip
fundamentalitas fitrah dan psikologi manusia mendahului sosiologi manusia,
sekalipun manusia pada awalnya tidak memiliki persepsi dan kecenderungan
aktual, namun dari dalam diri manusia sendiri manusia melakukan gerakan dinamis
menuju serangkaian penilaian primer yang dikenal sebagai prinsip primer atau
apriori, dan menuju serangkaian nilai yang lebih tinggi yang membentuk standar
kemanusiaannya. Menyusul masuknya sejumlah konsepsi primer ke dalam benak
manusia, dan konsepsi ini membentuk bahan dasar pemikirannya, prinsip ini
berkembang menjadi afirmasi teoretis atau praktis, dan kecenderungan yang
sebelumnya tidak kelihatan jadi kelihatan.
Dalam keadaan seperti
ini manusia, misal, menyatakan bahwa 2x2 = 4. Manusia mengira bahwa norma ini
mutlak dan benar kapan dan di mana pun. Menurut teori pertama, penilaiannya ini
merupakan produk dari kondisi khusus lingkungannya. Kondisi khusus ini
memberinya norma ini, dan penilaiannya merupakan reaksinya terhadap kondisi
lingkungan. Dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda, manusia mungkin
berpikiran lain. Misal, dia mungkin percaya bahwa 2 x 2 = 26.
Namun menurut teori
kedua, yang diterima manusia dari lingkungan hanyalah konsepsi 2, 4, 8,10 dan
seterusnya. Adapun penilaian bahwa 2x2 = 4 atau 5x5 = 25, itu tak dapat
dipisahkan dari struktur jiwa manusia, dan dalam keadaan apa pun tak mungkin
berbentuk lain. Begitu pula, hasrat manusia untuk mencapai kesempurnaan juga
merupakan bagian esensial dari jiwa manusia.
Segi Material Masyarakat Mendahului Segi Intelektualnya
Dalam masyarakat
terdapat banyak sektor dan organisasi: ekonomi, budaya, politik, administrasi,
agama, kehakiman dan sebagainya. Dari sudut pandang ini, masyarakat bagaikan
rumah yang sudah sempurna. Dalam rumah ini ada ruang tamunya, kamar tidurnya, dapurnya,
toiletnya dan sebagainya. Di antara berbagai organisasi sosial ada satu
organisasi yang menjadi fondasi sejati masyarakat, karena segenap struktur
masyarakat dibangun di atas fondasi tersebut. Seandainya fondasi tersebut
hancur, maka seluruh bangunannya otomatis hancur juga. Inilah struktur ekonomi
masyarakat. Atau dengan kata lain, semua yang berhubungan dengan produksi
material masyarakat, termasuk alat produksi, sumber daya ekonomi, hubungan
produksi dan lain-lain.
Alat produksi
merupakan bagian paling dasar dari struktur masyarakat Alat produksi
terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan. Dan dap tahap
perkembangannya menyebabkan terjadinya pertibahan hubungan produksi, sehingga
terjadi perbedaan dengan yang sebelumnya. Hubungan produksi antara lain adalah
norma dan regulasi berkaitan dengan hak mtlik dan hubungan kontraktual antara
manusia dan produk dalam masyarakat. Kalau hubungan ini mengalami perubahan,
otomatis semua prinsip hukum, intelektual, moral, agama, filsafat dan ilmu pengetahuan
manusia juga mengalami perubahan. Ringkas kata, dapat dikatakan, "Ekonomi
adalah fondasi masyarakat."
Dalam buku "Marx
and Marxism", Marx dikutip mengatakan dalam bukunya berjudul
"Critique of Political Economy": "Dalam produksi sosial
kehidupan manusia, manusia melakukan hubungan tertentu. Hubungan ini sangat
diperlukan dan lepas dari kehendaknya, hubungan produksi yang sesuai dengan
tahap perkembangan kekuatan produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan
produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat, fondasi sejatinya, dan di
atas fondasi ini berdiri bangunan hukum dan politik, dan bentuk-bentuk
kesadaran sosial sesuai dengan fondasi ini. Cara produksi kehidupan material
menentukan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual pada umumnya.
Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, namun justru
eksistensi sosialnya yang menentukan kesadarannya."
Mengutip surat Marx,
buku yang sama mengatakan: "Perkembangan fasilitas produktif manusia
menentukan bentuk perdagangan dan konsumsi. Perkembangan produksi, perdagangan
dan konsumsi menentukan bentuk tatanan keluarga atau kelas. Singkat kata,
menentukan bentuk masyarakat sipil."
Penjelasan Peter
mengenai pandangan Marx adalah, "Dengan cara ini Marx menyamakan
masyarakat dengan bangunan. Fondasi bangunan ini adalah lembaga ekonomi. Dan
bangunannya itu sendiri adalah norma, adat dan pola politik, agama dan hukum.
Kalau bangunan bergantung pada posisi fondasinya, maka bentuk ekonomi (hubungan
produksi) dan mode teknis juga bergantung pada dan berhubungan dengan cara
berpikir, sistem politik dan adat, dan semuanya ini bergantung pada kondisi
ekonomi."
Buku yang sama
mengutip dari buku Lenin Marxisme Marx-Engels seperti termaktub dalam
"Capital" jilid 3: "Mode produksi terejawantahkan dalam
aktivitas manusia dalam kaitannya dengan alam, dan setelah itu terejawantahkan
dalam kondisi sosial dan pola intelektual produk kondisi sosial tersebut."
Dalam Pengantar untuk "Contribution to the Critique of Political
Economy", Karl Marx mengatakan: "Hasil telaah formal saya menunjukkan
bahwa hubungan legal rnaupun bentuk negara dapat dimengerti bukan dari hubungan
maupun bentuk itu sendiri, juga bukan dari apa yang disebut perkembangan umum
pikiran manusia, namun karena berakar pada kondisi material kehidupan anatomi
masyarakat sipil dapat ditemukan dalam ekonomi politik."
Marx, dalam bukunya
berjudul "Poverty of Philosophy ", menulis: "Hubungan sosial
erat kaitannya dengan kekuatan produktif. Untuk mendapatkan kekuatan produktif
baru, manusia mengubah cara produksinya. Dalam mengubah cara produksinya, dalam
mengubah cara mencari nafkahnya, manusia mengubah semua hubungan sosialnya.
Penggilingan tangan melahirkan masyarakat dengan penguasa atau tuan feodal.
Penggilingan uap melahirkan masyarakat dengan kapitalis industrial."
Teori yang mengatakan
bahwa sistem material masyarakat mendahului semua sistem sosial lainnya,
selaras dengan teori yang mengatakan bahwa aksi mendahului pikiran.
Sesungguhnya teori yang pertama berlaku untuk tataran individu, sedangkan teori
kedua berlaku untuk tataran sosial. Kalau mengingat fakta bahwa para pendukung
teori ini juga beranggapan bahwa sosiologi manusia mendahului psikologinya,
maka dapat dikatakan bahwa aksi individu mendahului pikiran individu merupakan
manifestasi dan juga hasil dari sistem material mendahului semua sistem sosial
lainnya. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa psikologi manusia mendahului
sosiologinya, maka lebih dahulunya sistem material masyarakat merupakan hasil
dari aksi individu mendahului pikiran individu.
Sistem material
masyarakat yang digambarkan sebagai struktur ekonomi dan basis ekonomi juga,
terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa alat produksi yang merupakan
hasil dari kontak manusia dengan alam. Bagian kedua berupa hubungan ekonomi
anggota masyarakat di bidang distribusi kekayaan. Hubungan ini terkadang
digambarkan sebagai hubungan produktif juga. Alat produksi beserta hubungan
produksi pada umumnya digambarkan sebagai cara atau metode produksi. Dapat
dicatat bahwa istilah-istilah ini, seperti yang digunakan oleh tokoh-tokoh
materialisme sejarah, dapat ditafsirkan macam-macam, dan maknanya tidak jelas.
Ketika mereka mengatakan bahwa ekonomi adalah infrastrukturnya dan sistem
material masyarakat mendahului semua sistem lainnya, maka yang mereka maksud
dengan ekonomi adalah sistem produksi, yaitu alat produksi dan hubungan
produksi.
Di sini ada poin yang
juga perlu dicatat. Seperti terlihat jelas dari apa yang dikatakan oleh para
tokoh materialisme sejarah, infrastruktur masyarakat itu sendiri merupakan
struktur bertingkat dua. Fondasinya dibentuk oleh alat produksi yang
sesungguhnya melibatkan kerja. Berkat keterlibatan kerja maka tumbuh hubungan
ekonomi khusus untuk tujuan distribusi kekayaan. Hubungan ini mencerminkan
tingkat perkembangan alat produksi, dan pada mulanya bukan saja selaras dengan
alat produksi, namun juga mendorong penggunaan alat produksi dan menawarkan
cara terbaik untuk memanfaatkan alat produksi. Hubungan ini bagaikan pakaian
yang pas untuk tubuh alat produksi. Namun alat produksi masih terus berkembang,
dan dengan berkembangnya alat produksi, maka keselarasan antara dua bagian
mesin produksi itu jadi kacau. Hubungan produksi dan hubungan ekonomi, yaitu
hukum yang sebelumnya selaras dengan alat produksi, menjadi pakaian yang
terlalu sesak bagi tubuh alat produksi yang mengalami perkembangan dan
merintangi perkembangan alat produksi selanjutnya. Dengan demikian terjadi
kontradiksi antara dua bagian mesin produksi. Setidak-tidaknya hubungan produktif
baru, yang selaras dengan alat produksi baru, pun berkembang, sehingga
insfrastruktur mengalami perubahan total. Dengan berubahnya infrastruktur, maka
berubah pula suprastruktur legal, filosofis, moral dan religius.
Jika dipertimbangkan
sangat pentingnya keterlibatan kerja, yaitu alat produksi, dan diperhatikan
pula fakta bahwa Marx juga tergolong sosiolog yang berpendapat bahwa sosiologi
manusia mendahului psikologi manusia dan bahwa karena itu manusia adalah
makhluk sosial atau, dalam kata-kata Marx sendiri, makhluk "sui
generis," maka dapat diketahui peran filosofis kerja dari sudut pandang
Marxisme. Dapat disebutkan bahwa peran filosofis kerja merupakan poin utama
filsafat Marxis. Namun ini kurang men-dapat perhatian. Pemikiran Marx tentang
eksistensi manusia atau kerja dan eksistensi kerja manusia persis seperti
pemikiran Descartes, Bergson dan Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia
yang rasional, sinambung dan ofensif. Descartes mengatakan, "Aku berpikir,
karena itu aku ada." Bergson mengatakan, "Aku sinambung, karena itu
aku ada." Sartre mengatakan, "Aku ofensif, karena itu aku ada."
Dan Marx ingin mengatakan, "Aku kerja, karena itu aku ada."
Meski metode yang
digunakan beragam, namun di antara para filosof ini tidak ada yang bermaksud
membuktikan eksistensi ego manusia pada hal-hal lain selain berpikir, sinambung
dan ofensif. Sebagian dari mereka bahkan tidak percaya kalau eksistensi manusia
tidak ada kaitannya dengan hal-hal ini. Mereka hanya ingin mendefinisikan di
antaranya hakikat manusia dan realitas eksistensial manusia.
Descartes hendak
mengatakan, "Eksistensiku serupa dengan eksistensi pikiran. Kalau tidak
ada pikiran, maka aku tak ada." Bergson ingin mengatakan, "Eksistensi
manusia serupa dengan eksistensi kesinambungan dan waktu." Sartre
mengatakan, "Hakikat manusia dan eksistensi riil manusia terletak pada
semangat ofensifnya. Kalau semangat ini tak ada padanya, maka dia bukan lagi
manusia." Marx juga mau mengatakan, "Segenap eksistensi manusia
adalah kerjanya. Kerja adalah hakikat manusia. Aku ada karena aku kerja, bukan
dalam pengertian bahwa kerja merupakan bukti eksistensiku, namun dalam
pengertian bahwa kerja serupa dengan eksistensiku. Sesungguhnya kerja merupakan
eksistensiku."
Itulah yang ingin
ditunjukkan Marx ketika mengatakan, "Bagi seorang sosialis, segenap apa
yang disebut sejarah dunia tak lain adalah kreasi manusia melalui kerja
manusia." Atau ketika dia membedakan antara kesadaran manusia dan
eksistensi riilnya, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya.
Namun justru eksistensi sosialnya yang menentukan kesadarannya." Dia juga
mengatakan, "Bukan berdasarkan kehendak, orang membuat keputusan. Namun
dasarnya adalah individu serta kondisi material dan kondisi
eksistensialnya." Menjelaskan individu, dia selanjutnya mengatakan,
"Sesungguhnya individu bukanlah apa yang dapat dibayangkan. Individu
adalah bagaimana kreasinya. Dengan kata lain, individu adalah bagaimana dia
bertindak dalam kondisi material tertentu yang sama sekali lepas dari
kehendaknya. Engels mengatakan, "Ekonom mengatakan bahwa kerja adalah
pangkal kaya. Sesungguhnya bagi manusia, kerja lebih dari itu. Kerja adalah
kondisi fundamental eksistensi kehidupan manusia. Sekilas dapat dikatakan bahwa
kerjalah yang membentuk manusia itu sendiri."
Marx dan Engels
sesungguhnya mengambil alih teori peran kerja dalam eksistensi manusia ini dari
tulisan Hegel. Hegel inilah yang kali pertama mengatakan, "Mula-mula
eksistensi manusia adalah kerjanya."
Dari uraian di atas
jelaslah dua poin: pertama, dari sudut pandang Marxisme, eksistensi manusiawi
manusia adalah sosial, bukan individualistis; kedua, eksistensi manusia sosial
adalah kerja sosialnya, yaitu keterlibatan kerjanya, dan kerja individualnya
seperti perasaan individual dan setiap karya sosial lainnya semisal filsafat,
etika, seni, agama dan sebagainya hanyalah manifestasi dari eksistensinya,
bukan eksistensinya itu sendiri.
Karena itu evolusi
manusia adalah evolusi aksi sosialnya. Sejauh menyangkut evolusi intelektual,
sentimental dan emosionalnya atau evolusi sistem sosial, itu merupakan
manifestasi dari evolusi, bukan evolusi itu sendiri. Sesungguhnya evolusi
material masyarakat merupakan kriteria evolusi imaterialnya, seperti kerja
adalah kriteria pikiran. Betul atau tidak betulnya pikiran harus diukur dengan
standar kerja, bukan dengan standar intelektual atau standar logika. Kriteria
segala yang imaterial adalah evolusi segala yang material. Jika ditanyakan
mazhab filosofis, moral religius atau artistik mana yang lebih progresif, maka
standar intelektual atau standar logika tak dapat menjawab pertanyaan ini.
Kriteria satu-satunya untuk menilai progresif tidaknya mazhab adalah mengetahui
kondisi dan derajat kerja sosial, yaitu perkembangan alat produksi, yang
melahirkan mazhab itu.
Cara berpikir seperti
ini, menufut kami, tampak mengherankan, karena kami berpandangan bahwa
eksistensi manusia adalah egonya, ego merupakan substansi imaterial, dan bahwa
ego ini merupakan bagian dari gerakan hakiki alam, bukan produk masyarakat.
Namun orang seperti Marx yang berpikir secara material saja, dan yang tidak
mempercayai substansi imaterial, semestinya menafsirkan manusia dan realitasnya
dari sudut pandang biologi dan semestinya mengatakan bahwa hakikat manusia tak
lain adalah struktur fisisnya, seperti dikemukakan oleh kaum materialis abad
ke-18. Namun Marx menolak pandangan ini. Marx menyatakan bahwa dalam
masyarakatlah, bukan dalam alam, hakikat manusia menjadi kenyataan aktual. Yang
menjadi kenyataan aktual dalam alam adalah manusia potensial, bukan manusia
aktual. Selain itu, Marx semestinya menganggap pikiran sebagai hakikat manusia
dan memandang aksi sebagai manifestasinya, atau memandang aksi sebagai hakikat
manusia dan menganggap pikiran dan gagasan sebagai manifestasinya. Marx memilih
altematif kedua, karena Marx berpikir secara material saja. Marx bukan saja
mempercayai fundamentalitas materi dan menolak eksistensi substansi imaterial
pada individu, namun mempercayai materialitas sejarah.
Sesungguhnya Marx
begitu asyik dengan filsafat kerja. Pandangannya mengenai kerja sosial adalah
sedemikian sehingga dapat dikatakan bahwa, menurut jalan pikirannya, manusia
bukanlah manusia yang ada di jalanan, yang berpikir dan yang memilih, namun
sesungguhnya manusia adalah alat dan mesin yang, misalnya, menjalankan pabrik.
Manusia yang bicara, berjalan dan berpikir hanyalah imaji dari manusia yang
sesungguhnya, bukan manusia itu sendiri. Menurut pandangan Marx tentang kerja
sosial dan alat produksi, hal-hal ini dapat digambarkan sebagai makhluk hidup
yang secara otomatis, membuta dan tak dipengaruhi oleh kehendak "imaji
manusia" (bukan manusia itu sendiri), tumbuh, berkembang, dan
mengendalikan "manusia pertunjukan'' sekalipun berkehendak dan berpikir.
Dengan mudah dapat
dikatakan bahwa pernyataan Marx tentang supremasi dan dominasi kerja sosial
atas kesadaran dan kehendak manusia adalah seperti pernyataan para filosof
tentang aktivitas fisis tak sadar manusia, seperti aktivitas sistem pencemaan,
jantung, hati dan sebagainya, yang dipengaruhi oleh kehendak gaib. Menurut para
filosof ini, semua hasrat, kecenderungan dan semua fungsi sistem tubuh yang
terlihat pada tataran pikiran sadar sesungguhnya merupakan sebuah jaringan
kebutuhan alamiah. Semuanya diatur oleh sebuah kekuatan psikis gaib, dan
pikiran sadar tak tahu di mana dan bagaimana kejadiannya. Kekuatan psikis ini
terlihat sama dengan apa yang oleh Freud disebut pikiran tak sadar. Menurut
Freud, pikiran tak sadar ini mendominasi pikiran sadar.
Namun sesungguhnya
pernyataan Marx beda dengan pandangan Freud atau para filosof masa lalu. Apa
yang mereka katakan berkaitan dengan bagian dari pikiran sadar dan dominasi
pikiran gaib atas pikiran sadar. Selanjutnya, apa yang mereka bicarakan
bukanlah sesuatu di luar eksistensi manusia, namun apa yang dibicarakan Marx
merupakan sesuatu di luar eksistensi manusia. Kalau teori Marx dinilai dengan
benar, ternyata dari sudut pandang filsafat, teori tersebut sangat
mengherankan. Marx menyebut teorinya sebagai temuan, dan menyamakannya dengan
teori biologis Darwin yang terkenal. Darwin membuktikan bahwa perkembangan yang
terjadi di luar kehendak dan kesadaran binatang berangsur-angsur dan tanpa
disengaja menimbulkan perubahan pada tubuh binatang. Marx juga mengklaim bahwa
blind event (eksistensi sejati manusia itu sendiri adalah blind event) berangsur-angsur
dan tanpa disengaja membawa perubahan pada struktur sosial manusia, yaitu pada
semua yang oleh Marx disebut suprastruktur dan pada banyak di antara semua yang
disebut Marx infrastruktur, yaitu hubungan sosio-ekonomi. Marx mengatakan: "Darwin
telah membuat ilmuwan memperhatikan sejarah seleksi alamiah, formasi organ
tumbuhan dan binatang yang sesuai dengan sarana produksi yang diperlukan untuk
kelangsungan hidupnya. Bukankah sejarah generasi dan formasi organ yang
melahirkan manusia sosial, yaitu basis material bagi semua jenis organisasi
sosial, layak diperlakukan seperti itu? Seleksi alamiah mengungkapkan cara
manusia bertindak terhadap alam. Cara produksi mengungkapkan eksistensi
material manusia dan, akibatnya, sumber hubungan sosial, pikiran, dan produk
intelektual yang berasal dari eksistensi material manusia.''
Karena itu, dari apa
yang diuraikan jelaslah bahwa teori materialisme sejarah didasarkan pada
beberapa teori lain, sebagian teori psikologis, sebagain teori sosiologis, dan
sebagian lagi teori filosofis dan antropologis.
Kesimpulan
Dari teori
materialisme sejarah dapat ditarik sejumlah kesimpulan yang praktis
mempengaruhi strategi dan bentuk tujuan sosial. Teori materialisme sejarah
bukanlah teori hipotetis atau spekulatif yang tak ada pengaruhnya pada perilaku
sosial. Berikut ini kesimpulannya:
1. Kesimpulan pertama
berkaitan dengan pemastian identitas masyarakat dan sejarah. Berdasarkan
materialitas sejarah, cara terbaik dan yang paling memuaskan untuk menganalisis
dan memahami kejadian sejarah dan sosial adalah mengkaji basis ekonominya.
Tanpa mengetahui basis ekonomi ini, maka mustahil memahami fenomena sejarah
dengan benar, karena sudah ada anggapan bahwa tabiat semua perubahan sosial
adalah ekonomi, sekalipun perubahan itu mungkin kelihatannya perubahan kultural
religius atau moral. Dengan kata lain, semua perkembangan budaya, agama dan
moral merupakan refleksi posisi ekonomi masyarakat dan terjadi karena posisi
ini. Para filosof dahulu juga berpandangan bahwa cara terbaik dan paling
sempurna untuk mengetahui identitas sesuatu adalah mengetahui sebab adanya
sesuatu itu. Karena itu kalau struktur ekonomi masyarakat diakui sebagai sebab
utama terjadinya semua perkembangan sosial, maka analisis sosio-ekonominya
merupakan cara terbaik untuk memahami sejarah. Karena pada tahap kejadiannya
sebab mendahului akibat, maka pada tahap mengetahui dan membuktikan, sebab juga
mendahului akibat. Karena itu situasi ekonomi bukan saja penyebab perkembangan
lain, namun mengetahui sebab dapat membantu memahami perkembangan lain tersebut
dan membuktikan eksistensinya.
Membahas poin ini,
buku "Revisionism from Marx to Mao" mengatakan sebagai berikut: "Untuk
menganalisis revolusi sosial, tidak boleh menilai konflik sosial dari sudut
pandang politis, legal atau ideologis. Sebaliknya harus ditafsirkan dari sudut
pandang kontradiksi antara kekuatan produksi dan hubungan produksi. Marx
memperingatkan bahwa penilaian seperti itu berbahaya. Pertama, penilaian
seperti itu tidak realistis, karena menggantikan sebab, yang merupakan
kontradiksi dan perubahan ekonomi, dengan akibat, yang merupakan bentuk
politik, hukum dan ideologi. Kedua, penafsiran seperti itu dangkal. Tidak
menelaah sebab sebenarnya. Yang dikaji hanya permukaan. Dan realitas yang
terlihat dipandang cukup untuk dijelaskan. Ketiga, menyesatkan. Karena
suprastruktur, yang umumnya bersifat ideologis, tak lain hanyalah gambaran yang
tidak akurat mengenai realitas. Bersandar pada gambaran yang tidak akurat,
bukannya bersandar pada analisis yang realistis mengenai problemnya, tak syak
lagi membuat kita jadi kacau dan salah."
Buku yang sama
mengutip dari buku lain yang berisi tulisan penting Marx dan Engels sebagai
berikut, "Untuk individu, instropeksi diri saja tidak membantu kita
membuat penilaian. Begitu pula, selama periode kekacauan, pikiran-pikiran pada
periode itu tidak dapat dianggap bermanfaat untuk menilai karakternya."
Marx mencoba
menafikan peran pengetahuan, pikiran dan kecenderungan inovasi yang lazimnya
dianggap sebagai faktor dasar bagi perkembangan. Misal, Saint Simon—yang banyak
pikirannya telah diadopsi oleh Marx—mengenai peran kecenderungan inovasi dalam
perkembangan, mengatakan: "Masyarakat diatur oleh dua kekuatan moral.
Kedua kekuatan ini sama kuatnya, dan kerjanya secara bergiliran. Yang satu
adalah kekuatan kebiasaan atau adat, dan yang satu lagi adalah kecenderungan
berinovasi dan berkreativitas. Setelah beberapa lama adat jadi buruk. Pada masa
seperti itu kebutuhan akan sesuatu yang baru mulai terasa. Kebutuhan inilah
yang sesungguhnya membentuk situasi revolusioner."
Mengenai peran
kepercayaan dan gagasan dalam perkembangan masyarakat, Proudhon, yang juga guru
Marx, mengatakan: "Bentuk politik suatu bangsa merupakan manifestasi
kepercayaan bangsa itu. Gerakan bentuk itu, transformasi dan kehancuran bentuk
itu merupakan ujian, dan dari ujian ini kelihatan nilai gagasan pokoknya,
sehingga dengan demikian berangsur-angsur kita jadi tahu realitas yang absolut
dan final. Namun kita tahu bahwa semua lembaga politik mau tak mau harus berupaya
menyesuaikan diri dengan kondisi sosial yang ada kalau mau selamat dari
kematian yang tak terelakkan."
Meskipun demikian,
guru-guru Marx mengatakan bahwa Marx menegaskan bahwa setiap perubahan sosial
pada pokoknya merupakan suatu prasyarat sosio-ekonomi yang terjadi akibat
polarisasi natur dan bentuk masyarakat sipil, kekuatan produktif dan hubungan
sosial. Marx ingin mengatakan bahwa naluri untuk berinovasi dan berkeyakinan
belum cukup untuk mendorong terjadinya perubahan sosial. Justru prasyarat sosio-ekonomilah
yang melahirkan kecenderungan untuk berinovasi atau kecenderungan untuk
berkeyakinan.
Kalau berdasarkan
pandangannya tentang materialitas sejarah kita menganalisis, misalnya, perang
Iran-Yunani, Perang Salib, penaklukan oleh Islam, Renaisans Karat atau Revolusi
konstitusional Iran, maka akan keliru kalau yang kita telaah hanya kulit luar
dari peristiwa-peristiwa ini, yang mungkin bersifat politik, agama atau budaya,
lalu kita menilai peristiwa-peristiwa ini berdasarkan kulit luar ini. Juga akan
salah kalau menilai peristiwa-peristiwa ini dengan perasaan kaum revolusioner
yang mungkin memandang gerakan mereka sebagai gerakan politis, keagamaan atau
moral. Agar kesimpulannya benar, maka harus diperhatikan karakter sejati
gerakan-gerakan ini yang sifatnya ekonomi dan material.
Bahkan dewasa ini
kaum muda Marxis mencoba menafsirkan setiap gerakan sejarah dengan cuma
beberapa kalimat tentang situasi ekonomi periode bersangkutan, kendatipun
mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya.
Hukum yang mengatur
sejarah tak dapat ditawar-tawar dan di luar kehendak manusia. Pada bab-bab
terdahulu sudah dibahas apakah sejarah diatur oleh beberapa hukum kausatif yang
menunjukkan keharusan kausatif. Di sana dijelaskan bahwa sebagian filosof yang
berargumen kebetulan dan sebagian yang berargumen pilihan bebas manusia,
menafikan supremasi hukum kausatif dan konsekuensinya eksistensi keharusan
kausatif dan norma-norma masyarakat dan sejarah yang tak dapat ditawar-tawar.
Namun kami membuktikan bahwa teori para filosof ini tak berdasar, dan bahwa
hukum sebab-akibat dan keharusan kausatif mengatur masyarakat dan sejarah
sebagaimana juga mengatur lainnya. Pada saat yang sama kami juga membuktikan
bahwa sejarah, yang merupakan satu unit yang eksistensinya nyata dan memiliki
karakter khusus, diatur oleh sejumlah hukum yang esensial dan universal. Kami
menyebut esensialitas (tidak boleh tidak) seperti ini sebagai keharusan
filosofis. Teori keharusan sejarah ini merupakan perpaduan dua teori yang
berbeda. Yang pertama adalah teori keharusan filosofis.
Menurut teori ini,
fenomena baru terjadi kalau fenomena tersebut tak boleh tidak harus terjadi,
dan kalau sebab-sebabnya muncul maka setiap fenomena tak terelakkan harus
terjadi. Sebaliknya, suatu fenomena mustahil terjadi kalau tak ada sebabnya.
Yang kedua adalah teori basis material masyarakat mendahului semua faktor
penentu lainnya. Teori ini sudah dijelaskan. Hasil penting dari teori-teori ini
adalah teori keharusan material sejarah, yang artinya adalah bahwa
suprastruktur masyarakat terikat untuk mengikuti fondasinya, kalau fondasinya
mengalami perubahan maka suprastrukturnya mengalami perubahan juga, dan kalau
fondasinya tak mengalami perubahan, maka mustahil suprastrukturnya berubah.
Kaum Marxis mengklaim
bahwa prinsip inilah yang membuat ilmiah sosialisme Marxis dan membentuknya
menjadi hukum alam, karena menurut prinsip ini alat produksi, yang merupakan
bagian paling pokok dari struktur ekonomi masyarakat, masih terus berkembang
sesuai hukum alam tertentu, seperti halnya beragam spesies tumbuhan dan hewan
secara gradual selama jutaan tahun masih terus berkembang dan pada tahap atau
momen tertentu mengalami transformasi menjadi spesies baru. Karena perkembangan
dan evolusi tumbuhan dan hewan bukan hasil kehendak siapa pun, maka begitu pula
dengan perkembangan dan evolusi alat produksi.
Dalam perkembangan
gradualnya, alat produksi melewati beberapa tahap. Pada setiap tahap alat
produksi membawa perubahan yang tak terelakkan pada semua urusan masyarakat.
Tak mungkin suprastruktur sosial mengalami perubahan kalau alat produksi belum
mencapai tahap tertentu perkembangannya. Upaya para sosialis dan penganjur
tatanan adil itu, yang karena keinginan emosionalisme untuk mensosialiskan
masyarakat dan menegakkan tatanan yang adil tanpa mempertimbangkan apakah
perkembangan alat produksi menjamin perubahan semacam itu, hanyalah upaya yang
sia-sia. Dalam pengantar "Capital", Karl Marx mengatakan:
"Negara yang
lebih maju industrinya hanya memperlihatkan kepada negara yang kurang maju
industrinya gambaran masa depannya sendiri. Sekalipun suatu masyarakat sudah
berada di jalan yang benar untuk menemukan hukum alam gerakannya. Namun
masyarakat tersebut, meski dengan langkah yang berani dan dengan pengundangan
undang-undang, tidak dapat menyingkirkan rintangan yang diakibatkan oleh fase
demi fase perkembangan normalnya. Namun masyarakat tersebut dapat mengurangi
kesulitan-kesulitan pada permulaan sesuatu."
Pada bagian terakhir
dari pernyataannya Marx menyebutkan satu poin. Poin ini tidak mendapat perhatian,
atau kalau pun mendapat perhatian, sangat sedikit. Sesungguhnya Marx ingin
menjawab masalah. Seseorang mungkin mengatakan:
"Perkembangan
bertahap masyarakat, mengikuti perkembangan konstan dan bertahap alam, sifatnya
tak terelakkan, itu kalau manusia belum mengetahui hukum alam. Kalau manusia
sudah memahami hukum alam, maka alam dapat dikendalikannya, dan manusia pun
dapat menguasai alam. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kalau alam belum
dipahami, maka alam menguasai manusia, namun kalau manusia sudah memahami alam,
maka alam menjadi abdi manusia. Ambil contoh penyakit. Kalau belum diketahui
penyebabnya dan cara membasminya, penyakit tersebut tak dapat dikendalikan.
Namun begitu penyebab dan cara membasminya sudah diketahui seperti sekarang
ini, maka penyakit tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak lagi ada
kasus-kasus yang fatal. Begitu pula dengan badai, banjir dan sebagainya."
Dalam pernyataannya
Marx ingin mengemukakan bahwa gerakan konstan dan bertahap masyarakat bersifat
dinamis. Dengan kata lain, gerakan tersebut sifatnya otomatis, dan dari dalam
seperti gerakan konstan pertumbuhan tanaman dan hewan, bukan perubahan mekanis
yang ditimbulkan oleh faktor-faktor dari luar, seperti perubahan teknis dan
industrial. Pembasmian hama dengan menggunakan pestisida dan pembasmian kuman
penyakit dengan menggunakan obat juga termasuk dalam kategori ini. Dalam semua
kasus itu di mana mengetahui hukum alam membuat alam dapat dikendalikan oleh
manusia, maka hubungan hukumnya bersifat mekanis. Namun dalam kasus perubahan
dinamis dari dalam, peran pengetahuan manusia tak lebih daripada manusia
membiasakan diri dengan hukum bersangkutan dan memanfaatkannya. Dengan
diketahuinya hukum yang mengatur tumbuh dan berkembangnya tumbuhan dan hewan,
termasuk pertumbuhan janin dalam rahim, manusia akhirnya mengetahui sejumlah
hukum yang tak terelakkan, dan manusia tak bisa berbuat apa-apa selain tunduk
kepada hukum ini.
Marx ingin mengatakan
bahwa perkembangan sosial manusia, menyusul perkembangan dan evolusi alat
produksi, sifatnya dinamis dan otomatis. Pengetahuan dan kesadaran tak mungkin
mengubahnya, juga tak mungkin membentuknya sekehendaknya. Manusia mau tak mau
hams menerima arah perkembangan sosial dan harus melalui tahapan-tahapannya,
seperti halnya manusia mau tak mau harus menerima arah perkembangan janin.
Manusia tidak boleh berangan-angan mau mengubah arah perkembangan itu.
Masyarakat tak mungkin sampai pada tahap final perkembangannya, kecuali setelah
melewati tahap-tahap pertengahannya. Masyarakat juga tak mungkin sampai pada
tahap finalnya, kecuali melalui jalannya.
Pandangan kaum Marxis
bahwa gerakan perkembangan sosial bersifat otomatis, alamiah dan tak
terelakkan, menyerupai pandangan Socrates tentang benak manusia dan kemampuan
kreatif alamiahnya. Dalam ajarannya Socrates menggunakan metode pertanyaan
objektif. Dia percaya jika secara bertahap pertanyaan diajukan secara konstan
dan disertai pengetahuan yang benar tentang kerja benak manusia, maka benak
manusia secara otomatis akan menjawab pertanyaan itu. Benak manusia tidak
membutuhkan instruksi dari luar. Ibu Socrates adalah seorang bidan. Socrates
suka berkata bahwa apa yang dilakukannya dengan pikiran adalah persis apa yang
dilakukan ibunya dengan wanita yang sedang dalam proses melahirkan. Bukan bidan
yang me-nyebabkan kelahiran bayi, namun kelahiran terjadi karena natur ibu pada
momen yang tepat. Namun demikian, jasa bidan tetap dibutuhkan agar tak terjadi
hal yang abnormal, agar ibu dan bayi tidak mendapat bahaya.
Meskipun dari sudut
pandang Marxisme, pengetahuan tentang hukum sosiologi dan sejarah filsafat
tidak bisa mengubah masyarakat, namun kedua ilmu pengetahuan ini harus
dipandang penting. Sosialisme ilmiah tak lain adalah pengetahuan tentang hukum
sosiologi dan sejarah filsafat. Setidak-tidaknya keduanya membantu menghapus
sosialisme yang aneh dan angan-angan untuk menegakkan tatanan yang adil.
Sekalipun hukum dinamis tak dapat mengubah apa-apa, namun ada satu poin yang
baik tentang hukum tersebut, yaitu pengaruh hukum tersebut dapat diperkirakan.
Dengan sosiologi ilmiah dan sosialisme ilmiah tahap perkembangan masyarakat
dapat dikaji, dan masa depannya dapat diramalkan. Dapat dipastikan pada tahap
apa bayi sosialisme ada dalam rahim masyarakat dan apa persisnya yang dapat
diharapkan dari bayi itu pada dap tahap selanjutnya. Dengan demikian dapat
dihindarkan harapan yang tidak pada tempatnya. Karena tidak mungkin berharap
lahir bayi, padahal janin baru berusia empat bulan, maka begitu pula mustahil
kalau masyarakat yang masih berada pada tahap feodal tiba-tiba beralih ke
sosialisme.
Marxisme mencoba
menemukan dan menguraikan tahap-tahap natural dan dinamis masyarakat dan
hukum-hukum yang tak terelakkan yang mengatur perkembangannya dari satu periode
ke periode lainnya. Dari sudut pandang Marxisme, pada umumnya untuk ke
sosialisme masyarakat harus melewati empat tahap. Keempat tahap ini adalah
periode sosialisme primitif, periode perbudakan, periode kapitalisme dan
periode sosialisme ilmiah. Terkadang bukan empat periode saja yang disebutkan,
malah lima, enam atau tujuh periode, karena periode perbudakan, periode
kapitalisme dan periode sosialisme masing-masing dapat dibagi menjadi dua
periode.
2. Tiap-tiap periode
historis memiliki ciri khasnya sendiri, dan beda karakternya dengan periode
lain. Dari sudut pandang biologi, bila binatang mengalami transformasi dari
satu spesies ke spesies lain, maka karakternya pun berubah. Begitu pula dengan
periode historis. Setiap zaman memiliki hukum khasnya sendiri Hukum zaman yang
satu tidak dapat diterapkan pada zaman yang lain.
Ambil contoh air.
Sepanjang masih air, hukum yang berlaku untuk zat cair berlaku untuk air. Namun
begitu air berubah menjadi uap, maka tak lagi tunduk kepada hukum itu. Lantas
tunduknya kepada hukum gas. Begitu pula, selama masyarakat berada pada tahap
feodalisme, maka yang mengaturnya adalah seperangkat hukum. Namun begitu tahap
itu dilaluinya dan sampai pada tahap kapitalisme, maka mustahil mencoba
mempertahankan hukum periode feodalisme. Karena itu masyarakat tak mungkin
abadi hukumnya. Menurut materialisme sejarah, yang percaya bahwa ekonomi adalah
infrastruktur masyarakat, klaim bahwa hukum itu abadi sama sekali tidak dapat
diterima. Inilah salah satu poin materialisme sejarah yang bertentangan dengan
agama, khususnya Islam, karena Islam mempercayai keabadian hukum.
Dalam buku
"Revisionism from Marx to Mao", mengutip dari lampiran untuk edisi
kedua "Capital", penulis mengatakan: "Setiap periode sejarah ada
hukumnya sendiri, karena itu ketika kehidupan berjalan dari satu tahap ke tahap
lain, kehidupan tersebut berkembang dan diatur oleh seperangkat hukum baru.
Kehidupan ekonomi, dalam perkembangan sejarahnya, memunculkan fenomena yang
kita jumpai dalam berbagai cabang biologi... organisme sosial berbeda antara
yang satu dan yang lainnya, seperti berbedanya organisme hewan dan
tumbuhan."
3. Akibat
perkembangan alat produksi, maka lahir hak pribadi, dan masyarakat pun terbagi
ke dalam kelas-kelas: pengeksploitasi dan tereksploitasi. Sejak fajar sejarah
hingga kini, dua kelas ini selalu menjadi kelas utama dalam masyarakat. Selalu
saja terjadi konflik antarkelas itu. Namun adanya kelas ini tidak berarti bahwa
semua kelompok dalam masyarakat kalau tidak pengeksploitasi, tentu
tereksploitasi. Ada juga kelompok yang tidak termasuk dalam kelas-kelas ini.
Maksud kami adalah bahwa dua kelas ini merupakan kategori yang efektif pada
nasib masyarakat dan membentuk kelas-kelas utamanya. Semua kelompok lain dalam
masyarakat mengikuti satu di antara dua kelompok utama ini.
Penulis
"Revisionism from Marx to Mao"menulis: "Berdasarkan kelas dan
konfliknya, dalam masyarakat terdapat dua pola kelas yang berbeda. Menurut Marx
dan Engels, yang satu dua kutub, dan yang satunya lagi banyak kutub. Dalam dua
pola itu, definisi kelas juga berbeda. Pada pola pertama, itu adalah kelas
imajiner, sementara pada pola lain, itu adalah kelas yang nyata. Aturan untuk
kelas-kelas juga berbeda. Engels, dalam pengantarnya untuk "The Peasant's
War in Germany", berupaya merujukkan dua pola ini dengan merumuskan
standar yang sama untuk kelas-kelas. Dia membedakan berbagai kelas dalam
masyarakat. Dan di dalam setiap kelas, dia membedakan berbagai sub-kelompok.
Namun menurut kepercayaannya, hanya ada dua kelas yang misi historisnya jelas:
kelas borjuis dan kelas proletar. Keduanya ini merupakan dua kutub masyarakat,
dan dua kutub ini saling bertentangan."
Menurut filsafat
Mantis, karena mustahil suprastruktur masyarakat mendahului infrastrukturnya,
maka mustahil pula suprastruktur masyarakat tetap utuh kalau masyarakat, dari sudut
pandang infrastrukturnya, yaitu hubungan sosial dan ekonominya, terbagi menjadi
dua kelas yang saling bertentangan: pengeksploitasi dan tereksploitasi. Dalam
keadaan seperti ini had nurani sosial juga terbagi menjadi had nurani si
tereksploitasi dan hati nurani si pengeksploitasi, dan konsekuensinya ada dua
konsepsi dunia, dua ideologi, dua sistem moral dan dua macam filsafat. Posisi
sosial dan ekonomi masing-masing kelas melahirkan cara berpikir yang berlainan,
cita rasa berlainan dan masing-masing kelas mengikuti gagasan berlainan. Dua
kelas ini tak mungkin hati nuraninya, cita rasanya atau cara berpikirnya
bertentangan dengan posisi ekonominya. Agama dan pemerintah dikendalikan oleh
kelas pengeksploitasi saja. Agama dan pemerintah merupakan dua institusi yang
diciptakan oleh kelas pengeksploitasi dengan tujuan untuk melanggengkan
kontrolnya atas kelas tereksploitasi. Karena kelas pengeksploitasi menguasai
semua sumber daya material masyarakat, maka budaya kelas ini, termasuk
agamanya, berpengaruh pada kelas tereksploitasi. Dengan demikian budaya
penguasa, termasuk konsepsi dunianya, ideologinya, moralitasnya, cita rasanya
dan perasaannya, dan terutama agamanya, merupakan budaya kelas pengeksploitasi.
Adapun budaya kelas terskploitasi, selalu tidak dibiarkan tumbuh berkembang dan
maju.
Dalam "German
Ideology", Marx mengatakan: "Pada setiap masa pandangan yang berkuasa
adalah pandangan kelas penguasa. Kelas penguasa merupakan kekuatan material
yang berkuasa dalam masyarakat dan sekaligus merupakan kekuatan intelektual
yang berkuasa dalam masyarakat. Kelas yang menguasai sarana produksi material.
Pikiran yang berkuasa tak lebih daripada ekspresi ideal hubungan material yang
dominan, hubungan material yang dominan yang dipahami sebagai gagasan, karena
itu ungkapan ideal hubungan yang membuat satu kelas menjadi kelas penguasa,
karena itu pikiran dominasinya. Individu-individu yang membentuk kelas penguasa
di antaranya memiliki kesadaran, dan karena itu mereka berpikir. Karena mereka
berkuasa sebagai sebuah kelas dan menentukan ruang lingkup sebuah masa
historis, maka jelas mereka melakukan ini dalam seluruh bidangnya. Karena itu
di antaranya mereka juga berkuasa sebagai pemikir, sebagai produsen gagasan,
dan mengatur produksi serta distribusi gagasan dan pikiran pada masa mereka.
Dengan demikian gagasan dan pikiran mereka selalu menentukan."
Karena itu kelas
berkuasa dan pengeksploitasi bersifat reaksioner, konservatif dan konvensional.
Selalu memandang ke masa lalu. Budayanya, budaya yang berkuasa dan berpengaruh
pada rakyat, juga reaksioner, konvensional dan memandang ke masa lalu. Adapun
kelas tereksploitasi, sifatnya revolusioner, menentang kepercayaan dan lembaga
yang ada, berpandangan ke depan dan progresif. Budaya kelas ini juga
revolusioner dan nonkonvensional. Prasyarat untuk revolusioner adalah
dieksploitasi. Dengan kata lain, hanya kelas tereksploitasi sajalah yang mampu
mewujudkan revolusi.
Setelah mengutip
kalimat di atas dari pengantar "The War of German Peasants", penulis
"Revisionism from Marx to Moo"mengatakan: "Setahun setelah
terbitnya pengantar ini (pengantar The Peasants' War in Germany) Kongres
Sosialis Jerman menulis dalam Program Gothanya bahwa semua kelas membentuk fron
reaksioner menentang kelas pekerja. Marx mengkritik keras pernyataan ini. Namun
kalau mau logis, semestinya mengakui fakta bahwa para sosialis yang menyedihkan
ini tak mungkin dapat menemukan perbedaan antara pola dua kutub dan pola banyak
kutub Marx setelah apa yang ditulis Marx dalam "Manifesto". Dalam
"Manifesto of the Communist Parly", Marx mengemukakan konflik kelas
pada masa-masa itu sebagai perang antara kaum proletar dan kaum borjuis. Marx
menulis, 'Di antara semua kelas yang berhadap-hadapan dengan kaum borjuis
dewasa ini, hanya kaum proletar sajalah kelas yang revolusioner.'"
Marx mengatakan bahwa
hanya kelas proletar sajalah yang memenuhi semua syarat dan memiliki
karakteristik yang diperlukan untuk revolusioner. Syarat-syarat ini adalah:
Pertama, dieksploitasi oleh kaum produsen; kedua, tidak memiliki kekayaan (kaum
petani juga memiliki dua karakteristik ini); ketiga, terorganisasi, karenanya
diperlukan konsentrasi di satu tempat. (Karakteristik ini berlaku untuk kaum
pekerja industri saja yang bekerja di satu pabrik dan sebagainya. Karakteristik
ini tak ada pada kaum petani yang selalu terserak di berbagai sektor tanah).
Mengenai
karakteristik kedua, Marx mengatakan, "Pekerja leluasa, dalam dua
pengertian. Dia leluasa menjual tenaganya dan dia tidak terikat pada
kekayaan." Mengenai karakteristik kedua Marx mengatakan dalam
"Manifesto'-nya: "Tumbuhnya industri bukan saja meningkatkan jumlah
kaum proletar, namun juga mengkonsentrasikan mereka dalam massa yang sangat
besar. Kekuatan kaum proletar bertambah, dan mereka pun jadi sadar akan
kekuatan mereka."
Prinsip tersebut di
atas dapat disebut prinsip kesesuaian basis ideologis dengan basis sosial.
Menurut prinsip ini, setiap kelas hanya melahirkan pikiran, prinsip moral,
filsafat, seni, puisi dan sastra yang sesuai dengan cara hidupnya, cara mencari
nafkahnya dan kepentingannya. Prinsip ini juga dapat disebut prinsip kesesuaian
dorongan untuk berpikir dengan arah pikiran. Setiap pikiran dan doktrin dan
setiap sistem moral atau religius yang ada dalam sebuah kelas, selalu diarahkan
untuk keuntungan kelas itu. Sistem intelektual kelas tertentu tidak untuk
kepentingan kelas lain atau tidak untuk kemanfaatan umat manusia pada umumnya.
Mustahil kalau ada gagasan atau sistem yang bebas kecenderungan atau
favoritisme kelas. Pikiran atau gagasan baru bisa manusiawi dan tak berwarna
kelas kalau sudah tak ada kelas lagi berkat perkembangan alat produksi. Hanya
peniadaan kontradiksi basis kelas sajalah yang dapat berakibat peniadaan
kontradiksi basis ideologis, dan hanya peniadaan kontradiksi kampanye atau
dorongan intelektual sajalah yang dapat meniadakan kontradiksi orientasi
intelektual.
Dalam beberapa karya
sebelumnya yang ditulis ketika muda (Contribution to the Critique of Hegel's
Philosophy of Right) Marx menunjukkan lebih pentingnya aspek politis kelas
(penguasa dan rakyat) ketimbang aspek ekonomi kelas (pengeksploitasi dan
tereksploitasi). Dia mengatakan bahwa tujuan perjuangan kelas adalah untuk
tidak lagi diperbudak. Dia berpendapat bahwa dalam perjuangan ini ada dua
tahap. Tahap pertama bersifat parsial dan politis, sedangkan tahap kedua
bersifat universal dan manusiawi. Marx mengatakan bahwa revolusi proletar, yang
merupakan tahap terakhir revolusi perbudakan sejarah, merupakan revolusi yang
fundamental, dalam pengertian bahwa revolusi tersebut untuk emansipasi total
manusia dan untuk penghapusan total sistem penguasa-rakyat dalam segala
bentuknya. Menjelaskan mana mungkin sebuah kelas dalam orientasi sosialnya
berpikir tentang sesuatu yang jauh di luar posisi kelasnya dan mana mungkin
tujuan kelas tersebut universal dan liberal dan juga sesuai dengan prinsip
materialisme sejarah, Marx mengatakan, "Karena perbudakan kelas ini
fundamental, maka revolusi juga fundamental. Adalah ketidak-adilan itu sendiri
yang diterima oleh kelas ini. Itulah sebabnya kelas ini mengupayakan keadilan
itu sendiri dan berupaya keras memerdekakan umat manusia."
Ini merupakan
pemyataan puitis, bukan pernyataan ilmiah. Apa maksud perkataan
"ketidakadilan itu sendiri yang diterima"? Apakah kelas
pengeksploitasi berbuat tidak adil demi ketidakadilan dan bukan demi
mengeksploitasi dan memperoleh keuntungan, sehingga kelas proletar mengupayakan
keadilan itu sendiri? Selanjutnya, bertentangan dengan konsepsi materialisme
sejarah dan cukup idealistis kalau beranggapan bahwa sikap kelas pengeksploitasi
ini hanya terjadi di masa kapitalistis saja.
Karena prinsip
kesesuaian basis ideologis dengan basis kelas mengharuskan adanya kesesuaian
antara ideologi dan orientasinya, maka harus ada kesesuaian antara
kecenderungan individu dan filosofi kelasnya. Dengan kata lain, setiap individu
tentu cenderung kepada filosofi kelasnya sendiri, filosofi yang orientasinya
adalah untuk keuntungan kelasnya. Namun, menurut logika Mantis, prinsip ini
sangat bermanfaat untuk memahami karakter ideologi dan kecenderungan kelas sosial.
4. Kesimpulan kelima
adalah bahwa masalah suprastruktur seperti ideologi, petunjuk, nasihat,
peringatan dan sebagainya, terbatas perannya dalam mengarahkan masyarakat atau
kelas sosial. Yang biasa dipahami adalah bahwa ideologi, khutbah, argumen,
ajaran, pendidikan, dakwah dan nasihat dapat mengubah had nurani manusia dan
membentuknya. Kalau had nurani merupakan cermin spontan dari posisi kelas, maka
had nurani setiap individu, setiap kelompok dan setiap kelas selalu cuma
dibentuk oleh posisi sosial dan kelas individu itu, kelompok itu dan kelas itu,
dan cuma suatu konsepsi idealistis tentang masyarakat kalau berpikiran bahwa
masalah suprastruktur seperti tersebut di atas bisa menjadi sumber perubahan
sosial. Itulah sebabnya dikatakan bahwa intelektualitas, reformasi dan revolusi
ada aspek otosugestinya. Perasaan akan penderitaan kelas, bukan faktor
eksternal seperti ajaran dan pendidikan, inilah yang menyemangati orang untuk
melakukan reformasi dan menjadi revolusioner. Setidak-tidaknya dasar untuk melakukan
reformasi dan menjadi revolusioner dipersiapkan oleh posisi kelas, dan peran
ideologi, petunjuk dan sebagainya paling banter hanyalah menyadarkan kelas yang
menderita akan kontradiksi kelas dan posisinya sendiri, atau mengubah kelas
tertentu menjadi kelas yang memiliki kesadaran kelas. Dengan demikian, dalam
suatu masyarakat yang didominasi kelas, basis intelektual satu-satunya yang
mendorong kelas untuk beraksi adalah kesadarannya akan posisinya dan
kesadarannya bahwa dirinya tereksploitasi. Dalam masyarakat yang didominasi
kelas—dalam masyarakat seperti ini manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu
pengeksploitasi dan tereksploitasi, dan hati nurani sosial terbagi menjadi dua
macam—nilai-nilai manusiawi yang asasiah seperti keadilan dan kasih sayang kepada
sesama manusia tak mungkin ada perannya. Tentu saja bila, akibat perkembangan
alat produksi, lalu berdiri pemerintah proletar, maka kelas pun akan terhapus
dan manusia pun akan kembali ke altruisme sejatinya yang tak ada batasan atau
rintangan kelasnya. Kemudian had nuraninya tak akan tercabik-cabik oleh sistem
milik pribadi, sehingga hadi jelas peran nilai-nilai intelektual dan manusiawi
yang mencerminkan posisi perkembangan alat produksi. Dari sudut pandang periode
sejarah, sosialisme merupakan suprastruktur zaman tertentu. Tidak mungkin
menempatkannya pada zaman sebelumnya. (Seperti yang ingin dilakukan kaurn
sosialis yang tak keruan.) Begitu pula, dalam suatu zaman ketika masyarakat
terbagi menjadi dua kelas, mustahil mendiktekan kesadaran khusus satu kelas
pada kelas lain. Pada waktu ini tak ada kesadaran umum manusia.
Karena itu dalam
masyarakat yang didominasi kelas, tak mungkin ada ideologi umum dan universal
yang tak berorientasi kelas. Setiap ideologi dari masyarakat yang didominasi
kelas selalu saja ada sedikit warna kelas tertentunya. Sekalipun misalkan saja
ideologi umum yang tak ada karakteristik kelasnya mungkin adanya, namun yang
pasti ideologi seperti itu praktis tak akan ada perannya. Karena itu misi agama
dan setidak-tidaknya misi petunjuk, nasihat dan dakwah tentang persamaan hak
dan keadilan kepada umat manusia itu sendiri setidak-tidaknya aneh, jika bukan
palsu.
5. Kesimpulan lainnya
adalah bahwa pemimpin revolusioner selalu berasal dari kelas tereksploitasi.
Sudah dibuktikan bahwa hanya kelas ini yang siap mental untuk reformasi dan
revolusi. Faktor-faktor yang menyebabkan kesiapan ini adalah tereksploitasi dan
penderitaan. Paling banter mungkin dibutuhkan beberapa faktor suprastruktural
untuk menciptakan kesadaran akan kontradiksi kelas. Jelaslah tokoh-tokoh
terkemuka yang menciptakan kesadaran ini di kalangan kelas tereksploitasi tentu
saja berasal dari kelas ini juga, dan sama pandangan serta keinginannya dengan
motif kelas ini. Tokoh-tokoh ini tentunya adalah dari kelas ini yang sudah
sadar diri. Karena mustahil posisi suprastruktural masyarakat mendahului posisi
infrastrukturalnya, dan mustahil tingkat pemikiran sosial suatu kelas lebih
tinggi daripada posisi sosialnya. Juga mustahil kalau tuntutan pemimpin
mencerminkan sesuatu yang melebihi aspirasi aktual kelasnya. Karena itu
mustahil kalau anggota kelas pengeksploitasi bangkit menentang kelasnya sendiri
untuk kepentingan kelas tereksploitasi.
Penulis
"Revisionism from Marx to Mao" mengatakan: "Kontribusi lain The
German Ideology adalah analisis tentang kesadaran kelas. Di sini Marx,
bertentangan dengan karya-karya terdahulunya, memandang kesadaran kelas sebagai
produk dari kelas itu sendiri. Kesadaran kelas datangnya bukan dari luar.
Kesadaran aktual tak lain hanyalah ideologi, karena kesadaran ini merumuskan
secara umum kepentingan kelas tertentu. Kesadaran ini, yang dasarnya adalah
kesadaran akan kondisinya sendiri, memperkuat kepentingan kelas. Namun kelas
tak mungkin dewasa kalau kelas tersebut tidak melahirkan kesadaran kelasnya
yang khas. Pandangan Marx menguatkan pembagian kerja di dalam kelas pekerja itu
sendiri, yaitu kerja intelektual (kerja ideologis, kepemimpinan) dan kerja
kasar. Sebagian orang menjadi pemikir atau ideolog kelas, sebagian lagi cuma
tinggal menerima dan mengerjakan gagasan dan konsep yang disodorkan."
Buku ini juga, yang
menganalisis pandangan Marx dalam "Manifesto"'-nya dan dalam
"Poverty of Philosophy"-nya, mengatakan: "Dengan demikian
membangkitkan kesadaran kelas dan mengorganisasikannya dalam bentuk 'kelas
untuk kelas itu sendiri' merupakan tugas kaum proletar dan juga hasil dari
kompetisi ekonominya, kompetisi ekonomi yang dilakukan atas dorongan sendiri.
Revolusi ini terjadi bukan karena teori intelektual yang tidak dikenal oleh
gerakan kaum pekerja, juga bukan karena partai politik. Marx mengecam kaum
sosialis Utopian yang, sekalipun berkecenderungan proletar, tidak melihat
historisitas dorongan sendiri kaum proletar dan gerakan politik khasnya dan
mencoba menggantikan dengan angan-angan mereka sendiri pembentukan
gradual—pembentukan yang dilakukan atas inisiatif sendiri—kaum proletar menjadi
sebuah kelas."
Prinsip berkembang
sendiri ini sangat penting dalam logika Marxis, dan dapat dipandang sebagai
pedoman untuk mengetahui masyarakat, kecenderungan sosialnya dan kecenderungan
individu-individunya, khususnya kecenderungan individu-individu yang mengklaim
sebagai pemimpin dan pembaru masyarakat.
Dari uraian di atas
jelaslah bahwa Marx dan Engels tidak dan tak mungkin mempercayai kemandirian
super-kelas intelektual. Prinsip-prinsip Marxisme tidak memungkinkan
mempercayai itu. Kalau dalam beberapa karyanya Marx mengemukakan pandangan
sebaliknya, itu mungkin saat dia tak mau jadi Marxis. Nanti akan ditunjukkan
bahwa saat seperti itu tidak jarang. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana
Marx dan Engels menerangkan sikap mereka sebagai intelektual dengan
memperhatikan prinsip-prinsip Marxis. Keduanya bukan dari kelas proletar.
Keduanya adalah filosof, bukan pekerja. Namun teori pekerja yang hebat berasal dari
keduanya.
Jawaban Marx untuk
pertanyaan ini patut diperhatikan. Penulis "Revisionism from Marx to
Mao" mengatakan: "Marx tak banyak bicara soal kaum intelektual.
Kelihatannya Marx memandang kaum intelektual bukan sebagai lapisan khusus
masyarakat, namun sebagai bagian dari kelas-kelas lain tertentu, khususnya
kelas borjuis. Dalam "The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte",
Marx melihat akademisi, jumalis, dosen dan pengacara sebagai bagian dari kelas
borjuis, seperti pendeta dan tentara. Dalam "Manifesto", ketika mau
menyebutkan nama-nama teoretisi kelas pekerja yang bukan berasal dari kelas
pekerja, seperti Engels dan dirinya sendiri, Marx tidak menyebut mereka
intelektual, namun memandang mereka sebagai 'kelompok orang dari kelas berkuasa
yang sudah kuat akarnya dalam kelas proletar,' dan 'telah menawarkan banyak hal
untuk pendidikan dan pelatihan kelas itu.'"
Marx tidak
menjelaskan bagaimana dirinya dan Engels turun dari kelas penguasa ke kelas
rakyat, dengan membawa hal-hal berharga untuk pendidikan dan pelatihan kelas
yang bersahaja ini yang digambarkan Al-Qur'an sebagai "kaum tertindas dan
papa". Nasib baik yang diterima Marx dan Engels, dan melalui kedua orang
ini kelas tertindas kaum prole tar juga menerima nasib baik tersebut, tidak
pernah diterima Adam, bapak ras manusia, yang menurut tradisi keagamaan Adam
turun dan langit ke bumi. Adam tidak membawa hal-hal berharga seperti itu.
Marx tidak
menjelaskan bagaimana sebuah teori pembebasan kaum proletar dapat berkembang di
bagian terpenting dari kelas berkuasa. Marx juga tidak menyebutkan apakah
"turun" ini khusus terjadi pada dua orang ini saja atau bisa juga
terjadi pada orang lain. Kalau memang pintu langit dan bumi bisa terbuka untuk
satu sama lain, sekalipun untuk kasus yang sangat khusus, namun tidak jelas
apakah yang mungkin hanya turun saja, atau anggota kelas bawah bisa naik ke
posisi langit. Namun kalau memang bisa naik, anggota kelas bawah itu tidak
membawa hal-hal berharga yang sesuai.
Pada dasarnya
mustahil membawa hal-hal berharga dari bumi ke langit. Kalau dapat naik ke
langit namun tidak betah di langit, maka ketika turun ke bumi bisa saja membawa
hal-hal berharga, seperti yang dilakukan Marx dan Engels.
Kritik dan Ulasan
tentang Materialisme Sejarah
Setelah menjelaskan
basis teori materialisme sejarah dan mengemukakan kesimpulannya, sekarang tiba
saatnya untuk mengulasnya. Terlebih dahulu perlu diketahui bahwa kami tak
bermaksud melakukan pembahasan serius mengenai pandangan-pandangan Marx yang
diungkapkan Marx dalam semua karyanya. Juga kami tidak bermaksud mengkritisi
Marx, Marx sebagai suatu keseluruhan.
Di sini kami hanya
bermaksud membuat analisis yang tidak mendalam mengenai materialisme sejarah.
Materialisme sejarah merupakan salah satu prinsip pokok Marxisme. Pada dasarnya
mengkritisi pandangan-pandangan Marx atau mengkritisi Marxisme sebagai suatu
keseluruhan adalah satu hal, sedangkan mengkritisi prinsip tertentu Marxisme
seperti materialisme sejarah adalah hal lain. Studi mendalam atau kritis atas
semua pandangan Marx yang terserak di banyak karya Marx di berbagai periode
hayatnya, memperlihatkan banyak kontradiksi. Studi seperti itu sudah dilakukan
di Barat oleh beberapa orang. Di Iran, sejauh pengetahuan kami, buku terbaik
tentang subjek ini adalah "Revision of Views from Marx to Mao".[1] Buku
ini banyak kami kutip di bab ini.
Kritik atas Marxisme
sebagai suatu keseluruhan, atau kritik atas prinsip pokoknya, sungguh
memuaskan, bahkan dari sudut pandang personalitas Marx. Kritik atas
prinsip-prinsip itu, yang tidak dianggap final oleh Marx sendiri, dan tentang
prinsip-prinsip itu Marx mengungkapkan pandangan-pandangan yang bertentangan,
juga terjelaskan dalam kasus-kasus yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
Marxisme, dan pandangan-pandangan kontradiktif yang dikemukakan Marx sendiri
dapat dipandang sebagai penyimpangan Marx dari Marxisme. Dalam membahas
materialisme sejarah di buku ini, prinsip ini tidak kami lupakan.
Di sini kritik kami
didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang dikemukakan Marx, terlepas dari
fakta apakah dalam karya-karya dan tulisan-tulisannya yang kontradiktif Marx
mengemukakan atau tidak mengemukakan pandangan sebaliknya, karena tujuan kami
adalah mengulas materialisme sejarah, bukan mengulas pandangan-pandangan Marx.
Sungguh ironi sejarah bila dalam buku-buku filosofis, sosial dan ekonominya
Marx lebih kurang mendukung teori materialisme sejarah. Namun ketika
menganalisis dan menafsirkan berbagai peristiwa kontemporer, Marx tidak banyak
memperhatikan prinsip-prinsip teori ini. Kenapa demikian? Jawabannya beragam,
dan itu bukan khas problem ini saja. Dalam banyak kasus Marx bersikap
kontradiktif, dan secara teoretis atau praktis Marx menyimpang dari Marxisme.
Karena itu yang dibutuhkan adalah jawaban yang umum sifatnya.
Ada yang menganggap
kelemahan ini terjadi akibat Marx belum matang pada masa mudanya. Namun
penjelasan ini tidak kuat, setidak-tidaknya dari sudut pandang Marxisme, karena
banyak teori Marx yang dewasa ini dipandang sebagai prinsip-prinsip baku
Marxisme ternyata berkaitan dengan masa muda atau setengah bayanya, dan banyak
penyimpangan Marx, termasuk sebagian interpretasinya mengenai berbagai
peristiwa kontemporer, berkaitan dengan masa tuanya.
Ada juga yang
menganggap kontradiksi ini terjadi karena kepribadian ganda Marx. Yang
menganggap seperti ini berpendapat bahwa di satu pihak Marx adalah Filosof,
ideolog dan pendiri mazhab. Karena itu wajar saja kalau Marx memandang
prinsip-prinsip yang dikemukakannya sebagai prinsip yang final, dan wajar pula
kalau Marx menggunakan semua daya yang ada untuk merujukkan antara aktualitas
dan estimasinya. Di pihak lain Marx juga berkepribadian dan berjiwa
intelektual. Jiwa ini memaksa Marx untuk selalu menerima aktualitas dan untuk
tidak menganut prinsip tertentu.
Ada lagi yang
membedakan antara Marx dan Marxisme. Mereka ini mengklaim bahwa Marx beserta
gagasan-gagasannya hanyalah satu tahap dari Marxisme. Pada hakikatnya Marxisme
merupakan mazhab evolusioner, maka dari itu tak ada yang tidak beres kalau Marxisme
mendahului Marx sendiri.
Dengan kata lain,
kalau Marxismenya Marx yang hanya merupakan tahap awal dari Marxisme ternyata
cacat, maka tidak betul kalau berkesimpulan bahwa Marxisme itu sendiri cacat.
Namun orang-orang ini tidak menjelaskan apa yang membentuk hakikat utama
komunisme. Suatu mazhab bisa disebut evolusioner kalau semua prinsip
pendahuluannya jelas dan kuat. Hanya masalah-masalah sekunder sajalah yang
dapat diperselisihkan. Kalau tidak, maka tak ada bedanya antara pencabutan
sebuah teori dan evolusinya. Jika prinsip-prinsip yang kuat tidak diterima
sebagai kondisi penting evolusi, maka tak ada alasan kenapa tidak memulai
dengan teoretisi-teoretisi dan pemikir-pemikir pra-Marx seperti Hegel, Saint
Simon, Proudhon atau beberapa tokoh lainnya, dan kenapa tidak menyebut
Hegelisme atau Proudhonisme sebagai mazhab yang berkembang, dan memandang
Marxisme sebagai satu tahap dari mazhab itu.
Menurut kami,
kontradiksi Marx terjadi karena fakta bahwa Marx sendiri kurang Marxis
dibanding kebanyakan kaum Marxis. Pernah dalam suatu pertemuan kaum Marxis,
Marx membela pandangan yang bertentangan dengan teori terdahulunya sendiri.
Audiensnya sangat kaget. Kata Marx, "Saya tidak se-Marxis Anda."
Konon di masa tuanya Marx menyatakan bahwa dirinya sama sekali bukan Marxis.
Marx tidak sependapat
dengan pandangan-pandangan tertentu Marxisme, karena Marx terlalu pandai untuk
jadi Marxis seratus persen. Kalau mau jadi Marxis baku, maka harus lebih
daripada sedikit mudah tertipu. Materialisme sejarah, yang sekarang tengah
dibahas, merupakan bagian dari Marxisme. Prinsip-prinsip tertentunya membawa
hasil-hasil tertentu. Baik Marx sang sarjana maupun Marx sang Filosof dan
pemikir tidak bisa sependapat, menganut dan menerima prinsip-prinsip dan
hasil-hasil ini. Berikut ini adalah ulasan kami mengenai materialisme sejarah.
Tidak Berdasar
Keberatan pertama
adalah pandangan ini tak lebih daripada 'teori' belaka yang tak ada buktinya.
Sebuah teori historio-filosofis haruslah didasarkan pada bukti historis
kontemporer dan kemudian sampai ke periode lain, atau didasarkan pada bukti
historis peristiwa masa lalu dan sampai ke peristiwa sekarang dan mendatang;
atau harus ada argumen ilmiah, logis atau filosofisnya yang kuat untuk
membuktikannya.
Teori materialisme
sejarah tidak mengikuti metode di atas. Berbagai peristiwa di zaman Marx dan
Engels tak dapat dijelaskan dengan teori materialisme sejarah. Engels sendiri
mengakui bahwa dirinya dan Marx telah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu
ketika membahas pentingnya ekonomi dalam beberapa buku mereka. Namun mereka tak
melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu ketika menganalisis berbagai
peristiwa kontemporer karena pada saat itu mereka memang berhadapan dengan
realitas. Berbagai peristiwa yang terjadi ribuan tahun yang lalu juga tidak
mendukung teori materialisme sejarah.
Revisi atas Berbagai Pandangan oleh Para Pendirinya
Seperti sudah
berulang-ulang kami kemukakan, Marx memandang basis ekonomi masyarakat sebagai
infrastruktur masyarakat, sedangkan basis lainnya dipandangnya sebagai
suprastruktur masyarakat. Pandangan ini cukup untuk menunjukkan bahwa posisi
basis lain masyarakat berada di bawah basis ekonomi masyarakat dan bergantung
pada basis ekonomi masyarakt. Banyak pernyataan Marx yang kami kutip terdahulu
menjelaskan bahwa menurut Marx ketergantungan ini berat sepihak. Faktor ekonomi
sajalah yang mempengaruhi masalah sosial lainnya.
Adalah suatu fakta
bahwa sekalipun Marx tidak jelas-jelas menyatakan demikian, namun
pandangan-pandangannya mengenai "materi dulu baru jiwa", "kebutuhan
materi dulu baru kebutuhan jiwa", "psikologi dulu baru
sosiologi" dan "kerja dulu baru pikiran" membuat kita
berkesimpulan sama. Namun dalam banyak tulisannya, Marx mengemukakan pandangan
yang lain mengenai basis logika dialektis. Ini bisa dipandang sebagai semacam
perubahan dalam pandangan-pandangannya dan sedikit banyak penyimpangan dari
materialitas mutlak sejarah. Pandangan yang kami rujuk adalah teori pengaruh
timbal baliknya. Bcrdasarkan teori ini, hubungan sebab-akibat tidak boleh
dipandang sepihak. Kalau A adalah penyebab B dan mempengaruhi B, pada
gilirannya B juga penyebab A dan mempengaruhi A. Menurut prinsip ini, ada
semacam ketergantungan dan pengaruh timbal balik di antara semua unsur alam dan
semua unsur masyarakat.
Saat ini kami tidak
mau membahas apakah prinsip dialektis seperti dikemukakan di atas benar atau
salah. Namun mesti kami katakan bahwa, menurut prinsip ini, pada dasarnya
sia-sia kalau berbicara tentang mana yang lebih dulu dalam hubungan antara dua
hal, apakah itu mated dan jiwa, kerja dan pikiran, atau basis ekonomi
masyarakat dan lembaga sosial lainnya, karena jika yang satu bergantung pada
yang lain dan penting sekali bagi eksistensinya, maka tak ada pertanyaan
mengenai mana yang lebih dulu atau lebih penting dan mana yang infrastruktur.
Dalam beberapa
pernyataannya, Marx tidak menyebut pengaruh infrastruktur masyarakat pada
suprastruktur masyarakat. Marx hanya memberikan perah, entah esensial atau
tidak esensial, kepada basis ekonomi masyarakat. Namun lialam sebagian pernyataan
lainnya Marx bicara soal pengaruh timbal balik infrastruktur dan suprastruktur,
meski dengan tetap menyatakan bahwa peran utama dan finalnya adalah peran
infrastruktur. Ketika membandingkan dua buku Marx, "The Capital" dan
"The Critique of Political Economy". "The Revisionism from Marx
to Afao" menyebutkan bahwa dalam kedua buku ini Marx rnenggambarkan
ekonomi sebagai faktor penentu. "Revisionism" selanjutnya mengatakan:
"Meskipun demikian, sengaja atau tidak, Marx telah menambahkan dimensi
baru pada definisi ini dengan mengatakan bahwa suprastruktur bisa berperan
penting dalam masyarakat."
Penulis
"Revisionism" selanjutnya bertanya: "Apa bedanya antara peran
penentu yang selalu dimainkan infrastruktur ekonomi dan peran utama yang di
sini dimainkan suprastruktur? Kendatipun peran utama suprastruktur hanya
kadang-kadang, namun tentunya menentukan dalam kasus-kasus di mana peran utama
tersebut dimainkan suprastruktur. Bukan saja itu, namun juga dalam kasus-kasus
itu apa yang kita sebut infrastruktur, itu suprastruktur, dan apa yang kita
sebut suprastruktur, itu infrastruktur."
Dalam sepucuk surat
yang ditulisnya menjelang akhir hayatnya untuk Joseph Bloch, Engels mengatakan:
"Menurut konsepsi material mengenai sejarah, unsur penentu dalam sejarah
adalah produksi dan reproduksi dalam kehidupan nyata. Saya dan juga Marx tak
pernah mengatakan lebih dari ini. Karena itu kalau ada orang yang memelintir
ini menjadi pernyataan bahwa unsur ekonomi merupakan satu-satunya unsur
penentu, berarti orang itu telah mengubah proposisi itu menjadi frase imajiner
yang tak ada artinya. Situasi ekonomi merupakan basis, namun berbagai unsur
suprastruktur (seperti bentuk politis perjuangan kelas dan hasilnya, konstitusi
yang ditegakkan kelas pemenang setelah sukses berjuang dan seterusnya, bentuk
yuridis, dan bahkan refleks semua perjuangan aktual ini dalam benak partisipan,
teori politik, yuristik dan filosofis, pandangan keagamaan dan perkembangan
selanjutnya menjadi sistem dogma) juga berpengaruh pada arah pergulatan sejarah,
dan dalam banyak kasus lebih besar pengaruhnya dalam menentukan bentuknya. Ada
interaksi di antara semua unsur ini. Dalam interaksi ini, di tengah-tengah
kejadian yang tak terhingga banyaknya dan tak jelas sebabnya, pada akhirnya
gerakan, ekonomi menyatakan dirinya sebagai gerakan yang sangat
diperlukan."
Kalau teori itu—teori
yang menyebutkan bahwa faktor ekonomi sajalah yang merupakan faktor
penentu—merupakan fantasi tak berarti, maka mengherankan bila proposisi ini
diajukan oleh Marx sendiri. Kalau memang apa yang disebut faktor-faktor
supra-struktural di banyak kasus benar-benar menentukan bentuk pergulatan
sejarah, maka faktor-faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu.
Karena itu tidak pada tempatnya kalau mengatakan bahwa gerakan ekonomi memperoleh
kemajuan melalui kontradiksi yang tak berkesudahan.
Yang lebih
mengherankan adalah bahwa dalam surat ini Monsieur Engels membebankan tanggung
jawab atas kesalahan ini atau, menurut kata-katanya sendiri, distorsi ini
sebagian pada dirinya dan Marx. Katanya: "Marx dan saya sebagian patut
dikecam atas fakta bahwa kaum muda terkadang memandang lebih pentirig sisi
ekonomi. Perlu kami tekankan prinsip utama terhadap lawan kami yang menolak
prinsip tersebut. Kami tak selalu berkesempatan menjelaskan unsur-unsur lain
yang terlibat dalam interaksi itu."
Namun ada juga yang
menafsirkan bahwa Marx dan Engels terlalu memandang penting faktor ekonomi.
Penafsiran tersebut sedikit banyak beda dengan pernyataan Engels. Mereka
mengatakan bahwa sikap memandang terlalu penting faktor ekonomi ini bukan
ditujukan terhadap para penentang teori ini, namun dimaksudkan untuk meredakan
penentangan lawan, Dalam "The Critique of Political Economy", Marx
memandang lebih penting peran faktor ekonomi. Sikap Marx seperti ini tak terlihat
dalam karya-karya lainnya. Sudah kami sajikan kutipan terkenal dari pengantar
buku ini. Menggambarkan keadaan ketika buku ini ditulis, "Revisionism from
Marx to Mao" mengatakan, "Yang juga mendorong penulisan "The
Critique of Political Economy" adalah terbitnya karya Proudhon,
"Manuel du speculateur a la Bourse", dan karya lain Darimon, pengikut
Proudhon...." Ketika tahu bahwa lawan-lawannya dari kubu Proudhon dan
pengikut Lassalle secara reformatif (bukan revolusioner) mempercayai atau
bersandar pada unsur ekonomi, Marx berupaya keras merebut senjata ini dari
tangan mereka dan menggunakan senjata ini untuk maksud revolusi. Ini menuntut
sikap keras, karena sikap keras ini sesuai dengan tujuan penyebaran
kepercayaan-kepercayaannya.
Untuk memenuhi
tuntutan kondisi khusus Cina dan untuk menunjukkan bahwa memang benar
dibutuhkan pengalaman praktisnya untuk memimpin gerakan revolusi Cina, Mao
mengubah konsepsi-konsepsi mengenai materialisme sejarah dan sangat pentingnya
ekonomi sedemikian sehingga konsep-konsepsi tersebut dan sosialisme tak ada
lagi yang didasarkan pada materialisme sejarah, kecuali perniainan kata-kata.
Di bawah judul
"The Principal Contradiction and the Principal Aspect of
Contradiction", dalam risalahnya tentang kontradiksi Mao mengatakan: "Aspek
pokok dan aspek non-pokok dari suatu kontradiksi berubah bentuk menjadi satu
sama lain, dan kualitas sesuatu pun jadi berubah karenanya. Dalam proses
tertentu atau pada tahap tertentu dalam perkembangan suatu kontradiksi, aspek
pokoknya adalah A sedangkan aspek non-pokoknya adalah B, pada tahap lain
perkembangan atau dalam proses lain perkembangan, perannya berbalik—suatu
perubahan yang terjadi seiring bertambah atau berkurangnya kekuatan dua aspek
yang saling bergulat dalam perkembangan sesuatu. Sebagian orang beranggapan
bahwa ini tidak terjadi pada kontradiksi tertentu. Misal, dalam kontradiksi
antara kekuatan pro.duksi dan hubungan produksi, kekuatan produksi adalah aspek
pokoknya; ... dalam kontradiksi antara fondasi ekonomi dan suprastrukturnya,
fondasi ekonomi adalah aspek pokoknya, dan posisi masing-masing tak mengalami
perubahan. Ini merupakan pandangan materialisme mekanistik. Memang kekuatan
produksi, praktik, dan fondasi ekonomi pada umumnya termanifestasi dalam
peran-peran pokok dan menentukan. Siapa saja yang mengingkari ini, maka dia
seorang materialis. Namun karena kondisi tertentu, maka aspek-aspek seperti
hubungan produksi, teori, dan suprastruktur satu demi satu termanifestasikan
dalam peran pokok dan menentukan. Ini juga mesti diakui. Bila kekuatan produksi
tak dapat berkembang kecuali bila hubungan produksi berubah, maka perubahan
yang terjadi pada hubungan produksi perannya pokok dan menentukan.... Bila
suprastruktur (politik, budaya dan seterusnya) merintangi perkembangan fondasi
ekonomi, maka reformasi politik dan budaya menjadi faktor pokok dan menentukan.
Dengan mengatakan begini, apakah berarti kita bertentangan dengan materialisme?
Tidak. Alasannya adalah ketika kita mengakui bahwa dalam perkembangan sejarah
sebagai suatu keseluruhan esensi material dari hal-hal menentukan hal-hal
spiritual, dan eksistensi sosial menentukan kesadaran sosial, pada saat yang
sama kita juga mengakui dan mesti mengakui reaksi hal-hal spiritual dan
kesadaran sosial pada eksistensi sosial, dan reaksi suprastruktur pada fondasi
ekonomi. Ini tidak bertentangan dengan materialisme. Ini persisnya menghindari
materialisme mekanistik dan mendukung materialisme dialektis." Sebenarnya
perkataan Mao bertentangan sekali dengan teori materialisme sejarah. Ketika Mao
mengatakan, "Ketika hubungan produksi merintangi tumbuh dan berkembangnya
kekuatan produksi," atau ketika mengatakan, "Ketika gerakan
revolusioner membutuhkan teori revolusioner," atau ketika mengatakan,
"Kalau suprastruktur merintangi tumbuh dan berkembangnya
infrastruktur," Mao menyebutkan apa yang selalu terjadi dan harus selalu
terjadi. Namun menurut teori materialisme sejarah, situasi seperti itu tak
pernah ada, karena menurut teori ini perkembangan kekuatan produksi mau tak mau
mengubah hubungan produksi; kemunculan teori revolusioner selalu otomatis; dan
suprastruktur mau tak mau mengalami perubahan karena pengaruh infrastruktur.
Tidakkah Marx dalam pengantarnya untuk "The Critique of Political
Economy" dengan jelas mengatakan, "Pada tahap tertentu
perkembangannya, kekuatan produktif material masyarakat mengalami konflik
dengan hubungan produksi yang ada atau—apa yang tak lain adalah ungkapan legal
mengenai hal yang sama—dengan hubungan milik. Dari bentuk-bentuk perkembangan
kekuatan produksi, hubungan ini berubah menjadi pengekangnya. Kemudian
dimulailah zaman revolusi sosial. Dengan berubahnya fondasi ekonomi, maka
seluruh suprastruktur cepat atau lambat pasti mengalami transformasi."
Terjadinya perubahan
hubungan produksi sebelum terjadinya perkembangan kekuatan produksi, teori
revolusioner yang muncul sebelum terjadinya gerakan revolusioner dan perubahan
suprastruktur yang melicinkan jalan bagi perubahan infrastruktur, semua ini
artinya adalah bahwa pikiran itu primer sedangkan aksi atau kerja itu sekunder,
jiwa itu primer sedangkan materi itu sekunder, basis intelektual dan politik
masyarakat itu penting dan independen dibanding basis ekonomi masyarakat.
Dengan demikian hancur sudah gagasan materialisme sejarah.
Mao mengatakan bahwa
berarti bertentangan dengan materialisme dialektis kalau beranggapan bahwa
pengaruh hanya sepihak. Itu betul. Namun problemnya adalah bahwa sosialisme
ilmiah didasarkan pada pengaruh sepihak ini yang bertentangan dengan prinsip
dialektis ketergantungan timbal balik. Karena itu sosialisme ilmiah harus
diterima dan logika dialektis harus diabaikan, kalau tidak maka logika
dialektis harus diterima dan sosialisme ilmiah dan materialisme sejarah yang
menjadi fondasinya harus diabaikan.
Selanjutnya, apa maksud
Mao ketika mengatakan dirinya mengakui bahwa pada umumnya, dalam perkembangan
sejarah, esensi material hal-hal menentukan hal-hal spiritual, dan eksistensi
sosial menentukan kesadaran sosial. Mengakui bahwa aspek utama kontradiksi
kadang-kadang bisa berubah sama saja dengan mengatakan bahwa kadang-kadang
kekuatan produksi menentukan hubungan produksi, dan terkadang sebaliknya,
artinya prosesnya terbalik. Terkadang seorang revolusioner menciptakan teori
revolusioner, dan terkadang sebaliknya. Terkadang pendidikan, politik, agama,
kekuatan dan sebagainya mengubah basis ekonomi masyarakat, dan terkadang
prosesnya terbalik. Karena itu kadang-kadang materi menentukan jiwa, dan
kadang-kadang jiwa menentukan materi. Terkadang eksistensi sosial menentukan
kesadaran sosial, dan terkadang kesadaran sosial menentukan eksistensi sosial.
Sesungguhnya perkataan Mao mengenai perubahan yang terjadi pada posisi aspek
utama kontradiksi merupakan teori Maois yang praktis bertentangan dengan teori
materialisme sejarah Marxis. Itu bukan interpretasi atas teori Marxis seperti
klaim Mao. Praktisnya Mao telah menunjukkan bahwa seperti Marx sendiri Mao juga
terlalu pandai untuk selalu jadi Marxis. Revolusi Cina yang dipimpin Mao
praktis menginjak-injak sosialisme ilmiah maupun materialisme sejarah, dan
karena itu menginjak-injak Marxisme itu sendiri.
Dengan dipimpin Mao,
Cina menumbangkan sistem feodal lama dan mendirikan rezim sosialis. Padahal
menurut sosialisme ilmiah dan materialisme sejarah, sebuah negara setelah
melewati tahap feodalisme, tahap selanjutnya dari negara tersebut harusnya
tahap industri dan kapitalistik dulu. Negara tersebut baru dapat ke tahap
sosialisme kalau sudah tinggi tingkat industrialisasinya. Sebagaimana janin
dalam rahim tak mungkin mencapai suatu tahap tanpa melalui tahap sebelumnya,
maka begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat tak mungkin sampai ke tahap
final tanpa melewati tahap demi tahap sebelumnya. Namun Mao praktis telah
memperlihatkan bahwa dirinya adalah bidan yang dapat melahirkan janin berusia
empat bulan dalam keadaan sehat dan sempurna. Mao telah menunjukkan bahwa beda
dengan apa yang dikatakan Marx, seorang pemimpin bisa saja mengabaikan ajaran
sosialisme ilmiah, mengubah sepenuhnya hubungan produksi dan
mengindustrialisasi sebuah negara melalui ajaran partai, lembaga politik, teori
revolusioner, dan informasi sosial. Inilah hal-hal yang juga oleh Marx disebut
sebangsa kesadaran dan suprastruktur dan bukan sebangsa eksistensi dan
infrastruktur. Menurut Marx, hal-hal itu tidak fundamental. Mao menunjukkan
bahwa hubungan produksi dapat ditiadakan dan sebuah negara dapat
diindustrialisasikan dengan, demi tujuan praktisnya, mengabaikan apa yang
disebut sosialisme ilmiah.
Dengan cara lain Mao
juga memperlihatkan tidak berdasamya teori sejarah Marxis. Menurut teori Marxis
dan setidak-tidaknya dari sudut pandang personal Marx, kelas petani hanya
memenuhi dua syarat pertama untuk menjadi kelas revolusioner. Yaitu kelas yang
tereksploitasi dan tak punya tanah. Namun tidak memenuhi syarat ketiga, yaitu
terkonsetrasi, saling kerja sama, saling memahami dan sadar akan kekuatannya.
Karena itulah kelas petani tidak siap untuk meluncurkan revolusi. Dalam
masyarakat semi-pertanian dan semi-industri, paling banter petani dapat menjadi
pengikut proletariat revolusioner. Bukan saja itu, namun dari sudut pandang
Marx, kelas petani pada dasarnya menyedihkan dan reaksioner. Kelas petani sama
sekali tidak memiliki prakarsa revolusioner. Dalam sepucuk surat untuk Engels,
mengenai revolusi di Polandia, Marx membuat pernyataan ini tentang petani,
"Petani yang pada dasarnya reaksioner dan menyedihkan itu mustahil untuk
diajak berjuang." Namun Mao mengubah kelas yang sangat menyedihkan dan
revolusioner ini menjadi kelas yang revolusioner, dan dengan bantuan kelas ini
rezim lama pun dapat ditumbangkan. Menurut Marx, petani bukan saja tidak dapat
membawa negara ke sosialisme, namun juga tak dapat memberikan sumbangsih untuk
mengubah negara dari feodalisme ke kapitalisme. Kelas borjuislah yang
mewujudkan revolusi sosial pada suatu momen sejarah. Namun Mao langsung
melompat dari feodalisme ke sosialisme dengan bantuan apa yang disebut kelas
petani yang reaksioner. Karena itu tepatlah kalau untuk membedakan antara
Maoisme dan Marxisme Mao mengajukan teorinya sendiri mengenai perubahan pada
posisi aspek utarna kontradiksi. Namun Mao sendiri tidak bicara tentang
Maoisme. Mao mengemukakan pandangan-pandangannya hanya sebagai interpretasi
ilmiak mengenai Marxisme, materialisme sejarah dan sosialisme ilmiah.
Dari pendahulunya,
Lenin, Mao mendapat pelajaran bahwa kalau perlu seorang Marxis bisa praktis
melepaskan diri dari Marxisme. Leninlah yang sebelum Mao membawa revolusi di
Rusia ketika negeri ini masih semi-pertanian dan semi-industri. Lenin lah yang
untuk pertama kalinya mendirikan negara sosialis.
Lenin tidak berharap
bisa melihat Rusia nyaris menjadi negara industri penuh dan berubah menjadi
negara kapitalis di mana eksploitasi atas pekerja sampai pada puncaknya
sehingga gerakan yang sadar diri dan dinamis serta merta dapat mewujudkan
perubahan total. Lenin merasa terlalu terlambat kalau untuk bisa melakukan
pekerjaan bidan dirinya harus menunggu dulu selesainya periode kehamilan.
Karena itu Lenin memulai dengan supra-struktur dan menggunakan partai, politik,
teori revolusioner, perang dart kekuatan untuk dapat mengubah Rusia yang saat
itu semi-industri menjadi negara sosialis Soviet.
Lenin praktis
membuktikan kebenaran pepatah termasyhur bahwa seekor burung di tangan lebih
bernilai ketimbang dua burung di semak-semak. Untuk melakukan revolusi, Lenin
merasa tak perlu menunggu dua burung Marx dan kesiapan otomatis dan dinamis
basis ekonomi masyarakat Rusia. Dia sepenuhnya memanfaatkan satu burung yang
ada di tangan dan mewujudkan revolusi yang sukses dengan menggunakan kekuatan,
politik, doktrin partai dan persepsi politiknya sendiri.
Menghancurkan Prinsip Keselarasan Tak Terelakkan antara
Infrastruktur dan Suprastruktur
Menurut tepri
materialisme sejarah, harus selalu ada semacam keselarasan antara infrastruktur
masyarakat dan suprastruktur masyarakat, sehingga dengan mengetahui
suprastrukturnya (dengan menggunakan metode deduktif, yang memberikan
pengetahuan semi-sempurna) maka dapat diketahui pula infra-strukturnya, dan
dengan mengetahui infrastrukturnya (dengan menggunakan metode induktif, yang
memberikan pengetahuan yang sempurna) maka dapat pula diketahui
suprastrukturnya. Jika mfrastruktur berubah, maka hancurlah keselarasan ini,
keseimbangan sosial pun tergariggu, dan terjadilah krisis seperti itu, sehingga
cepat atau lambat krisis tersebut akan menghancurkan suprastruktur.
Sebaliknya, selama infrastruktur tetap utuh, suprastruktur pun akan tetap utuh.
Berbagai peristiwa
sejarah kontemporer telah membuktikan kesalahan proposisi di atas. Menyusul
sejumlah revolusi politik dan sosial yang menyertai pergolakan demi pergolakan
ekonomi yang terjadi pada periode dari 1827 sampai 1847, Marx dan Engels jadi
percaya bahwa revolusi sosial merupakan akibat tak terelakkan dari krisis
ekonomi. Tapi menurut penulis buku "Revisionism from Marx to Mao": "Adalah
ironi sejarah bahwa belum pernah terjadi krisis ekonomi yang disertai dengan
sebuah revolusi di negara-negara industri sejak 1848. Di masa hayat Marx,
sebelum kematiannya, empat kali kekuatan produksi menentang hubungan produksi
tanpa menimbulkan revolusi... kemudian, beberapa ekonom seperti Joseph
Sehumpeter bahkan sampai menyebut krisis-krisis yang ditimbulkan oleh inovasi
teknik ini sebagai 'badai penghancur yang. kreatif dan sebagai 'kelep
penyelamat' untuk mewujudkan kembali keseimbangan ekonomi dan pertumbuhan
ekonomi."
Negara-negara seperti
Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika, kemajuan industrinya mengagumkan.
Negara-negara tersebut sudah berada di puncak kapitalisme. Namun beda dengan
prediksi Marx yang menyebutkan bahwa negara-negara ini yang pertama akan
mengalami revolusi pekerja dan akan menjadi negara-negara sosialis, apa yang
disebut suprastruktur negara-negara tersebut lernyata tak mengalami perubahan
politik, hukum atau agama. Anak yang diharapkan Marx akan lahir, usianya sudah
sempurna sembilan bulan, bukan saja usianya sudah sembilan bulan, bahkan sudah
sembilan puluh tahun, namun belum juga lahir. Sekarang tak ada lagi harapan
anak itu akan lahir.
Tentu saja tak syak
lagi rezim-rezim sekarang di negara-negara tersebut cepat atau lambat akan
tumbang, namun revolusi pekerja yang diharapkan tak kunjung tiba, dan teori
sejarah Marxis pun terbukti salah. Sungguh pula rezim-rezim yang memerintah di
apa yang disebut negara-negara sosialis dewasa ini kelak juga akan tumbang. Namun
yang pasti di masa mendatang rezim-rezim di negara-negara ini bukan
kapitalistik.
Ternyata beberapa
negara di Eropa Timur, Asia dan Amerika Selatan sudah berada di tahap
sosialisme tanpa melewati fase kapitalisme. Dewasa ini ada negara-negara yang
satu sama lain serupa infrastrukturnya, namun tetap saja berbeda jauh
supra-strukturnya. Dua adikuasa, Amerika dan Uni Soviet merupakan contoh
terbaik untuk fenomena ini. Amerika dan Jepang sistem ekonominya sama, namun
sistem politik, keagamaan, moral, kultural dan artistiknya berbeda. Di lain
pihak, ada negara-negara yang sistem politik, keagamaan dan suprastruktural
lainnya nyaris sama, namun tetap saja kondisi ekonominya sepenuhnya sama. Semua
ini menunjukkan bahwa kesesuaian yang tak terelakkan antara suprastruktur
masyarakat dan infrastruktur masyarakat seperti yang dibayangkan oleh
materialisme sejarah hanyalah kilasan khayalan saja.
Ketidaksesuaian Basis Kelas Ideologi
Seperti sudah
disebutkan sebelumnya, menurut materialisme sejarah suprastruktur periode apa
pun tidak mungkin mendahului infrastrukturnya. Karena itu pengetahuan setiap
periode hanya terbatas pada periode itu. Dengan berlalunya waktu, pengetahuan
tersebut jadi usang, dan tinggal menjadi arsip sejarah saja. Gagasan, filsafat,
rencana, prediksi dan agama, semuanya merupakan produk sampingan dari tuntutan
khusus zamannya, dan tak mungkin sesuai dengan tuntutan zaman lain. Namun
praktis buktinya tidak demikian. Sungguh doktrin dan agama, banyak filsafat,
tokoh, gagasan dan cabang ilmu pengetahuan tampaknya mendahului zaman atau
kelasnya. Banyak sekali gagasan yang merupakan produk dari kebutuhan material
zaman tertentu. Meskipun zaman berubah, gagasan-gagasan tersebut tetap bersinar
di ufuk sejarah. Mengherankan kalau dalam kasus ini juga Marx, dalam beberapa
pernyataannya, melepaskan diri dari Marxisme. Dalam karyanya yang terkenal,
"German Ideology", Marx mengatakan:
Terkadang kesadaran
terlihat mendahului hubungan empiris kontemporer sehingga dapat diketahui bukti
mengenai konflik yang terjadi di masa kemudian dalam tulisan-tulisan teoretisi
masa sebelumnya."
Independensi Perkembangan Budaya
Menurut materialisme
sejarah, seperti basis lain masyarakat semisal basis politik, basis yudisial,
dan basis keagamaan, basis kultural dan ilmiah masyarakat juga bergantung pada
basis ekonomi masyarakat dan tak mungkin bebas berkembang semaunya. Menyusul
perkembangan alat produksi dan perkembangan basis ekonomi masyarakat, ilmu
pengetahuan pun berkembang.
Sesungguhnya kita
tahu bahwa alat produksi, minun manusia, perkembangannya tidaklah terjadi
secara otomatis. Alat produksi berkembang akibat kontak manusia dengan alam dan
akibat upaya ingin tahu manusia. Tumbuh berkembangnya dibarengi perkembangan
teknik dan ilmu pengetahuan manusia. Sekarang pertanyaannya adalah mana yang
lebih dahulu. Apakah manusia terlebih dahulu membuat penemuan, baru kemudian
menerapkan penemuan itu untuk menciptakan peralatan yang relevan, atau
peralatan terlebih dahulu ada, baru kemudian manusia membuat penemuan yang
relevan? Tak diragukan lagi, alternatif kedualah yang benar.
Jelaslah hukum ilmiah
dan prinsip teknis ditemukan berkat rasa ingin tahu manusia dan kontak
eksperimen manusia dengan alam. Kalau manusia tidak melakukan penyelidikan dan
tidak membuat eksperimen, maka manusia tak mungkin mengetahui hukurn ilmiah
atau hukum alam. Mengenai itu, tak mungkin ada dua pendapat. Satu-satunya yang
jadi pertanyaan adalah apakah setelah mengadakan penyelidikan dan eksperimen,
terlebih dahulu manusia mengalami perkembangan ilmu pengetahuan di dalam
dirinya, baru kemudian manusia menciptakan peralatan teknis, ataukah
sebaliknya? Tak syak lagi, alternatif pertamalah yang benar.
Lagi pula, bila kata
"perkembangan'' digunakan untuk manusia, penggunaannya adalah dalam
pengertian harfiah dan sesungguhnya, namun bila digunakan untuk peralatan
teknis dan produktif, penggunaannya adalah dalam pengertian kiasan. Dalam
pengertian yang sebenarnya, arti perkembangan adalah evolusi sesuatu dari tahap
yang lebih rendah ke tahap yang lebih tinggi. Namun kalau digunakan dalam arti
kiasannya, maka yang terjadi adalah satu hal hilang dan hal lainnya muncul
menggantikan hal yang hilang itu.
Ketika seorang anak
tumbuh, maka sesungguhnya terjadi perkembangan. Namun kalau seorang guru
digantikan oleh guru lain yang lebih berpendidikan dan lebih efisien, tentu
saja terjadi perkembangan dalam mengajar, namun perkembangan seperti ini hanya
kiasan saja. Dalam kasus penciptaan peralatan, maka perkembangan manusia memang
nyata. Manusia mengalami perkembangan mental dalam arti yang sesungguhnya.
Namun perkembangan industri, seperti perkembangan industri otomotif yang setiap
tahun membanjiri pasar dengan model-model baru, hanya kiasan saja, karena dalam
kasus ini sesungguhnya tak ada yang bergerak dari tahap yang lebih rendah ke
tahap yang lebih tinggi. Mobil tahun lalu teknologinya belum begitu bagus,
namun sudah digantikan oleh mobil lain yang desain dan modelnya lebih bagus dan
mutakhir.
Dengan kata lain,
unit yang tidak sempurna dicampakkan dan digantikan oleh unit yang sempurna.
Dalam kasus ini, unit yang sama tidak mengalami perubahan dari tahap tidak
sempurna ke tahap sempurna. Jelaslah kalau terjadi perkembangan nyata dan
perkembangan kiasan sekaligus, maka yang primer adalah perkembangan nyata,
sedangkan yang sekunder adalah perkembangan dalam arti kiasan.
Beginilah posisi
teknologi. Sejauh menyangkut ilmu pengetahuan yang lain seperti kedokteran,
psikologi, sosiologi, filsafat, logika dan matematika, ketergantungan sepihak
ini tak mungkin dibuktikan kebenarannya. Perkembangan ilmu pengetahuan
bergantung pada posisi ekonomi, seperti posisi ekonomi bergantung pada perkembangan
ilmu pengetahuan, atau bahkan kurang dari ketergantungan posisi ekonomi pada
perkembangan ilmu pengetahuan. Mengkritik Marxisme, K. Schmoller mengatakan,
Tak diragukan lagi, kondisi material dan ekonomi penting sekali untuk mencapai
budaya yang lebih tinggi. Juga tak diragukan lagi, perkembangan intelektual dan
moral arahnya bebas."
Kalau satu kesalahan
dalam doktrin Filosof Perancis, August Comte, ini diabaikan, yaitu August Comte
meringkaskan sisi manusiawi manusia dalam 'pikiran' manusia, padahal pikiran
hanyalah satu bagian dari berbagai kemampuan manusia dan hanyalah separo dari
jiwa manusiawi manusia, maka teori August Comte mengenai perkembangan sosial
lebih berharga dibanding teori Marx. Kata August Gomte, "Fenomena sosial
tunduk kepada determinisme yang ketat, dan determinisme ini bekerja dalam
bentuk evolusi masyarakat manusia yang tak terelakkan—suatu evolusi yang
ditentukan oleh kemajuan pikiran manusia."
Dalam Materialisme Sejarah Terjadi Inkonsistensi Internal
Menurut materialisme
sejarah, setiap pikiran, setiap pandangan, setiap teori filosofis atau ilmiah,
dan setiap sistem moral, yang merupakan manifestasi dari kondisi khsus material
dan ekonomi, bergantung pada pemenuhan kondisi khususnya sendiri, dan nilainya
tidak mutlak. Setiap gagasan, setiap teori dan setiap sistem moral kehilangan
keabsahannya kalau masanya sudah lewat dan kalau terjadi perubahan pada kondisi
material dan ekonomi yang mengharuskan munculnya gagasan, teori dan sistem
moral tersebut. Dengan berubahnya keadaan, maka setiap gagasan dan setiap teori
hams digantikan oleh gagasan atau teori baru.
Jelaslah hukum
universal ini harus juga berlaku pada teori materialisme sejarah, seperti
dikemukakan oleh beberapa filosof dan sosiolog. Kalau tidak, berarti hukum ini
ada kekecualiannya, berarti ada hukum filosofis dan ilmiah yang bekerja secara
mandiri dan tidak tunduk kepada infrastruktur ekonomi. Kalau diakui bahwa hukum
ini berlaku pada teori materialisme sejarah juga, maka keabsahan teori ini
hanya untuk periode tertentu saja, yaitu periode kemunculan teori ini, dan
teori ini tak ada nilainya untuk periode sebelum atau sesudahnya.
Jika materialisme
sejarah sebagai teori filosofis tidak berlaku untuk dirinya, berarti dalam
materialisme sejarah ada inkonsistensi internal. Dan jika berlaku untuk dirinya
maupun teori lain, berarti keabsahannya hanya untuk periode terbatas. Bisa
muncul keberatan yang sama terhadap materialisme dialektis juga. Menurut
materialisme dialektis, prinsip dinamisme dan magnetisme berlaku untuk setiap
sesuatu termasuk teori filosofis dan hukum ilmiah. Poin ini sudah dibahas dalam
"The Principles of Philosophy and The Methode of Realism", jilid 1
dan 2. Semua ini menunjukkan betapa tak berdasarnya klaim bahwa dunia ini
adalah pertunjukan besar materialisme dialektis dan bahwa masyarakat adalah
pertunjukan besar materialisme sejarah.
Teori materialisme
sejarah juga menghadapi keberatan yang lain, namun sekarang ini keberatan
tersebut kami abaikan dulu. Sungguh mengherankan mengapa teori yang tak
berdasar dan tak ilmiah seperti itu bisa terkenal sebagai teori ilmiah!
Reputasi teori ini kelihatannya tak lain adalah hasil dan trik propaganda.
Catatan:
[1] Buku ini semula ditulis dalam bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Persia oleh Dr Anwar Khameh'i. Beliau memperlihatkan kearifan
yang mendalam dalam membahas pokok masalahnya dan kemampuan yang patut dipuji untuk
mengevaluasi dan menganalisis problem-problem yang ada. Beliau sendiri pernah
bertahun-tahun menjadi eksponen dan pendukung bersemangat mazhab ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar