Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Baik
tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan dan tahapannya masing-masing. Sebelum
kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atau
ahli tauhid (muwahhid) yang sejati.
Tauhid Zat Allah
Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah
adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama tentang Allah pada kita
adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud yang tidak bergantung pada
apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah
Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan membutuhkan
pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman: Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan
Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji (QS.
Fâthir: 15).
Kaum filosof menggambarkan Allah sebagai eksis
sendiri, atau sebagai wujud yang eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah
pada setiap orang adalah, bahwa Allah adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan
sumber final dari segala yang ada. Segala sesuatu adalah "dari-Nya".
Dia bukan dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat, Dia
adalah "Sebab Pertama".
Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah.
Setiap orang berpikir tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang Allah, dalam
benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya ada suatu
kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran lain, dan yang
menjadi sumber dari segala kebenaran.
Arti dari Tauhid Zat Allah adalah bahwa kebenaran ini hanya satu, dan tak
ada yang menyerupai-Nya. Al-Qur'an memfirmankan: Tak ada yang menyamai-Nya (QS.
asy-Syûrâ: 11). Dan tak ada yang menyamai-Nya (QS. al-Ikhlâsh: 4).
Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari
spesies, hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu
bagian dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan bahwa sesuatu itu adalah
anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud Yang Ada Sendiri, kita
tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar semua pikiran seperti
itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka sumber dan tujuan alam
semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah berasal dari berbagai sumber, juga
tidak akan kembali ke berbagai sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber
dan satu kebenaran. Allah berfirman, Katakanlah: "Allah adalah Pencipta
segalanya" (QS. ar-Ra'd: 16). Segala sesuatu akan kembali ke sumber yang
satu dan kebenaran yang satu. Kata Al-Qur'an, Ingatlah bahwa kepada Allah lah
kembali segala sesuatu (QS. asy-Syûrâ: 53).
Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat,
satu kutub dan satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam semesta adalah
hubungan Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat, bukan jenis
hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran manusia dan manusia.
Betul bahwa Allah tidak terpisah dari alam semesta. Dia bersama segala sesuatu.
Al-Qur'an memfirmankan: Dia bersamamu di mana pun kamu berada (QS. al-Hadîd:
4).
Namun demikian, ketidakterpisahan Allah dari alam
semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi alam semesta adalah seperti sinar bagi
lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau demikian halnya, maka Allah
merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam semesta, karena sinar
adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta
tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia memiliki orientasi yang
sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan semangat yang sama. Semua ini
adalah sifat makhluk yang adanya karena sesuatu yang lain. Allah bebas dari
semua itu. Al-Qur'an memfirmankan: Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan
dari apa yang mereka katakan (QS. ash-Shâffât: 180).
Tauhid dalam Sif at-sifat Allah
Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa
Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah
satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun yang seperti
Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan adanya pluralitas di
dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang menunjukkan kesempurnaan,
keperkasaan dan keindahan, namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang
benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan
keterpisahan sifat-sifat dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan
eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada eksistensi yang tak terbatas.
Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi
pada Wujud Mutlak. Seperti Tauhid Zat Allah, Tauhid Sifat-sifat Allah merupakan
doktrin Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang
semata-mata mengkristal dalam mazhab Syi’ah. Di sini kami kutipkan sebuah
kalimat dalam khotbah pertama "Nahj al-Balâghah"[1] yang membenarkan sekaligus
menjelaskan gagasan ini:
"Segala
puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato atau ahli bicara pun yang dapat memuji-Nya
dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat dihitung oleh ahli hitung
sekalipun. Yang paling perhatian sekalipun tak dapat menyembah-Nya dengan
semestinya. Dia tak dapat dimengerti sepenuhnya, sekalipun diupayakan. Dia tak
dapat dicapai oleh kecerdasan, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut.
Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apa pun. Tak ada kata yang dapat
menggambarkan-Nya dengan utuh."
Seperti kita tahu, dalam kalimat di atas digarisbawahi
ketakterbatasan Sifat-sifat Allah. Dalam khotbah itu juga, setelah beberapa
kalimat, Imam All bin Abi Thalib as berkata: "Sebenar-benar ketaatan
kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena
pihak yang dikaiti sifat menunjukkan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat
yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menunjukkan bahwa sifat
tersebut beda dengan pihak yang dikaitkan sifat tersebut. Barangsiapa mengaitkan
sifat kepada Allah, berarti dia menyamakan-Nya (dengan sesuatu)" (Lihat
Nahj al-Balâghah, khotbah 1, hal. 137. ISP. 1984).
Dalam kalimat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki
Sifat-sifat (yang Sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh batas-batas). Dalam kalimat
kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki Sifat-sifat, namun diperintahkan untuk
tidak mengaitkan sifat-sifat kepada-Nya. Redaksi kalimat-kalimat ini
menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak terbatas seperti halnya
ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik
dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang
terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan
demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat
Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu.
Tauhid dalam Perbuatan Allah
Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam
semesta dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan
perbuatan Allah saja, dan terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak
satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dalam bahasa
Al-Qur'an, Dia adalah pemelihara alam semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala
yang ada di alam semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki
sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap
perantara dan sebab ada dan bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya.
Milik-Nya sajalah segala kekuatan maupun kemampuan untuk berbuat.
Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan
karena itu merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat
melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti makhluk lainnya, manusia
adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali tidak mendelegasikan
Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia tidak dapat bertindak dan
berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa Allah aku berdiri dan duduk.
"
Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun makhluk
lainnya, dapat berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa makhluk tersebut
dan Allah sama-sama mandiri dalam berbuat. Karena mandiri dalam berbuat berarti
mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan dengan keesaan Zat
Allah (Tauhid dalam Zat — pen.), lantas apa yang harus dikatakan mengenai
keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan — pen.). Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang
tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak
mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan kehinaan. Karena itu, agungkanlah
Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya (QS. al-Isrâ': 111).
Tauhid dalam Ibadah
Tiga tingkatan Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya
teoretis dan merupakan masalah iman. Ketiganya harus diketahui dan diterima.
Namun Tauhid dalam ibadah merupakan masalah praktis, merupakan bentuk
"menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan pemikiran
yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi benar. Tahap teoretis
tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna. Tahap praktisnya
artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid teoretis artinya adalah
memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis artinya adalah menjadi satu.
Tauhid teoretis adalah tahap melihat, sedangkan tauhid praktis adalah tahap
berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang tauhid praktis, perlu
disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis. Masalahnya adalah apakah
mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan
Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan
seperti itu membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan
berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat.
Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan
seperti itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat
dan Metode Realisme". Apakah pengetahuan seperti itu bermanfaat atau
justru sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai manusia,
kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di zaman
modern ini bahkan menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah menganggap tak
banyak manfaatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang
Allah. Mereka memandang masalah-masalah seperti itu sebagai semacam manuver
mental dan pelarian dari problem-problem praktis kehidupan. Namun seorang
Muslim yang percaya bahwa realitas manusia bukanlah realitas jasmaninya saja,
namun realitas sejati manusia adalah realitas spiritualnya dan bahwa hakikat
roh manusiawi adalah hakikat pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa
yang disebut sebagai tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari
tauhid praktis, merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi
tingkatannya. Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran
Ilahiah, dan membuat manusia menjadi sempurna. Allah SWT berfirman: Kepada-Nya
naik kata-kata yang baik, dan amal saleh dinaikkan-Nya (QS. Fâthir: 10).
Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh pengetahuannya
tentang Allah. Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia
itu sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam semesta, sistemnya dan
asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia tersebut, yang lima
puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan. Dari sudut
pandang Islam, khususnya ajaran Syi’ah, tak ada keraguan sedikit pun bahwa
tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang Allah, tak soal
dengan efek praktis dan sosialnya.
Sekarang kita bahas masalah tauhid praktis. Tauhid
praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau beribadah
kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah kepada Allah.
Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam, ibadah ada
tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah menunaikan
ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan pengagungan Allah. Kalau
ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah, artinya adalah keluar
total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang Islam, ibadah bukan hanya
tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi spiritual dan menerima sesuatu
sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong ibadah. Al-Qur'an memfirmankan:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya (QS. al-Furqân: 43).
Kalau kita menaati seseorang yang telah dilarang Allah
untuk ditaati, dan tunduk patuh sepenuhnya kepadanya, berarti kita menyembah
atau beribadah kepada orang itu. Al-Qur'an mengatakan, Mereka menjadikan para
rabbi dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (QS. at-Taubah: 31). Dan
tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
Allah (QS. Âli 'Imrân: 64).
Dengan demikian tauhid praktis atau tauhid ibadah,
artinya adalah menerima Allah saja sebagai yang layak untuk ditaati tanpa
pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal dan arah perilaku, dan
menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak ditaati tanpa
pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah artinya adalah
tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup untuk-Nya saja,
serta mati untuk-Nya saja.
(Nabi Ibrahim berkata): "Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Tuhan yang mendptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang mempersekutukan
Tuhan"... Katakanlah, "Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama
tunduk patuh kepada-Nya" (QS. al-An'am: 79, 162-163). Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan Tauhid praktis atau
Tauhid ibadah. Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini: "La ilaha
illallah" (tiada Tuhan selain Allah).
Catatan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar