Oleh
F Budi Hardiman*
“Segala yang jahat berasal
dari kelemahan” (Jean-Jacques
Rousseau)
Mengapa manusia melakukan
kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan sederhana ini menyimpan keheranan.
Keheranan adalah sebuah perasaan yang timbul saat orang menghadapi yang tidak
lazim. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam sebuah masyarakat yang
menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lazim. Tak ada keheranan yang muncul
atasnya, akal pun tertidur, dan bersamaan dengan itu kekerasan tidak pernah
dipersoalkan. Sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah
kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan di atas sangat penting untuk
dilontarkan dan dijawab.
Jawaban atasnya sangat
mendesak justru di saat merebaknya peristiwa-peristiwa kekerasan massa setelah
tumbangnya rezim Soeharto. Kita ingat kembali katalog kekerasan massa di negeri
kita: kerusuhan Mei 1998 dengan target etnis China, perang saudara di Maluku
antara orang Kristen dan Muslim, perselisihan etnis di Kalimantan antara Dayak
dan Madura, pengejaran dukun-dukun santet di Blambangan, tawuran antar pelajar,
dan seterusnya. Dan dalam pertarungan politis dalam rangka Pemilu 2004
kecemasan akan kekerasan massa tak juga dijauhkan dari kita. Ia justru
meningkat. Orang bisa berkilah bahwa saat itu kita berada dalam keadaan tidak
normal. Namun, dalam keadaan yang dianggap “normal” pun pencuri sandal di
masjid di wilayah Tangerang sudah bisa mengalami nasib mengenaskan seperti
bidaah di Eropa abad pertengahan: dibakar massa.
Keheranan kita bertambah
saat membaca bagaimana sikap para pelaku kekerasan itu terhadap korban-korban
mereka. Dalam konflik etnis di Kalimantan kepala manusia dipenggal dan diarak
beramai-ramai dengan penuh kebanggaan. Ekstasis massa semacam itu juga terjadi
di dalam peristiwa Blambangan dan banyak peristiwa lain, seperti dalam perang,
pogrom, masaker, dan seterusnya. Yang ganjil dalam perilaku massa itu adalah
berciri psikologis: para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan
kekerasan mereka. Akal sehat sirna dan moralitas kehilangan daya gigitnya.
Setelah berjarak dari peristiwa itu, orang lalu mengatakan bahwa individu
terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali
melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Individu yang terlibat dalam
kekerasan massa sekonyong-konyong dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke
dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya
sebagai seorang individu. Saya menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini
diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan
kolektif. Di dalam ruang kolektif itu tindakan-tindakan yang tak lazim dalam
ruang keseharian dirasa lazim. Memenggal kepala dirasa lazim di tengah-tengah
situasi tak lazim dinamika kekerasan massa. Dengan kata lain, rasa salah raib
ditelan oleh suatu “kelaziman dari ketaklaziman” dinamika kekerasan massa.
Yang kita bicarakan di
sini bukan kekerasan individual-yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu,
seperti membunuh karena dendam pribadi, memerkosa atau merampok-melainkan kekerasan
massa, yakni kekerasan yang dilakukan oleh massa. Kekerasan jenis ini berbeda
dari kekerasan yang dilakukan individu karena para pelaku melakukan kekerasan
itu tidak semata-mata atas dasar dendam atau kebencian personal, melainkan
banyak dipengaruhi dinamika sebuah kelompok. Kekerasan individual terliput oleh
hukum pidana dan situasi sehari-hari, tetapi kekerasan massa sering melampaui
hukum positif itu. Bentuk gigantis dari kekerasan massa itu adalah revolusi dan
perang. Sulitlah menghukum demikian banyak pelaku. Karena itu, semakin banyak
pelakunya semakin gigantis massa yang bertindak destruktif, semakin kurang
personallah motif kekerasan dan semakin merasa benarlah para pelaku kekerasan
itu. Kekerasan massa tidak beroperasi di dalam hukum, tetapi melawan dan
melampaui tatanan hukum itu sendiri. Karena kompleksnya peristiwa ini,
akar-akar penyebabnya juga kompleks. Namun, dalam ulasan ini saya akan menarik
perhatian Anda pada tiga akar kekerasan yang terkait dengan conditio humana,
yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis, dan sosiologis.
Akar epistemologis
Kita mulai dengan
kondisi-kondisi di dalam diri individu. Mengapa manusia melakukan kekerasan
terhadap sesamanya? Mungkin sebaiknya pertanyaan berikut dilontarkan dulu:
apakah pelaku kekerasan memandang korbannya sebagai “sesama”-nya? Di sini kita
berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yaitu proses pengenalan
manusia. Massa mengarak kepala manusia dengan rasa penuh kemenangan, kerumunan
penduduk membakar pencuri dengan teriakan-teriakan kemarahan, atau seorang
pemerkosaan melecehkan korbannya senista mungkin-sulit mempercayai bahwa para
pelaku di dalam peristiwa-peristiwa ini melihat korbannya sebagai “sesama”
manusia. Dengan yang dianggap sebagai sesama manusia tidak akan melakukan
kekerasan karena dirinya tercermin di dalam yang sama itu. “Yang sama mengenal
yang sama,” demikian tulis Empedokles dua setengah milenium yang silam. Kalau
demikian, kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama, melainkan yang lain.
Korban dipersepsi dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga di hadapan
pelaku tampil dalam sosoknya yang terasing. Dia asing bukan sekadar sebagai
penduduk, warga negara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan-lebih dari
itu-asing sebagai manusia. Dengan kata lain, korban didehumanisasikan dan
didepersonalisasikan sampai pada status obyek.
Degradasi itu terjadi
mungkin hanya jika orang lain tidak sepenuhnya independen dari pikiran kita
tentangnya. Menurut Simmel sang “kamu” dalam proses pengenalan itu juga
merupakan hasil konstruksi sang “aku”. Kita memang tidak pernah menjumpai orang
lain sebagaimana adanya. Untuk mengenalinya kita membuat rekaan tentangnya.
Dengan kata lain, sang “kamu” itu merupakan fragmen rekaanku. 1* “Kamu adalah orang yang
simpatik”, rekaan macam ini merupakan proses memberi bentuk pada obyek yang
dikenali dengan cara merepresentasikannya di dalam kesadaran. Obyek itu, suatu
“kamu”-katakanlah-dicaplok oleh kesadaranku dengan mendefinisikannya. Dapat
dikatakan bahwa proses pengenalan orang lain sudah mengandung momen dominasi.
Tentu saja dalam kondisi normal aku dan kamu saling mendefinisikan. Interseksi
fragmen-fragmen hasil bayangan keduanya menghasilkan “kita” yang tak lain
adalah fiksi bersama. Degradasi muncul jika sang “kamu” pasif dan tak mampu menegaskan
diri. Dalam kondisi ini manusia menjadi korban penentuan manusia lain, menjadi
obyek bagi suatu subyek. Semakin tak berdaya obyek itu, semakin membiarkan diri
ditentukan dari luar dan semakin terbuka peluang bagi subyek itu untuk
membesarkan diri dengan mengecilkan obyeknya. Dengan pengecilan atau pelecehan
inilah “kamu” tidak dipersepsi sebagai “sesama”.
Dalam kondisi normal
proses pengenalan berkembang dari sesuatu yang umum menuju yang semakin
spesifik. Ego mengenali alter (yang lain) pertama-tama sebagai anggota suatu
kelompok. “Oh, dia orang Kristen”, “Dia aktivis partai” atau “Ia kemarin
bersama-sama dengan para pelamar itu”. Pada fase kolektivisasi ini ego melihat
alter sebagai anasir seragam sebuah kelompok. Semua turis Barat, misalnya, kita
lihat sama, yaitu berkulit putih, bertubuh jangkung, berambut pirang, berhidung
mancung. Mereka dimasukkan ke dalam tipe “bule”. Makin berbeda kelompokmu dari
kelompokku, makin samalah kelihatannya individu-individu di dalam kelompokmu
itu, tetapi sebaliknya makin berbedalah aku dan kamu. “Ah, semua bule sama
saja, yaitu pelaku seks bebas, banyak uang, arogan dan seterusnya,” demikian
logika pengenalan kolektif, “maka bule yang ada di hadapan kita ini lain dari
kita semua”.
Persepsi yang tidak persis
ini akan berubah lewat kontak terus-menerus. Jika hubungan menjadi kian
personal, dalam kesadaran kita tampillah sang “kamu” itu sebagai individu,
yaitu sebagai Johan, Toni, atau Silke. Pada fase individualisasi ini lama
kelamaan perbedaan antara aku dan kamu makin kabur. Sang “kamu” menjadi
“sesama”. “Kesamaan,” kata Aristoteles, adalah “jiwa persahabatan”. Dari
penjelasan yang mengacu pada pemikiran Simmel ini dapat kita temukan jawaban
atas pertanyaan di atas: tindakan kekerasan itu mungkin terjadi karena proses
pengenalan tidak berkembang, yaitu tertambat pada fase kolektivisasi.
Dalam kondisi massa,
manusia-manusia tidak mengenal satu sama lain sebagai individu-individu, tetapi
sebagai elemen massa. Pengenalan kolektif ini bukan hanya tertambat, melainkan juga
mengalami degradasi. Bentuk degradasi pengenalan kolektif adalah stigma. Sang
“kamu” yang distigmatisasi, yaitu korban kekerasan, tidak dipandang sebagai
“manusia seperti kit”’, tetapi sebagai anasir sebuah ras, kelas, partai, atau
agama yang “keliru”. Di tengah-tengah anonimitas massa stigma adalah jalan
pengenalan yang paling sederhana. Lewat stigma kelompok dibenturkan kepada
kelompok, sehingga manusia-manusia tidak lagi melihat orang-orang lain sebagai
“sesama” manusia, tetapi sebagai musuh-musuh yang harus dibasmi. Sebuah
kelompok mendisiosiasikan diri dari kelompok lain karena yang lain ini
kelihatan “kurang ortodoks” daripada yang pertama. Setiap perbedaan kecil macam
itu bisa dibesar-besarkan untuk mendeskreditkan kelompok musuh itu, seperti tampak
dalam konflik antara kaum Protestan dan Katolik di Irlandia, antara suku Dayak
dan Madura di Kalimantan. Dalam kondisi massa, para pelaku kekerasan tidak
merasa membunuh “sesama” mereka; mereka justru melihat aksi kekerasan itu
sebagai “kewajiban etis” untuk menjaga keutuhan kolektif mereka. Yang mereka
bunuh bukan manusia, melainkan musuh, dan musuh itu hanyalah separuh manusia.
Dengan demikian, di sini
kita menemukan bahwa tindakan kekerasan sudah terkondisi di dalam struktur
pikiran manusia sendiri. Jika kita mengatakan bahwa kekerasan melekat di dalam
struktur pikiran manusia, yang kita acu di sini dua hal berikut. Pertama,
pengenalan atas manusia lain mengandung momen dominasi karena mengenali berarti
juga mendefinisikan. Kekerasan semakin nyata jika yang didefinisikan itu tak
mampu mendefinisikan diri dan tunduk pada dikte instansi di luar dirinya.
Kedua, pengenalan atas manusia lain mulai dengan stereotipifikasi bahwa orang
lain itu anggota sebuah kelompok dan bukan individu. Stereotipifikasi yang
netral ini dalam situasi konflik menjadi stigmatisasi yang destruktif. Itulah
gambaran tentang musuh (Feindbild). Dengan demikian, akar epistemologis
kekerasan kita temukan dalam fakta bahwa di dalam rasio kita sudah melekat
kemampuan abstraksi yang dalam situasi ancaman menjadi dehumanisasi dan
depersonalisasi manusia lain. Dari akar epistemologis ini lahir
ideologi-ideologi atau sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan manusia ke
dalam “kawan” dan “lawan”. Dalam dikotomi ini korban dipersepsi sebagai ancaman
kelompok.
Akar antropologis
Mengapa abstraksi perlu
mengondisikan kekerasan? Bukankah asas-asas etis universal, seperti keadilan
atau kebaikan, juga merupakan abstraksi, dan abstraksi ini justru mencegah
kekerasan? Di manakah perversi itu dimulai? Individu tidak akan bergabung ke
dalam massa dan melakukan kekerasan kolektif semata-mata spontan dan naluriah.
“Kewajaran” dalam melukai atau menghabisi sesama manusia itu dimungkinkan
karena individu-individu memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang
bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi
manusia untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya adalah langkah penting
untuk menemukan akar psikologis kekerasan. Manusia akan melukai atau menghabisi
nyawa sesamanya tanpa merasa bersalah jika tindakan itu dipandang sebagai
realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri. Tetapi bagaimana
hal ini mungkin? Bagaimana membunuh atau melukai sesama manusia dipandang
sebagai “kewajiban etis”?
Fenomena yang tampaknya
berlawanan dengan akal sehat itu memiliki akar antropologis yang dalam. Nilai
adalah sesuatu yang kita hargai, misalnya kesehatan, kecantikan, kepandaian,
atau keadilan. Pengalaman nilai (Werterfahrung) menurut Hermann Broch bersifat
ekstatis, yaitu menghasilkan perasaan ekstensi ego (Ich-Erweiterung) 2*. Nilai kecantikan, misalnya,
mendorong individu merawat, menghiasi, dan menampilkan tubuhnya, dan lewat
pengakuan orang lain ia merasa egonya melar. Pemilikan, berkarya, dan
penguasaan adalah cara-cara ego memelarkan diri melampaui batas-batas tubuhnya.
Dalam pengalaman nilai yang ekstatis itulah ego merasa seolah-olah mengatasi
kematian. Jika dimengerti sebagai sistem nilai-nilai, kultur memberi manusia
sebuah fiksi untuk menumpulkan perasaan cemas akan kematian atau bahkan
melupakannya. Negara memberi fiksi keabadian kekuasaan; sport dan sirkus
merangsang bayangan ketakterbatasan tubuh; agama meredakan kecemasan itu dengan
gambaran tentang hidup sesudah mati; atau foto telanjang mengawetkan sepenggal
fragmen waktu yang menyembunyikan kenyataan bahwa tubuh dapat menjadi tua dan
busuk. Nilai dapat menumpulkan kecemasan akan kematian dalam dua cara: para
fans Inul yang berdesak-desakan menari memujanya itu melupakan kematian,
sedangkan kaum fundamentalis yang bersedia mati demi agamanya itu membayangkan
kematian sebagai suatu jalan yang bernilai. Entah dengan melupakan kematian
atau mengubahnya sebagai positif, nilai berfungsi mengatasi rasa panik dalam diri
manusia.
Rasa panik ini berlawanan
dengan ekstasis karena menghasilkan perasaan penyempitan ego (Ich-Verengung).
Panik tidaklah nyaman, maka manusia cenderung mengatasinya dan-jika
perlu-melarikan diri darinya. Seperti dianalisis oleh Broch panik massa muncul,
jika sistem nilai-nilai mengalami krisis. Individu kehilangan orientasi dan
rasa kepastiannya karena tak dapat mengantisipasi harapan-harapan
lingkungannya. Kematiannya membayanginya dan mencemaskannya karena nilai-nilai
yang kini dideskreditkan itu tidak lagi mampu memelarkan ego. “Terutama
orang-orang yang ’terancam nilai-nilai’-nyalah,” tulis Broch,” yang paling
rentan dan cepat terkena psikosis massa”. 3*
Apa yang terjadi?
Pertama, krisis makna
dalam lingkungan sosial. Jika nilai-nilai moral kehilangan daya gigitnya karena
oportunisme merajalela, suatu disorientasi nilai akan dialami individu.
Inkosistensi dan inkoherensi nilai-nilai menimbulkan rasa ketidakpastian yang
mendorong panik massa. Kerinduan akan kepastian yang muncul merupakan bahan
bakar bagi setiap ideologi massa yang memotivasi kekerasan kolektif. Fanatisme,
radikalisme, atau ekstremisme adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa
ketidakpastian itu. Kedua, krisis makna dalam diri individu. Para pengangguran,
mereka yang merasa dimarjinalisasikan, para korban ketimpangan sosial dan
seterusnya merasa kehilangan tempat dalam masyarakatnya sehingga merasa diri
mereka tak bermakna. Ego mereka mengecil dan panik. Suatu perluasan ego
ditawarkan oleh “etika semu” yang memprovokasi dan memobilisasi
individu-individu menjadi massa yang melakukan tindak kekerasan. “Bahaya
menemukan akal bulus”, demikian tulis Francis Bacon. 4* Dan kita tambahkan: panik
menghasilkan penipuan diri.
Perversi dalam pemahaman
baik dan buruk terjadi. Membunuh yang dalam situasi normal itu buruk secara
moral, dalam histeri massa menjadi imperatif. Tetangga yang berperilaku tidak
lazim itu pasti dukun santet dan dukun santet itu berkolaborasi dengan dunia
kegelapan, maka membunuh orang yang dicurigai sebagai praktisi santet merupakan
suatu keharusan untuk membersihkan desa dari elemen-elemen dunia hitam.
Perversi ini mungkin terjadi karena agresivitas dan tindakan kekerasan dapat
menjadi substitusi atas nilai yang mengalami krisis. Seperti pengalaman nilai
yang menimbulkan ekstasis ego, tindakan destruktif juga berciri ekstatis.
Pelaku mengalami ekspansi ego dengan meleburkan dirinya dalam massa yang
melakukan destruksi. Penyebab internal kecemasannya diproyeksikan ke luar, ke
arah obyek-obyek yang dianggap mengancam: dukun santet, kawanan dari sekolah
musuh, etnis China, orang Madura, dan seterusnya. Rasa tak berdaya
sekonyong-konyong berubah menjadi rasa kuasa atas korban. Dengan melukai atau
menghabisi hidup korban, ego pelaku mengalami imunisasi melawan rasa cemasnya (Angstbetaeubung).
“Panik”, tulis Broch, adalah luapan kecemasan metafisis purba yang muncul dari
rasa sepi kematian yang melekat pada setiap jiwa dan hanya dapat dibius lewat
ekstase pengalaman nilai. 5*
Akar epistemologis, yakni
kemampuan abstraksi, menyediakan platform netral, karena abstraksi bisa
mendukung sistem terbuka maupun tertutup. Dalam krisis yang menghasilkan rasa
panik, abstraksi dapat melayani naluri dasar manusia, yakni kecemasan akan
kematian. Kita sampai pada akar antropologis kekerasan, yakni rasa panik.
Seperti dianalisis oleh Wolfgang Sofsky, dalam rasa paniknya manusia tidak
menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak dapat begitu saja mengusir rasa
cemasnya. Justru sebaliknya, rasa cemas itu mendikte rasionya sehingga
persepsi-persepsinya dan-lebih dari itu-abstraksinya tentang dunia luar
terdistorsi. 6* Perversi
dalam kesadaran yang disebabkan oleh rasa panik ini merupakan penjelasan
mengapa dalam situasi krisis sistem nilai tertutup, seperti fundamentalisme
agama, ekstremisme sayap kanan, ataupun radikalisme menjadi populer.
Sistem nilai tertutup
memenuhi kerinduan akan konsistensi, koherensi, dan kepastian. Konsep-konsep
abstrak di sini melayani agresi manusia dengan cara membenarkannya. Tak ada
sistem nilai yang begitu memesona massa yang gelisah selain yang memuat asas
“barangsiapa tidak termasuk kita, melawan kita”. Dalam sistem tertutup semacam
inilah membunuh atau melukai musuh bukan hanya benar, melainkan juga “harus”.
Sumber dari fanatisme dan kebengisan yang menyertainya terletak di dalam palung
jiwa manusia, yaitu dalam pelarian psikis dari perasaan tak pasti yang tak
tertanggungkan. “Yang jahat,” demikian Rousseau, “takut kepada dirinya sendiri
dan berupaya untuk melarikan diri dari dirinya sendiri”. 7* Fanatikus gagap menghadapi ambivalensi
hidup dan menyerahkan kebebasannya kepada sistem nilai tertutup. Dengan
demikian, fanatisme massa dan kekerasan yang menyertainya bukanlah tanda
kekuatan, melainkan tanda ketakberdayaan manusia sebagai individu. “Fanatisme,”
demikian kata Nietzsche, adalah satu-satunya jalan yang membawa orang-orang
lemah kepada “kekuatan kehendak”. 8*
Akar sosiologis
Abstraksi dan panik adalah
akar-akar yang terletak lebih pada kesadaran dan motivasi manusia. Rasa panik
terletak tidak di luar, melainkan di dalam subyek. Sebagian rasa panik
bersumber dari rasa takut akan ketakutan, yakni takut untuk menghadapi kesepian
sebagai seorang individu. Manusia enggan menghadapi rasa sepi karena merasa tak
nyaman menghadapi dirinya sendiri. Pada saat kesepian itulah kematiannya
disadari lebih tajam daripada pada saat-saat lain. Mengapa muncul kesepian?
Karena pengalaman isolasi. Untuk menemukan akar sosiologis kekerasan, kita
harus bertolak dari pengalaman isolasi itu karena isolasi yang menyentuh jiwa
itu bersumber dari kondisi-kondisi struktural masyarakat. Artinya, tatanan
masyarakat itulah yang menjadi sumber kekerasan. Bagaimana ini dapat
dijelaskan? Orang selalu dapat mengatakan bahwa ketimpangan sosial memicu aksi
kekerasan massa, karena mereka yang dimarjinalisasikan, didikriminasikan, dan
direpresi akan memobilisasi diri sebagai massa. Tindakan kekerasan dapat
dilihat di sini sebagai strategi protes. Represi, diskriminasi, dan
marjinalisasi adalah hasil kekerasan “legitim” atau-orang biasa
menyebutnya-”negara”. Bila tatanan ini menjadi kaku dan bila individu-individu
melihat peluang untuk membongkarnya, mereka berkumpul untuk merontokkannya.
Tatanan berakhir dengan kerusuhan dan masaker. Kekerasan institusional mengubah
wajahnya menjadi kekerasan massa. Penjelasan yang dikemukakan oleh sosiolog
Veit Michael Bader 9* ini
menarik, tetapi belum memuaskan karena tidak menjelaskan kaitan antara dimensi
struktural dan dimensi motivasional manusia, antara epistemologi dan
antropologi di satu pihak dan sosiologi di lain pihak.
Marilah kita kembali pada
tesis isolasi tadi dengan menunjukkan hubungannya dengan tesis abstraksi dan
tesis kepanikan. Untuk itu, kita perlu menilik ekses yang ditimbulkan oleh
perkembangan ekonomi kapitalisme. Pertumbuhan dan konsentrasi modal di dalam
masyarakat modern menimbulkan luapan populasi. Timbunan individu-individu dari
berbagai kelompok di satu tempat akan mengaburkan struktur-struktur sosial dan
politis masyarakat itu. Dalam timbunan populasi yang terkonsentrasi pada
kegiatan akumulasi modal seperti itu, terjadi defisit partisipasi politis
karena batas-batas publik dan privat diterjang oleh desakan kekuasaan modal.
Problem demografis yang disebabkan oleh pertumbuhan kapitalisme ini berkaitan
dengan akar epistemologis dan antropologis yang sudah kita bicarakan di atas.
Pertama, pengenalan manusia sebagai individu relatif lebih sulit di dalam mass
society macam itu, seperti yang kita alami, saat kita berada di tengah-tengah
kerumunan. “Zaman kita”, demikian tulis Ortega y Gasset, menderita sakit bahwa
hanya ada terlalu sedikit manusia dan terlalu banyak orang. Dalam masyarakat
massa, individualitas dari yang individual raib dalam kolektivitas dari yang
kolektif. Kedua, dalam timbunan populasi semacam itu individu
didepolitisasikan, yaitu disterilkan dari partisipasi demokratis. Depolitisasi
sebagai ekses konsentrasi kegiatan ekonomis ini-seperti dianalisis oleh Hannah
Arendt-menimbulkan pengalaman isolasi dalam ego karena ego merasa tercerabut
dari komunitasnya.
Di sini dalam pengalaman
isolasi ini kita temukan mata rantai antara akar epistemologis dan
antropologis: ego yang tercerabut akan mengalami moral vacuum dan disorientasi
nilai. Krisis ini lalu diperhebat oleh relativisme nilai-nilai yang diakibatkan
oleh benturan berbagai horizon nilai di dalam masyarakat majemuk. Kekosongan
moral dan disorientasi nilai yang dialami ego inilah yang dapat menjelaskan
mengapa sebuah ideologi atau sistem nilai tertutup yang bersifat etnosentris,
fasistis, fundamentalistis menimbulkan pesona luar biasa pada manusia-manusia
yang terisolasi satu sama lain. Dalam ideologi-ideologi ini ditawarkan
abstraksi atau universalisasi yang berbasis pada komunitas tertentu, misalnya,
agama, bangsa, ataupun ras. Ideologi ini memberi rasa koherensi dan
konsistensi, yaitu rasa keberakaran yang mereka rindukan. Sebagai gantinya,
mereka mengisi kekosongan moral dalam dirinya dengan suara kelompok atau
otoritas di luar diri mereka sebagai substitusi kesadaran moralnya. Bergabung
dengan massa dan bersama-sama melakukan tindakan destruktif merupakan bentuk
penegasan diri egonya yang panik melalui penegasan kelompok. Dapat dibayangkan
betapa besarnya pembebasan yang dialami ego dari perasaan terisolasinya saat ia
larut dalam mobilisasi massa. Isolasi ini pada gilirannya dapat dikembalikan
pada kondisi struktural sebuah masyarakat yang mengalami depolitisasi akibat
perkembangan ekonomi yang menerjang batas-batas publik dan privat, sehingga
seluruh masyarakat sebagai sebuah komunitas politis menjadi lemah. Abstraksi,
panik, dan depolitisasi adalah “tritunggal kurang kudus” yang memperlancar
jalan menuju kekerasan massa.
*Dosen S-2 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
dan Universitas Pelita Harapan
1* Lih. Simmel, Soziologie, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,
1995, hlm 45.
2* Lih. Broch, Hermann, Massenwahntheorie, Frankfurt
a.M., 1979.
3* Ibid, hlm 280
4* Knischek, S (ed), Lebensweisheiten beruehmter
Philosophen, Humbolt, Muenchen, 2000, hlm. 39.
5* Broch, op cit. hlm 298.
6* Lih. Sofsky, Wolfgang, Traktat ueber die Gewalt,
Frankfurt a.M., hlm 72.
7* Knischek, S. (ed), hlm 33.
8* Ibid, hlm 35.
9* Lih. F Budi Hardiman, Struktur Kekerasan Massa,
dalam: Eddy Kristiyanto (ed), Etika Politik dalam Konteks Indonesia, Kanisius,
Yogyakarta, 2001, hlm 225 dst.
Sumber: Kompas Rabu, 03 Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar