Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Pokok masalah pembahasan
kita sekarang adalah "imamah". Kami tahu bahwa bagi kami, kaum Syiah,
imamah luar biasa penting, sementara mazhab lain kaum Muslim tidak memandang
sedemikian penting. Alasannya adalah konsepsi imamah kami beda dengan konsepsi
imamah mazhab lain. Tak syak lagi, ada kesamaannya juga, namun yang memandang
luar biasa penting terhadap imamah hanyalah kaum Syiah. Misal, ketika kami,
kaum Syiah, ingin menguraikan prinsip-prinsip pokok agama menurut ajaran Syiah,
kami katakan bahwa prinsip-prinsip ini adalah Tauhid, Kenabian, Keadilan Ilahi,
Imamah dan Akhirat. Kami memandang imamah sebagai prinsip pokok agama. Sedikit
banyak, kaum Sunni juga tidak sama sekali menolak imamah. Namun menurut
keyakinan mereka, imamah bukan prinsip pokok agama. Mereka memandang imamah
hanya sebagai masalah tambahan. Sesungguhnya ada perbedaan pendapat yang
mendasar mengenai imamah. Kami mempercayai imamah seperti ini, sedangkan kaum
Sunni mempercayai imamah yang lain. Alasan kenapa kaum Syiah memandang imamah
sebagai prinsip pokok agama, sedangkan kaum Sunni memandangnya sebagai masalah
tambahan, adalah konsepsi Syiah mengenai Imamah beda sekali dengan konsepsi
imamah Sunni.
Makna Imam
Imam berarti pemimpin atau
orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa Arab tidak menunjukkan
arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan
fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata ini dalam
kedua arti itu. Di satu tempat Al-Qur'an mengatakan: Kami tunjuk mereka sebagai
Imam yang memberikan panduan dengan izin Kami. (QS. al-Anbiyâ': 73). Di tempat
lain dikatakan: Imam-imam yang mengajak orang ke neraka. (QS. al-Qashash: 41). Mengenai
Fir'aun, Al-Qur'an menggunakan frase yang mengandung arti yang sama dengan arti
imam atau pemimpin. Dikatakan: Pada Hari Pengadilan dia akan membawa kaumnya ke
api neraka. (QS. Hûd: 98)
Dengan demikian, secara
harfiah arti imam adalah pemimpin. Namun sekarang perhatian kami bukan pada
pemimpin yang jahat. Baiklah sekarang kami bahas konsepsi imamah. Kata
"imamah" berlaku untuk beberapa kasus. Beberapa konsep imamah diakui
oleh kaum Sunni juga. Namun mereka berbeda dengan kami mengenai siapa imam itu
dan bagaimana kualitasnya. Mereka sama sekali tidak mempercayai konsep-konsep
imamah tertentu. Mereka tidak mempercayai imamah dalam arti seperti yang kami
percayai. Mereka tidak sepakat dengan orang yang mengemban jabatan ini. Imamah
versi mereka tak lain adalah pemimpin sosial, dan dalam arti seperti inilah
kata ini digunakah dalam buku-buku teolog akademis lama.
Khâja Nasiruddin Tusi,
dalam "at-Tajrid", mendefinisikan imamah sebagai kewajiban umum
masyarakat. Di sini perlu juga disebutkan poin lain:
Beragam Aspek Nabi
Nabi saw, dalam masa
hidupnya karena khusus posisinya dalam Islam, memiliki beberapa aspek seperti
ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan riwayat hidupnya. Pada saat yang sama Nabi
memiliki beberapa jabatan. Dia adalah seorang Nabi Allah, dan dalam kapasitas
ini dia menyampaikan risalah dan perintah Allah kepada umat manusia. Al-Qur'an
mengatakan: Apa saja yang diberikan Rasul, ambillah, dan apa saja yang
dilarangnya, jauhilah. (QS. al-Hasyr: 7)
Dengan kata lain, apa saja
petunjuk dan perintah yang diberikan Nabi saw kepada umat manusia, maka itu
diberikannya atas nama Allah. Dari sudut pandang ini, Nabi saw hanya
menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jabatan lain Nabi saw adalah
hakim agung, karena itu Nabi melaksanakan keadilan di tengah kaum Muslim.
Menurut Islam, setiap orang tidak bisa menjadi hakim, karena dari sudut pandang
Islam, memutuskan perkara adalah urusan Allah. Allah menyuruh keadilan, dan
hakim adalah orang yang melaksanakan keadilan kalau terjadi perselisihan.
Jabatan ini juga dengan jelas diberikan kepada Nabi saw oleh Al-Qur'an.
Al-Qur'an mengatakan: Demi Tuhanmu, mereka tak akan mempercayai kebenaran
sampai mereka menjadikanmu hakim untuk apa yang mereka perselisihkan dan
menerima apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk kepada keputusanmu dengan
sepenuh hati. (QS. an-Nisâ': 65)
Nabi saw diangkat menjadi
hakim oleh Allah. Karena itu, jabatan hakim ini bukanlah jabatan biasa,
melainkan jabatan ilahiah. Praktisnya dia juga Nabi-hakim. Jabatan ketiga yang
resmi diemban Nabi saw dan jabatan ini diberikan kepadanya oleh Al-Qur'an
adalah jabatan sebagai kepala negara. Dia adalah kepala negara dan pemimpin
masyarakat Muslim. Dengan kata lain, dalam masyarakat Muslim dia adalah pembuat
kebijakan dan orang yang memiliki kemampuan memerintah dengan baik. Diyakini
bahwa aspek ini, yang terdapat dalam diri Nabi saw, yang digambarkan oleh ayat
Al-Qur'an, Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya
dan pemimpin-pernimpin (kompeten)-mu. (QS. an-Nisâ': 59)
Sesungguhnya tiga jabatan
yang diemban Nabi saw bukan sekadar jabatan formal atau seremonial. Petunjuk
dan perintah yang kita terima darinya pada dasarnya ada tiga macam:
(1) Macam pertama berupa
wahyu Allah. Mengenai wahyu Allah ini Nabi saw tak dapat berbuat atas
inisiatifnya sendiri. Fungsi satu-satunya adalah menyampaikan kepada umat
manusia wahyu yang diturunkan kepadanya.
(2) Petunjuk dan perintah
agama. Misal, Nabi mengajarkan bagaimana salat dan berpuasa. Namun ketika dia
melaksanakan keadilan, maka keputusannya bukan keputusan wahyu. Kalau terjadi
perselisihan antara dua orang, maka Nabi memutuskan perkaranya berdasarkan
standar Islam, dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal
seperti ini, Jibril tidak turun membawa wahyu untuknya. Kalau untuk kasus-kasus
luar biasa, masalahnya lain. Pada umumnya Nabi saw memutuskan semua perkara
hukum berdasarkan bukti yang ada, persis seperti yang dilakukan orang lain.
Paling banter dapat dikatakan bahwa keputusannya lebih baik dibanding keputusan
orang lain. Nabi sendiri mengatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk
menyampaikan pendapat berdasarkan apa yang tampaknya masuk akal. Misal ada
penggugat dan tergugat, dan penggugat mengajukan dua saksi yang tak tercela.
Nabi akan memutuskan perkara ini berdasarkan bukti mereka. Jadi, keputusan ini
akan merupakan keputusan Nabi sendiri, dan bukan keputusan yang diwahyukan
kepadanya.
(3) Dalam kapasitas ketiga
ini, ketika Nabi saw memberikan perintah sebagai pemimpin masyarakat, sifat
perintahnya ini beda dengan sifat apa yang disampaikannya sebagai wahyu Allah.
Allah mengangkat Nabi sebagai pemimpin masyarakat. Dalam kapasitas ini Nabi
terkadang bermusyawarah. Kita tahu bahwa Nabi bermusyawarah dengan
sahabat-sahabatnya pada waktu Perang Badar dan Uhud dan pada banyak kesempatan
lainnya. Tampaknya tak ada musyawarah mengenai perintah wahyu Tuhan. Nabi tak
pernah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya mengenai bagaimana bersembahyang
maghrib. Kalau ada masalah-masalah tertentu yang ditanyakan kepada Nabi,
sementara Allah memerintahkan begini, maka Nabi harus mengikuti perintah-Nya.
Namun untuk masalah-masalah yang tak ada ketentuan ilahiahnya, Nabi sering
berkonsultasi dengan sahabat untuk meminta pendapatnya. Kalau dalam kasus-kasus
seperti ini Nabi mengeluarkan ketentuan, ini dilakukannya karena Nabi mendapat
wewenang dari Allah untuk melakukan demikian. Dalam beberapa kasus yang
berkaitan dengan manajemen sosial, memang Nabi juga menerima wahyu, namun ini
merupakan kasus yang luar biasa. Biasanya Nabi tidak menerima petunjuk terperinci
mengenai masalah-masalah sosial-politik, dan mengenai masalah-masalah ini Nabi
tidak bcrtindak sebagai rasul semata.
Imamah dalam Arti
Pemimpin Masyarakat
Makna pertama imamah seperti
disebutkan di atas adalah tugas umum masyarakat. Salah satu jabatan Nabi yang
kosong begini Nabi wafat adalah kepemimpinan masyarakat. Jelas, masyarakat butuh
pemimpin. Siapa pemimpin masyarakat sepeninggal Nabi? Baik kaum Syiah maupun
kaum Sunni sepakat bahwa masyarakat membutuhkan pemimpin dan panglima
tertinggi. Di sinilah timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi
sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya
Imam Ali-lah yang memegang kendali urusan kaum Muslim. Kaum Sunni yang logika
lain tidak menerima pandangan ini setidak-tidaknya dalam bentuk yang diterima
kaum Syiah. Menurut kaum Sunni, Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai
penerusnya, dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum Sunni
menerima prinsip Imamah ketika mereka mengatakan bahwa kaum Muslim membutuhkan
pemimpin. Yang mereka katakan adalah bahwa pemimpin dipilih oleh kaum Muslim. Kaum
Syiah justru mengatakan bahwa Nabi sendirilah yang menunjuk penerusnya
berdasarkan wahyu Allah.
Kalau saja masalah imamah
sekadar masalah kepemimpinan politik sepeninggal Nabi, kami, kaum Syiah, tentu
tak akan menganggap imamah sebagai prinsip pokok agama, dan tentu pas kalau
menggolongkan masalah ini sebagai masalah tambahan. Dapat kami katakan bahwa
masalah imamah yang dipercaya kaum Syiah sekadar mendeklarasikan bahwa Imam Ali
as adalah salah seorang sahabat Nabi saw seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan
banyak lainnya atau bahkan seperti Abu Dzar dan Salman, namun Imam Ali as lebih
baik, lebih berilmu, lebih takwa dan lebih mampu dibanding sahabat-sahabat lain
dan bahwa Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya. Namun kaum Syiah
tidak berhenti di sini saja. Mereka mempercayai dua ajaran yang tak ada di kaum
Sunni. Salah satunya adalah imamah dalam arti otoritas keagamaan.
Imamah dalam Arti
Otoritas Keagamaan
Telah kami kemukakan bahwa
Nabi saw menyampaikan wahyu Allah SWT yang diterimanya kepada orang yang bebas
bertanya kepada Nabi apa saja yang ingin diketahuinya tentang ajaran Islam.
Orang juga bertanya kepada Nabi tentang apa yang tak didapati mereka dalam
Al-Qur'an. Sekarang pertanyaannya adalah apakah isi Al-Qur'an dan apa yang
telah disampaikan Nabi kepada khalayak umum adalah apa yang diinginkan Islam,
yaitu menyampaikan petunjuk, ajaran dan pengetahuan Islam? Karena itu, Nabi saw
mendidik Imam Ali as, penerusnya, sebagai pakar luar biasa, dan mengajarkan
kepada Imam Ali as segalanya tentang Islam, setidak-tidaknya semua prinsip dan
norma umum Islam. Imam Ali as adalah sahabat Nabi yang paling mencolok
keunggulannya. Dia maksum seperti Nabi saw, dia bahkan tahu apa yang disiratkan
oleh Allah SWT.
Nabi saw bersabda ketika
memperkenalkan Imam Ali as: "Sepeninggalku, bawalah semua masalah
keagamaan kepada Ali, tanyakan kepada Ali dan penerus-penerusku yang lain apa
saja yang ingin kalian ketahui."
Dalam hal ini, imamah
merupakan spesialisasi dalam Islam, suatu spesialisasi yang luar biasa dan
ilahiah, yang jauh di atas derajat spesialisasi yang dapat dicapai mujtahid.
Para imam adalah pakar dalam Islam. Pengetahuan istimewa mereka mengenai Islam
bukan didapat dari akal pikiran mereka sendiri yang bisa saja salah. Mereka
menerima pengetahuan dengan cara yang tak kita ketahui. Imam Ali as menerima
pengetahuan tentang ilmu-ilmu Islam langsung dari Nabi saw. Dan Imam-imam
berikutnya menerimanya melalui Imam Ali bin Abi Thalib as. Dalam kasus
imam-imam, pengetahuan ini tak mengandung kekeliruan. Pengetahuan ini
diturunkan dari satu imam ke imam yang lain.
Kaum Sunni tak percaya
adanya orang yang berposisi seperti itu. Dengan kata lain, kaum Sunni tidak
mempercayai adanya imam dalam pengertian seperti ini. Kaum Sunni mengatakan
bahwa, alih-alih Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar adalah Imam. Mereka tidak
mengakui bahwa sahabat Nabi, tidak Abu Bakar, tidak Umar, tidak Utsman,
memegang jabatan seperti itu. Itulah sebabnya mereka menganggap begitu banyak
kekeliruan dalam masalah keagamaan berasal dari Abu Bakar dan Umar. Sebaliknya,
kaum Syiah percaya imam-imam mereka maksum, dan tak akan pernah mengakui bahwa
imam-imam mereka pernah berbuat keliru. Namun kaum Sunni, dalam buku-buku
mereka, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah mengatakan begini, namun dia salah.
Ketika menyadari kekeliruannya, dia berkata bahwa ada setan yang selalu
mengalahkannya. Kaum Sunni juga mengatakan bahwa Umar pernah berbuat keliru,
dan kemudian, dengan menyebut-nyebut wanita-wanita tertentu, menyatakan bahwa
wanita-wanita itu lebih alim dibanding dirinya.
Konon ketika Abu Bakar
meninggal, anggota keluarganya yang wanita, termasuk putrinya, Aisyah, istri
Nabi saw, menangis. Ketika Umar mendengar ratapan mereka, Umar mengirim pesan
kepada mereka agar diam, namun mereka tidak memenuhi pcrmintaan Umar. Umar
mengirim pesan lagi dan kemudian mengancam akan menghukum mereka. Akhirnya
Aisyah diberitahu oleh beberapa wanita bahwa Umar mengancam kalau mereka tak
mau diam. Aisyah menyuruh memanggil Umar. Ketika Umar datang, Aisyah menanyakan
apa yang diinginkan dikatakan Umar dan kenapa Umar mengirim pesan demi pesan.
Umar mengatakan mendengar Nabi saw bersabda:
"Kalau ada orang
meninggal, lalu anggota keluarganya menangisinya, maka orang yang meninggal
tersebut akan mendapat hukuman." Aisyah berkata, "Anda tidak
mengerti. Anda salah. Masalahnya bukan begitu. Aku tahu bagaimana itu. Ketika
seorang Yahudi yang jahat meninggal, keluarganya menangisinya. Nabi saw
bersabda bahwa mereka menangis dan dia dihukum. Nabi saw tidak mengatakan bahwa
dia dihukum karena mereka menangis. Nabi saw mengatakan bahwa mereka
menangisinya, namun mereka tidak tahu bahwa dia tengah dihukum. Bagaimana
hubungannya dengan masalah ini? Meskipun menangis dilarang, kenapa Allah harus
menghukum orang tak berdosa karena dosa yang kita lakukan?" "Aneh”,
kata Umar. "Begitukah?" "Ya," kata Aisyah,
"begitulah." Umar pun berkata, "Seandainya wanita-wanita ini tak
ada, Umar akan celaka."
Kaum Sunni sendiri
mengatakan bahwa tujuh puluh (sangat banyak) kali Umar berkata, "Kalau tak
ada Ali, Umar akan celaka." Umar sendiri berkali-kali mengakui bahwa Ali
sering meluruskan kesalahan-kesalahannya, dan Umar biasa mengakui kesalahannya.
Pendek kata, kaum Sunni tidak mempercayai imam dalam pengertian seperti yang
kami yakini. Namun fakta yang tak terpungkiri menunjukkan bahwa Nabi sajalah
yang menerima wahyu samawi. Kami tidak mengatakan bahwa para imam juga menerima
wahyu. Risalah Islam disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi saja, dan kepada
Nabi saja Allah menurunkan ajaran-ajaran penting Islam. Tak ada ajaran dan
ketentuan Islam yang tidak diwahyukan kepada Nabi. Namun pertanyaan apakah
semua ajaran Islam disampaikan kepada seluruh manusia, lain masalahnya. Kaum
Sunni mengatakan bahwa Nabi menyampaikan semua ajaran Islam kepada
sahabat-sahabatnya. Namun kaum Sunni berada dalam dilema ketika menghadapi
problem yang tak ada riwayatnya dari sahabat Nabi. Untuk memecahkan situasi ini,
kaum, Sunni mengemukakan hukum analogi, dengan hukum analogi ini mereka mengaku
melengkapi apa yang tak ada. Dalam hubungan ini Imam Ali as berkata, "Apakah engkau bermaksud mengatakan bahwa
agama Allah tidak lengkap, dan engkau-lah yang melengkapinya?" (Nahj al-Balâghah,
khotbah 18)
Kaum Syiah justru
mengatakan bahwa Allah SWT menurunkan ajaran Islam dengan lengkap kepada Nabi
saw, dan Nabi saw menyampaikannya dengan lengkap kepada umat manusia. Nabi saw
menyampaikannya dengan lengkap, namun Nabi saw tidak menyebutkan segala
sesuatunya kepada manusia pada umumnya. Sesungguhnya banyak pertanyaan diajukan
selama hayat Nabi saw. Namun, Nabi saw menyampaikah semua ajaran yang
diterimanya dari Allah kepada murid istimewanya, Imam Ali bin Abi Thalib as,
dan meminta Imam Ali as untuk menyampaikannya kepada masyarakat bila
diperlukan.
Di sinilah muncul masalah
kemaksuman. Kaum Syiah mengatakan bahwa karena Nabi saw, sengaja atau tidak,
tak mungkin salah bicara, murid istimewanya pun tak mungkin salah, karena Nabi
saw mendapat pertolongan dari Allah SWT, murid istimewa ini pun mendapat
pertolongan dari Allah SWT. Inilah satu lagi karakter imamah.
Imamah dalam Arti
Wilayah
Ini merupakan arti ketiga imamah,
dan sungguh artinya yang paling tinggi. Dalam ajaran Syiah, pengertian seperti
ini sangat dititikberatkan. Sedikit banyak, wilayah merupakan titik kesamaan
antara Syiah dan tasawuf. Namun kalau kami kata demikian, jangan salah paham,
karena mungkin Anda mendapati apa yang dikatakan kaum orientalis mengenai hal
ini. Mereka mengatakan bahwa wilayah adalah masalah yang sangat mendapat
perhatian kaum sufi dan mendapat perhatian kaum Syiah juga sejak masa awal
Islam. Saya ingat bahwa sekitar sepuluh tahun silam seorang orientalis
mewawancarai Allamah Thabathaba'i. Salah satu pertanyaan yang diajukannya
adalah apakah Syiah mengambil konsepsi wilayah dari kaum sufi, atau kaum sufi
mengambilnya dari Syiah. Faktanya adalah doktrin wilayah sudah ada di kalangan
Syiah ketika belum ada tasawuf. Kalau saja terjadi pengambilan dari yang satu
oleh yang lain, maka harus dikatakan bahwa kaum sufi-lah yang mengambilnya
dari Syiah. Masalah wilayah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan
penguasa zaman. Kaum sufi sangat menekankan poin ini.
Maulawi mengatakan bahwa
di setiap masa ada seorang wali, qa'im (penguasa zaman). Di setiap masa ada
seorang manusia sempurna yang memiliki semua keunggulan manusiawi. Tak ada
zaman yang tak ada wali sempurnanya, yang sering digambarkan sebagai quthb
(poros, otoritas). Kaum sufi percaya bahwa wali sempurna adalah juga manusia sempurna.
Mereka menganggap wali sempurna memiliki banyak jabatan, sebagiannya tak dapat
kita mengerti. Salah satu jabatannya adalah mengendalikan hati manusia, dalam
pengertian bahwa dia adalah roh universal yang mengungguli semua roh. Maulawi
secara tidak langsung menyebut jabatan ini dalam kisahnya tentang Ibrahim bin
Adham. Kisah ini tak lebih dari cerita fiksi belaka. Namun Maulawi bercerita
untuk menjelaskan apa yang dimaksudnya. Dia bercerita hanya untuk menekankan
maksudnya. Maulawi mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke sungai, kemudian
melemparkan jarum ke sungai itu. Lalu dia menginginkan kembalinya jarum itu.
Ikan-ikan pada menyembulkan kepalanya dari sungai, masing-masing membawa satu
jarum di mulutnya. Maulawi selanjutnya mengatakan, "Wahai yang tak
memiliki kemampuan, perhatikan hatimu di hadapan mereka yang memiliki
sifat-sifat unggul hati."
Selanjutnya dia
mengatakan, "Syaikh (pemandu spiritual) itu jadi sadar akan apa yang ada
di hati orang. Syaikh bisa tahu itu karena dirinya bagaikan singa, sedangkan
hati orang bagaikan sarangnya".
Syiah pada umumnya
menggunakan kata wilayah dalam artinya yang paling tinggi. Mereka percaya bahwa
wali dan imam adalah penguasa zaman, dan selalu ada seorang manusia sempurna di
dunia ini. Dalam kebanyakan ziyarah (penghormatan) yang kami baca, kami
mengakui eksistensi wilayah dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa
imam memiliki roh universal. Dalam ziyarah itu, yang kami baca dan kami anggap
sebagai bagian dari ajaran Syiah, kami mengatakan, "Aku memberikan
kesaksian bahwa engkau melihat di mana aku berada; engkau mendengar perkataanku
dan membalas salamku." Perlu dicatat bahwa kami sampaikan itu kepada
seorang imam yang telah wafat. Dari sudut pandang kami, dalam hal ini tak ada
bedanya antara imam yang telah wafat dan imam yang masih hidup. Kami katakan,
"Salam atasmu, Ali bin Musa ar-Ridha. Aku menyadari dan memberikan kesaksian
bahwa engkau mendengar dan membalas salamku."
Kaum Sunni, kecuali kaum
Wahabi, percaya bahwa Nabi saw saja yang memiliki kualitas mengetahui dan
mendengar ini. Menurut mereka, di dunia ini tak ada lagi yang memiliki status
spiritual yang tinggi seperti itu dan persepsi spiritual seperti itu. Namun
kami, kaum Syiah, percaya bahwa posisi ini dimiliki oleh imam-imam kami.
Kepercayaan ini merupakan bagian dari prinsip agama kami, dan kami selalu
mengakuinya.
Pendek kata, masalah
imamah ada tiga derajatnya, dan kalau kami tidak membedakan ketiga derajat ini,
kami akan menghadapi kesulitan berkenaan dengan pengambilan kesimpulan tertentu
dalam hubungan ini. Berdasarkan ketiga derajat ini, ada tiga kelompok dalam
Syiah. Mereka mengatakan bahwa Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai pemimpin
masyarakat sepeninggalnya, dan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman tak dapat
mengklaim posisi ini. Orang-orang seperti ini menjadi Syiah hanya sebatas ini
saja. Mereka tidak mempercayai dua derajat selanjutnya, atau bungkam tentang
dua derajat ini. Sebagian lainnya mempercayai derajat kedua meski tidak
mempercayai derajat ketiga. Konon almarhum Muhammad Baqir Durchal, guru
Ayatullah Burujerdi di Isfahan, tak mempercayai derajat ketiga ini. Namun
mayoritas Syiah dan ulama Syiah mempercayai derajat ketiga juga.
Kalau mau membahas imamah,
maka harus dibahasnya dalam tiga tahap; imamah menurut Al-Qur'an, imamah
menurut hadis, dan imamah menurut akal. Pertama-tama mari kita lihat apakah
ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan imamah menunjukkan arti imamah
seperti yang diyakini kaum Syiah. Dan jika begitu, apakah menunjukkan imamah
dalam pengertian kepemimpinan politik dan sosial saja, ataukah dalam pengertian
otoritas keagamaan dan wilayah spiritual juga. Setelah ini dijelaskan, baru
kita lihat apa yang dikatakan hadis-hadis Nabi mengenai imamah. Akhirnya kita
analisis imamah dari sudut pandang akal, dan kita lihat apa yang dikatakan akal
mengenai tahap-tahapnya itu. Apakah pandangan Sunni yang menyebutkan bahwa
penerus Nabi harus dipilih oleh umat lebih masuk akal, atau apakah merupakan
fakta kalau Nabi sendiri telah mengangkat penerusnya? Begitu juga, apa yang
sesuai dengan akal berkenaan dengan dua lagi arti imamah.
Hadis Imamah
Sebelum mengemukakan
ayat-ayat Al-Qur'an tentang imamah, kami ingin mengutip sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Syiah dan Sunni. Biasanya hadis yang sama-sama disepakati
oleh Syiah dan Sunni tak dapat diabaikan, karena kesepakatan ini menunjukkan
bahwa hadis itu autentik, sekalipun susunan katanya bisa saja berbeda dalam
beragam riwayat. Kami, kaum Syiah, biasanya meriwayatkan hadis ini seperti ini:
"Barangsiapa mati sementara tidak
mengenal imam zamannya, maka dia mati jahiliah." Kata-kata ini sangat
serius, karena pada periode jahiliah orang tidak mempercayai keesaan Allah
(tauhid) dan juga tidak mempercayai kenabian. Hadis ini terdapat di sebagian
besar kitab hadis Syiah, termasuk "al-Kâfî" yang dianggap sebagai
koleksi hadis Syiah paling andal. Fakta pentingnya adalah hadis ini juga terdapat
dalam kitab-kitab Sunni. Menurut satu riwayat mereka menyebut susunan kata
"Barangsiapa mati tanpa imam, maka
matinya mati jahiliah." Susunan kata lainnya adalah "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak
berbaiat, maka matinya mati jahiliah." Teks lain mengatakan, "Barangsiapa
mati dalam keadaan tidak berimam, maka matinya mati jahiliah." Ada
beberapa versi lain, dan itu menunjukkan betapa Nabi saw memandang sangat
pending masalah imamah.
Mereka yang menerima
imamah hanya dalam pengertian kepemimpinan sosial mengatakan bahwa Nabi saw
memandang sangat penting masalah kepemimpinan karena hukum Islam baru dapat
dilaksanakan kalau ada pemimpin yang bajik dan kesetiaan kuat umat kepadanya.
Islam bukanlah agama individualistik. Tak ada yang dapat mengatakan bahwa
karena dia mempercayai Allah dan Nabi-Nya, maka dia tak ada hubungannya dengan
orang lain. Setiap orang harus tahu dan mengerti siapa imam pada masanya, dan
harus beraktivitas di bawah naungan kepemimpinannya.
Mereka yang menerima
imamah dalam pengertian otoritas keagamaan mengatakan bahwa barangsiapa
memperhatikan agamanya, maka dia harus mengenal otoritas keagamaannya, dan
harus tahu siapa yang harus diikutinya dalam masalah agama. Mutlak tidak Islami
kalau mempercayai agama namun mendapatkan agama dari sumber yang bertentangan
dengan agama itu sendiri.
Mereka yang menerima
imamah dalam pengertian wilayah spiritual mengatakan bahwa hadis ini
menunjukkan bahwa orang yang tidak di bawah perwalian wali yang sempurna, maka
dia seperti orang yang mati pada masa jahiliah. Karena hadis ini mutawatir
(diriwayatkan oleh rangkaian otoritas yang banyak jumlahnya), maka kami sebutkan
hadis ini dahulu untuk pegangan dalam pembahasan lebih lanjut masalah imamah.
Kini mari kita lihat ayat-ayat Al-Qur'an.
Imamah dalam Al-Qur'an
Beberapa ayat Al-Qur'an
dikutip oleh kaum Syiah berkaitan dengan imamah. Salah satunya diawali dengan
kata-kata, "Walimu hanyalah Allah." Dalam semua kasus ini ada
hadis-hadis Sunni yang mendukung sudut pandang Syiah. Bunyi ayat ini adalah: Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka
yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk (QS.
al-Mâ`idah: 55).
Kata yang digunakan dalam
ayat ini adalah wait yang artinya wali. Karena itu wilayah artinya perwalian.
Menurut ajaran Islam, zakat tidak dibayar sembari rukuk. Karena itu membayar
zakat sembari rukuk tak dapat disebut prinsip atau norma umum yang berlaku
untuk banyak orang. Ayat ini berkenaan dengan satu peristiwa yang terjadi hanya
sekali. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Syiah maupun Sunni. Imam Ali as tengah
rukuk ketika seorang peminta-minta datang meminta sedekah. Imam Ali as memberi
isyarat dan menarik perhatiannya dengan jarinya. Si peminta-minta segera
mengambil cincin Imam Ali as dari jarinya, lalu pergi. Dengan kata lain, Imam
Ali as tidak menunggu sampai salatnya selesai. Imam Ali as begitu luar biasa
sehingga dalam keadaan tengah salat pun Imam dengan isyarat menyuruh si
peminta-minta untuk mengambil cincin di jari Imam, menjualnya dan menggunakan
uangnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Baik kaum Syiah maupun
Sunni sepakat bahwa Imam Ali as berbuat demikian, dan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan ini. Dapat dicatat bahwa bersedekah dalam keadaan tengah rukuk
tidak termasuk dalam ajaran Islam. Bukan wajib dan bukan pula dianjurkan.
Karena itu tak dapat dikatakan bahwa beberapa orang melakukan demikian. Karena
itu (mereka yang berbuat demikian) jelaslah yang dimaksud adalah Imam Ali as.
Di beberapa tempat Al-Qur'an menggunakan ungkapan "mereka mengatakan...",
padahal hal itu diucapkan oleh hanya satu orang. Di sini juga "mereka yang
berbuat demikian" artinya adalah si individu yang berbuat demikian. Karena
itu melalui ayat ini Imam Ali as diangkat menjadi wali umat Muslim. Namun
demikian, ayat ini perlu dibahas lebih lanjut, dan pembahasannya nanti. Ada
ayat-ayat lain berkenaan dengan peristiwa Ghadir. Peristiwa ini sendiri
merupakan bagian dari tradisi Islam. Ini akan dibahas nanti. Salah satu ayat
tersebut, yang turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir, berbunyi: Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika tidak, kamu berarti tidak
menyampaikan risalah-Nya (QS. al-Mâ`idah: 67).
Nada ayat ini sama
seriusnya dengan nada hadis, "Barangsiapa
mati dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya, maka matinya mati jahiliah."
Singkatnya dapat dikatakan bahwa ayat itu sendiri menunjukkan bahwa pokok
masalahnya begitu penting sehingga kalau Nabi tidak menyampaikannya, berarti
Nabi sama sekali tidak menyampaikan risalah Allah.
Syiah dan Sunni sepakat
bahwa Surah al-Mâ`idah adalah Surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi saw,
dan ayat ini merupakan satu dari ayat-ayat terakhir Surah ini. Dengan kata
lain, turun ketika Nabi sudah menyampaikan semua hukum dan ajaran lain Islam
selama 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah sebagai Nabi saw. Ayat ini
termasuk petunjuk, perintah atau ajaran terakhir Islam. Kini kaum Syiah
bertanya petunjuk, ajaran atau perintah seperti apa yang begitu penting
sehingga kalau tidak disampaikan, maka seluruh yang dikerjakan Nabi di masa
sebelumnya jadi batal. Anda tak mungkin dapat menunjukkan pokok masalah apa pun
yang berkaitan dengan tahun-tahun terakhir hayat Nabi saw yang begitu penting.
Namun kami katakan bahwa masalah imamah begitu penting sehingga kalau imamah
hilang, maka tak ada lagi yang tersisa. Tanpa imamah, seluruh bangunan Islam
akan hancur lebur. Kaum Syiah mengutip riwayat-riwayat dan hadis-hadis Sunni
itu sendiri untuk memperkuat klaim mereka bahwa ayat ini turun berkaitan dengan
peristiwa Ghadir Khum.
Dalam Surah al-Mâ`idah itu
sendiri ada ayat lain yang bunyinya, Hari
ini Aku sempurnakan agamamu bagimu, lengkapkan karunia-Ku kepadamu, dan Aku
pilih Islam sebagai agamamu (QS. al-Mâ`idah: 3).
Ayat ini menunjukkan bahwa
pada hari itu terjadi sesuatu, yang begitu penting sehingga agama jadi
sempurna, karunia Allah kepada umat manusia jadi lengkap, dan tanpa itu Islam
tak mungkin seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kaum Syiah berargumen
bahwa nada ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang berkenaan dengan ayat ini
begitu penting sehingga eksistensi Islam sebagai agama yang benar itu sendiri
bergantung pada sesuatu itu. Sekarang pertanyaannya adalah seperti apa sesuatu
itu. Kaum Syiah mengatakan dapat menunjukkan sesuatu itu. Sedangkan kaum lainnya
tidak. Selain itu, ada riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini turun
berkaitan dengan masalah imamah. Tiga ayat ini yang merupakan substansi
argumen-argumen Syiah sudah kami kemukakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar