Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Al-Qur'an Suci adalah
mukjizat abadi Nabi terakhir saw. Mukjizat para nabi sebelumnya seperti Nabi
Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as—masing-masing Nabi ini mendapat Kitab
suci dan juga memiliki mukjizat—tidak identik dengan Kitab-kitab suci mereka.
Mereka melakukan perbuatan mukjizat seperti mengubah api yang berkobar menjadi
"dingin dan damai", mengubah tongkat kayu menjadi ular besar, dan
menghidupkan orang mati. Jelaslah mukjizat-mukjizat ini sementara sifatnya.
Namun untuk Nabi terakhir saw, Kitab sucinya itu sendiri merupakan mukjizatnya.
Kitab sucinya merupakan bukti kenabiannya. Dengan demikian, mukjizat Nabi
terakhir saw, tak seperti mukjizat yang lain, abadi sifatnya, bukan dimaksudkan
hanya untuk sementara waktu.
Fakta bahwa Kitab
suci (Al-Qur'an—pen.) merupakan mukjizat Nabi terakhir saw, sungguh selaras
dengan zamannya, zaman kemajuan ilmu pengetahuan, budaya dan pendidikan.
Keabadian Al-Qur'an Suci juga sesuai dengan keabadian pesannya yang tak akan
pernah dicabut.
Dalam beberapa ayat
Al-Qur'an dengan tegas disebutkan aspek supra-manusiawi dan luar biasa ini.
Salah satunya mengatakan: Dan jika hamu (tetap) dalam keraguan tentang
Al-Qur'an yang Kami wahyukan hepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah
(sajaj yang semisal Al-Qur'an itu. (QS. al-Baqarah: 23)
Al-Qur'an juga dengan
jelas menyebutkan beberapa mukjizat lain Nabi terakhir saw. Al-Qur'an Suci
berbicara panjang lebar mengenai sejumlah masalah yang berkaitan dengan
mukjizat. Al-Qur'an menyatakan bahwa risalah Allah SWT harus disertai mukjizat,
bahwa mukjizat merupakan bukti kuat dan pasti, bahwa nabi dapat melakukan
perbuatan mukjizat atas kehendak Allah dan untuk membuktikan kebenaran
pernyataannya, dan bahwa nabi tidak harus mengabulkan setiap permintaan orang
akan mukjizat. Dengan kata lain, nabi tidak diharapkan memamerkan mukjizat atau
memproduksi mukjizat.
Di samping membahas
soal-soal ini, Al-Qur'an Suci juga dengan jelas menceritakan kisah mukjizat
banyak Nabi seperti Nuh as, Ibrahim as, Luth as, Saleh as, Hud as, Musa as dan
Isa as, dan memperkuat kisah-kisah itu.
Sebagian orientalis
dan pendeta Nasrani, berdasarkan ayat-ayat yang menolak permintaan kaum musyrik
agar Nabi Muhammad saw memperlihatkan mukjizat yang mereka minta, mengatakan
bahwa Nabi Muhammad saw menyatakan kepada kaumnya bahwa mukjizatnya tak lain
adalah Al-Qur'an Suci, dan kalau mereka tak mau menerimanya, maka dia tak dapat
berbuat apa-apa lagi. Beberapa penulis Muslim yang "berpandangan
terbuka" juga menerima pandangan ini, dan ketika menjelaskan pandangan
ini, mereka mengatakan bahwa mukjizat merupakan argumen yang hanya dapat
meyakinkan manusia yang belum matang yang mencari sesuatu yang luar biasa dan
fantastis. Manusia yang sudah matang tak akan terkesan dengan hal-hal seperti
itu. Yang menjadi perhatian manusia yang sudah matang hanyalah hal-hal yang
rasional. Mengingat zaman Nabi Muhammad saw adalah zaman rasionalitas, bukan
zaman mitos dan fantasi, maka dia, dengan kehendak Allah, tak mau menerima
permintaan akan mukjizat selain Al-Qur'an Suci. Seorang penulis mengatakan,
"Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw mau tak mau harus menggunakan
mukjizat, karena pada zaman itu nabi-nabi nyaris mustahil dapat meyakinkan orang
dengan menggunakan argumen rasional. Ketika Nabi Muhammad saw datang, manusia
sudah melewati periode kanak-kanak (belum matang)-nya. Manusia sudah sampai
pada tahap kematangan pikirannya. Yang kemarin anak, sekarang sudah tak lagi
bergantung pada ibunya dan sudah mampu berdiri sendiri serta menggunakan
otaknya. Dalam kondisi seperti itu pantaslah kalau Nabi Muhammad saw menentang
tekanan kaum kafir, dan lawan-lawannya yang menghendaki mukjizatnya. Untuk
membuktikan kebenaran misinya, Nabi Muhammad saw hanya bersandar pada argumen
rasional dan bukti sejarah. Kendatipun kaum kafir bersikeras, namun Nabi
Muhammad saw, atas perintah Allah, tak mau memperlihatkan tindakan mukjizat
seperti yang dilakukan para nabi sebelumnya. Nabi Muhammad saw hanya bersandar
pada Al-Qur'an Suci sebagai mukjizat yang tiada taranya. Bahwa Al-Qur'an Suci
tak ada tandingannya itu sendiri sudah merupakan bukti nnalitas kenabian.
Mukjizat tersebut adalah sebuah kitab yang berisi kebenaran, ajaran dan
petunjuk yang sungguh cocok dengan semua aspek kehidupan. Kitab tersebut
merupakan mukjizat yang cocok untuk manusia yang sudah matang, bukan untuk
manusia yang masih kanak-kanak yang mempercayai mitos dan dongeng.
Apa yang disebut
penulis Muslim "berpandangan terbuka" itu menambahkan, "Asmosfer
kehidupan manusia purba selalu penuh dengan mitos, cerita kosong dan pikiran
supranatural." Karena itu, yang mengesankan manusia purba hanyalah hal-hal
yang tak dapat diterima akal sehat dan yang tak dapat dimengerti. Itulah
sebabnya sepanjang sejarahnya umat manusia menyukai hal-hal yang aneh dan
mencari hal-hal yang supranatural. Sikap emosional terhadap apa yang tak dapat
dimengerti dan yang tak dapat diterima akal sehat ini lebih kuat di kalangan
manusia yang semakin tidak beradab.
Bila manusia semakin
dekat dengan alam, maka dia semakin menyukai hal-hal yang supranatural. Mitos
merupakan produk situasi seperti ini. Manusia gurun selalu mencari keajaiban.
Dunianya penuh dengan roh dan misteri besar. Itulah sebabnya bukan saja nabi,
namun juga raja, pahlawan dan orang arif setiap bangsa, menggunakan sesuatu
yang supranatural untuk memperkuat klaim mereka. Dalam keadaan seperti ini,
nabi yang misinya didasarkan pada hal yang nyata (kasat mata), kemudian lebih
menggunakan mukjizat, karena pada periode sejarah ini kejadian supranatural
lebih efektif ketimbang logika, ilmu pengetahuan dan fakta yang tak
terbantahkan."
Namun, kehidupan Nabi
Muhammad saw merupakan kekecualian. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa
mukjizatnya adalah Al-Qur'an. Pernyataan ini dilontarkan di tengah masyarakat,
di sebuah kota perdagangan yang terbesar, di kota ini orang yang tahu seni
menulis tak lebih dari tujuh orang. Yang jadi pikiran masyarakat ini hanyalah
berbual, bersombong diri, berbesar mulut, pedang, onta dan anak laki-laki. Bahwa
di tengah masyarakat ini Nabi Muhammad saw memaklumkan mukjizatnya adalah
Al-Qur'an, ini sendiri sudah merupakan mukjizat. Nabi Muhammad saw memaklumkan
ini di sebuah negara yang belum pernah ada Kitab samawinya. Tuhannya, Allah,
Sang Pencipta bersumpah dengan tinta, pena dan tulisan kepada kaum yang
memandang pena sebagai alat bagi segelintir orang lemah tak berdaya. Ini
sendiri sudah merupakan mukjizat. Dan mukjizat yang senantiasa dapat dilihat
hanyalah kitab samawi itu. Tidak seperti mukjizat lainnya, Al-Qur'an Suci
merupakan satu-satunya mukjizat yang karakternya yang luar biasa dapat lebih
diapresiasi dan dipahami dengan lebih tepat oleh orang-orang yang lebih arif
dan lebih berpengetahuan dalam masyarakat yang maju dan berbudaya.
Al-Qur'an Suci merupakan
satu-satunya mukjizat yang bukan saja dipercaya oleh orang-orang yang
mempercayai hal-hal yang supranatural. Kesupranaturalan Al-Qur'an Suci diakui
oleh orang yang berpengetahuan luas. Kemukjizatan Al-Qur'an Suci bukan saja
bagi orang biasa. Kemukjizatan Al-Qur'an Suci juga bagi kaum cerdik cendekia.
Tidak seperti mukjizat lainnya, Al-Qur'an Suci tidak dimaksudkan untuk
menggugah decak kagum orang yang membacanya, dan juga tidak dimaksudkan untuk
meyakinkan mereka agar, setelah mengaguminya, menerima pesannya. Al-Qur'an Suci
dimaksudkan untuk mendidik orang-orang yang mau menerimanya. Al-Qur'an Suci
merupakan pesan (risalah) itu sendiri. Mukjizat Nabi Muhammad saw, meskipun
bukan produk manusia, bukanlah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan umat manusia.
Tidak seperti mukjizat sebelumnya, Al-Qur'an Suci bukanlah alat yang digunakan
sekadar untuk membuat orang percaya dan tak ada manfaat lainnya. Namun mukjizat
Nabi Muhammad saw ini merepresentasikan semacam manifestasi kecakapan dan
kekuatan tertinggi manusia. Juga merupakan sebaik-baik model untuk praktik dan
pendidikan, dan karena itu sebuah model yang selalu dapat diakses.
Nabi Muhammad saw
mencoba mengalihkan rasa ingin tahu manusia, dari masalah-masalah yang luar
biasa dan supranatural ke masalah-masalah yang logis, rasional, intelektual,
sosial dan moral. Tugas beliau saw tidaklah ringan, khususnya kalau melihat
kenyataan bahwa kaum yang dihadapinya hanya mau menerima hal-hal yang
supranatural. Sungguh mengherankan bagaimana dia menyebut dirinya Nabi,
mengajak orang untuk menerima risalah Ilahiah-nya dan sekaligus mengakui secara
formal bahwa dia tidak mengetahui hal-hal yang "gaib". Terlepas dari
nilai manusiawi pengakuan ini, yang mencolok adalah kebenaran luar biasa yang
terasakan dalam perbuatannya dan yang memaksa setiap had untuk hormat dan kagum
kepadanya. Sebagian orang meminta dia untuk meramalkan harga yang dapat dicapai
barang mereka agar mereka dapat membuat rencana sehingga dapat memperoleh
untung.
Al-Qur'an Suci
menyuruh Nabi untuk mengatakan: Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku
dan tidak (pula) menolak mudarat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan
aku tidak akan ditimpa mudarat. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-A'râf: 188)
Seorang nabi yang tak
dapat membuat ramalan, yang tidak bicara dengan roh, peri dan jin, dan yang
tidak berbuat mukjizat setiap hari, tak ada gunanya di mata orang gurun. Nabi
Muhammad saw mengajak mereka untuk memperhatikan alam semesta, takwa, lurus dan
beriman, untuk mencari pengetahuan dan untuk memahami makna kehidupan dan takdir,
namun mereka selalu saja meminta dia untuk memperlihatkan mukjizat dan membuat
ramalan. Di lain pihak Allah mendorong dia untuk mengatakan: Mahasuci Tuhanku,
bukankah aku ini hanyalah seorang manusia yang menjadi Rasul? (QS. Al-Isrâ':
93)
Orang-orang yang
menafikkan kejadian-kejadian mukjizat terutama bersandar pada ayat-ayat yang
mengatakan, Dan mereka berhata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu
hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai
sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun
yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami,
sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat
berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari etnas, atau
kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu
hingga kamu turunkan atas kami sebuah Kitab yang kami baca." Katakanlah:
"Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi
Rasul?" (QS. al-Isrâ': 90-93)
Mereka mengatakan
bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kaum musyrik meminta Nabi Muhammad saw
untuk memperlihatkan mukjizat selain Al-Qur'an, namun Nabi saw menolak
permintaan mereka.
Sayangnya, teori ini
tak dapat kami terima, khususnya kalau melihat poin-poin yang disebutkan di
atas, dan kalau melihat paparan kami mengenai keunggulan Al-Qur'an Suci
terhadap mukjizat-mukjizat lainnya. Menurut kami, poin-poin yang dapat
dipertanyakan itu adalah:
(1) Mukjizat Nabi
Muhammad saw hanyalah Al-Qur'an Suci. Nabi saw tak mau memenuhi permintaan kaum
musyrik yang menghendaki Nabi saw memperlihatkan beberapa mukjizat lainnya.
Ayat-ayat surah al-Isrâ' itu membuktikan poin ini.
(2) Adapun nilai dan
efektivitas mukjizat, dapat dikatakan bahwa mukjizat cocok untuk periode ketika
umat manusia belum matang, yaitu ketika nalar dan logika belum jalan. Bahkan
orang arif dan raja harus menggunakan hal-hal supranatural untuk menjustifikasi
diri mereka. Para nabi juga menggunakan hal-hal supranatural untuk meyakinkan
kaum mereka. Nabi Muhammad saw, yang mukjizatnya adalah Al-Qur'an Suci,
merupakan kekecualian. Nabi saw menjustifikasi dirinya dengan menggunakan
Al-Qur'an Suci atau dengan nalar dan logika.
(3) Nabi Muhammad saw
mencoba mengalihkan perhatian kaumnya dari masalah-masalah supranatural ke
masalah-masalah rasional dan logika, dan mencoba mengalihkan kepekaan mereka
dari hal-hal yang ajaib ke hal-hal yang aktual dan faktual.
Mari kita bahas satu
persatu poin-poin yang diajukan oleh para penentang mukjizat. Betulkah Nabi
Muhammad saw mukjizatnya hanya Al-Qur'an saja? Terlepas dari kenyataan bahwa
pandangan ini tak dapat diterima bila dilihat dari segi sejarah dan hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh sumber-sumber tepercaya, pandangan ini justru bertentangan
dengan Al-Qur'an sendiri. Mukjizat terbelahnya bulan disebutkan dalam Al-Qur'an
Suci itu sendiri. Misal saja seseorang memandang remeh arti ayat yang
menyebutkan mukjizat ini, sekalipun tak dapat dijelaskan, lantas bagaimana
menjelaskan kisah mi'râj Nabi Muhammad saw yang disebutkan dalam Surah
al-Isrâ'? Dengan tegas Al-Qur'an Suci mengatakan:
Mahasuci Allah yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke
al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. al-Isrâ': 1)
Apakah peristiwa ini
bukan peristiwa supranatural dan bukan mukjizat? Dalam Surah at-Tahrîm
disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mengemukakan sebuah rahasia kepada salah
seorang istrinya. Istrinya ini kemudian membuka rahasia itu kepada istri Nabi
saw yang lain. Nabi saw bertanya kepada istri pertamanya, kenapa membuka
rahasia kepada istri keduanya, dan kenapa menceritakan sebagian pembicaraan
yang terjadi antara keduanya. Istri pertama ini terkejut, lalu bertanya kepada
Nabi saw bagaimana Nabi saw bisa tahu semua itu. Nabi Muhammad saw menjawab
bahwa Allah memberitahukan kepadanya tentang kejadian itu. Ketika Nabi saw
menceritakan sebuah rahasia kepada salah seorang istrinya, dan ketika istrinya
itu kemudian membeberkan rahasia itu, dan Allah memberitahukan kepada Nabi saw
tentang kejadian itu, dan Nabi saw memberitahukan kepada istrinya itu
sebagiannya saja. Dan ketika Nabi saw menceritakannya kepada istrinya. Si istri
berkata, "Kata siapa?" Nabi saw berkata, "Yang Mahatahu yang
telah memberitahuku." Bukankah ini berarti Nabi saw menceritakan hal yang
gaib? Bukankah ini mukjizat? Apa yang disebutkan dalam surah al-Isrâ': 90-93,
dan beberapa ayat lainnya sama sekali tidak menunjukkan apa yang disimpulkan
dari ayat itu. Kaum musyrik tidak minta bukti kenabian dan ayat dengan tujuan
mendapatkan kepuasan. Sesungguhnya mereka minta sesuatu yang lain. Ayat-ayat
ini dan juga surah al-‘Ankabût: 50, banyak menjelaskan mentalitas khas kaum musyrik
yang rupanya meminta mukjizat. Ayat-ayat ini juga menjelaskan filosofi
Al-Qur'an Suci tentang mukjizat para nabi.
Dalam surah al-Isrâ’,
kaum musyrik mengawali pembicaraannya dengan mengatakan, "Kami sekali-kali
tak akan mempercayaimu sampai kamu memancarkan mata air dari bumi untuk
kami." Ini cuma sebuah transaksi. Kemudian mereka mengatakan, "Atau
kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai
di celah kebun yang deras alirannya, ataukamu mempunyai sebuah rumah yang penuh
emas, sehingga kami bisa berbagi denganmu." Ini lagi-lagi merupakan
transaksi, karena mereka menginginkan semua ini untuk kepentingan mereka
sendiri. Mereka mengatakan, "Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping
atas kami, sebagaimana menurutmu akan jatuh pada Hari Kiamat." Ini adalah
meminta hukuman dan akhir segalanya, sekalipun rupanya mereka meminta mukjizat.
"Atau kamu naik he langit, atau kamu bawa Allah dan para malaikat ke
hadapan kami." (QS al-Isrâ’: 90-93) Ini lagi-lagi adalah transaksi, kendatipun
kali ini mereka tak meminta kekayaan, melainkan minta sesuatu yang dapat mereka
banggakan. Namun mereka mengabaikan fakta bahwa mustahil mengabulkan
per-mintaan mereka.
Kata-kata yang
digunakan kaum musyrik itu sesungguhnya luar biasa. Mereka tidak mengatakan,
"Lan nu'mina bika", yaitu kami tak akan mempercayaimu. Yang mereka
katakan adalah, "Lan nu'mina laka", yang artinya adalah kami tak akan
bergabung denganmu yang akan menguntungkanmu. Perbedaan makna ini sudah
disebutkan oleh ahli-ahli ushul fiqih ketika menjelaskan ungkapan-ungkapan yang
sama dalam surah at-Taubah: 61.
Dari bagaimana kaum
musyrik itu mengajukan permintaan terlihat jelas niat mereka. Mereka minta Nabi
saw untuk memancarkan mata air dari bumi untuk mereka sebagai imbalan untuk
dukungan dan kepercayaan mereka kepada Nabi saw. Jelaslah ini adalah meminta
upah dan bukan meminta bukti dan mukjizat. Nabi saw datang untuk membuat orang
jadi beriman, bukan untuk membeli pandangan dan iman mereka.
Penulis yang kami
kutip di atas itu sendiri mengatakan, "Kaum musyrik itu meminta Nabi saw
untuk meramalkan harga yang dapat dicapai oleh barang mereka, sehingga mereka
dapat memperoleh untung." Jelaslah permintaan akan mukjizat ini bukan
untuk mengetahui kebenaran. Mereka ingin memanfaatkan Nabi saw sebagai sarana
untuk mendapatkan uang. Tentu saja jawaban Nabi saw adalah, "Kalau saja
aku tahu hal gaib, tentu aku sudah menggunakannya untuk mendapatkan banyak
keuntungan di dunia ini." Jelaslah mukjizat tidak dimaksudkan untuk
tujuan-tujuan seperti itu. "Aku adalah seorang Nabi. Aku hanyalah pemberi
peringatan dan pembawa berita baik kepada orang-orang yang beriman."
Kaum musyrik itu
menganggap Nabi saw akan memperlihatkan mukjizat kalau diminta kapan pun dan
untuk tujuan apa pun. Itulah sebabnya mereka menginginkan Nabi memancarkan mata
air dari bumi, memiliki rumah emas, dan meramalkan harga pasar. Namun, faktanya
adalah bahwa mukjizat tak ubahnya seperti wahyu. Terjadinya mukjizat bergantung
pada "sana", bukan pada "sini". Wahyu tidak mengikuti kemauan
Nabi. Wahyu merupakan proses yang mempengaruhi kehendak Nabi. Begitu pula
dengan mukjizat. Mukjizat juga merupakan proses yang berasal dari
"sana" dan mempengaruhi kehendak Nabi, kendatipun yang melakukan aksi
mukjizat tersebut adalah Nabi. Itulah arti kata "atas kehendak Allah"
dalam kaitannya dengan wahyu dan mukjizat: Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu
terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan
yang nyata. (QS. al-‘Ankabût: 50)
Ayat ini telah
disalahtafsirkan oleh misionaris Kristen. Begitu pula dengan pengungkapan hal
gaib secara mukjizat. Sejauh menyangkut personalitas Nabi saw, dia tidak tahu
hal gaib. Al-Qur'an Suci mengatakan, "Katakanlah: Aku tidak mengatakan
kepadamu bahwa aku malaikat, juga aku tidak tahu hal gaib."
Namun ketika dalam
pengaruh supranatural, Nabi saw menuturkan hal gaib, dan ketika ditanya dari
mana dia tahu, dia menjawab bahwa Allah Yang Mahatahu telah memberitahunya.
Ketika Nabi saw
mengatakan tidak tahu hal gaib, dan kalau dia tahu tentu dia akan mendapat
banyak uang dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang yang gaib, dia ingin
menyangkal dugaan keliru kaum musyrik. Dia menjelaskan bahwa pengetahuan
tentang yang gaib merupakan bagian dari mukjizat, dan dia menerima pengetahuan
seperti itu hanya melalui wahyu Allah. Seandainya pengetahuannya tentang yang
gaib itu otomatis dan seandainya dapat memanfaatkannya untuk tujuan yang
dikehendakinya, tentu dia sudah memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri,
dan tak akan menyebutkan harga pasar ke depan kepada orang lain yang akan
menguntungkan mereka saja.
Dalam ayat lain
disebutkan pula, yang artinya: (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib,
maka Dia tidak mempertihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuati
kepada Rasul yang dipilih-Nya. (QS. al-Jin: 26-27)
Nabi Muhammad saw
tentu saja adalah Rasul pilihan-Nya. Kemudian, Al-Qur'an Suci menceritakan
banyak mukjizat nabi-nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan
Nabi Isa as. Lantas mana mungkin Nabi saw, ketika diminta memperlihatkan
mukjizat seperti mukjizat nabi-nabi sebelumnya, mengatakan bahwa dirinya
hanyalah seorang manusia yang diutus sebagai Rasul? Apakah kaum musyrik itu
tidak berhak menjawab, "Anda sendiri dengan fasih menguraikan mukjizat
nabi-nabi sebelumnya. Apakah mereka itu bukan manusia atau apakah mereka itu
bukan Nabi?" Mungkinkah kontradiksi yang mencolok seperti itu ada dalam
Al-Qur'an Suci? Apakah dapat dibayangkan bahwa kaum musyrik itu tidak melihat
kontradiksi yang mencolok seperti itu?
Seandainya pikiran
orang-orang yang "berpandangan terbuka" ini benar, tentu yang
dikatakan Nabi saw bukan "Mahasuci Allah, aku hanyalah seorang manusia
yang menjadi Rasul", tetapi "Mahasuci Allah, karena aku Nabi
terakhir, maka aku tak termasuk dalam norma yang berlaku pada nabi-nabi lain.
Karena itu jangan suruh aku melakukan apa yang nabi-nabi lain diminta untuk
melakukannya." Namun Nabi saw tidak mengatakan begitu. Nabi saw justru
mengatakan, "Aku adalah seorang Rasul seperti rasul-rasul lainnya."
Ini menunjukkan bahwa
yang diminta kaum musyrik dari Nabi Muhammad saw bukanlah mukjizat dengan
tujuan untuk menemukan kebenaran. Mereka meminta sesuatu yang lain, dan
permintaan mereka itu sedemikian rupa sehingga Nabi saw tak mengabulkannya.
Itulah sebabnya Nabi saw tak mau mengabulkan permintaan arogan dan egois
mereka. Sebenamya mereka meminta sesuatu yang mustahil.
Memang orang biasa
suka merekayasa cerita<erita mukjizat, kemudian mengaitkan cerita-cerita itu
bukan saja dengan para nabi dan imam, namun bahkan juga dengan kuburan, batu
atau pohon. Namun itu bukan alasan kita untuk menolak kalau Nabi saw memiliki
mukjizat selain Al-Qur'an Suci.
Kemudian, ada bedanya
antara mukjizat nabi dan mukjizat wall. Mukjizat nabi merupakan mukjizat dari
Allah dan bukti adanya misi dari Allah. Mukjizat nabi selalu ada kaitannya
dengan tantangan. Mukjizat nabi ada kondisi khusus tertentunya, dan terjadi
untuk tujuan khusus. Adapun mukjizat wali, itu merupakan kejadian supranatural
yang murni hasil dari kekuatan spiritual dan kesucian pribadi seorang yang
sempurna atau semi sempurna, dan kejadiannya bukan untuk membuktikan kebenaran
adanya misi dari Allah. Mukjizat wali hampir merupakan urusan yang tak ada
kondisi khususnya. Mukjizat nabi merupakan suara Allah yang mendukung orang tertentu.
Sedangkan mukjizat wali bukan begitu.
Nilai dan Efek
Mukjizat
Apa nilai mukjizat?
Ahli logika dan ahli filsafat membagi materi yang digunakan untuk
memperdebatkan urusan menjadi beberapa jenis. Sebagian argumen ada nilai
tahkiknya. Argumen-argumen tersebut sangat kuat, seperti yang terjadi pada data
yang digunakan ahli matematika. Sebagian argumen lainnya hanya memiliki nilai
persuasif, seperti yang terjadi pada argumen-argumen yang diajukan ahli retorika.
Namun sepanjang tidak dianalisis, argumen-argumen seperti itu ternyata sangat
mengesankan. Sebagian argumen lainnya semata-mata emosional atau ada nilainya
yang lain.
Nilai Mukjizat
Menurut Al-Qur'an
Al-Qur'an Suci
menggambarkan mukjizat para nabi sebagai tanda dan bukti yang kuat, dan
memandangnya sebagai bukti yang meyakinkan dan logis tentang eksistensi Allah.
Al-Qur'an Suci juga menganggap alam semesta sebagai bukti eksistensi-Nya yang
tak terbantahkan. Al-Qur'an Suci membicarakan dengan saksama masalah mukjizat.
Al-Qur'an memandang permintaan orang akan mukjizat dan ketaksudian mereka
menerima nabi kecuali kalau mereka sudah menyaksikan mukjizatnya, dapat
dibenarkan dan masuk akal, asalkan permintaan tersebut bukan untuk
maksud-maksud tersembunyi atau sekadar iseng. Dengan fasih Al-Qur'an Suci
membawakan banyak kisah tentang jawaban praktis para nabi terhadap
permintaan-permintaan seperti itu. Al-Qur'an Suci tak pernah menunjukkan bahwa
mukjizat hanyalah argumen persuasif yang cocok untuk orang bodoh dan untuk
periode ketika manusia masih belum matang. Al-Qur'an Suci justru menyebut
mukjizat sebagai bukti yang nyata.
Karakter Petunjuk
Nabi saw
Mukjizat "Nabi
terakhir" yang berupa Al-Qur'an, sebuah Maha-karya sastra dan sebuah
khazanah budaya dan ilmu pengetahuan, merupakan mukjizat yang abadi. Banyak di
antara segi-segi mukjizat Al-Qur'an berangsur-angsur mulai terungkap. Sebagian
segi luar biasa dari Al-Qur'an yang kini telah diketahui oleh manusia di zaman
kita, di masa lalu tidak diketahui dan tak dapat diketahui. Nilai
mukjizat-Al-Qur'an lebih dimengerti oleh pemikir ketimbang orang biasa. Memang
mukjizat ini, berkat nilai-nilai khususnya, cocok untuk periode akhir kenabian.
Namun apakah juga benar bahwa mukjizat ini memiliki karakter sebuah kitab lantaran
antara lain dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian manusia dari masalah gaib
ke masalah nyata, dari masalah yang tidak rasional ke masalah yang rasional dan
logis, dan dari masalah supranatural ke masalah natural? Apakah Nabi Muhammad
saw berupaya mengalihkan rasa ingin tahu orang dari masalah-masalah yang luar
biasa dan supranatural ke masalah-masalah yang rasional, logis, intelektual,
ilmiah, sosial dan moral, dan berupaya mengalihkan rasa ingin tahu mereka dari
masalah yang luar biasa ke realitas? Kelihatan itu tidak benar. Andaikata
benar, berarti para nabi lainnya mengajak orang untuk memperhatikan
masalah-masalah gaib, dan hanya Nabi Muhammad saw sajalah yang mengajak orang
untuk memperhatikan masalah-masalah nyata. Kalau memang begini, kenapa sampai
ratusan ayat Al-Qur'an Suci memaparkan tentang mukjizat?
Memang benar, salah
satu karakter pokok Al-Qur'an Suci adalah mengajak orang untuk mengkaji alam
dan memaparkan fenomena alam sebagai ayat-ayat Allah. Namun ajakan untuk
mengkaji alam tidak berarti mengalihkan perhatian orang dari segala sesuatu
yang tak ada hubungannya dengan alam. Ajakan untuk mengkaji fenomena alam
sebagai ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan—pen.) Allah SWT justru berarti
melangkah dari alam menuju yang di luar alam, dan dari yang kasat mata ke yang
dapat dimengerti akal.
Arti penting karya
Nabi Muhammad saw terletak pada fakta bahwa di samping mengajak orang untuk
mengkaji alam, sejarah dan masyarakat, Nabi Muhammad saw juga meyakinkan
orang-orang yang hanya mau menerima yang supranatural untuk mau menerima akal,
logika dan ilmu pengetahuan juga. Nabi saw juga berupaya membuat orang-orang
yang keranjingan akal dan logika, dan maunya hanya menerima yang natural dan
yang lahiriah saja untuk mengenal logika yang lebih tinggi juga.
Perbedaan pokok
antara dunia yang dikemukakan oleh agama sebagai keseluruhan, dan khususnya
Islam, dan dunia yang digambarkan filsafat dan ilmu pengetahuan murni, adalah
bahwa, seperti dikatakan William James, dalam konstruksi dunia agama,
unsur-unsur lain tertentu hilang di samping unsur-unsur material dan
hukum-hukum yang lazim dikenal manusia.
Al-Qur'an Suci tak
mau mengalihkan perhatian orang dari hal-hal alamiah dan lahiriah ke hal-hal
supranatural dan non-lahiriah. Nilai penting Al-Qur'an Suci terletak pada fakta
bahwa di samping memperhatikan hal-hal yang alamiah atau, dalam kata-kata
Al-Qur'an Suci, nyata, Al-Qur'an juga menempatkan iman kepada yang gaib di
garis terdepan ajarannya. Al-Qur'an memfirmankan: Kitab (Al-Qur'an) ini tak ada
keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang takwa. Yaitu mereka yang beriman
kepada yang gaib. (QS. al-Baqarah: 2-3)
Mana mungkin
Al-Qur'an Suci mengalihkan perhatian orang dari yang supranatural padahal
Al-Qur'an itu sendiri adalah mukjizat (yang juga supranatural—pen.), dan
sedemikian banyak mukjizat lainnya dipaparkan dalam lebih dari seratus ayatnya.
Kami tak dapat
memahami apa maksud perkataan bahwa Al-Qur'an adalah satu-satunya mukjizat yang
bukan saja diimani oleh orang-orang yang mempercayai hal-hal yang supranatural.
Percaya yang
bagaimana? Apakah maksud si penulis adalah percaya bahwa Al-Qur'an adalah
sebuah kitab yang isinya sangat bemilai dan tinggi, atau percaya bahwa
Al-Qur'an adalah mukjizat? Percaya bahwa sesuatu itu mukjizat, dalam pengertian
bahwa itu adalah mukjizat Allah, berarti mempercayai kesupranaturalannya. Mana
mungkin seseorang mempercayai mukjizat dan sekaligus tidak mempercayai sesuatu
yang supranatural?
Sudah disebutkan
bahwa mukjizat Nabi Muhammad saw bukan bagian dari masalah-masalah non-manusiawi,
sekalipun mukjizat Nabi saw itu merupakan suatu karya non-manusiawi. Bagi kami,
makna pernyataan ini juga tidak jelas, karena dapat ditafsirkan dengan dua
cara: pertama, bisa berarti bahwa Al-Qur'an yang merupakan kitab wahyu, yang
penyusunnya bukan Nabi Muhammad saw, merupakan suatu karya non-manusiawi.
Namun, sekalipun Al-Qur'an merupakan firman Allah, bukan kata-kata manusia,
namun Al-Qur'an termasuk dalam kategori masalah-masalah manusiawi dan merupakan
suatu karya biasa, seperti karya-karya manusiawi lainnya.
Kelihatannya mustahil
kalau ini yang dimaksud si penulis, karena kalau pandangan ini diterima, maka
Al-Qur'an tak ada bedanya dengan kitab-kitab wahyu lainnya. Kitab-kitab wahyu
lainnya juga berasal dari sumber wahyu yang sama. Namun karena kitab-kitab
tersebut tak ada aspek supranaturalnya, maka tidak termasuk dalam kategori
karya supra-manusiawi.
Ada kategori sabda
Nabi Muhammad saw yang dikenal dengan sebutan hadis Qudsi. Sabda-sabda ini
merupakan wahyu Allah meski tidak mukjizat dan juga tidak supra-manusiawi.
Al-Qur'an Suci beda dengan kitab-kitab wahyu lainnya dan beda dengan hadis
Qudsi karena Al-Qur'an supra-manusiawi. Al-Qur'an adalah wahyu, supra-manusiawi
dan supranatural. Itulah sebabnya Al-Qur'an menyebutkan, Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (QS.
al-Isrâ’: 88)
Interpretasi lain
mengenai wahyu tersebut di atas bisa berupa, bahwa tak seperti mukjizat
nabi-nabi lainnya seperti mengubah tongkat menjadi ular besar dan menghidupkan
mayat—dan kedua perbuatan ini bukan tergolong perbuatan manusia—mukjizat Nabi
Muhammad saw, yang berupa kepiawaian berbicara, tergolong perbuatan manusia,
meski tetap supra-manusia, karena sumbernya adalah sumber supranatural. Kalau
interpretasi ini yang dimaksud, maka paparan ini sendiri merupakan pengakuan
bahwa ada yang supranatural dan yang luar biasa, dan bahwa ada hal-hal yang
gaib. Kemudian mengapa kita menganggap mukjizat seakan-akan sesuatu yang
bersifat mitos dan irasional. Keriapa dari awal kita tidak membedakan saja
antara mukjizat di satu pihak dan mitos serta takhayul di lain pihak, sehingga
orang-orang yang kurang tahu, kesannya tentang mukjizat jangan sampai seperti
yang tidak kita kehendaki. Kenapa bukannya mengatakan dengan jelas dan apa
adariya bahwa kitabnya Nabi Muhammad saw (Al-Qur'an—pen.) adalah sebuah
mukjizat, tetapi malah secara tak langsung mengatakan bahwa mukjizat Nabi
Muhammad saw adalah Al-Qur'an?
Dalam salah satu
karya terakhir penulis ini juga dimuat sebuah artikel dengan judul
"Al-Qur'an dan Komputer". Artikel ini dapat dianggap sebagai koreksi
atas pandangannya sebelumnya mengenai kemukjizatan Al-Qur'an Suci dan sebagai
tanda perkembangan gradual pemikirannya.
Dalam artikel ini dia
mengusulkan supaya huruf-huruf Al-Qur'an diganti saja dengan karakter-karakter
komputer, dan supaya digunakan manifestasi luar biasa dari budaya manusia ini (komputer—pen.)
untuk menggali ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Al-Qur'an. Ini merupakan
usulan yang bagus dan tepat waktu. Penulis menyinggung upaya-upaya yang telah
dan tengah dilakukan oleh beberapa sarjana Mesir dan Iran di bidang ini.
Penulis juga berwacana dengan menarik dalam Bab "Bagaimana Membuktikan
Bahwa Al-Qur'an Tak Dapat Ditiru." Dalam artikel ini penulis merujuk
sebuah buku berharga yang berjudul "Proses Perkembangan Al-Qur'an",
yang belakangan ini telah terbit. Dalam buku itu, sang penulis membuktikan
bahwa ukuran dan panjang ayat dan kata-kata yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw dalam dua puluh tiga tahun membentuk suatu garis lengkung yang
akurat dan teratur. Mengomentari temuan yang digali dari Al-Qur'an, penulis
mengatakan, "Adakah di dunia ini orang yang kalimat-kalimatnya dapat
diketahui kapan diucapkan dengan melihat panjang kalimatnya, khususnya bila
kalimat-kalimat ini tidak berupa teks buku sastra atau ilmiah, yang dibuat oleh
seorang penulis dengan cara yang konsisten? Namun, itu merupakan
kalimat-kalimat yang dari waktu ke waktu keluar dari mulut seseorang dalam
periode panjang dua puluh tiga tahun kehidupannya yang sibuk. Kalimat-kalimat
itu tidak membentuk sebuah buku yang ditulis dengan pokok masalah khusus, juga
bahkan tidak ada kaitannya dengan bidang yang sudah dikonsepsikan sebelumnya.
Kalimat-kalimat itu meliput beragam persoalan yang mencuat dalam masyarakat
dari waktu ke waktu. Sebagiannya menjawab pertanyaan-pettanyaan tertentu yang
diajukan, dan sebagiannya lagi membahas problem-problem yang muncul selama
suatu perjuangan panjang. Kalimat-kalimat itu diwahyukan kepada seorang
pemimpin besar, lalu di kemudian hari dihimpun serta disusun."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar