Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Pada bab terdahulu
sudah dibahas ayat "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah
Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai
agamamu." Dalam pembahasan itu saya katakan bahwa bukti internal dan
eksternal berkenaan dengah ayat ini menunjukkan bahwa, seperti diriwayatkan
baik oleh kaum Syiah maupun kaum Sunni, ayat ini turun berkaitan dengan
peristiwa Ghadir Khum.
Karena sekarang yang
kami bahas adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar dari argumen-argumen
Syiah mengenai imamah, maka kami kutipkan dua atau tiga ayat saja untuk
menjelaskan arah umum argumen-argumen Syiah. Salah satunya adalah sebuah ayat
dalam Surah al-Mâ`idah ayat 67, "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu sampaikan, berarti kamu
tidak menyampaikan risalah-Nya," Perlu ada pengantar, karena akan membantu
memahami ayat ini dan ayat sebelumnya.
Posisi Khusus
Ayat-ayat tentang Keturunan Nabi saw
Satu hal yang
benar-benar cukup misterius adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan
dengan keturunan Nabi saw, khususnya ayat-ayat yang, dari sudut pandang Syiah,
berkenaan dengan Imam Ali as, gaya pengungkapannya khas. Meskipun ayat-ayat ini
memiliki bukti internal yang memadai untuk menunjukkan arti pentingnya, namun
ayat-ayat ini disisipkan di antara beberapa ayat lain yang membicarakan
beberapa masalah lain. Itulah sebabnya perlu ada upaya untuk memahami arti
pentingnya. Kekhasan ini telah dibahas oleh Muhammad Taqi Syari'ati dalam
bukunya, "Imâmah dan Khilâfah". Meski bukan dia saja yang membahas
hal ini, namun barangkali dialah orang pertama yang membahasnya dalam bahasa
Persia. Kekhasan ini juga merupakan jawaban untuk mereka yang bertanya kenapa
nama Imam Ali as tidak secara khusus disebut dalam Al-Qur'an.
Ayat Thathhîr (Penyucian)
Misal, ada sebuah
ayat yang dikenal dengan nama ayat Thathhîr (penyucian): Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahtulbait, dan menyucikan
kamu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzâb: 33). Di sini arti penyucian adalah
penyucian tertentu yang disebutkan oleh Allah SWT. Artinya bukan pembersihan
medis atau pembersihan biasa. Bukan begitu artinya. Sesungguhnya artinya adalah
menghilangkan semua yang dianggap oleh Al-Qur'an rijs atau rujz, yaitu semua
jenis dosa dogmatis, moral dan praktis. Itulah sebabnya dikatakan bahwa ayat
ini menunjukkan kemaksuman para anggota rumah tangga Nabi saw dan menunjukkan
bahwa mereka bebas dari segala kotoran, ketidakmurnian, dan najis.
Misal saja kita ini
bukan Syiah dan juga bukan Sunni, melainkan orientalis Kristiani yang ingin
mengetahui apa yang dikatakan oleh Kitab Suci kaum Muslim. Kita melihat ayat
ini dan kemudian kita melihat ke sejarah Islam dan riwayat-riwayat kaum Muslim,
kita mendapati bahwa bukan saja pengikut keturunan Nabi saw, yang dikenal
sebagai Syiah, namun juga golongan yang bukan pendukung khusus keturunan Nabi
saw seraya menyebutkan peristiwa turunnya ayat di atas mereka mengatakan dalam
kitab-kitab autentik mereka bahwa ayat itu berkenaan dengan Imam Ali as,
Fatimah az-Zahra as, Imam Hasan as, Imam Husain as dan Nabi saw sendiri. Ada
sebuah riwayat Sunni yang mengatakan ketika ayat ini turun, Ummu Salamah,[1]
salah seorang istri Nabi saw, mendatangi Nabi saw dan bertanya apakah ayat ini
berlaku juga untuk dirinya. Nabi saw menjawab bahwa Ummu Salamah, meski
diberkahi, namun tidak termasuk di antara orang-orang yang dimaksud oleh ayat
itu. Yang meriwayatkan hadis ini lebih dari satu atau dua orang. Banyak riwayat
yang isi umumnya seperti ini terdapat dalam kitab-kitab Sunni.
Kita melihat bahwa
sebelum dan sesudah ayat terkutip di atas ada ayat-ayat yang berkenaan dengan
istri-istri Nabi saw, "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda dengan
wanita-wanita lain." (Tentu saja ayat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa
istri-istri Nabi saw lebih unggul dibanding wanita-wanita lain). "Wahai
Istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian berbuat dosa, maka hukuman
baginya akan diduakalikan. Hukumannya akan diduakalikan, karena dia bukan saja
melakukan dosa tertentu itu, namun juga melanggar kesucian suaminya dan
bersalah melanggar hal-hal yang dianggap suci." Juga, "Barangsiapa di
antara kalian patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan berbuat baik, maka pahala baginya
akan Kami duakalikan." Dia akan mendapat pahala dua kali karena perbuatan
bajiknya sesungguhnya terdiri atas dua perbuatan. Kasus ini sama dengan kasus
para sayid yang disebut-sebut akan mendapat dua kali pahala untuk kebaikan yang
mereka lakukan, dan dua kali hukuman untuk dosa yang rnereka lakukan. Itu bukan
karena dosa yang dilakukan mereka beda dengan dosa yang dilakukan orang lain,
namun karena fakta bahwa dosa mereka lipat dua. Misal, seorang sayid,
na'udzubillah min dzalik, minum minuman keras, maka dia selain telah berbuat
dosa, juga bersalah karena melanggar hal-hal yang dianggap suci, karena dia
adalah keturunan Nabi saw, dan siapa pun yang melihatnya terang-terangan
menentang ajaran Nabi saw, akan memperoleh kesan yang salah tentang Islam.
Dalam ayat-ayat ini
semua kata gantinya adalah feminim. "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda
dengan wanita lain, jika kalian takut kepada Allah." Jelaslah di sini yang
dituju adalah istri-istri Nabi saw. Setelah dua atau tiga ayat, kata gantinya
tiba-tiba berubah menjadi maskulin, dan kita sampai pada ayat ini: "Wahai
ahlulbait, Allah hendak meniadakan semua jenis kekotoran darimu dan hendak
menyucikanmu sesuci-sucinya" Kemudian, lagi kata ganti feminim digunakan
dua kali. Al-Qur'an tidak mungkin sembrono. Dalam ayat ini kita catat dua
perubahan. Pertama, di sini digunakan kata-kata "ahlulbait", padahal
sebelumnya yang disebut adalah "Istri-istri Nabi". Kedua, kata ganti
feminim digantikan kata ganti maskulin. Pergantian ini bukan tanpa alasan. Ayat
ini sesungguhnya membicarakan persoalan lain bukan persoalan yang dibicarakan
ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya menetapkan kewajiban
tertentu bagi istri-istri Nabi saw dan di antaranya menunjukkan ancaman,
ketakutan, harapan dan perintah. Kepada istri-isri Nabi saw, Al-Qur'an
mengatakan: Dan tetaplah di rumah-rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah. (QS. al-Ahzâb: 33)
Dalam ayat ini ada
perintah dan ada ancaman. Istri-istri Nabi saw dikatakan bahwa kalau mereka
berperilaku baik, maka akibatnya akan begini, namun jika mereka berperilaku
lain, maka akibatnya juga akan lain. Dalam ayat ini ada ketakutan dan ada
harapan.
Ayat ini, yaitu ayat
Thathhîr (penyucian), lebih dari sekadar ungkapan pujian. Ayat ini menunjukkan
bahwa ahlulbait Nabi saw maksum, hebas dari segala dosa dan kesalahan. Ayat ini
independen, tak ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw,
sedangkan ayat ini ditujukan kepada ahlulbait Nabi saw. Dalam ayat-ayat sebelum
dan sesudahnya, digunakan kata ganti feminim, namun dalam ayat ini digunakan
kata ganti maskulin. Namun ayat ini, yang tak ada kaitannya dengan ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya, disisipkan di tengah. Ini dapat disebut kalimat
sisipan. Kita semua tahu bahwa terkadang pembicara yang tengah berbicara ten
tang suatu masalah tiba-tiba menyimpang dari masalah yang tengah dibicarakan
namun kemudian kembali lagi ke masalah yang tengah dibicarakannya. Itulah
sebabnya para imam kami menyatakan bahwa bisa saja beberapa ayat Al-Qur'an
membicarakan satu masalah pada awalnya, masalah lain di tengahnya dan masalah
lain lagi di akhirnya. Berkaitan dengan penafsiran Al-Qur'an, poin ini banyak
ditegaskan.
Bukan saja
hadis-hadis dan para imam kami mengatakan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, semua sumber Sunni juga meriwayatkan fakta
ini.
Contoh lain ayat
sisipan adalah: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu. (QS. al-Mâ`idah:
3)
Di sini juga kita
lihat kasus yang sama, yang sedikit lebih mengherankan. Ayat-ayat sebelum ayat
ini membicarakan norma hukum yang sangat sederhana dan biasa: Dihalalkan bagimu
bmatangternak,.... Diharamkan bagimu (makan) bangkai, darah, daging babi,
daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, daging hewan yang dicekik,
yang dipukuli, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas. (QS.
al-Mâ`idah: 1, 3)
Lalu tiba-tiba
topiknya berubah, dan kita mendapati ayat ini: Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itujanganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam
itujadi agama bagimu. (QS. al-Mâ`idah: 3)
Lalu tema yang
dibicarakan sebelumnya, kembali dibicarakan lagi. Pada dasarnya dua ayat ini
tidak sesuai dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jelaslah ayat-ayat ini
disisipkan di tengah ayat-ayat yang membicarakan satu masalah yang lain sekali.
Begitu pula dengan ayat yang baru saja kami bicarakan. Ternyata ayat ini
disisipkan di antara ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga kalau ayat ini
dihilangkan, maka ayat-ayat lain tersebut tetap nyambung. Juga, jika ayat "Pada
hari ini telah Kusempurnakan." Dihilangkan, aliran harmonis ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya tidak akan terganggu. Ayat ini disisipkan di tengah
ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga ayat ini bukan bagian belakang dari
ayat sebelumnya, juga bukan pembuka ayat sesudahnya. Ayat ini membicarakan satu
masalah yang beda sekali. Indikasi internal ayat ini sendiri maupun
riwayat-riwayat dari sumber Syiah dan Sunni, semuanya mendukung pandangan bahwa
ayat ini independen. Namun kenapa ayat ini disisipkan di antara ayat-ayat yang
tak ada kaitannya? Tentu saja ada alasannya, dan alasan itu tentu tepat.
Alasan
Alasan yang juga
disebutkan oleh para imam dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Karena itu, dari
semua ajaran Islam, perintah Allah SWT, yang berkaitan dengan posisi istimewa
keturunan Nabi saw dan imamah Imam Ali as, adalah yang paling kecil
kemungkinannya untuk diimplementasikan. Karena sudah berurat berakar
prasangkanya, orang-orang Arab tampaknya yang paling tidak siap untuk menerima
konsepsi-konsepsi ini. Meskipun Nabi saw telah menerima perintah Allah SWT
berkenaan dengan Imam Ali as, namun Nabi saw tahu bahwa jika Nabi saw
menyampaikan konsepsi-konsepsi ini, tentu Nabi saw akan dituduh nepotisme oleh
kaum munafik yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an, sekalipun fakta menunjukkan
bahwa Nabi saw tak pemah mengistimewakan dirinya di atas orang lain. Sesuai
dengan ajaran Islam, Nabi saw tak pernah melakukan diskriminasi, dan kualitas
Nabi saw seperti ini merupakan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan
Nabi saw. Memproklamasikan Imam Ali as sebagai penerus Nabi saw merupakan
perintah Allah SWT, namun Nabi saw tahu bahwa orang-orang yang lemah imannya
tentu akan mengatakan bahwa Nabi hendak mengistimewakan dirinya. Kita tahu
bahwa dalam ayat di atas kata-kata "Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu," didahului dengan kata-kata "'Pada hari ini kaum hafir telah
kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu, maka janganlah takut kepada
mereka, namun takutlah kepada-Ku." Yang dimaksud adalah bahwa orang-orang
kafir telah kehilangan setiap harapan untuk berhasil menghancurkan Islam, maka
dari itu janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku. Seperti
dijelaskan sebelumnya, mencabut karunia dan nikmat-Nya dari orang-orang yang
kondisi jiwanya buruk, merupakan cara ilahiah Allah. Orang-orang seperti itu
bahkan akan kehilangan Islam yang juga merupakan nikmat Allah SWT. Mengatakan
"Takutlah kepada-Ku" merupakan cara mengatakan "Takudah kepada
dirimu sendiri." Dengan kata lain, kaum Muslim tak lagi menghadapi bahaya
dari luar, namun yang mereka hadapi adalah ancaman dari dalam.
Dapat dicatat bahwa
ayat ini merupakan satu bagian dari Surah al-Mâ`idah, Surah terakhir yang turun
kepada Nabi saw, dan turunnya pada dua atau tiga bulan terakhir masa hidup Nabi
saw. Pada saat itu Islam sudah kuat.
Keyakinan bahwa kaum
Muslim menghadapi bahaya dari dalam saja, bukan dari luar, juga disampaikan
oleh ayat lain yang sudah kami kutipkan sebelumnya. Ayat itu mengatakan: Wahai
Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika
kamu tidak melakukannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Ku. Allah akan
melindungimu dari (gangguan) manusia. (QS. al-Mâ`idah: 67)
Dapat disebutkan bahwa
dalam Al-Qur'an tak ada ayat lain yang mendesak Nabi saw untuk melaksanakan
tugas khusus. Dari nada ayat ini kesannya seakan-akan seseorang dipaksa untuk
melakukan sesuatu, namun dia ragu-ragu. Dalam ayat ini Nabi saw diminta untuk
menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Nabi sawjuga diancam, jika
tidak menyampaikan, maka Nabi saw dianggap gagal sebagai Rasul. Pada saat yang
sama Nabi saw mendapat jaminan akan dilindungi dan karena itu Nabi saw tak
perlu merasa takut. Dalam ayat sebelumnya, kaum Muslim diminta untuk tidak
takut kepada kaum kafir. Dengan begitu Nabi saw diantisipasi tidak akan takut
kepada kaum kafir. Namun ayat ini menunjukkan bahwa Nabi saw masih takut dan
cemas tentang sesuatu. Tentu saja Nabi saw tidak mungkin takut kepada kaum
kafir. Nabi saw sadar akan bahaya bergolaknya orang-orang yang tak mau menerima
suksesi Imam Ali as. Tak dapat saya katakan apakah orang-orang ini juga kafir
hatinya sehingga mereka tak dapat menerima konsepsi imamah Imam Ali as.
Bukti Sejarah
Peristiwa-peristiwa
sejarah juga menuturkan kisah yang sama. Dengan kata lain, sosiologi kaum
Muslim menunjukkan hal yang sama. Kita tahu Umar mengatakan, "Kami tidak
memilih Ali, sebagai langkah jaga-jaga untuk kepentingan Islam." Kaum
Quraisy tak mau menerima Imam Ali as, karena mereka tidak dapat mentoleransi
Imam Ali as.
Kaum Quraisy
menganggap tidak benar kalau kenabian dan imamah keduanya ada dalam satu
keluarga. Yang ingin dikatakan Umar adalah bahwa Bani Hasyim telah mendapat
kemuliaan berkat kenabian. Apakah kekhalifahan juga akan ada di keluarga itu,
sehingga semua kemuliaan ada di satu rumah. Itulah alasan kenapa kaum Quraisy
tidak menyukai imamah Imam Ali as. Ibn Abbas memberikan jawaban yang sangat
meyakinkan terhadap perkataan Umar dan mengutip banyak ayat Al-Qur'an untuk
mendukung argumennya.
Kelihatannya situasi
serupa yang ada di masyarakat Muslim diungkapkan dengan cara yang berbeda, oleh
Al-Qur'an begini dan oleh Umar begitu. Misal, sebuah riwayat menyebutkan bahwa
Imam Ali as dianggap tidak tepat untuk menjadi Khalifah karena Imam Ali as
telah membunuh begitu banyak tokoh Arab di berbagai pertempuran Islam.
Orang-orang Arab, anak-cucu tokoh-tokoh Arab yang telah dibunuh oleh Imam Ali
as menaruh dendam kepada Imam Ali as, sekalipun setelah mereka masuk Islam.
Sebagian orang Sunni juga mengemukakan argumen ini. Mereka mengatakan bahwa
sekalipun Imam Ali as lebih unggul dibanding sahabat lain dan lebih memenuhi
syarat, namun Imam Ali as tidak dipilih karena musuhnya banyak.
Jadi, di zaman Nabi
saw atmosfernya diwarnai perasaan cemas. Dan pengumuman tentang suksesi Imam
Ali as akan menyulut pemberontakan. Barangkali itulah sebabnya Al-Qur'an
menyebut masalah imamah dalam ayat-ayat ini sedemikian rupa sehingga arti
penting ayat-ayat ini dapat dimengerti oleh setiap orang yang objektif atau tak
berprasangka. Al-Qur'an tidak mengemukakan masalah ini dengan cara yang kalau
masalah ini ditolak oleh orang-orang yang cenderung menolaknya, maka penolakan
itu akan menimbulkan penolakan terhadap Islam dan Al-Qur'an. Dengan kata lain,
Al-Qur'an masih memberikan kesempatan kepada para penentang untuk
menyembunyikan penolakan mereka di balik tirai tipis. Seperti itu pula alasan
kenapa ayat Thathhîr juga disisipkan di antara ayat-ayat lain. Namun setiap
orang yang jujur dan berakal sehat dapat menangkap makna sejatinya dan dapat
melihat independensi ayat ini. Begitu pula dengan ayat "Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu," dan ayat "Wahai Rasul,
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu."
Ayat "Walimu hanyalah Allah"
Ada beberapa ayat
lain berkenaan dengan persoalan ini yang menarik untuk dipikirkan dengan
seksama. Ayat-ayat ini rasanya memiliki makna khusus. Makna khusus ini dapat
dipahami dengan bantuan riwayat-riwayat mutawatir saja. Salah satu ayat ini
mengatakan sebagai berikut: Sesungguhnya walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat sementara mereka
rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)
Menunaikan zakat
sembari rukuk bukanlah prosedur biasa atau normal. Maka tak dapat dikatakan
bahwa hal ini disebutkan sebagai norma umum. Karena itu ayat ini pasti
berkenaan dengan peristiwa tertentu. Ayat ini mengisyaratkan ke arah peristiwa
ini sedemikian rupa sehingga kalau ditolak tidak dapat dianggap melawan
Al-Qur'an. Namun setiap orang yang tak berprasangka akan mudah berkesimpulan
bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa tertentu yang tidak biasa.
Orang-orang yang menunaikan zakat sembari rukuk tidak merujuk ke praktik yang
lazim. Ayat ini mengindikasikan suatu peristiwa yang luar biasa. Peristiwa apa
itu? Kita tahu bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Apa Kata Ahli Irfan
Ada beberapa ayat
lain yang artinya baru dapat diketahui setelah melalui pemikiran yang mendalam.
Itulah sebabnya ahli-ahli irfan* mengatakan bahwa masalah imamah dan wilayah
merupakan sisi dalam dari hukum Islam. Itulah juga yang dipercaya kaum Syiah.
Karena itu ahli-ahli irfan sangat bagus pengungkapannya mengenai konsepsi
ini. Untuk memahami masalah Imamah, perlu masuk ke intinya, karena pada
dasarnya masalah imamah membutuhkan pemikiran yang mendalam. Hanya orang-orang
yang memiliki kualitas ini sajalah yang dapat memahami dengan baik masalah ini.
Mereka mengajak orang untuk juga masuk ke inti masalah ini. Ada yang
menanggapi, dan ada pula yang tidak. Sekarang kita lihat ayat lain, agar logika
argumen kaum Syiah bisa dipahami sepenuhnya.
Konsep Imamah
Dalam Al-Qur'an ada
sebuah ayat yang termasuk dalam rangkaian ayat yang tengah kita bahas. Ayat
luar biasa ini tidak berkaitan dengan pribadi Imam Ali as, namun membicarakan
doktrin imamah dalam arti yang sudah kami jelaskan, dan sekarang akan kami
jelaskan dengan singkat.
Seperti sudah kami
katakan, kekeliruan lama teolog-teolog ilmiah Muslim adalah membahas masalah
imamah dengan cara seakan-akan konsepsi imamah kaum Syiah maupun kaum Sunni
sama namun hanya saja perbedaan kedua kaum ini soal kondisinya saja. Kaum Syiah
mengatakan bahwa imam haruslah maksum dan diangkat melalui keputusan Allah SWT,
sedangkan kaum Sunni tidak mengakui sudut pandang itu. Fakta aktualnya adalah
bahwa kaum Sunni sama sekali tidak mempercayai konsepsi imamah yang diyakini
kaum Syiah. Imamah yang diyakini kaum Sunni hanyalah aspek duniawi dan salah
satu fungsi dari imamah yang sesungguhnya. Mengenai kenabian, kita juga melihat
bahwa Nabi saw adalah pemimpin umat Muslim, namun kepemimpinan ini atau
kedudukannya sebagai pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai
seorang Nabi. Kepemimpinannya tidak berarti bahwa kenabian dan kepemimpinan
sinonim. Kenabian adalah sebuah realitas yang begitu banyak sisinya. Salah satu
sifat khas seorang nabi adalah kalau ada nabi maka siapa pun selain nabi tak
dapat menjadi penguasa atau pemimpin umat Muslim. Kaum Sunni mengatakan bahwa
imamah berarti tak lebih dari administrasi pemerintahan dan bahwa imam adalah
kepala administrasi ini atau penguasa kaum Muslim. Dia dipilih oleh kaum Muslim
dari kalangan mereka sendiri. Konsep Sunni tentang imam tak lebih dari status
kepala negara Muslim. Namun menurut Syiah, imamah adalah sebuah posisi yang
sama dengan kenabian, dan dalam beberapa hal bahkan lebih tiriggi daripada
Kenabian. Para nabi papan atas, mereka itu juga imam. Banyak nabi yang sama
sekali bukan imam. Bahkan para nabi papan atas mendapat tugas imamah jauh
setelah mereka jadi nabi.
Pendek kata, kalau
kita mengakui bahwa imamah adalah seperti kenabian, maka kita juga harus akui
bahwa karena adanya seorang nabi yang memiliki aspek manusia super maka tak ada
masalah siapa yang jadi penguasa, adanya seorang imam maka tak ada masalah
siapa yang jadi penguasa. Masalah ini baru muncul ketika tak ada imam, entah
karena imam sama sekali tak ada atau karena imam tengah gaib seperti yang
tengah terjadi di zaman kita ini. Kita tak boleh mencampuradukkan masalah
imamah dengan masalah pemerintahan dan kemudian bertanya apa kata kaum Sunni
dalam hal ini dan bagaimana pandangan Syiah. Sesungguhnya masalah pemerintahan
beda dengan masalah imamah. Menurut kaum Syiah, imamah merupakan sebuah
fenomena yang persis seperti fenomena kenabian, dan itu juga seperti derajat
tertingginya. Maka dari itu kaum Syiah mempercayai imamah, sedangkan kaum Sunni
tidak. Menurut kaum Sunni, syarat yang diperlukan bagi seorang imam beda.
Imam dalam Keturunan
Nabi Ibrahim as
Ayat yang sekarang
ingin kami kutip dengan jelas menunjukkan konsep imamah yang diyakini kaum
Syiah. Kaum Syiah berpendapat ayat ini menunjukkan bahwa ada sebuah kebenaran
yang disebut imamah, dan bahwa adanya bukan saja selama periode setelah
wafatnya Nabi saw namun juga sejak datangnya para nabi dan akan terus eksis
dalam keturunan Nabi Ibrahim as sampai akhir zaman. Al-Qur'an mengatakan: Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan
aku mohonjuga) dari keturunanku. "Allah berfirman: "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orangyang zalim." (QS. al-Baqarah: 124)
Ujian Nabi Ibrahim
as—Perintah untuk Hijrah ke Hijaz
Al-Qur'an sendiri
menyebutkan sejumlah ujian yang harus dihadapi Nabi Ibrahim as. Ujian itu
antara lain berupa perjuangan Nabi Ibrahim as melawan Namrud beserta
pengikut-pengikutnya, sehingga Ibrahim as sampai dibakar dan mengalami beberapa
peristiwa lainnya. Salah satu peristiwa ini adalah Ibrahim as menerima perintah
yang tak dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang belum sepenuhnya menaati Allah
SWT. Ibrahim as belum memiliki anak. Untuk pertarna kalinya istrinya, Hajar,
melahirkan seorang anak pada usia tujuh puluh delapan tahun. Nabi Ibrahim as
menerima perintah Allah SWT untuk pergi dari Syria ke Hijaz, membawa istri dan
anaknya ke tempat yang sekarang menjadi lokasi Masjidil Haram. Perintah ini tidak
sesuai dengan logika apa pun kecuali logika kepatuhan diri yang total. Karena
yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT yang diterimanya melalui wahyu,
Ibrahim as menjalankan perintah itu. Ibrahim as berkata: Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baituttah) yang dihormati. Ya Tuhan
kami, (yang demikian itu) agar mereka menegakkan salat. (QS. Ibrahim: 37)
Perintah Menyembelih
Putranya
Yang lebih
mengherankan daripada peristiwa-peristiwa ini adalah kisah tentang Nabi Ibrahim
as menyembelih putranya di Mina. Untuk selalu mengenang kepatuhan diri yang
luar biasa ini, maka kita sekarang berkorban kambing (karena kita melaksanakan
perintah Allah SWT, maka dalam hubungan ini tak ada pertanyaan kenapa dan untuk
apa). Setelah dua atau tiga kali bermimpi seakan-akan sedang mengorbankan
putranya, Ibrahim as yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT kepadanya untuk
melakukan yang demikian. Ibrahim as menuturkan hal ini kepada putranya.
Putranya setuju dan mengatakan, "Ayah, lakukan apa yang diperintahkan
kepadamu, insya Allah akan engkau dapati aku setia dan tabah." Al-Qur'an
menggambarkan peristiwa yang luar biasa ini. Keduanya sudah pasrah taat (kepada
Allah SWT) dan dia sudah siap menyembelih putranya (pada akhirnya ketika
Ibrahim as mutlak yakin mau menyembelih putranya, dan sang putra, Ismail, sudah
tak ragu lagi bahwa kepalanya akan disembelih): Dan Kami panggillah dia:
"Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan mimpi itu." (QS.
ash-Shâffât: 104-105)
Yang dikatakan Allah
SWT adalah bahwa Allah SWT sesungguhnya tidak menghendaki kepala Ismail as
dipotong. Allah SWT hanya ingin melihat kepatuhan total Ibrahim dan Ismail
kepada kehendak-Nya, dan ternyata keduanya memang sangat patuh.
Al-Qur'an dengan
jelas mengatakan bahwa Allah SWT mengaruniakan seorang putra kepada Nabi
Ibrahim as ketika usianya sudah lanjut. Dikatakan ketika para malaikat
mendatanginya dan mengatakan bahwa dia akan dianugerahi seorang putra oleh Allah
SWT, istrinya berkata: Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak
padahal aku seorang perempuan tua dan suamiku pun sudah tua pula? Para malaikat
itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu
adalah) rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kamu, wahai Ahlutbait.
" (QS. Hûd: 72-73)
Menurut ayat ini,
Allah SWT menganugerahkan seorang putra kepada Ibrahim as ketika Ibrahim as
sudah tua. Ketika masih muda, Ibrahim as belum dikaruniai anak. Ketika mendapat
anak, Ibrahim as sudah jadi Nabi. Dalam Al-Qur'an banyak ayat tentang Ibrahim
as. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Ibrahim as mendapat anak ketika berusia
tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Ishaq as dan Ismail as tumbuh besar.
Ismail as menjadi dewasa dan membantu ayahnya membangun Ka'bah. Al-Qur'an
mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berftrman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata:
"(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. " Allah berfirman:
"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (QS. al-Baqarah:
124)
Apakah ayat-ayat ini
berkenaan dengan masa muda Ibrahim as? Tak dapat dipungkiri, ayat-ayat ini
berbicara tentang ketika Ibrahim as sudah menjadi Nabi, karena ayat-ayat ini
berbicara tentang wahyu. Ayat-ayat ini berkenaan dengan masa tua Ibrahim as,
karena ayat-ayat ini berbicara mengenai ujian demi ujian yang dilalui Nabi
Ibrahim as. Ujian demi ujian ini terjadi di sepanjang hayat Ibrahim as. Ujian
yang paling penting terjadi ketika Ibrahim as sudah lanjut usia. Dalam
ayat-ayat ini disebut-sebut keturunan Ibrahim as. Itu menunjukkan bahwa ketika
percakapan ini berlangsung, Ibrahim as setidak-tidaknya sudah memiliki seorang
anak.
Sesungguhnya, menurut
ayat ini, Ibrahim as diangkat menjadi Imam menjelang akhir hayatnya. Ayat ini
mengatakan bahwa Aku telah menjadikan engkau Imam bagi umat manusia. Jadi
Ibrahim as diberi tugas baru. Itu menunjukkan bahwa Ibrahim as sudah menjadi
Nabi dan Rasul Allah. Namun masih ada satu tahap yang sampai saat itu belum
dicapainya. Tahap itu baru dicapainya setelah sukses melewati semua ujian.
Bukankah itu menunjukkan bahwa, menurut Al-Qur'an, ada satu lagi realitas yang
namanya adalah imamah? Sekarang apa artinya?
Imamah Adalah
Perjanjian Dahi
Arti imamah adalah
tahap menjadi manusia sempurna dan pemimpin sempurna. Ketika Ibrahim as
diangkat menjadi Imam, dia lantas memikirkan keturunannya. Ibrahim as berkata,
"Bagai-mana dengan keturunanku?" Allah SWT menjawab,
"Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Di sini imamah
digambarkan sebagai perjanjian Allah SWT. Itulah sebabnya kaum Syiah mengatakan
bahwa imamah yang diyakini kaum Syiah adalah ilahiah sifatnya. Al-Qur'an juga
menggambarkan imamah sebagai "Perjanjian-Ku." Imamah adalah
perjanjian Allah SWT, bukan perjanjian manusia. Kalau kita mempertimbangkan
fakta bahwa imamah beda dengan perwalian komunitas Muslim, maka kita tak akan
heran bahwa imamah adalah tugas atau misi ilahiah. Orang bertanya siapa yang
membentuk pemerintahan, Allah SWT atau manusia? Kami katakan bahwa soal
pemerintahan beda dengan soal imamah. Allah SWT berfirman kepada Ibrahim as,
"Imamah adalah perjanjian-Ku, dan imamah tidak akan mengenai orang yang
zalim di antara keturunanmu. Menjawab pertanyaan Ibrahim as, Allah SWT tidak
mengatakan "Tidak" dan juga tidak mengatakan "Ya"
kepadanya. Allah tidak memasukkan orang yang zalim dalam ruang lingkup imamah.
Karena itu, yang masuk dalam ruang lingkup imamah adalah keturunan Ibrahim as
yang tidak zalim. Ayat ini menunjukkan bahwa imamah akan selalu ada di antara
mereka. Dalam hal ini ada satu ayat lagi: Dan (Ibrahim) membuat sebuah kalimat
jadi kekal pada keturunannya. (QS. az-Zukhruf: 28)
Siapakah Orang yang
Zalim?
Sekarang
pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan orang yang zalim. Para imam
mendasarkan argumen-argumen mereka pada digunakannya istilah ini dalam ayat
ini. Dari sudut pandang Al-Qur'an, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya
sendiri atau orang lain, maka dia itu orang yang zalim. Dalam bahasa biasa,
orang yang zalim adalah orang yang melanggar hak orang lain. Namun menurut
terminologi Al-Qur'an, orang yang tidak adil terhadap dirinya sendiri juga
adalah orang yang zalim. Banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa orang
yang melakukan pelanggaran atas dirinya sendiri disebut orang yang zalim.
Dalam kaitannya
dengan pertanyaan Nabi Ibrahim as tentang keturunannya, 'Allamah Thabathaba'i
mengutip salah seorang gurunya yang mengatakan bahwa keturunan Nabi Ibrahim as,
dari sudut pandang baik atau buruk, dapat dibagi menjadi empat golongan: (1)
yang sepanjang hayatnya zalim; (2) yang pada awal-nya zalim, namun kemudian
saleh; (3) yang pada awalnya saleh namun kemudian jadi zalim; (4) yang tidak pernah
zalim.
Nabi Ibrahim as
sepenuhnya menyadari pentingnya jabatan tinggi imamah yang dikaruniakan
kepadanya setelah dia lama menjadi Nabi. Dengan demikian mustahil kalau Ibrahim
as meminta posisi ini bagi keturunannya yang sepanjang hayatnya zalim atau yang
pada awalnya baik namun kemudian jadi zalim. Nabi Ibrahim as tentu minta posisi
ini hanya bagi keturunannya yang baik. Karena itu keturunannya yang baik adalah
yang sepanjang hayatnya baik dan yang tidak baik pada awalnya namun di kemudian
hari jadi baik. Tentu saja Ibrahim as tak akan minta posisi ini bagi
keturunannya yang tidak termasuk dalam dua golongan ini. Sekarang kita lihat
apa kata Al-Qur'an, "Perjanjian-Ku tidak mengenai orang-orang yang
zalim," Jelaslah pertanyaan Ibrahim as tidak mencakup keturunannya yang
zalim sepanjang hayatnya atau yang baik pada awalnya namun di kemudian hari
jadi zalim. Karena itu apa yang dikatakan Al-Qur'an- sama saja dengan perkataan
bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah tercela tidak akan mengemban imamah.
Berdasarkan inilah kaum Syiah berargumen bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah
jadi orang musyrik pada waktu kapan pun, tidak tepat untuk mengemban imamah.
Pertanyaan dan
Jawaban
Tanya: Apa arti maksum? Apakah konsepsi maksum
merupakan produk sampingan dari logika Syiah, ataukah ada dasarnya yang
selanjutnya kita kembangkan? Siapakah orang yang maksum itu, apakah dia adalah
orang yang tidak berbuat dosa atau apakah dia yang selain tidak berbuat dosa
juga tidak berbuat keliru? Sekitar dua puluh tahun silam saya mengikuti kuliah
almarhum Mirza Abdul Hasan Faroghi. Almarhum pernah melakukan studi khusus
mengenai masalah kemaksuman dan memberikan pandangannya mengenai hal ini.
Kuliahnya terperinci dan bagus. Namun delapan puluh persen kuliahnya itu tak
dapat saya mengerti. Dari dua puluh persen yang saya pahami saya berkesimpulan
bahwa almarhum menjelaskan kemaksuman dengan cara yang luar biasa. Almarhum
mengatakan bahwa orang yang maksum bukanlah orang yang tidak berbuat dosa,
karena banyak sekali orang yang tak pernah berbuat dosa di sepanjang hayatnya.
Namun orang-orang seperti ini tidak disebut maksum. Sekarang saya tak ada
kaitannya dengan pembicaraan itu. Saya ingin tahu siapakah orang yang maksum
itu. Kalau orang yang maksum adalah orang yang tidak berbuat keliru, saya
melihat bahwa dari dua belas imam hanya dua saja, yaitu Imam Ali as dan untuk
periode yang pendek Imam Hasan as, yang mengemban khilafah, dan bahkan keduanya
ini telah melakukan kekeliruan dalam memerintah negara. Hal ini, dari sudut
pandang sejarah, tak dapat diperselisihkan. Posisi ini tidak sesuai dengan
definisi maksum. Misal, kita tahu bahwa Imam Hasan as memberikan tugas khusus
kepada Ubaidullah bin Abbas untuk menghadapi Muawiyah. Imam Ali as sendiri
mengangkat Abdullah bin Abbas menjadi Gubernur Basrah. Tentu saja Imam Ali as
tak akan mengangkatnya kalau saja beliau tahu aib yang akan ditimbulkannya dan
betapa kotor perilakunya. Ini artinya bahwa Imam Ali as sebelumnya tidak tahu
konsekuensi tindakannya. Imam Ali as mengira telah memilih orang terbaik untuk
tugas khusus itu, namun Ibn Abbas ternyata tak seperti yang diharapkan Imam Ali
as. Kalau kita telaah lebih lanjut periode pemerintahan Imam Ali as, maka akan
kita temukan banyak contoh lagi yang seperti ini.
Dari sudut pandang
sejarah, kekeliruan seperti itu tidak mengapa, meski tidak sesuai dengan
definisi kemaksuman ini. Seperti telah saya katakan, tidak ada gunanya diskusi
sepihak yang partisipannya hanya menerima ideologi tertentu saja. Alasannya
adalah bila seseorang memiliki keyakinan tertentu, maka dia mulai menyukainya
dan tak mau mendengarkan keyakinan lain yang bertentangan dengan keyakinannya.
Prinsip ini khususnya berlaku pada kita, kaum Syiah, yang di hatinya telah
ditanamkan kecintaan kepada Syiah dan keluarga Imam Ali as sejak kecil dan yang
tak pernah mendengar kritik terhadap mereka. Mungkin saja kita pernah mendengar
kritik terhadap agama kita, prinsip-prinsipnya dan bahkan terhadap tauhid.dan
kereligiusan, namun tak pernah mendengar orang mengkritik Syiah, para imam atau
tindakan para imam. Itulah sebabnya kita merasa sangat gelisah kalau ada orang
melontarkan penentangan terhadap, rriisalnya, Imam Hasan as. Mau mendengarkan
apa pun penentangan terhadap Imam Husain as, merupakan sesuatu yang jauh lebih
sulit.
Anda telah menekankan
ayat yang mengatakan, "Mereka yang menegakkan salat dan membayar zakat
sementara mereka tengah rukuk." Anda telah berargumen bahwa ayat ini
berkenaan dengan Imam Ali as, dan turun berkaitan dengan Imam Ali as yang
memberikan cincinnya ketika Imam Ali as tengah rukuk. Menurut hemat saya,
argumen ini tidak begitu sahih dan logis, karena kita mendengar dan membaca
dalam riwayat hidup Imam Ali as bahwa ketika salat Imam Ali as begitu khusyuk
kepada Allah SWT sehingga Imam Ali as tidak dapat tahu siapa pun. Juga
disebutkan bahwa ketika berwudu Imam Ali as tidak tahu siapa yang lewat di
depannya. Lantas mana mungkin orang seperti ini sedemikian waspada ketika
tengah salat, buktinya dia memberikan cincinnya kepada seorang peminta-minta
yang muncul di depannya, padahal orang lain tak mau memberikan apa pun kepada
peminta-minta ini. Lagi pula, tidak baik memberikan uang kepada peminta-minta.
Paling tidak, memberikan uang kepada peminta-minta tidak begitu penting
sehingga sampai harus merusak salat. Padahal cincin tidak dikenai zakat.
Menurut para faqih Syiah, cincin bukan termasuk yang dikenai zakat. Selain itu,
sebagian orang yang sempit pikirannya, dengan maksud membesar-besarkan
peristiwa ini, mengatakan bahwa cincin sangatlah mahal, padahal kita tahu bahwa
Imam Ali as tak pernah mengenakan cincin yang mahal.
Jawab: Mengenai masalah kemaksuman, tidak
banyak orang yang berpandangan lain. Namun memang baik kalau bertanya. Apa arti
maksum? Terkadang orang cenderung mengira bahwa Allah SWT selalu mengawasi
orang-orang pilihan tertentu dan tidak mau kalau orang-orang pilihan ini
berbuat dosa. Kalau mereka ini bermaksud melakukan dosa, Allah SWT mencegah
mereka agar tidak melaksanakan niat mereka. Tentu saja, itu bukanlah maksum.
Bahkan seandainya begitu, kemaksuman tidak memberikan sesuatu yang andal. Jika
seseorang selalu mengawasi anaknya, dan tak mau anaknya berbuat salah, maka hal
itu tak dapat dianggap bahwa anak itu memiliki keunggulan. Namun ada makna lain
kemaksuman yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Dalam kisah tentang Nabi
Yusuf as yang digoda oleh seorang wanita, Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya
wanita telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat
argumen Tuhannya. (QS, Yusuf: 24)
Bagaimanapun juga
Nabi Yusuf as adalah seorang manusia. Dia muda dan memiliki dorongan naluriah.
Wanita itu ada hasrat dengannya, namun Yusuf as tidak. Kalau saja Yusuf as
tidak tahu bahwa dirinya diawasi oleh Allah SWT, tentu dia akan melakukan
perbuatan itu. Iman yang sempurna yang dimiliki Yusuf as membuat Yusuf as tidak
melakukan perbuatan dosa dan membuat Yusuf as menyadari konsekuensi buruknya.
Tanpa campur tangan
kekuatan dari luar, masing-masing kita tidak melakukan banyak dosa dan
kesalahan karena kita semua sepenuhnya yakin akan konsekuensi berbahayanya.
Misal, dosa kalau kita menjatuhkan diri dari lantai empat sebuah gedung atau
terjun ke dalam kobaran api. Kita tak pernah melakukan dosa seperti itu, karena
kita sadar betul bahayanya. Kita tahu, kalau memegang kawat beraliran listrik
maka kita akan langsung mati. Kita baru melakukan perbuatan dosa ini kalau kita
tidak tahu bahayanya. Tanpa ragu-ragu seorang anak kecil menyentuh api, karena
dia tidak tahu bahayanya. Takwa merupakan karakter orang saleh, karena itu dia
tak melakukan banyak dosa. Karakternya ini membuat dirinya maksum pada tingkat
tertentu. Karena itu kemaksuman tergantung pada iman dan keyakinan. Kita yakin
bahwa perbuatan tertentu berdosa karena perbuatan itu dilarang oleh agama kita.
Kita katakan bahwa karena Islam melarang minum minuman keras, maka kita tidak
minum minuman keras, dan karena Islam melarang judi, maka kita tidak berjudi.
Kita kurang lebih tahu bahwa hal-hal ini buruk. Namun risikonya perbuatan-perbuatan
dosa seperti ini bagi kita tidak sejelas risikonya menjatuhkan diri ke dalam
kobaran api. Kalau kita yakin akan akibat dosa-dosa ini, seperti yakinnya kita
akan akibat menjatuhkan diri ke dalam kobaran api, tentu kita akan maksum
sejauh menyangkut dosa-dosa ini. Karena itu, maksum berarti iman dan keyakinan
yang sempurna. Barangsiapa mengatakan, "Meskipun tabir disingkapkan maka
keyakinanku tak akan bertambah,"[2] maka tentu dia itu maksum, karena
dia sudah dapat melihat dengan jelas apa yang ada di balik tabir. Dia dapat
merasakan jika dia berkata kasar kepada orang maka dia seakan-akan digigit
kalajengking, dan karena itulah dia tak akan berkata sembarangan. Al-Qur'an
sendiri menyebutkan beberapa contoh iman yang tingkatannya seperti ini. Itulah
sebabnya disebutkan bahwa kemaksuman adalah istilah relatif, dan kemaksuman ada
beberapa derajat dan tahapnya.
Orang yang maksum tak
akan pernah melakukan perbuatan dosa yang terkadang kita lakukan dan terkadang
kita jauhi. Orang seperti ini tanpa cela. Meskipun demikian, orang maksum ada
derajat dan tahapannya, sehingga mereka tidak sama. Dalam tahap-tahap tertentu,
mereka seperti kita. Kalau kita tidak kebal dari melakukan perbuatan dosa, maka
mereka tidak kebal dari melakukan kekeliruan tertentu. Mereka tidak melakukan
apa pun yang kita anggap dosa, namun mereka bisa saja melakukan hal-hal
tertentu yang mereka sendiri menganggapnya dosa meskipun kita tidak
menganggapnya dosa, karena kita belum sampai pada tahap yang sudah mereka
capai. Kalau seorang siswa kelas 5 dapat menjawab soal kelas 6, maka siswa itu
patut dipuji dan diberi hadiah. Namun jika siswa kelas 9 dapat menjawab soal
kelas 6, maka dia tak patut dipuji. Bisa saja baik bagi kita namun dosa bagi orang
maksum. Seperti kata pepatah, "Bagi kita makanan, namun bagi orang lain
racun."
Itulah sebabnya kita
melihat Al-Qur'an mengatakan bahwa beberapa nabi tidak taat. Dan Adam tidak
menaati Tuhannya, dan sesatlah dia. (QS. Thâhâ: 121). Kepada Nabi Muhammad saw
Allah SWT berfirman yang artinya sebagai berikut: Supaya Allah memberi ampunan
kepadamu atas dosamu yang telah lalu dan akan datang. (QS. al-Fath: 2)
Ayat-ayat ini
menunjukkan bahwa kemaksuman merupakan istilah yang relatif. Para nabi dan para
Imam adalah maksum menurut kapasitas mereka dan kita menurut kapasitas kita.
Karakter esensial kemaksuman melindungi dari dosa. Ruang lingkup perlindungan
ini tergantung pada tingkat kesempurnaan iman. Kalau orang berada pada tahap
"kalau bukan karena dia tahu argumen Tuhannya" maka imannya sempurna.
Maksum sifatnya otomatis. Orang yang maksum tidaklah seperti kita yang memiliki
keinginan untuk berbuat dosa, namun karena Allah SWT mengutus seseorang untuk
mencegahnya berbuat dosa maka dia pun tidak berbuat dosa. Kalau maksum itu
seperti ini, maka tak ada bedanya antara kita dan Imam Ali as, dan Imam Ali as
berarti seperti kita, yaitu ada keinginan untuk berbuat dosa. Imam Ali as tidak
berbuat dosa karena Allah SWT mengutus seseorang untuk mencegahnya berbuat
dosa, sedangkan untuk kita, Allah SWT tidak mengutus siapa-siapa untuk mencegah
kita berbuat dosa. Kalau ada yang mencegah seseorang berbuat dosa, maka orang
itu tak patut dipuji. Misal seseorang mencuri, namun saya tidak mencuri karena
saya selalu diawasi oleh pengawas. Kalau begini, saya tak ubahnya seperti dia,
cuma bedanya dia tak ada yang mencegahnya melakukan pencurian, sedangkan saya
ada yang mencegahnya. Karena itu saya tak patut dipuji.
Unsur utama
kemaksuman adalah ketidakmampuan berbuat dosa. Ketidakmampuan berbuat salah
sungguh beda sekali. Kita tak dapat mengatakan bahwa Nabi Saw bisa saja salah
dalam menyampaikan risalah atau bisa saja menyampaikan sesuatu yang
bertentangan dengan apa yang diwahyukan kepadanya, seperti yang sering terjadi
pada utusan-utusan biasa yang terkadang menyampaikan pesan yang salah.
Mengenai Nabi saw, mustahil untuk mengatakan bahwa dalam menyampaikan risalah
Nabi saw bisa saja keliru.
Mengenai pertanyaan
lain, si penanya terburu-buru dalam berkesimpulan. Dia bahkan telah berbuat
zalim terhadap Imam Ali as. Kalau saja dia berada di posisi Imam Ali as,
betulkah dia tidak akan memilih Ubaidullah bin Abbas? Tidak mengapa kalau
membuat kesimpulan spekulatif dalam masalah-masalah sejarah seperti itu. Siapa
pun akan mudah mengatakan bahwa dia merasa sebaiknya si polan tidak berbuat
begitu lima ratus tahun silam, namun semestinya berbuat begini. Jika seseorang
bertanya kepadanya apakah benar begitu, maka dia akan mengatakan bahwa itu
hanyalah perkiraan pribadinya saja. Namun berbahaya kalau membuat kesimpulan
pasti dalam masalah-masalah seperti itu, bukan saja mengenai Imam Ali as namun
juga mengenai individu lain juga. Imam Ali as tahu situasi yahg berkembang. Dia
lebih tahu Abdullah bin Abbas dan sahabat-sahabat lainnya ketimbang kita. Namun
kita tetap saja mengatakan kalau saja Imam Ali as memilih orang lain, bukan
memilih Abdullah bin Abbas, tentu akan lebih baik. Ini merupakan kesimpulan
terburu-buru. Anda sendiri selalu mengatakan bahwa Imam Ali as memiliki
kebijakan khususnya sendiri dan Imam Ali as tak mau bergeser sedikit pun. Namun
tak ada yang mendukung kebijakan Imam Ali as.
Imam Ali as selalu
mengatakan bahwa tak ada yang mendukungnya. Abdullah bin Abbas ini dan lainnya
sering menasihati Imam Ali as agar fleksibel. Mereka mendesak Imam Ali as untuk
melakukan apa yang sekarang disebut diplomas!. Saya minta Anda membuktikan
bahwa cukup banyak orang untuk dipilih oleh Imam Ali as namun Imam Ali as salah
pilih. Saya misalnya tak dapat membuktikan hal itu. Yang saya tahu hanyalah
bahwa Nabi saw telah mengangkat Imam Ali as sebagai penerusnya. Imam Ali as
sendiri mengeluh kenapa kekhalifahan dirampas dari tangannya. Ketika
sepeninggal Utsman bin Affan, orang-orang mendatangi Imam Ali as untuk berbaiat
kepada Imam Ali as, Imam Ali as mengatakan, "Carilah orang lain saja,
karena aku tengah menghadapi suatu situasi yang multi-dimensi. Situasinya sudah
gelap, dan tanpa disadari rutenya sudah menyimpang." Maksud Imam Ali as
adalah bahwa kondisinya sangat buruk, dan Imam Ali as tak ada pendukungnya yang
dapat membantunya untuk memperbaiki kondisi dan untuk mereformasi masyarakat.
Kemudian Imam Ali as mengatakan apa yang sama dengan perkataan: "Namun aku
tak punya alasan untuk dimaafkan. Kalau aku beralasan, maka sejarah tak akan
menerimanya. Orang akan mengatakan bahwa karena ceroboh maka Ali kehilangan
kesempatan. Meskipun sesungguhnya itu bukan kesempatan. Aku terima usulan Anda
agar sejarah tidak menyalahkanku." Dengan demikian Imam Ali as sendiri
mengakui bahwa dirinya tidak memiliki cukup pendukung, dan belum tepat waktunya
baginya untuk menjadi Khalifah.
Orang mungkin
meragukan sesuatu, namun sejarah pun tidak ragu bahwa Imam Ali as percaya
klaimnya atas kekhalifahan lebih kuat ketimbang klaim siapa pun. Kaum Sunni
mengakui bahwa Imam Ali as memandang dirinya sebagai kandidat yang lebih tepat
dan absah untuk mengemban kekhalifahan ketimbang Abu Bakar dan Umar. Namun
ketika sepeninggal Utsman orang pada men-datanginya dan memintanya menerima
kekhalifahan, Imam All as menolak dan mengatakan lebih memilih untuk tetap jadi
penasihat dan pembimbing ketimbang jadi penguasa. Dari sini jelas bahwa Imam
Ali as tak memiliki cukup pendukung yang kompeten. Kenapa demikian? Itu lain
soal.
Mengenai ayat
"Mereka menegakkan salat dan membayar zakat sembari rukuk." Anda
katakan bahwa cincin tidak dikenai zakat. Sesungguhnya yang dizakati antara
lain adalah segala yang diberikan untuk tujuan kebaikan. Penggunaannya di zaman
sekarang ini sebagai sebuah istilah teknis untuk zakat yang wajib itu, itu
merupakan istilah para faqih. Dalam Al-Qur'an kata ini digunakan dalam
pengertian ini. Zakat artinya adalah penyucian harta dan uang. Kata ini juga
digunakan dalam kaitannya dengan penyucian rohani. Di berbagai tempat Al-Qur'an
menggambarkan mengeluarkan sesuatu demi Allah sebagai zakat harta, zakat jiwa, dan
zakat diri. Begitu pula dengan kata "shadaqah" (derma, sedekah).
Dewasa ini kata ini memiliki arti khusus. Misal, kita mengatakan
"bersedekah secara diam-diam," namun menurut Al-Qur'an setiap
perbuatan baik itu disebut shadaqah. Jika Anda membangun sebuah rumah sakit
atau menulis sebuah buku bermanfaat, berarti Anda melakukan, dalam kata-kata
Al-Qur'an, sedekah jariyah. Itulah sebabnya mengapa kaum Sunni yang tidak
menerima konsepsi yang disimpulkan dari ayat ini bahkan tidak keberatan dengan
kata ini. Orang yang akrab dengan literatur Arab pasti tahu bahwa zakat tidak
selalu berarti zakat wajib saja.
Sekarang
pertanyaannya adalah mengapa Imam Ali as memberikan cincinnya ketika tengah rukuk.
Ini merupakan keberatan yang juga dilontarkan oleh sebagian tokoh awal seperti
Fakhruddin Razi. Mereka mengatakan bahwa Ali as selalu sedemikian khusyuk
ketika salat sehingga dia tak pernah tahu apa yang tengah terjadi di
sekitarnya. Lantas bagaimana semua ini bisa terjadi ketika dia tengah salat?
Untuk menjawabnya, dapat dikatakan bahwa memang Imam Ali as selalu sedemikian
khusyuk bila sedang salat, namun ada fakta lain bahwa keadaan orang-orang suci
tidak selalu sama. Menurut riwayat, Nabi saw terkadang sedemikian dikuasai oleh
hasrat untuk menunaikan salat sehingga Nabi saw tak bisa menunggu selesainya
azan yang dikumandangkan Bilal, sehingga Nabi saw minta supaya Bilal
cepat-cepat menyelesaikan azannya. Terkadang ketika Nabi saw tengah sujud, si kecil
Imam Hasan as, Imam Husain as atau cucu lainnya sering mendatangi Nabi saw dan
naik di atas bahu Nabi saw, dan Nabi saw menunggu dengan tenang sampai anak itu
turun. Pernah ketika tengah berdiri dalam salat, ada air ludah di depan Nabi
saw. Nabi saw lalu melangkah ke depan, menutupnya dengan debu dengan
menggunakan kakinya dan kemudian kembali ke tempat semula. Dari kejadian ini
para faqih menyimpulkan sejumlah aturan berkenaan dengan salat.
Bahrul Ulum
mengatakan, "Orang paling mulia ini berjalan ketika tengah salat. Kejadian
ini menjawab banyak pertanyaan." Berdasarkan kejadian tersebut, para
faqih, misalnya, menetapkan sejumlah tindakan yang tidak relevan dengan salat
namun dibolehkan dalam salat. Juga dibuat sejumlah aturan lainnya. Semua ini
menunjukkan bahwa orang-orang suci ini keadaan spiritualnya berbeda-beda, dan
sikap mereka, sesuai dengan keadaan masing-masing, berbeda-beda pada kesempatan
yang berbeda-beda pula.
Ada satu poin lain.
Para ahli irfan, sesuai dengan keadaan masing-masing, mengatakan bahwa bila
orang mencapai keadaan spiritual yang sempurna, yaitu dia hanya cenderung
kepada Allah SWT, maka dia akan kembali ke dunia ini. Dengan kata lain, dalam
keadaan ini, yang jadi perhatiannya hanyalah Allah SWT dan ciptaan-Nya. Itulah
yang dikatakan kaum ahli irfan, dan saya setuju dengan pandangan mereka,
meskipun banyak orang tidak dapat menerimanya.
Keadaan spiritual
lainnya adalah keadaan melepaskan raga. Orang-orang yang mencapai tahap ini,
pada awalnya melepaskan raga mereka selama satu atau dua detik atau paling
banter sekitar satu jam. Namun sebagian orang pada akhirnya sampai di suatu
tahap ketika mereka selalu dalam keadaan seperti ini. (Saya percaya itu dan
secara pribadi melihatnya.) Terkadang Anda melihat beberapa orang duduk-duduk bersama
Anda seperti orang biasa, namun sesungguhnya mereka tengah berada dalam keadaan
seperti ini. Menurut orang-orang ini, keadaan ketika anak panah dicabut dari
tubuh Imam Ali as ketika Imam Ali as tengah salat tanpa beliau menyadarinya,
merupakan keadaan yang lebih rendah dibanding keadaan ketika Imam Ali as
memberikan cincinnya kepada peminta-minta dengan Imam Ali as tetap khusyuk
kepada Allah SWT. Meski Imam Ali as sedemikian khusyuk kepada Allah SWT, Imam
Ali as tetap melihat seluruh dunia. Dengan adanya semua bukti ini, maka
kejadian seperti ini tak dapat dipungkiri.
Catatan:
[1] Dia sangat dihormati oleh kaum Syiah dan dianggap sebagai istri Nabi yang
sangat terkenal setelah Khadijah. Dia juga sangat dihormati oleh kaum Sunni.
Menurut mereka, kedudukannya nomor tiga setelah Khadijah dan Aisyah.
* Irfan adalah istilah yang digunakan dalam konteks kultur Islam Iran, untuk
menggambarkan sintesis fllsafat, teologi spekulatif dan pemikiran mistis yang
muncul pada periode akhir Abad Pertengahan yang bertahan hingga kini—pen.
(Middle East Journal, Jil. 46, No. 4, Musim Gugur 1992, hal. 632).
[2] Imam Ali
as, menurut riwayat, berkata demikian. (Safinah al-Bihâr, Jil. 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar