Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Dalam tulisan-tulisannya
berjudul "Catatan tentang Kepemimpinan dan Pemerintahan", penulis
menjelaskan dengan sangat bagus perbedaan antara "kenabian" dan
"imamah". Karena pemandu keagamaan atau nabi diangkat oleh Tuhan, maka
tentunya begitu pula imam. Nabi Muhammad saw dan beberapa nabi lainnya adalah
pemandu sekaligus pemimpin. Namun berakhirnya kenabian tidak berarti
berakhirnya kepemimpinan ilahiah juga.
Catatan itu juga
mengatakan bahwa imamah dan kenabian adalah dua misi yang berbeda dan dua kondisi
yang berbeda. Keduanya sering dipisahkan. Banyak nabi hanya menyampaikan wahyu.
Mereka bukan imam. Para imam ahlulbait Nabi saw bukanlah nabi. Namun, Ibrahim
as dan Muhammad saw adalah Nabi sekaligus Imam. Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam
bagi seluruh manusia (QS. al-Baqarah: 124).
Argumen kami bahwa
Kenabian adalah bimbingan dan imamah adalah kepemimpinan, bersumberkan
Al-Qur'an yang mengatakan: Kewajiban
Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah Allah) (QS. al-Mâ`idah:
99). Namun kami tahu bahwa tugas seorang imam adalah mengawasi, memimpin dan
memperhatikan orang-orang yang menerima kepemimpinannya. Menurut keyakinan
Syiah, karena kenabian diangkat oleh Allah SWT, maka begitu pula imamah. Dalam
hal ini tak ada bedanya antara kenabian dan imamah. Nabi-nabi terkemuka adalah
pemandu sekaligus pemimpin. Berakhirnya Kenabian berarti berakhirnya bimbingan
ilahiah, dalam pengertian menunjukkan jalan dan menyampaikan risalah, namun
kepemimpinan ilahiah atau imamah tak ada akhirnya.
Beda antara Bimbingan
dan Kepemimpinan
Menurut sebuah definisi,
pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya mudah mencapai tujuan. Di satu
pihak pembimbing atau pemandu bukan saja menunjukkan jalan, namun juga seringkali
memberikan sarana untuk melintasi jalan itu dan mencapai tujuan. Sesungguhnya
seseorang bisa saja mengemban jabatan pemandu dan pemimpin sekaligus, atau
hanya mengemban satu jabatan saja. Seperti sudah kami kemukakan, kenabian
merupakan bimbingan, sedangkan imamah merupakan kepemimpinan. Seseorang bisa
saja menjadi pemandu dan pemimpin sekaligus. Juga bisa saja hanya menjadi
pemandu saja, tidak menjadi pemimpin, seperti para dai sejati kita. Mereka
bergerak ke dan tetap dalam posisi tertentu, serta menunjukkan apa saja yang
membahayakan manusia. Tanggungjawab mereka berakhir di situ. Juga seseorang
bisa saja menjadi pemimpin, bukan pemandu. Itu terjadi bila jalannya sudah
diketahui dan tujuannya sudah jelas. Dalam kasus ini dibutuhkan seorang pemimpin
untuk membangkitkan kekuatan-kekuatan potensial, untuk memobilisasinya dan
untuk memajukannya. Juga bisa saja seseorang menjadi pemimpin dan pemandu
sekaligus.
Imamah Para Imam dan
Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain adalah
hadis autentik yang banyak sekali perawinya dari kalangan Syiah maupun Sunni.
Menurut hadis ini, Nabi saw diriwayatkan bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan
orang-orang pilihan dari keturunanku."[1] Hadis ini biasanya digunakan
sebagai mukadimah untuk kisah tentang kemalangan orang-orang pilihan keturunan
Nabi saw. Para dai mengatakan, "Ini merupakan petunjuk Nabi saw, namun
tepat pada saat beliau meninggal..."
Riwayat ini memberikan
kesan bahwa para anggota keluarga Nabi saw ditindas dan dibuat sama sekali tak
efektif. Meskipun pengabdian mereka memang tidak dimanfaatkan sebagaimana
semestinya, namun tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran mereka luar biasa
efektif dalam menjaga warisan Islam. Tentu saja pemerintahan maupun politik
Islam pada saat itu menyimpang dari jalur yang benar, dan para anggota keluarga
Nabi saw tak dapat memberikan pengabdian di bidang itu, namun mereka begitu
melindungi dan menjaga agar warisan spiritual Islam dan Nabi saw tetap hidup,
sehingga warisan spiritual Islam dan Nabi itu tetap aman sekalipun kekhalifahan
Islam berangsur-angsur mengalami kehancuran.
Islam adalah prinsip hidup
yang mencakup semua urusan duniawi maupun spiritual. Islam tak seperti mazhab
seorang guru moral atau filosof yang hanya dapat memberikan kepada masyarakat
beberapa buku dan beberapa murid. Islam, selain merupakan mazhab moral, mazhab
budaya, dan sistem sosial-politik, juga merupakan prinsip hidup dan pola pikir
yang baru. Islam praktis mewujudkan format-format baru. Islam menjaga jiwa
dalam materi, yang gaib dalam yang kasat mata, akhirat dalam dunia, dan
akhirnya substansi dalam kulit, dan kulit dalam substansi.
Penyimpangan pemerintah
dari jalan yang benar menyebabkan lembaga kekhalifahan menjadi kulit belaka.
Formalitas lahiriah tetap utuh, namun semangat kesalehan, kejujuran, keadilan,
ketulusan, cinta, semangat melindungi ilmu dan pengetahuan tak ada, khususnya
selama periode Umayyah ketika pengetahuan sejati tidak disukai. Yang dianjurkan
hanyalah puisi, adat pra-Islam dan bahasa berlebihan tentang leluhur. Hasilnya
adalah politik dipisahkan dari agama. Dengan kata lain, orang-orang yang
mewakili warisan spiritual Islam tak dibolehkan berperan dalam urusan politik,
dan orang-orang yang memegang kekuasaan politik tak mengenal jiwa Islam, dan
hanya menjalankan formalitas lahiriah seperti salat berjamaah dan pengangkatan
petugas untuk menjalankan tugas-tugas keislaman. Mereka adalah khalifah dan
pemimpin kaum mukmin dalam nama saja. Pada akhirnya dualitas ini pun hilang,
dan hilang pula formalitas lahiriah. Bentuk pemerintahan pun secara resmi
berbentuk pemerintahan pra-Islam.
Spiritualitas dan
keagamaan dipisahkan total dari politik. Dari sini dapat dimengerti bahwa
kemalangan paling menyedihkan yang menimpa Islam dimulai ketika agama dan
politik dipisahkan. Meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar agama dan poiitik, sampai
pada tingkat tertentu, masih menyatu, namun benih-benih pemisahannya ditaburkan
pada periode itu. Segala sesuatunya berkembang sedemikian rupa sehingga Umar
melakukan berbagai kekeliruan dan Imam Ali bin Abi Thalib as meluruskannya.
Untungnya Imam Ali as menjadi penasihat tetapnya, karena pemisahan agama dan
politik menjadi ancaman terbesar, maka orang-orang yang menghendaki kebaikan
bagi Islam berupaya agar agama dan politik tetap menyatu. Hubungan antara
keduanya ini adalah seperti hubungan roh dan tubuh. Tubuh dan roh serta kulit
dan isi harus selalu menjadi satu. Kulit dibutuhkan untuk melindungi isi agar
kuat. Islam memandang penting politik, pemerintah, undang-undang politik dan
jihad, hanya dengan tujuan melindungi dan menjaga warisan spiritualnya, yaitu
tauhid, supremasi nilai-nilai spiritual dan moral, keadilan sosial, persamaan
hak dan perhatian terhadap sentimen manusia. Jika kulit dipisahkan dari isinya,
maka isi akan rusak, dan kulit jadi tak ada gunanya.
Tindakan berani yang
dilakukan para imam adalah melindungi warisan spiritual Islam. Mereka
memisahkan dari Islam lembaga kekhalifahan sebagaimana adanya. Imam pertama
yang melakukan tindakan berani adalah Imam Husain as. Perlawanannya menjelaskan
bahwa Islam berarti saleh, mengakui Allah SWT dan berkorban diri demi Dia,
bukan nilai-nilai yang dibawa oleh Kekhalifahan Umayyah.
Kini mari kita lihat
bagaimana makna warisan spiritual Islam, dan bagaimana para imam melindungi
warisan ini. Al-Qur'an mengatakan: Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (QS. al-Jumu'ah: 2).
Al-Qur'an juga mengatakan: Supaya manusia
dapat menegakkan keadilan (QS. al-Hadîd: 25). Lagi, Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi
saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru
kepada agama Allah dengan izin-Nya (QS. al-Ahzâb: 45).
Pertama,
para imam mendorong orang untuk berbuat
kebaikan dan untuk tidak melakukan dosa. Contoh paling ekstrem untuk tindakan seperti
ini adalah perjuangan Imam Husain as. Kedua,
para imam memperhatikan penyebaran pengetahuan. Contoh tindakan ini
adalah Mazhab Ja'far ash-Shadiq as. Mazhab ini melahirkan ulama-ulama terkemuka
seperti Hisyam, Zurarah, dan Jabir ibn Hayyan.
Penyebaran pengetahuan
juga dilakukan melalui "Nahj al-Balâghah", "Shahifah
Sajjâdiyyah" dan perdebatan para imam, khususnya perdebatan Imam Ali Ridha
as. Para imam terutama memperlihatkan kesalehan praktis, kezuhudan, tidak egois
dan murah hati. Di malam hari para imam beribadah kepada Allah SWT. Mereka
membantu si miskin dan si lemah. Mereka memiliki sifat-sifat Islami yang mulia
seperti pemaaf, rendah hati dan murah hati. Kalau melihat mereka, orang jadi
ingat kualitas-kualitas moral dan spiritual yang diajarkan oleh Islam dan Nabi
saw. Imam Musa al-Kazhim as, meski sangat dekat dengan istana Harun, kalau
malam melakukan ibadah-ibadah malam. Imam Ali Ridha as, ketika masih sebagai
penerus sah yang klaimnya tidak dapat dikesampingkan dengan lahirnya penerus
sah lainnya, mengatakan, "Allah-nya semua orang sama, ayah mereka sama,
dan ibu mereka sama. Tidak ada yang lebih unggul dari yang lain kecuali karena
takwanya." Dia makan bersama tukang cukur dan penjaga pintu, dan bergaul
dengan mereka.
Filsafat spiritual Islam
adalah menjaga warisan moral dan spiritual Islam, dan menjaga isi Islam.
Pemisahan spiritualitas dari politik sama saja dengan pemisahan isi dari
kulitnya.
Imamah dan Hadis
Tsaqalain
Pertama,
substansi hadis ini adalah mutawatir
(periwayatnya banyak sekali otoritas yang tak tercela—pen.). Susunan katanya
bisa beragam, namun menurut sebagian besar riwayat, bunyinya seperti ini:
"Aku tinggalkan kepada kalian dua
amanat berat, Kitab Allah dan orang-orang pilihan dari keturunanku. Selama
kalian mengikuti mereka, kalian tak akan pernah sesat. Mereka tak akan
terpisahkan satu dari yang lain, sampai mereka datang kepadaku di telaga."
Dalam sebuah artikel yang
dimuat dalam majalah "Risalah al-Islam", terbitan Dar at-Taqrib bayn
al-Madzahib al-Islamiyyah, bunyi hadis ini begini: "Aku tinggalkan kepada
kalian dua amanat berat, Kitab Allah dan sunahku." Segera atas saran
almarhum Ayatullah Burujerdi, seorang ulama Qum, bernama Syaikh Qiwamuddin
Wisynawahi, menulis sebuah risalah berjudul "Hadits ats-Tsaqalain "
dan mengirimkannya kepada Dar at-Taqrib yang kemudian menerbitkannya sebagai
risalah tersendiri.
Dalam risalah itu
sumber-sumber hadis ini adalah kitab-kitab hadis, tafsir Al-Qur'an, biografi,
buku sejarah dan kamus, yang menyebutkan hadis ini dengan beragam alasan.
Misal, dalam tafsir Al-Qur'an disebutkan dalam kaitannya dengan ayat, Kami akan
menyelesaikanmu Wahai Tsaqalain, dengan ayat i'tishâm Surah Ali 'Imran ayat:
103, mawaddah Surah asy-Syûrâ ayat: 23, dan dengan tathhîr Surah al-Ahzâb ayat:
33. Dalam kamus disebutkan dalam hubungannya dengan akar kata tsaqal, dan
seterusnya.
Kedua,
dalam Al-Qur'an kata tsaqalain digunakan
untuk menunjukkan manusia dan jin. Mari kita lihat bagaimana artinya dalam
hadis ini.[2]
Dalam kaitannya dengan hadis, ada beberapa poin yang patut disebutkan. Poin
pertama adalah kenapa orang-orang pilihan keturunan Nabi saw disebut
tsaqal? Poin kedua adalah kenapa Al-Qur'an disebut tsaqal besar sedangkan
orang-orang pilihan keturunan Nabi saw disebut tsaqal kecil? Dalam sebagian
riwayat ada kata-kata ini: "Satu di antaranya (tsaqal) lebih besar
daripada yang satunya lagi." Nabi saw ditanya tentang apa yang dimaksudnya
dengan tsaqalain. Nabi saw bersabda:
"Kitab Allah, yang satu ujungnya ada di tangan Allah, sedangkan ujung
lainnya ada di tanganmu, dan keturunanku yang adalah tsaqal kecil."
Menurut riwayat tertentu Nabi saw menambahkan, "Mereka adalah dua tali yang tak akan putus sampai Hari Kebangkitan."
Poin ketiga, poin yang penting dalam hubungan ini, adalah bahwa Nabi saw
bersabda bahwa keduanya ini tak akan berpisah. Nabi tidak bermaksud mengatakan
bahwa keduanya tak akan berpisah satu dari yang lain atau bahwa keduanya tak
akan kecewa terhadap satu sama lain atau bahwa keduanya tak akan berselisih.
Yang dimaksud adalah bahwa berpegang pada satu di antara keduanya tak dapat
dipisahkan dari berpegang pada yang satunya lagi. Keduanya tak dapat dipisahkan
oleh perkataan bahwa Al-Qur'an sudah cukup bagi kita, seperti dikatakan Umar
pada masa awal Islam, atau oleh perkataan bahwa yang sudah diriwayatkan kepada
kita dari Ahlulbait Nabi saw sudah cukup bagi kita, seperti dikatakan kaum
Akhbari. Sebagian ulama Syiah berpendapat seperti ini.
Poin keempat adalah bahwa
Nabi saw telah menjamin bahwa siapa pun yang sungguh-sungguh berpegang pada
kedua tsaqal ini, maka tak akan pernah sesat dan tak akan merasa sedih.
Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslim dimulai ketika mereka mencoba
memisahkan dua tsaqal ini.
Sekarang mari kita bahas
kenapa Tuhan menyertakan sesuatu yang lain bersama Al-Qur'an yang dibawa Nabi
saw. Masalah ini berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur'an, sehingga
hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas. Sebagai ilustrasinya dapat
dikatakan bahwa terkadang kita mengimpor dari luar negeri barang-barang seperti
kain, sepatu atau perkakas. Dalam kasus ini kita tak butuh orang menyertai
barang-barang ini untuk menjelaskan cara menggunakan barang-barang ini. Kita
dapat membuat pakaian dari kain, dapat menggunakan perkakas, dan dapat memakai
sepatu. Namun terkadang kita mengimpor perangkat keras pabrik yang lengkap.
Dalam kasus itu dibutuhkan ahli yang didatangkan bersama perangkat keras itu
untuk memasangnya dan mengoperasikannya untuk waktu yang cukup lama sampai
teknisi kita siap mengoperasikannya sendiri. Begitu pula, ketika peralatan
modern diimpor, tentu harus disertai teknisi yang akan mengajarkan
penggunaannya. Kita mendengar bahwa baru-baru ini Prancis menjual pesawat Mirage
kepada Libya, namun konon pilot Libya baru dapat menerbangkannya sedikitnya
setelah dua tahun.
Karena itu masalah
kepemimpinan dalam pengertian otoritas keagamaan, yang disebut-sebut oleh Nabi
saw dalam hadis autentik ini, tak lain hanyalah menekankan fakta bahwa belum
cukup dengan hanya mengetahui bahasa Arab dalam pengertian nya yang biasa untuk
dapat menafsirkan Al-Qur'an, untuk memahami maksud dan tujuannya, dan untuk
menjelaskan nilai moral dan hukumnya. Kita tahu hadis yang mengatakan bahwa
kamu akan melihat Tuhanmu pada Hari Kebangkitan ditafsirkan secara harfiah
sebagai kamu melihat bulan ketika dalam keadaan purnama, dan penafsiran seperti
ini telah melahirkan penyimpangan dan konsepsi yang menyifati Tuhan dengan
bentuk dan personalitas manusiawi.
Mengatakan bahwa Al-Qur'an
saja sudah cukup bagi kita, puncaknya adalah Asy'arisme atau Mu'tazilah, dan
keduanya ini merupakan mazhab yang menyimpang. Dua belas imam kami adalah
'teknisinya' Al-Qur'an. Ilmu mereka bukan tergolong ilmu dunia akal. Ilmu
mereka didapat dari Tuhan, atau setidaknya didapat dengan cara khusus. Imam Ali
bin Abi Thalib as pernah berkata kepada Kumail: "Ilmu dengan pemahaman
yang benar tak dinyana turun kepada mereka. Mereka mengalami kenikmatan
keyakinan. Mereka merasa mudah apa yang dianggap sulit oleh orang yang hidup
mewah, dan mereka akrab dengan apa yang ditakutkan oleh orang bodoh" (Nahj
al-Balâghah, frase 146).
Imam Ali bin Abi Thalib as
berkata: "Orang-orang pilihan
keturunan Nabi menjaga amanatnya dan menaati perintahnya. Mereka adalah
khazanah ilmunya, oasis kearifannya, arsip kitab-kitabnya dan penopang
agamanya. Dengan bantuan mereka dia jadi tegak dan tenang. Umat (pengikut)-nya
tak ada yang dapat dibandingkan dengan mereka. Orang-orang yang mendapat berkah
mereka tak dapat disamakan dengan mereka. Mereka adalah basis agama dan poros
iman. Kepada mereka kembali orang-orang yang sesat dan orang-orang yang
tertinggal di belakang, bergabunglah dengan mereka untuk mendapatkan bimbingan
dan keselamatan. Mereka sangat mampu dan tepat untuk menjadi pemimpin. Mereka
adalah penerus-penerus absah Nabi yang telah mengamanatkan imamah kepada mereka"
(Nahj al-Balâghah, khotbah 2)
"Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu
menapakkan kaki di jalan besar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya
fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang
tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu" (Nahj al-Balâghah,
khotbah 4) (Khotbah ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as setelah
terbunuhnya Thalhah dan Zubair).
"Kalian baru dapat menaati perjanjian Al-Qur'an kalau kalian tahu siapa
yang melanggarnya, dan kalian baru dapat menaatinya kalau kalian tahu siapa
yang mencampakkannya. Karena itu carilah informasi tentang orang-orang yang
mengerti ini, karena mereka adalah hidupnya ilmu dan matinya kebodohan. Dari
pandangan mereka kalian akan tahu pengetahuan mereka. Dari diamnya mereka
kalian akan tahu bicaranya mereka, dan dari tampilan lahirah mereka kalian akan
tahu perasaan batiniah mereka. Mereka tak pernah bertentangan dengan agama,
pandangan mereka tentang agama satu. Karena itu agama adalah saksi sejati mereka
dan juru bicara yang bisu" (Nahj al-Balâghah, khotbah 147)
(Kata-kata "mereka
tak pernah bertentangan dengan agama" menunjukkan kemaksuman para imam,
dan kata-kata "pandangan mereka satu" menunjukkan bahwa para imam
memiliki pengetahuan yang dalam.
"Mereka adalah hidupnya pengetahuan dan matinya kebodohan. Kelembutan
mereka menunjukkan pengetahuan mereka, dan diamnya mereka menunjukkan kearifan
kata-kata mereka. Mereka tak bertentangan dengan kebenaran (karena mereka
maksum), mereka tak berbeda pendapat tentang kebenaran (karena pengetahuan
mereka sahih dan akurat). Mereka adalah pilar Islam dan tempat aman bagi Islam.
Melalui mereka kebenaran kembali ke posisinya, kepalsuan tersingkirkan dan
lidah kepalsuan terpotong. Mereka memahami agama dan peduli agama. Mereka bukan
sekadar mendengar dan menyampaikannya. Orang yang menyampaikan pengetahuan
banyak jumlahnya, namun orang yang mengikuti pengetahuan sangat sedikit"
(Nahj al-Balâghah, khotbah 239)
"Akan datang suatu
masa sepeninggalku ketika tak ada lagi yang lebih tersembunyi selain kebenaran
dan lebih nyata selain kepalsuan. Pada saat itu Al-Qur'an dan ahli Al-Qur'an
akan dicampakkan. Al-Qur'an dan walinya (Ahlulbait) yang laksana dua orang yang
bersama-sama berjalan di jalan yang sama, tidak akan diterima oleh siapa pun.
Pada masa itu keduanya ada di tengah-tengah umat, namun tak ada yang mencari
petunjuk dari keduanya. Meski keduanya ada di tengah-tengah umat, namun tidak bersama
umat" (Nahj al-Balâghah, khotbah 147)
Catatan:
[2] Syaikh Qiwamuddin mengatakan bahwa hadis ini dimuat dalam "Shahih
Muslim", Jil: VII, him. 122. "Sunan Tirmidu", jld. II, hlm. 307.
"Sunan Abu Daunid", Jil. V, hlm.182, 189. "Mustadrak
al-Hakim",Jil. III, hlm. 14, 17, 26, 59, Jil. VI, hlm. 366, 371, Jil. V,
hlm. 182, 189. "Mustadrak al-Hakim", Jil. III, him. 109,
"Thabaqat Ibn Sa’d, Jil. IV, him. 8. "Usud al-Ghabah", Jil. 11,
hlm. 12, Jil. III, hlm. 147, dan Ibn Abil Hadid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar