Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Menurut konsepsi
Islam, luar biasa sejarah manusia. Menurut Islam, manusia bukan sekadar
"homo erectus-berkaki dua" yang dapat bicara dan berkuku lebar. Dari
sudut pandang Al-Qur'an, manusia juga terlalu dalam dan misterius untuk
didefinisikan dengan cara sederhana. Al-Qur'an, di samping menyanjung, juga
memandang rendah manusia. Al-Qur'an sangat memuji manusia, dan juga sangat
memperoloknya. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang lebih
unggul daripada langit, bumi dan para malaikat, dan sekaligus menyatakan bahwa
manusia bahkan lebih rendah daripada setan dan binatang buas. Al-Qur'an
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cukup kekuatan untuk
mengendalikan dunia dan memperoleh jasa para malaikat, namun manusia juga
sering kali terpuruk. Manusialah yang mengambil keputusan tentang dirinya
sendiri dan yang menentukan nasibnya. Baiklah, kita awali dengan arti positif
manusia sepeiti yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
Sisi Positif Manusia
1.
Manusia adalah wakil (khalifah) Allah SWT di muka bumi.
Ketika Allah SWT
hendak menciptakan manusia, Allah SWT memberitahu para malaikat-Nya perihal
maksud-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orangyang
akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucihan Engkau? Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-Baqarah: 30). Dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa di muka bumi, dan Dia meninggikan sebagian
kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. al-An'âm: 165)
2. Di antara
seluruh ciptaan, manusia memiliki kemampuan yang paling tinggi untuk
mendapatkan pengetahuan atau ilmu: Dan Dia mengajarkan hepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
benar!" Mereka menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." Allah berfirman: "Hai Adam,
beritahulah mereka nama benda-benda ini." Maka setelah diberitahukannya
kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi
dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS.
al-Baqarah: 31-33)
3. Fitrah
manusia itu sedemikian rupa sehingga secara intuisi manusia tahu bahwa hanya
ada satu Allah SWT. Kalau manusia tidak percaya dan ragu, maka hal itu abnormal
dan merupakan penyimpangan dari fitrahnya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi." (QS. al-A'râf: 172) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. (QS. ar-Rûm: 30)
4. Selain unsur-unsur
material yang ada dalam materi non-organis, tumbuhan dan binatang, dalam fitrah
manusia ada satu unsur ilahiah dan malaikat juga. Manusia adalah perpaduan
antara yang natural dan yang ekstra-natural, yang material dan yang
non-material, yang jasadi dan yang rohani: Yang membuat segala sesuatu yang Dia
dptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian
Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan he dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya. (QS.
as-Sajdah: 7-9)
5. Penciptaan
manusia dilakukan dengan perhitungan yang matang, bukan kebetulan. Manusia
adalah makhluk pilihan: Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima
tobatnya dan memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 122). Kepribadian manusia itu
independen dan merdeka. Manusia adalah khalifah (wakil) yang diangkat Allah SWT
dan memiliki misi serta tanggung jawab. Manusia dituntut untuk memperbaiki bumi
dengan upaya dan prakarsanya, dan dituntut untuk memilih kesejahteraan atau
kesengsaraan. Al-Qur'an memfirmankan: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu,
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb:
72). Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena
itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS.
al-Insân: 2-3)
6. Manusia
memiliki martabat dan kemuliaan. Allah SWT telah menjadikan manusia unggul atas
banyak makhluk-Nya. Manusia baru dapat merasakan bagaimana Sesungguhnya dirinya
itu kalau mewujudkan martabat dan kemuliaannya serta memandang dirinya tak
pantas diperbudak dan tak layak berbuat buruk: Dan Sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik. Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. al-Isrâ':
70)
7. Manusia
mendapat anugerah berupa cita rasa wawasan moral. Manusia tahu mana yang baik
dan mana yang buruk dengan menggunakan ilham alamiah: Demi jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepadajiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. (QS. asy-Syams: 7-8)
8. Manusia
tidak akan pernah cukup, tenang, atau puas dengan apa pun, kecuali kalau dia
mengingat Allah SWT. Hasratnya tak ada ujungnya. Manusia cepat jenuh dengan apa
pun yang didapatnya. Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT sajalah
manusia baru dapat menenteramkan atau memuaskan dirinya: Hanya dengan mengingat
Allah sajalah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra'd: 28). Hai manusia,
sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
makapasti kamu akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqâq: 6)
9. Segala yang
baik di bumi ini telah diciptakan untuk manusia. Al-Qur'an memfirmankan: Dialah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. al-Baqarah: 29).
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya. (QS. al-Jâtsiyah: 13). Karena itu manusia mempunyai hak untuk
memanfaatkannya secara halal.
10. Manusia telah
diciptakan untuk beribadah kepada Tuhannya saja dan untuk menerima perintah
dari-Nya. Karena itu manusia berkewajiban menaati perintah Allah SWT: Dan Aku
tidak mendptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.
adz-Dzâriyât: 56)
11.
Manusia tak mungkin ingat siapa dirinya, kecuali kalau dia beribadah dan ingat
kepada Tuhannya. Jika dia lupa Tuhannya, berarti dia lupa dirinya, dan berarti
dia tak tahu siapa dirinya, untuk apa dirinya diciptakan, apa kewajibannya dan
hendak ke mana dia. Al-Qur'an memfirmankan: Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada
diri mereka sendiri. (QS. al-Hasyr: 19)
12.
Ketika manusia meninggal dunia, dan saat itu tirai jasmani yang menutupi roh
atau jiwanya tersingkapkan, maka dia akan melihat dengan jelas banyak realitas
yang sekarang ini gaib. Al-Qur'an memfirmankan: Maka Kami singkapkan darimu
tutup (yang menutupi) matamu, maka pengtihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS.
Qâf: 22)
13.
Bukan keuntungan materi saja yang diupayakan untuk dicapai oleh manusia.
Memenuhi kebutuhan hidup akan materi bukanlah satu-satunya motivasi manusia.
Manusia sering melakukan sesuatu untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Mungkin
saja semua upayanya hanyalah untuk mendapatkan rida Penciptanya. Al-Qur'an
memfirmankan: Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridai-Nya. (QS. al-Fajr: 27-28) Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang mukmin lelaki maupun perempuan (akan mendapat) surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat)
tempat-tempat yang bogus di surga 'Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar.
Itulah keberuntungan yang besar. (QS. at-Taubah: 72)
Karena itu, dari
sudut pandang Al-Qur'an, manusia adalah makhluk yang dipilih Allah SWT untuk
menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Manusia adalah makhluk setengah malaikat dan
setengah materi. Secara naluriah manusia sadar akan Allah SWT. Manusia merdeka,
memegang amanat Allah SWT, bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan atas
dunia. Manusia mengendalikan alam, bumi dan langit. Manusia bisa bersemangat
karena kebaikan atau karena kejahatan. Keberadaan manusia diawali dengan
kelemahan, kemudian berangsur-angsur dia jadi kuat dan sempuma. Yang dapat
menenteramkan atau memuaskan dirinya hanyalah ingat kepada Allah SWT. Kapasitas
intelektual dan praktisnya tak ada batasnya. Martabat dan kemuliaan sudah menjadi
sifat manusia. Sering kali tak ada aspek material dalam motivasi manusia.
Manusia telah diberi hak untuk memanfaatkan secara halal anugerah alam ini,
Namun manusia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Tuhannya.
Sisi Negatif Manusia
Pada saat yang sama
Al-Qur'an sangat mencela dan mengecam manusia. Al-Qur'an memfirmankan: Sesungguhnya
manusia itu amat zalim lagi amat bodoh. (QS. al-Ahzâb: 72). Sesungguhnya
manusia itu benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. al-Hajj: 66). Sesungguhnya
manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.
(QS. al-'Alaq: 6-7). Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. al-Isrâ':
11)
Dan apabila manusia
ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau
berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali)
melalui (jalannya yang sesat) seakan-akan dia tidak pernah berdoa kepada Kami
untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (QS. Yunus: 12) Dan adalah
manusia itu sangat kikir. (QS. al-Isrâ': 100). Dan manusia adalah makhluk yang
paling banyak membantah. (QS. al-Kahfi: 54). Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh
kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan, dia amat kikir. (QS. al-Ma'ârij:
19-21)
Apakah Manusia pada
Dasarnya Baik atau Buruk?
Dari semua ini, apa
yang dapat kita simpulkan? Apakah manusia, dari sudut pandang Al-Qur'an, baik
dan buruk sekaligus, dan bukan saja begitu namun justru sangat baik dan
sekaligus sangat buruk. Apakah manusia berkarakter ganda? Apakah separo dari
dirinya terang, dan separo lainnya gelap? Mengapa Al-Qur'an, di satu pihak,
begitu memuji manusia, dan di pihak lain begitu mencelanya?
Faktanya adalah
Al-Qur'an memuji dan mencela manusia, bukan karena manusia adalah makhluk
berkarakter ganda di mana karakter yang satu terpuji sedangkan karakter yang
satunya lagi tercela. Al-Qur'an berpandangan bahwa secara potensial manusia
memiliki seluruh poin positif, dan poin positif ini harus diwujudkannya. Manusialah
yang harus membangun dirinya. Syarat utama yang harus dimiliki agar manusia
benar-benar berhasil mewujudkan kualitas-kualitas positif yang secara potensial
dimilikinya itu adalah imannya. Iman melahirkan ketakwaan, amal saleh dan upaya
sungguh-sungguh di jalan Allah SWT. Karena imanlah maka ilmu menjadi alat yang
bermanfaat, alih-alih menjadi alat untuk memenuhi hasrat keji.
Karena itu khalifah
Allah SWT adalah sebenar-benar manusia. Manusia seperti inilah yang disujudi
para malaikat. Segalanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki segenap
kebajikan manusiawi, yaitu manusia plus iman, bukan manusia minus iman. Manusia
minus iman, maka dia cacat, tidak baik dan rusak. Manusia seperti ini serakah,
haus darah, kikir dan bakhil. Dia kufur dan lebih buruk ketimbang binatang
buas.
Ada ayat-ayat
Al-Qur'an yang menjelaskan manusia seperti apa yang terpuji dan manusia seperti
apa yang tercela. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman
adalah bukan manusia sejati. Manusia yang mengimani Realitas yang tunggal dan
merasa tenteram dan puas dengan mengimani-Nya dan mengingat-Nya, maka dia
memiliki segenap kualitas yang unggul. Namun jika seseorang tidak mengimani
Realitas itu (Allah), maka dia laksana pohon yang putus hubungan dengan
akar-akarnya. Sebagai contoh, kami kutipkan di sini dua ayat: Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-'Ashr: 1-3).
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan darijin dan
manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai. (QS. al-A'râf: 179)
Makhluk Multidimensi
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa kendati manusia memiliki banyak kesamaan dengan makhluk
hidup lainnya, namun manusia beda sekali dengan mereka. Manusia adalah makhluk
material maupun spiritual. Hal-hal yang benar-benar membedakan manusia dengan
makhluk hidup lainnya membentuk dimensi-dimensi baru dalam diri manusia.
Wilayah perbedaannya ada tiga: (1) wilayah penemuan (pengenalan) diri dan
dunia; (2) wilayah kecenderungan-kecenderungan yang mempengaruhi pikiran
manusia; (3) wilayah bagaimana manusia dipengaruhi oleh kecenderungan alaminya
dan cara dia menyeleksi kecenderungan itu.
Sejauh menyangkut
pengenalan akan diri dan akan dunia, binatang mengenal dunia melalui inderanya.
Kualitas (kemampuan) ini dimiliki manusia maupun binatang. Dalam hal ini
sebagian binatang bahkan lebih tajam inderanya dibanding indera manusia. Namun
informasi yang dipasok indera kepada binatang maupun manusia bersifat dangkal
dan luarnya saja. Indera tak dapat mengetahui karakter segala sesuatu, juga tak
dapat mengetahui hubungan logis segala sesuatu itu.
Selain indera,
manusia juga memiliki kekuatan yang memungkinkan dirinya untuk memahami dirinya
dan dunia. Kekuatan misterius ini, yaitu kekuatan untuk memahami ini, tidak
dimiliki makhluk hidup lainnya. Dengan kekuatan memahami ini, manusia dapat
mengetahui hukum umum alam, dan dengan pengetahuan ini manusia dapat
mengendalikan alam dan membuat alam melayani dirinya.
Dalam pembahasan
terdahulu disebutkan pengetahuan seperti ini, suatu pengetahuan yang hanya
dimiliki manusia, dan juga telah ditunjukkan bahwa mekanisme pemahaman
intelektual merupakan salah satu mekanisme paling kompleks dan eksistensi
manusia. Kalau mekanisme ini bekerja dengan benar, maka terbuka jalan yang luar
biasa bagi manusia untuk mengenal dirinya. Melalui jalan ini manusia dapat
mengetahui banyak realitas yang tak dapat diketahuinya melalui inderanya.
Melalui kekuatan misterius ini, suatu kekuatan yang hanya dimiliki manusia,
manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang tak terjangkau
inderanya, khususnya pengetahuan filosofis tentang Allah SWT.
Sejauh menyangkut
wilayah kecenderungan, manusia, seperti binatang lainnya, juga dipengaruhi
dorongan material dan alamiah. Kecenderungannya untuk makan, tidur, bersetubuh,
beristirahat dan sebagainya membuat materi dan alam menjadi perhatian manusia.
Namun ini bukanlah satu-satunya kecenderungan atau dorongan yang ada pada diri
manusia. Yang juga menjadi perhatian manusia adalah banyak hal lain yang sifatnya
bukan material, yaitu hal-hal yang tak ada ukuran dan bobotnya, hal-hal yang
tak dapat diukur dengan ukuran material. Kecenderungan dan dorongan spiritual
yang sejauh ini teridentifikasi dan diterima adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan
Informasi
Manusia tidak
menghendaki pengetahuan yang hanya tentang alam saja dan yang hanya bermanfaat
untuk peningkatan kualitas kehidupan materialnya saja. Dalam diri manusia ada
naluri untuk mengetahui kebenaran. Manusia menginginkan pengetahuan demi
pengetahuan itu sendiri, dan menyukainya. Di samping sebagai sarana untuk dapat
hidup lebih enak dan untuk melaksanakan tanggung jawab dengan lebih baik,
pengetahuan seperti itu diperlukan sekali. Sejauh menyangkut kehidupan manusia,
tak ada bedanya apakah manusia tahu atau tidak tahu misteri-misteri dari apa
yang ada di luar galaksi sana, namun manusia tetap lebih suka untuk mengetahui
misteri-misteri itu. Karena sudah menjadi fitrahnya, manusia membenci
kebodohan, dan tertarik untuk mencari pengetahuan. Karena itu pengetahuan
merupakan dimensi intelektual dalam eksistensi manusia.
2. Kebajikan Moral
Manusia, dalam
melakukan perbuatan tertentu, tujuannya bukanlah untuk memperoleh keuntungan
dari perbuatan tersebut, atau bukan pula untuk mencegah terjadinya kerugian, namun
semata-mata karena adanya dampak sentimen tertentu yang disebut sentimen moral.
Perbuatan itu dilakukannya karena dia percaya bahwa rasa kebajikannya
menuntutnya untuk melakukan perbuatan itu. Misal saja seseorang terdampar di
hutan belantara. Dia tak punya makanan, dan putus asa karena dia tahu tak ada
yang dapat membantunya. Dia terancam bahaya kematian setiap saat. Sementara itu
datang orang lain. Orang lain itu membantunya dan menyelamatkannya dari
kematian yang kelihatannya segera bakal terjadi. Kemudian kedua orang ini
berpisah, dan satu dengan yang lain tak bertemu. Setelah bertahun-tahun orang
yang pernah putus asa itu bertemu orang yang pernah menyelamatkannya. Dan kini
sang penyelamat itu kondisinya mengenaskan. Dia ingat sang juru selamat ini
pernah menyelamatkan nyawanya. Dalam keadaan seperti ini, apakah had nurani
orang ini tidak akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan tertentu? Apakah
had nurani tidak akan mengatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan
juga? Apakah had nurani tidak akan mengatakan kepadanya bahwa dia berkewajiban
memperlihatkan rasa terima kasih kepada orang yang pernah berbuat baik
kepadanya? Kami kira jawabannya adalah bahwa had nurani pasti akan berkata
positif.
Kalau orang ini
segera membantu orang itu, apa yang akan dikatakan had nurani orang lain? Kalau
dia tetap tak peduli dan sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi, apa kata hati
nurani orang lain? Tentu saja, dalam kasus pertama, hati nurani orang lain akan
menghargai perbuatannya dan akan memujinya. Dan dalam kasus kedua, hati nurani
orang lain akan menyalahkan dan mencelanya. Adalah hati nurani moral manusia
yang mengatakan: Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan pula. (QS.
ar-Rahmân: 60). Karena itu barangsiapa menghendaki kebaikan dibalas dengan
kebaikan, maka dia terpuji, dan barangsiapa tak peduli dengan kebaikan yang
telah diterimanya, maka dia tercela. Perbuatan yang dilakukan karena hati
nurani moral itu disebut perbuatan kebajikan moral.
Kebajikan moral
merupakan ukuran untuk menilai banyak perbuatan manusia. Dengan kata lain,
manusia melakukan banyak hal hanya karena nilai moralnya tanpa mempertimbangkan
segi materialnya. Ini juga merupakan salah satu sifat manusia dan salah satu
dimensi spiritualnya. Makhluk hidup lainnya tak memiliki ukuran seperti itu
untuk menilai perbuatannya. Kebajikan moral dan nilai moral tak ada artinya
bagi binatang.
3. Keindahan
Manusia memiliki
dimensi mental yang lain. Yaitu rasa tertariknya kepada keindahan dan
apresiasinya terhadap keindahan. Rasa estetisnya ini penting perannya dalam
segenap bidang kehidupan. Manusia mengenakan pakaian untuk melindungi diri dari
sengatan panasnya musim panas dan dinginnya musim dingin. Namun manusia juga
memandang penting keindahan warna dan jahitan pakaiannya. Manusia membangun
rumah untuk tempat tinggal. Namun manusia lebih memperhatikan keindahan
rumahnya ketimbang yang lainnya. Dia memperhatikan prinsip-prinsip estetis
dalam memilih meja makan dan barang tembikar dan bahkan dalam mempersiapkan
makanan di meja makan. Manusia suka kalau penampilannya bagus, pakaiannya
bagus, namanya bagus, tulisan tangannya bagus, kota dan jalanjalan kotanya
bagus, dan semua pemandangan di depan matanya bagus. Pendek kata, manusia ingin
segenap hidupnya dikelilingi kebaikan dan keindahan.
Bagi binatang, tak
ada masalah keindahan. Yang penting bagi binatang adalah makanannya, bukan
keindahan makanannya. Binatang tak peduli dengan pelana yang bagus, pemandangan
yang bagus, tempat tinggal yang bagus dan sebagainya.
4. Memuja dan
Menyembah
Memuja dan menyembah
merupakan salah satu perwujudan tertua dan paling mantap dari jiwa manusia dan
salah satu dimensi terpenting dari eksistensi manusia. Kalau kita kaji
antropologi, kita akan tahu bahwa di mana dan kapan pun manusia ada, di situ
ada memuja dan menyembah. Yang beda hanyalah bentuk penyembahan dan Tuhan yang
disembah. Bentuk penyembahan juga beragam, mulai dari tarian dan gerakan
bersama yang berirama yang disertai tata kebaktian dan bacaan, sampai bentuk
penyembahan yang paling tinggi, yaitu menghambakan diri, dan bacaan yang paling
maju. Sembahannya beragam, mulai dari kayu dan batu, hingga Wujud abadi yang
wajib ada, Wujud yang bebas dari segala bentuk batasan ruang dan waktu.
Menyembah (ibadah)
bukanlah rekayasa para nabi. Para nabi hanya mengajarkan cara beribadah yang
benar. Para nabi juga mencegah dan melarang penyembahan kepada wujud Iain
selain Allah SWT. Menurut ajaran agama yang tak terbantahkan, dan menurut
pandangan yang dikemukakan sebagian pakar sejarah seperti Max Mueller, manusia
purba adalah manusia tauhid, mereka menyembah satu Tuhan. Menyembah berhala,
bulan, bintang atau manusia merupakan penyimpangan yang terjadi di kemudian
hari. Dengan kata lain, bukanlah pada awalnya manusia menyembah berhala,
menyembah manusia atau makhluk lain, dan berangsur-angsur karena perkembangan
budaya lalu manusia menyembah Allah. Menyembah yang sering kali disebut dalam
pengertian agama, pada umumnya ada pada kebanyakan orang.
Sudah dikutipkan
sebelumnya perkataan Fromme yang berbunyi, "Manusia ada yang menyembah
makhluk hidup, pohon, patung emas atau patung batu, Tuhan yang gaib, orang suci
atau setan. Ada yang menyembah leluhurnya, bangsanya, kelasnya, kelompoknya,
uang dan kesejahteraan. Manusia ada yang menyadari bahwa keyakinan agamanya beda
dengan keyakinan non-agamanya, atau justru manusia beranggapan tak beragama.
Pertanyaannya bukanlah apakah manusia beragama atau tidak, tetapi pertanyaannya
adalah apa agamanya?"
William James,
seperti dikutip Dr. Iqbal, mengatakan: "Dorongan untuk beribadah merupakan
konsekuensi wajib dari fakta bahwa karena bawah-sadar diri empiris manusia
adalah diri sosial, maka diri sosial ini akan menemukan "sahabat luar
biasa"-nya pada dunia ideal. Kebanyakan orang, baik terus-menerus maupun
terkadang, menyebut-nyebut "sahabat luar biasa" ini. Orang buangan
paling bersahaja di muka bumi ini pun baru akan merasa riil dan absah kalau dia
memiliki pengakuan tinggi seperti ini." (The Reconstruction of Religious
Thought in Islam, hal. 89)
Profesor William
James, mengenai universalitas pengertian seperti ini pada semua orang,
mengatakan: "Manusia barangkali berbeda sekali dalam sejauh mana mereka
dibayangi perasaan bahwa ada pengawas ideal. Perasaan seperti ini merupakan
bagian yang jauh lebih penting dari kesadaran sebagian orang, sedangkan pada
sebagian orang lainnya kurang penting. Orang-orang yang sangat kuat perasaan
seperti ininya, barangkali adalah orang-orang yang sangat religius. Namun saya
yakin bahwa bahkan orang-orang yang mengaku tidak memiliki perasaan seperti
ini, sebenarnya mereka tengah menipu diri mereka sendiri, dan sesungguhnya
sedikit banyak mereka memiliki perasaan seperti ini." (The Reconstruction
of Religious Thought in Islam)
Penciptaan
pahlawan-pahlawan fiktif dari kalangan atlet, cendikiawan atau ulama terjadi
karena dalam diri manusia ada nurani pemuliaan. Nurani ini menginginkan adanya
wujud yang terpuji dan menawan hati, dan ingin memujinya sedemikian rupa
sehingga wujud tersebut jadi dialami.
Pujian berlebihan
manusia modern untuk pahlawan bangsa atau kelompoknya, dan pujiannya untuk
kelompok, doktrin, ideologi, bendera, kampung halamannya, dan kesiapannya untuk
bekorban demi semua ini, terjadi karena perasaan atau nurani seperti ini juga.
Nurani ingin memuji merupakan hasrat naluriah untuk menyembah wujud yang luar
biasa sempurna dan indah, satu wujud yang tak ada kelemahannya. Menyembah
makhluk, apa pun bentuk penyembahan itu, merupakan penyimpangan perasaan atau
nurani ini dari jalurnya yang benar.
Melalui ibadah atau
menyembah, manusia ingin melepaskan diri dari keterbatasan eksistensinya untuk
bergabung dengan satu kebenaran yang tak ada kelemahannya, yang tak akan
hancur, atau yang tak ada batasnya. Ilmuwan besar Einstein mengatakan: "Dalam
keadaan seperti ini manusia sadar bahwa tujuan dan ambisinya tak ada harganya,
dan merasa betapa hal-hal yang supranatural dan metafisis membuat dirinya
terpesona dan kagum. Berdoa dan bersembahyang yang merupakan sarana untuk
mencerahkan jiwa, adalah perbuatan wajar dan sangat dibutuhkan. Melalui sarana
ini pulau kecil kepribadian kita sontak menemukan posisinya dalam totalitas
kehidupan yang lebih besar." (The Reconstruction of Religious Thought in
Islam)
Menyembah dan memuji
menunjukkan suatu kemungkinan, suatu hasrat untuk keluar dari lingkungan
material, dan suatu kecenderungan untuk masuk dalam cakrawala yang lebih tinggi
dan lebih luas. Hasrat seperti ini hanya manusia saja yang punya. Karena itu
menyembah atau beribadah merupakan satu lagi dimensi mental dan spiritual
manusia.
Beragam dorongan hati
mempengaruhi orang seorang. Dan pengaruhnya pada orang yang satu dan orang yang
lain beragam. Dan dorongan hati mana yang dipilih oleh individu, antara
individu yang satu dengan yang lain beragam pilihannya. Dan ini semua merupakan
masalah yang akan dibahas nanti.
Beragam Daya Manusia
Daya atau kekuatan
tak perlu didefinisikan. Faktor yang menimbulkan pengaruh disebut daya atau
kekuatan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan sumber pengaruh.
Karena itu segala sesuatu, apakah sesuatu itu benda non-organis ataukah
tumbuhan, binatang atau manusia, memiliki daya atau kekuatan. Bila daya atau
kekuatan ini disertai kesadaran, pemahaman dan hasrat, maka disebut kemampuan.
Salah satu perbedaan antara binatang dan manusia di satu pihak, serta tumbuhan
dan benda non-organis di lain pihak, adalah bahwa tak seperti benda non-organis
dan tumbuhan, binatang dan manusia terdorong untuk menggunakan sebagian daya
atau kekuatannya karena menginginkannya atau karena ada kecenderungan untuk
menggunakan kekuatan itu atau karena ada rasa takut. Magnet memiliki sifat
menarik besi secara otomatis akibat adanya tekanan alamiah. Namun magnet tak
tahu kalau magnet tersebut efektif, juga tarikan magnet tersebut terjadi bukan
karena kecenderungan magnet sendiri, keinginan magnet tersebut, juga bukan
karena adanya rasa takut sehingga magnet tersebut dituntut untuk menarik besi.
Begitu pula yang terjadi dengan api yang memiliki sifat membakar, tumbuhan yang
memiliki sifat tumbuh, potion yang memiliki sifat berkembang dan berbuah. Namun
binatang, bila berjalan, tahu apa yang tengah dilakukan. Binatang berjalan
karena memang ingin berjalan. Binatang berjalan bukan karena paksaan. Itulah
sebabnya dikatakan bahwa binatang berjalan karena memang memilih untuk
berjalan. Dengan kata lain, beberapa daya binatang merupakan bawahan dari
pilihannya. Binatang beraktivitas hanya bila me-nginginkannya.
Begitu pula dengan
sebagian kekuatan manusia. Sebagian kekuatan manusia menjadi bawahan dari
pilihannya. Namun ada satu perbedaan. Pilihan binatang dikendalikan oleh
kecenderungan alamiah dan naluriahnya. Binatang tak berdaya menentang perintah
nalurinya. Kalau nalurinya sudah tertarik untuk menuju ke arah tertentu, maka
otomatis binatang itu akan ke arah tertentu tersebut. Binatang tak dapat
melawan kecenderungan naluriahnya. Binatang juga tak dapat mempertimbangkan
untung ruginya. Binatang tak dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan, yang
sekarang ini tidak menjadi kecenderungannya, kelak sangat dibutuhkan.
Namun yang terjadi
pada din manusia tidaklah begitu. Manusia berdaya untuk menentang kecenderungan
dan dorongan naluriahnya, dan berdaya untuk tidak mengikuti kecenderungan dan
dorongan naluriahnya. Manusia memiliki daya untuk memilah-milah, karena manusia
memiliki daya lain yang disebut kehendak. Kehendak ini bekerja atas arahan akal
atau fakultas intelektual manusia. Fakultas intelektual inilah yang membentuk
pendapat, dan kehendaklah yang mempraktikkan pendapat tersebut.
Dari uraian di atas
jelaslah bahwa daya atau kekuatan manusia beda dengan daya atau kekuatan
binatang. Perbedaannya adalah dalam dua hal. Pertama, manusia memiliki sejumlah
kecenderungan dan dorongan spiritual yang membuat manusia dapat memperluas
bidang aktivitasnya sampai ke cakrawala spiritualitas yang lebih tinggi,
sedangkan binatang tak dapat keluar dari batas urusan material. Kedua, manusia
memiliki daya akal dan kehendak. Dengan daya ini manusia dapat menolak
kecenderungan naluriahnya dan dapat membebaskan diri dari pengaruh
kecenderungan naluriahnya yang bersifat memaksa itu. Manusia dapat
mengendalikan kecenderungan naluriahnya dengan menggunakan akalnya. Manusia
dapat menentukan batas bagi tiap kecenderungannya, dan ini merupakan bentuk
kemerdekaan yang paling berharga.
Daya yang luar biasa
ini hanya dimiliki manusia, sedangkan binatang tidak memiliki daya seperti ini.
Daya inilah yang menjadikan manusia tepat untuk berkewajiban menaati ajaran
agama. Daya ini pulalah yang membuat manusia punya hak untuk memilih, sehingga
manusia benar-benar merupakan makhluk yang merdeka, berkemauan dan dapat
menentukan pilihan.
Kecenderungan dan
dorongan merupakan semacam ikatan antara manusia dan sesuatu yang berada di
luar dirinya yang menarik manusia ke arah sesuatu tersebut. Kalau manusia
semakin tunduk kepada kecenderungannya, maka dia semakin tak dapat
mengendalikan dirinya dan semakin terperosok dalam kelesuan dan kesengsaraan
batiniah. Nasibnya ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya, suatu
kekuatan yang menarik manusia ke arah tertentu. Sebaliknya, daya akal dan kehendak
merupakan daya batiniah dan manifestasi personalitas sejati manusia.
Bila seseorang
mendapat dukungan akal dan kehendak, berarti dia mendapat kekuatannya sendiri
dan sekaligus menyingkirkan pengaruh luar, maka dia pun merdeka dan menjadi
"pulau yang merdeka" di tengah samudra dunia ini. Dengan menggunakan
akal dan kehendaknya, manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dan
kepribadiannya pun memperoleh kekuatan. Bisa mengendalikan dan menjadi tuan
bagi diri sendiri, dan bisa melepaskan diri dari pengaruh dorongan naluriah,
merupakan objek sejati pendidikan Islam, suatu pendidikan yang tujuannya adalah
kemerdekaan spiritual.
SadarDiri
Islam sangat
menghendaki agar manusia kenal dirinya sendiri dan tahu posianya di alam
semesta ini. Al-Qur'an menekankan agar manusia tahu siapa dirinya dan agar
menyadari posisi dan statusnya di dunia ini sehingga dengan demikian dapat
mencapai posisi yang tinggi yang sesuai bagi dirinya.
Al-Qur'an adalah
sebuah kitab yang mengajarkan kepada manusia bagaimana membangun dirinya.
Al-Qur'an bukanlah sebuah kitab yang berisi filsafat teoretis yang cuma
mengurusi berbagai diskusi dan pandangan. Apa pun pandangan yang dikemukakan
Al-Qur'an, itu dimaksudkan untuk dilaksanakan dan ditindaklanjuti. Al-Qur'an
mau agar manusia mengenal siapa dirinya. Namun pengenalan diri ini tidak
berarti manusia harus tahu siapa nama dirinya, siapa nama ayahnya, tahun berapa
dia lahir, apa negerinya, siapa istrinya, atau berapa jumlah anaknya.
Diri yang dimaksud di
sini adalah sesuatu yang diberi nama "roh Tuhan". Mengenal diri ini
artinya adalah manusia sadar akan martabat dan kehormatannya dan memahami bahwa
bila dirinya berbuat keji maka hal itu tidak sesuai dengan (mencemarkan)
posisinya yang tinggi. Manusia supaya sadar akan kesuciannya sendiri sehingga
nilai moral dan sosial yang suci akan ada artinya bagi dirinya.
Bila Al-Qur'an
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, Al-Qur'an ingin menjelaskan
bahwa manusia bukanlah makhluk yang kebetulan ada berkat kejadian tertentu yang
buta dan tuli seperti perpaduan atom-atom yang terjadi secara tidak disengaja.
Al-Qur'an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pilihan, dan karena alasan
itu manusia memiliki misi dan tanggung jawab. Tak syak lagi bahwa di dunia ini
manusia adalah makhluk yang paling kuat dan kuasa. Kalau bumi beserta isinya
kita samakan dengan rumah tinggal, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah
tuan rumah ini. Namun betulkah manusia telah dipilih untuk menjadi tuan, atau
manusia telah memanfaatkan dunia dengan kekuatan atau trik.
Berbagai mazhab
filsafat material menyatakan bahwa karena kebetulan semata kalau manusia
berkuasa. Jelaslah bahwa dengan pandangan seperti ini maka masalah misi dan
tanggung jawab jadi tak ada artinya. Dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia
dipilih untuk menjadi tuan (penguasa) di muka bumi, karena manusia memiliki
kompetensi dan tepat untuk itu. Manusia berkuasa bukan karena kekuatan atau
karena perjuangan. Manusia dipilih oleh otoritas yang maha kompeten, yang tak
lain adalah Allah Ta'ala. Karena itu, seperti makhluk lain yang juga dipilih,
manusia mengemban misi dan tanggung jawab. Karena misinya dari Allah SWT, maka
tanggung jawab manusia juga kepada Allah SWT.
Keyakinan bahwa
manusia adalah makhluk pilihan dan diwujudkan dengan tujuan tertentu,
menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri individu, dan keyakinan bahwa
manusia adalah produk dari sejumlah kejadian asal-asalan, menimbulkan pengaruh
psikologis yang lain. Arti sadar diri adalah manusia supaya menyadari posisi
riilnya di dunia ini. Dia supaya tahu bahwa dirinya bukanlah sekadar makhluk
bumi. Dia merupakan refleksi dari ruh ilahiah yang ada dalam dirinya. Manusia
supaya tahu bahwa, dalam hal pengetahuan, dirinya berada di depan (mengungguli)
malaikat. Manusia merdeka, memiliki daya untuk memilih dan berkehendak, dan
bertanggung jawab atas dirinya dan orang lain. Tanggung jawabnya antara lain
adalah memajukan dunia: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya. (QS. Hud: 61)
Manusia supaya tahu
bahwa dirinya adalah khalifah (wakil) yang ditunjuk Allah, SWT dan bahwa
dirinya unggul bukan karena kebetulan. Karena itu manusia tidak patut
mendapatkan sesuatu dengan lalim dan tidak patut mengira tak punya tanggung
jawab.
Pengembangan
Kemampuan
Ajaran Islam
menunjukkan bahwa mazhab suci Islam juga memperhatikan semua dimensi yang
dimiliki manusia, apakah dimensi fisis, spiritual, material, moral,
intelektual, atau emosional. Mazhab suci Islam sangat memperhatikan semua
dimensi ini, apakah individual atau kolektif, dan tidak mengabaikan aspeknya.
Mazhab suci Islam memberikan perhatian khusus kepada pengembangan dan pemajuan
semua dimensi ini sesuai dengan prinsip-prinsip tertentunya. Satu demi satu
kami uraikan secara singkat.
Pengembangan Raga
Terlalu banyak
memperhatikan raga, dalam pengertian memuaskan hawa nafsu, sangat ditentang
oleh Islam. Namun Islam memandang manusia berkewajiban menjaga kesehatan
tubuhnya, dan mengharamkan setiap perbuatan yang merugikan atau membahayakan
tubuh. Jika suatu kewajiban (seperti puasa) dinilai membahayakan kesehatan,
bukan saja kewajiban tersebut kehilangan nilai wajibnya, bahkan dilarang.
Setiap perbuatan yang tidak sehat, oleh Islam dianggap haram. Dan banyak garis
kebijakan dikemukakan untuk kepentingan menjamin kesehatan tubuh dari sudut
pandang ilmu kesehatan.
Sebagian orang tidak
membedakan mana yang merawat tubuh, yang merupakan masalah kesehatan, dan mana
yang memuaskan kenikmatan jasmani, yang merupakan masalah moral. Menurut
mereka, karena Islam menentang pengumbaran nafsu jasmani, berarti Islam juga
menentang pemeliharaan kesehatan jasmani. Mereka bahkan berpendapat bahwa
perbuatan yang membahayakan kesehatan merupakan perbuatan moral dari sudut
pandang Islam. Pikiran seperti ini pada umumnya salah dan membahayakan. Antara
memelihara kesehatan dan pemuasan hawa nafsu, bedanya sangat besar.
Islam menentang
hubungan seksual yang tidak bermoral. Mengumbar hawa nafsu menghalangi
perkembangan spiritual. Mengumbar hawa nafsu bukan saja merugikan kesehatan
jiwa, namun juga merugikan kesehatan jasmani. Bahkan bisa menghancur-kan
kesehatan jasmani, karena mengumbar hawa nafsu menimbulkan keberlebihan,
sedangkan keberlebihan pada dasamya mengganggu semua sistem tubuh.
Perkembangan Jiwa
Islam sangat memperhatikan
perkembangan kemampuan mental dan pemikiran mandiri . Islam juga menentang
semua yang bertentangan dengan kemandirian akal, seperti mengikuti secant
membuta para leluhur atau orang terkemuka dan mengikuti mayoritas tanpa
melakukan telaah. Mendorong daya kehendak, mendorong pengendalian din dan
mendorong kemerdekaan dari kendali mutlak dorongan naluriah, merupakan basis
dari banyak rukun dalam ibadah Islam dan ajaran Islam lainnya. Islam memberikan
perhatian khusus untuk mendorong orang menyukai kebenaran, suka menuntut ilmu
dan mendorong perkembangan rasa estetis dan mendorong orang untuk suka
beribadah.
Peran Efektif Manusia
dalam Membangun Masa Depannya
Di dunia ini ada dua
jenis benda: organis dan non-organis. Benda non-organis seperti air, api, batu
dan debu merupakan benda tak bernyawa, dan tak ada perannya dalam pembentukan
atau peayempurnaan dirinya. Benda-benda ini terbentuk semata-mata karena dampak
faktor-faktor dari luar dirinya, dan terkadang benda-benda ini jadi sempurna
karena dampak faktor-faktor yang sama. Benda-benda ini tidak terlihat berupaya
membangun atau mengembangkan dirinya.
Sebaliknya, kita
melihat benda-benda hidup seperti tumbuhan, binatang dan manusia selalu
berupaya melindungi din dari bahaya, kerugian atau kerusakan. Benda-benda hidup
ini menerima materi lain tertentu dan berketurunan. Tumbuhan memiliki sejumlah
kemampuan alamiah yang efektif dalam membentuk masa depannya. Tumbuhan memiliki
daya untuk menyerap materi dari bumi dan udara. Tumbuhan memiliki daya yang membantunya
dari dalam untuk tumbuh dan berkembang. Tumbuhan juga memiliki daya yang
memungkinkannya beranak-pinak.
Binatang memiliki
semua daya alamiah ini, di samping memiliki sejumlah daya sadar yang lain
seperti indera untuk melihat, indera untuk belajar dan meraba, dan dorongan
serta kecenderungan alamiah yang disebutkan sebelumnya. Melalui daya dan
kemampuan ini, binatang di satu pihak melindungi dirinya dari kerugian dan
kecelakaan, dan di pihak lain mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin
pertumbuhan individualnya dan kelangsungan hidup spesiesnya. Dalam diri manusia
ada semua daya dan kemampuan alamiah dan sadar yang ada dalam diri binatang dan
tumbuhan. Manusia juga mempunyai sejumlah dorongan yang lain seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Manusia memiliki akal dan kehendak, sehingga nasib
manusia sangat banyak ditentukan oleh manusia sendiri. Dan dengan akal dan
kehendak ini manusia dapat menentukan masa depannya sendiri.
Dari apa yang telah
dipaparkan jelaslah bahwa sebagian benda yang ada, seperti benda non-organis,
tak berperan dalam menentukan masa depannya. Ada beberapa benda lagi yang
memiliki peran untuk menentukan masa depannya, namun perannya bukan peran yang
sadar dan merdeka. Alam mengarahkan daya yang ada dalam dirinya sedemikian rupa
sehingga benda-benda ini secara tak sadar melindunginya dan membentuk masa
depannya. Inilah yang terjadi pada tumbuhan. Ada lagi benda-benda lain yang
perannya lebih besar. Peran benda-benda ini adalah peran yang sadar, meskipun
tidak merdeka. Benda-benda ini berupaya menjaga kelangsungan eksistensinya
dengan semacam kesadaran diri dan pengetahuan tentang lingkungannya. Itulah
yang terjadi pada binatang. Namun peran manusia lebih aktif, lebih ekstensif
dan lebih luas dalam menentukan masa depannya. Perannya adalah peran yang sadar
dan peran yang merdeka. Manusia sadar akan dirinya dan juga lingkungannya.
Melalui kehendak dan daya pikirnya manusia dapat memilih masa depannya seperti
yang dikehendakinya. Peran manusia jauh lebih luas daripada peran binatang.
Luasnya bidang peran manusia dalam menentukan masa depannya ini terjadi karena
manusia memiliki tiga sifat khas:
1. Keluasan
Informasinya
Dengan pengetahuannya
manusia memperluas informasinya, dari informasi yang ringan tentang alam sampai
informasi yang mendalam tentang alam. Manusia mengetahui hukum alam, dan dengan
menggunakan hukum alam ini manusia dapat memola alam seperti yang dibutuhkan
hidupnya.
2. Keluasan Hasratnya
Sifat khas manusia
ini sudah dijelaskan dalam bab Manusia dan Binatang dan Manusia sebagai Makhluk
Multidimensional.
3. Manusia Memiliki
Kemampuan Khusus untuk Membentuk Dirinya
Tak ada makhluk lain
yang dalam hal ini dapat disamakan dengan manusia. Meskipun pada organisme
hidup tertentu lainnya seperti tumbuhan dan binatang dapat terjadi juga
perubahan tertentu akibat faktor pelatihan khusus, namun organisme hidup ini
tak dapat membuat sendiri perubahan ini. Manusialah yang membawa perubahan yang
diperlukan organisme hidup ini. Lagi pula, kalau dibandingkan dengan manusia,
kemungkinan berubah pada organisme hidup ini sangat terbatas.
Mengenai kemampuan
dan kebiasaannya, manusia hanyalah makhluk potensial. Artinya, manusia lahir
dalam keadaan tidak membawa kualitas dan kemampuan. Sebaliknya, binatang lahir
dalam keadaan membawa sejumlah kemampuan khususnya. Meski manusia tak membawa
kemampuan dan kebiasaan, namun dia mampu memperoleh banyak kemampuan. Secara
berangsur-angsur manusia memiliki sejumlah "dimensi kedua" di samping
dimensi bawaan sejak lahirnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang
mendapat dari hukum alam kuas untuk melukis dirinya sesuka-nya. Tak seperti
bentuk organ tubuhnya yang mengalami pe-nyempurnaan ketika manusia masih ada di
rahim ibunya, bentuk organ psjkologisnya yang dikenal sebagai kemampuannya,
kebiasaannya dan karakter moralnya, sebagian besar mengalami penyempurnaan
setelah manusia lahir.
Itulah sebabnya
kenapa setiap makhluk, termasuk binatang, hanya seperti apa adanya. Hanya
manusia saja yang dapat menjadi seperti apa yang dikehendakinya. Juga karena
alasan inilah semua binatang dari satu spesies memiliki kemampuan dan sifat
psikologis yang sama, di samping memiliki organ dan anggota badan yang sama.
Kucing memiliki kebiasaan tertentu. Begitu pula anjing dan semut, misalnya.
Kalau ada perbedaan di antara individu hewan itu, itu tidak penting. Namun
perbedaan kebiasaan dan perbedaan karakter moral di antara individu manusia tak
ada batasnya. Karena itu manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memilih
akan jadi apa dia.
Banyak riwayat
menyebutkan bahwa pada Hari Kebangkitan nanti manusia akan dibangkitkan dalam
bentuk yang sesuai dengan kualitas spiritualnya dan bukan dalam bentuk fisis
tubuhnya. Dengan kata lain, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk binatang
yang paling mirip dengan dirinya dari segi kualitas moralnya. Orang-orang yang
akan dibangkitkan dalam bentuk manusia adalah orang-orang yang kualitas
moralnya dan dimensi spiritual sekundernya sesuai dengan martabat manusia.
Dengan kata lain, orang-orang yang moral dan akhlaknya adalah moral dan akhlak
manusia.
Berkat
pengetahuannya, manusia dapat menundukkan alam dan memanfaatkannya untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena memiliki kemampuan untuk membentuk diri,
maka manusia membentuk dirinya sesukanya, dan dengan demikian dia menjadi penentu
masa depannya sendiri. Semua lembaga pendidikan, sekolah moral dan ajaran agama
dimaksudkan untuk mengajari manusia cara membentuk masa depannya. Jalan lurus
adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang sejahtera, sedangkan jalan
yang berliku adalah jalan yang membawa manusia ke masa depan yang porak-peranda
dan sengsara. Allah SWT berfirman yang artinya: Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur, dan ada pula yang kafir.
(QS. al-Insân: 3)
Dari uraian di atas
kita tahu bahwa pengetahuan dan iman ada perannya sendiri-sendiri dalam
membentuk masa depan manusia.
Peran pengetahuan
adalah menunjukkan jalan atau cara membentuk masa depan manusia. Pengetahuan
membuat manusia dapat membentuk masa depannya sesukanya. Iman member! manusia
petunjuk membentuk masa depannya sedemikian rupa sehingga masa depannya itu
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Iman mencegah manusia jangan sampai
membentuk masa depannya dengan basis material dan individualistic. Iman
mengarahkan hasrat manusia, agar manusia juga menginginkan hal-hal yang
spiritual, jangan sampai manusia hanya terpaku pada hal-hal yang materialistis.
Pengetahuan bisa
menjadi alat untuk memenuhi keinginan manusia. Pengetahuan membantu manusia
mengelola alam. Namun pengetahuan tidak mau tahu bagaimana alam dipola dan
apakah orang memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat atau untuk
kepentingan individu-individu tertentu saja. Semuanya itu tergantung pada
manusia yang memiliki pengetahuan. Sedangkan iman bekerja laksana kekuatan
pengendali. Iman mengendali-kan keicenderungan manusia dan mengarahkan
kecenderungan manusia ke jalan kebenaran dan moralitas. Iman membentuk manusia,
dan manusia membangun dunia dengan kekuatan ilmu atau pengetahuannya. Kalau
iman dan ilmu berpadu, maka manusia dan dunia akan seperti yang diharapkan.
4. Kehendak dan
Kemerdekaan Manusia
Kendatipun manusia
cukup merdeka untuk dapat mengembangkan organ psikologisnya, untuk dapat
mengelola lingkungan alamnya menjadi seperti yang dikehendakinya, dan untuk
dapat membentuk masa depannya, namun jelaslah manusia banyak keterbatasannya,
dan kemerdekaannya hanya relatif. Dengan kata lain, kemerdekaannya ada
batasnya, dan hanya dalam keterbatasannya itulah manusia dapat memilih masa
depan yang cerah atau masa depan yang gelap.
Ada beberapa segi
dalam keterbatasan manusia:
(i) Keturunan
Manusia datang ke
dunia ini dengan membawa karakter manusia. Karena kedua orangtuanya manusia,
maka dia mau tak mau manusia juga. Dari kedua orangtuanya dia mewarisi sejumlah
karakter keturunan, seperti warna kulit dan matanya dan ciri-ciri lain tubuhnya
yang sering kali tetap ditularkan selama beberapa generasi. Manusia tak dapat
memilihnya. Ciri-ciri seperti itu diterimanya melalui proses pewarisan.
(ii) Lingkungan Alam
dan Geografis
Lingkungan alam dan
geografis manusia, dan daerah tempat dia besar, selalu menimbulkan sejumlah
pengaruh pada tubuh dan jiwanya. Masing-masing daerah beriklim panas, daerah
beriklim dingin dan daerah beriklim sedang, tak terelakkan berpengaruh pada
jiwa dan moral masing-masing penduduknya. Begitu pula dengan daerah bergunung
dan daerah gurun.
(iii) Suasana Sosial
Suasana sosial
manusia merupakan faktor penting dalam membentuk karakteristik spiritual dan
moralnya. Suasana sosial menetapkan agar manusia memiliki bahasa, tatacara
sosial, adat dan agama.
(iv) Faktor Sejarah
dan Waktu
Dari segi lingkungan
sosial, manusia bukan saja dipengaruhi oleh masa kini, namun juga masa lalu
penting perannya dalam membentuk wataknya. Pada umumnya ada mata rantai antara
setiap wujud sekarang dan setiap wujud dahulu. Masa lalu dan masa depan suatu
wujud tidak sepeiti dua benda yang satu sama lain benar-benar terpisah atua
berdiri sendiri, namun seperti dua proses yang berkesinambungan. Masa lalu
adalah benih dan nukleus (inti) masa depan.
Manusia Memberontak
Terhadap Keterbatasan
Sekalipun manusia tak
mungkin memutuskan sepenuhnya hubungannya dengan keturunannya, lingkungan
alamnya, suasana sosialnya dan faktor sejarah dan faktor waktu, namun manusia
dapat memberontak terhadap pembatasan yang terjadi akibat keturunan, lingkungan
alam, suasana sosial dan faktor sejarah serta faktor waktu. Manusia memiliki
kemungkinan yang besar untuk dapat membebaskan diri dari faktor-faktor ini.
Berkat ilmu, pengetahuan dan akalnya di satu pihak, dan kehendak serta imannya
di pihak lain, manusia dapat mengubah faktor-faktor ini sekehendaknya, dan
dapat menentukan nasibnya sendiri.
Manusia dan Takdir
Pada umumnya diyakini
bahwa takdir Tuhan merupakan faktor utama yang membuat manusia terbatas ruang
geraknya. Dalam membahas faktor-faktor yang membatasi kemerdekaan manusia,
masalah takdir tidak disinggung. Kenapa?
Apakah takdir Tuhan
tak ada, atau apakah takdir bukan faktor pembatas? Tak ada keraguan bahwa
takdir Tuhan ada, namun takdir tidak membatasi kemerdekaan manusia. Takdir
memiliki dua bagian: qadha dan qadar. Arti qadha adalah keputusan Tuhan tentang
kejadian dan peristiwa, sedangkan qadar adalah esdmasi tentang fenomena dan
kejadian. Dari sudut pandang teologi sudah jelas dan pasti bahwa takdir Tuhan
tidak berlaku langsung pada kejadian. Takdir Tuhan mengharuskan kejadian itu
terjadi hanya melalalui sebabnya. Qadha Tuhan menghendaki agar tatanan dunia
didasarkan pada sistem sebab-akibat. Apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia
karena akal dan kehendaknya, dan apa pun keterbatasan yang dimiliki manusia
karena faktor keturunan, lingkungan dan sejarah, namun oleh takdir Tuhan
manusia ditundukkan kepada sistem sebab-akibat di dunia.
Karena itu qadha
Tuhan tidak dianggap sebagai faktor yang membatasi kemerdekaan manusia. Apa pun
pembatasan yang dikenakan pada manusia merupakan akibat keturunan, kondisi
lingkungan dan kondisi sejarah manusia. Begitu pula, apa pun kemerdekaan yang
dimiliki manusia, itu juga telah diputuskan oleh Allah SWT. Allah S\VT telah
memutuskan agar manusia berakal dan berkehendak, dan dalam bidang terbatas
kondisi alam dan sosial-nya manusia cukup mandiri dari kondisi-kondisi ini,
sehingga manusia dapat menentukan nasibnya dan masa depannya sendiri.
Manusia dan Kewajiban
Salah satu sifat khas
utama manusia adalah manusia mampu mengemban kewajiban untuk mengikuti ajaran
agama. Manusia saja yang dapat hidup dalam kerangka hukum. Makhluk lain hanya dapat
mengikuti hukum alam yang sifatnya memaksa. Misalnya, mustahil menetapkan
aturan atau hukum bagi batu dan kayu atau bagi pohon dan bunga atau bagi kuda,
sapi dan domba. Makhluk-makhluk ini tak mungkin dapat mengemban kewajiban untuk
menaati hukum yang dibuat untuk mereka dan untuk kepentingan mereka. Jika
dibutuhkan tindakan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tindakan itu harus
dipaksakan kepada mereka.
Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang mampu hidup dalam kerangka hukum kontraktual
(berdasarkan kesepakatan— pen.). Karena hukum seperti ini dibuat oleh pihak
yang kompeten dan kemudian diberlakukan kepada manusia, tentu saja dalam hukum
seperti ini ada kesulitan bagi manusia. Itulah sebabnya kenapa hukum seperti
ini diberi nama "kewajiban".
Untuk mengikat
manusia agar melaksanakan kewajiban, maka pembuat hukum perlu mengikuti kondisi
tertentu. Dengan kata lain, hanya manusia yang memenuhi kondisi tertentu saja
yang bertanggung jawab untuk menjalankan kewajiban. Kondisi yang harus dipenuhi
dalam setiap kewajiban adalah:
(i) Akil Balig
Ketika manusia sampai
pada tahap tertentu dalam hidupnya, tubuhnya mengalami perubahan yang terjadi
cukup mendadak, begitu juga perasaan dan pikirannya. Perubahan-perubahan ini
disebut akil balig. Ini merupakan tahap alamiah yang dicapai setiap orang.
Mustahil mengetahui
dengan persis kapan orang mencapai akil balik. Sebagian orang mencapai akil
balig lebih cepat ketimbang orang lain. Itu sebagian besar tergantung pada
sifat personal individu dan juga kondisi daerah dan lingkungan individu
tersebut. Yang jelas adalah bahwa perempuan lebih cepat mencapai tahap akil
balik alamiah ketimbang lelaki. Dari sudut pandang hukum, perlu ada kejelasan
usia akil balig yang pasti agar ada keseragaman. Bisa usia akil balig rata-rata,
atau bisa usia minimum akil balig (di samping kondisi lain akil balig yang
berupa pengertian, seperti dijelaskan dalam yurisprudensi Islam).
Berdasarkan ini
individu dapat mencapai usia akil balig alamiah, meski belum dapat dianggap
mencapai akil balig secara hukum. Menurut pandangan mayoritas ulama Syiah,
seorang lelaki baru bisa dianggap telah mencapai usia akil balig menurut hukum
bila usianya sudah menginjak 16 tahun, dan kalau wanita bila usianya sudah
menginjak 10 tahun. Akil balig menurut hukum ini merupakan salah satu
syaratnya mampu secara hukum melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain,
seseorang yang belum mencapai usia ini, maka hukum tidak berlaku baginya,
kecuali bila terbukti dia telah mencapai usia akil balig alamiah sebelum
mencapai usia akil balig menurut hukum.
(ii) Sehat Rohani
Syarat lain untuk
menjalankan kewajiban adalah sehat rohani. Orang gila, karena tak memiliki
kemampuan untuk mengerti, tak punya kewajiban. Kasusnya sama dengan kasus anak
yang belum mencapai usia akil balig. Bahkan ketika mencapai usia akil balig,
seseorang tidak berkewajiban membayar kewajiban yang menjadi tanggungannya
ketika dia belum mencapai usia akil balig. Misal, orang dewasa tidak
berkewajiban membayar salat-salat yang tidak menjadi tanggungannya pada masa
kecilnya, karena pada masa itu dia tidak terkena kewajiban hukum. Orang yang
gila, selama dia gila, juga tak punya kewajiban. Karena itu jika kemudian dia
waras, dia tetap tidak berkewajiban membayar salat dan puasa yang tidak
dilakukannya karena dia gila. Dia baru berkewajiban kalau sudah waras. Begitu
pula dengan zakat dan khumus. Zakat dan khumus ini diwajibkan atas harta anak
yang belum mencapai usia akil balig atau orang gila. Anak yang belum akil balig
atau orang gila baru berkewajiban membayarnya kalau sudah mencapai tahap berkewajiban,
bila belum dibayarkan oleh walinya yang sah.
(iii) Tahu dan Sadar
Jelaslah orang baru
bisa melaksanakan kewajiban kalau dia sadar akan eksistensi kewajiban tersebut.
Dengan kata lain, orang harus tahu terlebih dahulu kewajibannya sebelum dia
diminta menunaikannya. Misal saja si fulan menetapkan hukum, namun dia tidak
memberitahukan hukum tersebut kepada orang yang harus melaksanakan hukum itu.
Kalau demikian, maka orang itu tidak berkewajiban, atau tidak dapat melaksanakan
hukum itu. Jika orang itu melanggar hukum itu, maka si fulan tidak punya alasan
sah untuk menghukumnya. Menghukum seseorang yang tidak tahu kewajibannya dan
ketidaktahuannya akan hukum bukan karena kesalahannya, maka perbuatan menghukum
tersebut tidak benar.
Al-Qur'an
berulang-ulang menyebutkan kebenaran ini. Al-Qur'an mengatakan bahwa orang tak
boleh dihukum karena melanggar hukum, sebelum orang tersebut diberitahu secara
semestinya tentang hukum. Tentu saja syarat tahu hukum sebagai prasyarat penerapan
hukum tidak berarti bahwa orang boleh saja sengaja tak tahu hukum dan kemudian
menjadikan ketaktahuannya ini sebagai alasan. Setiap orang yang berkewajiban
melaksanakan hukum harus mengetahui hukum dan melaksanakannya. Sebuah hadis
mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan sebagian orang berdosa akan dihadirkan
di Pengadilan Ilahiah dan akan ditanya tentang kenapa mereka tidak melaksanakan
sebagian kewajiban. Mereka akan ditanya kenapa tidak melaksanakan kewajiban.
Mereka akan menjawab, "Kami tidak tahu." Akan dikatakan kepada
mereka, "Kenapa kamu tidak tahu dan kenapa kamu tidak berupaya untuk tahu
hukum?" Karena itu, bila dikatakan bahwa tahu merupakan syarat berlakunya
hukum, maka yang dimaksud adalah jika suatu kewajiban disampaikan kepada orang
yang dapat dikenai kewajiljan dan orang itu tetap tidak tahu kewajiban itu
padahal sudah berupaya semestinya untuk tahu, maka dalam pandangan Allah SWT
orang seperti itu dimaafkan.
(iv) Mampu
Orang baru
berkewajiban kalau dia mampu. Kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, maka
bukan kewajibannya. Tak syak lagi kemampuan manusia ada batasnya. Karena itu
kewajiban dibebankan kepada manusia sebatas kemampuannya. Misal, seseorang
mampu menuntut ilmu, namun lingkup upaya menuntut ilmunya ini terbatas dari
segi waktu dan jumlah informasi. Betapapun jenius seseorang, maka dia tetap
perlu secara berangsur-angsur melewati berbagai tahap ilmu dan untuk jangka
waktu yang lama. Memaksa seseorang untuk menyelesaikan studi akademisnya dalam
jangka waktu yang pendek, yang normalnya beberapa tahun, artinya adalah
memaksanya melakukan tugas yang berada di luar kemampuannya. Begitu pula,
memaksa seseorang untuk melakukan studi atas semua ilmu yang ada di dunia ini
berarti meminta orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang sepenuhnya
mustahil. Kewajiban seperti itu tak akan pernah dibebankan oleh satu sumber
yang adil dan arif: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(QS. al-Baqarah: 286)
Dengan kata lain,
Allah SWT tidak membebankan kewajiban kepada siapa pun di luar kemampuannya.
Kalau seseorang mau tenggelam dan kita mampu menyelamatkannya, maka kita berkewajiban
menyelamatkannya. Namun, misal, sebuah pesawat terbang mau jatuh dan kita
mutlak tak mampu menyelamatkannya, maka kita tak berkewajiban menyelamatkannya.
Di sini ada satu hal yang perlu dicatat. Fakta bahwa syarat berlakunya
kewajiban adalah tahu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mencari pengetahuan,
begitu pula fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah mampu, tidak berarti
bahwa kita tak perlu mendapat kemampuan yang diperlukan itu. Dalam kasus-kasus
tertentu, kita sungguh berkewajiban memperoleh kemampuan seperti itu. Misal
kita menghadapi musuh yang kuat, dan musuh tersebut mau melanggar hak kita atau
mau mengagresi wilayah Islam. Maka kalau kita tahu bahwa kita tak mampu
memeranginya dan kalau kita tahu bahwa kalau tetap saja melawannya maka artinya
kita akan kehilangan kekuatan kita dan tak mungkin berhasil, jelaslah kita tak
berkewajiban memerangi dan melawan agresor itu. Namun tetap saja kita
berkewajiban mendapatkan cukup kekuatan agar kelak kita tidak lagi menjadi
penonton yang mad kutu: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dan dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu.(QS. al-Anfâl:
60)
Karena seseorang atau
suatu masyarakat yang mengabaikan upaya mencari cukup pengetahuan dapat dikutuk
Tuhan dan keddaktahuan orang atau masyarakat itu tak dapat diterima sebagai alasan,
maka orang yang lemah atau masyarakat yang lemah yang mengabaikan upaya
mendapatkan cukup kekuatan dapat juga dikutuk dan dihukum oleh Tuhan. Lemah
tidak bisa dijadikan sebagai alasan.
(v) Mampu Memilih dan
Bebas Berkehendak
Prasyarat lain
kewajiban adalah bebas berkehendak. Dengan kata lain, manusia baru wajib
melaksanakan kewajiban kalau dalam pelaksanaan kewajiban itu tak ada unsur
paksaan dari keadaan. Kewajiban tidak lagi wajib kalau ada paksaan dari
keadaan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan kasus-kasus paksaan: Jika
seseorang dipaksa oleh orang lain untuk tidak berpuasa dan jiwanya akan
terancam bahaya jika dia mengabaikan ancaman itu, maka jelaslah dia tidak wajib
berpuasa. Begitu pula dengan posisi seseorang yang memiliki sarana untuk pergi
haji, namun mendapat ancaman dari seorang tiran bahwa dia atau keluarganya akan
mendapat akibat buruk kalau dia tetap pergi haji. Rasulullah saw bersabda: Tak
ada kewajiban kalau ada keterpaksaan."
Dalam kasus keadaan,
orang tersebut tidak mendapat ancaman siapa pun. Dia sendiri yang hams
mengambil keputusan. Namun keputusannya merupakan hasil dari keadaan keras yang
dihadapinya. Misal, seseorang tak berdaya dan kelaparan di gurun. Selain daging
bangkai dia tak punya makanan lain untuk menghilangkan laparnya dan untuk
bertahan hidup. Dalam keadaan seperti ini hukum bahwa daging bangkai itu haram
tentu saja tak berlaku. Beda antara keterpaksaan dan dipaksa keadaan adalah
kalau dalam kasus keterpaksaan seseorang diancam oleh tiran akan menanggung akibat
buruk, dan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan bahaya dia terpaksa tidak
melaksanakan kewajibannya.
Namun tak ancaman
seperti itu dalam kasus dipaksa oleh keadaan. Dalam kasus ini, keadaan pada
umumnya berkembang sedemikian rupa sehingga orang tersebut mengalami situasi
yang tak diinginkan. Untuk bisa keluar dari situasi seperti ini dia terpaksa
tidak melaksanakan kewajibannya. Karena itu ada dua perbedaan antara terpaksa
dan dipaksa keadaan: Pertama, dalam keterpaksaan ada ancaman dari manusia, namun
dalam dipaksa keadaan ancaman seperti itu tak ada. Kedua, dalam kasus
keterpaksaan orang tersebut bertindak untuk menghindarkan situasi yang tak
dikehendaki, namun dalam kasus dipaksa keadaan orang tersebut bertindak untuk
meringankan, meredakan atau mengurangi situasi yang ada.
Namun tak ada kaidah
umum berkenaan dengan efek keterpaksaan dan dipaksa keadaan pada kewajiban.
Efeknya tergantung pada dua hal: Pertama, kalau efeknya merugikan atau
membahayakan, maka harus dihindarkan atau diredakan; dan kedua, kalau
perbuatan dilakukan karena terpaksa atau dipaksa keadaan. Jelaslah perbuatan
yang membahayakan jiwa orang, menimbulkan kerugian masyarakat atau agama tak
boleh dilakukan dengan alasan apa pun. Tentu saja ada kewajiban tertentu yang
tetap harus dilaksanakan sekalipun harus menanggung kerugian.
Syarat untuk Absah
Sejauh ini
pembicaraan kita adalah tentang syarat berlakunya hukum pada wajib hukum. Kalau
syarat ini tak ada maka orang tak harus melaksanakan kewajiban. Juga ada syarat
lain yang dikenal dengan nama syarat sahnya pelaksanaan kewajiban. Kita tahu
bahwa semua aktivitas, entah itu ibadah atau transaksi, harus memenuhi syarat
tertentu dan harus memiliki kualitas tertentu agar dapat dianggap sah. Karena
itu, syarat untuk sahnya suatu pelaksanaan kewajiban adalah bahwa seseorang
yang tak memiliki syarat itu tidak dapat dianggap menjalankan kewajibannya
dengan benar. Bila kewajiban dilaksanakan, padahal syaratnya belum tepenuhi,
maka pelaksanaan kewajiban itu tidak sah.
Seperti berlakunya
hukum, syarat sahnya pelaksanaan kewajiban juga banyak. Syarat tersebut dibagi
menjadi dua golongan: umum dan khusus. Syarat khusus adalah syarat yang hanya
untuk pelaksanaan kewajiban tertentu, dan dipelajari ketika mempelajari cara
menunaikan kewajiban itu. Selain itu, ada beberapa syarat umum. Ada beberapa
syarat yang menjadi syarat berlaku dan sahnya, dan ada beberapa syarat lain
yang menjadi syarat berlakunya saja atau sahnya saja. Syarat sahnya juga ada
tiga. Sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas ibadah dan transaksi. Sebagian
merupakan syarat sahnya akdvitas ibadah saja dan sebagian merupakan syarat
sahnya aktivitas transaksi saja.
Kesehatan mental
merupakan syarat bagi berlaku dan sahnya. Orang yang tak sehat rohaninya tak
dapat dikenai hukum, dan perbuatannya, entah perbuatannya itu perbuatan ibadah
atau transaksi, tidak sah. Misalnya, jika orang tak sehat rohaninya menunaikan
ibadah haji, maka hajinya akan kacau. Begitu pula, dia tak boleh salat atau
puasa, juga dia tak boleh berada di antara imam dan makmum atau di antara
makmum dalam salat berjamaah.
Mampu, seperti juga
sehat rohani, merupakan syarat berlakunya hukum maupun syarat sahnya perbuatan.
Begitu pula dengan non-paksaan. Orang yang terpaksa tak dapat menunaikan
kewajiban, maka dia lepas dari kewajiban tersebut. Jika orang dengan terpaksa
melakukan transaksi atau melakukan akad pernikahan, maka perbuatannya itu tidak
sah.
Akil balig merupakan
syarat berlakunya hukum namun bukan syarat sahnya suatu perbuatan. Anak kecil
itu sendiri tak berkewajiban melaksanakan kewajiban agama. Namun jika dia cukup
mengerti dan dapat melakukan perbuatan religius dengan benar seperti orang
dewasa, maka perbuatannya itu sah. Dengan demikian dalam salat berjamaah anak
kecil dapat berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum. Dia juga
dapat melakukan ibadah atas nama orang lain. Fakta bahwa akil balig bukanlah
syarat sahnya perbuatan ibadah, tak terbantahkan lagi. Namun bagaimana dengan
transaksi? Sebagian ulama berpandangan bahwa akil balig merupakan syarat sahnya
transaksi juga. Karena itu seorang anak laki-laki pun yang memiliki pengertian
penuh tak dapat sendirian melakukan transaksi, baik untuk dirinya ataupun atas
nama orang lain. Misal, anak kecil tak boleh menjual, membeli atau meminjamkan
sesuatu, juga tak boleh membacakan bacaan nikah.
Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa anak lelaki yang mengerti tak boleh melakukan transaksi
sendiri, meskipun dia dapat bertindak sebagai wakil orang lain. Tahu dan sadar
dan juga tak adanya paksaan dari keadaan merupakan syarat berlakunya hukum,
meski bukan syarat sahnya. Karena itu, jika seseorang secara tak sadar
melakukan perbuatan, entah perbuatan itu perbuatan ibadah atau transaksi,
perbuatannya itu tetap sah kalau perbuatan itu kebetulan sempurna dalam segala hal
lainnya. Begitu pula, kalau seseorang dipaksa oleh keadaan untuk melakukan
transaksi atau akad nikah, maka perbuatan tersebut sah. Misal, ada seseorang
mempunyai sebuah rumah yang sangat disukainya dan dia tak mau menjualnya. Namun
mendadak sontak karena alasan tertentu dia sangat membutuhkan uang dan terpaksa
menjualnya. Dalam kasus ini transaksinya sah. Contoh lain. Seorang lelaki dan
seorang perempuan tak ada niat untuk menikah. Namun suatu penyakit berkembang
sedemikian rupa sehingga dokter menyarankan agar lelaki itu atau wanita itu
menikah segera, dan keduanya terpaksa menikah. Pernikahan ini juga sah. Ini
menunjukkan bahwa dari segi keabsahan ada bedanya antara transaksi yang
dilakukan di bawah paksaan dan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan.
Transaksi yang pertama tidak sah, sedangkan transaksi yang kedua sah.
Nampaknya perlu
dijelaskan kenapa transaksi yang dilakukan di bawah paksaan tidak sah sedangkan
transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan sah. Dapatlah dikemukakan bahwa
perse tujuan si pelaku perbuatan tak ada dalam kedua kasus itu. Orang yang
menjual rumahnya atau bisnisnya karena diancam, sesungguhnya dalam lubuk
hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Begitu pula orang yang
dipaksa keadaan (misal, untuk membiayai pengobatan) menjual rumah atau
bisnisnya, juga dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya.
Orang yang terpaksa menjual rumahnya karena harus membayar biaya pengobatan
anaknya yang sakit, akan merasa sedih dengan transaksi ini. Sejauh menyangkut
kemauannya, posisinya tidak berubah meski ada fakta bahwa orang yang berada di
bawah ancaman itu ingin mencegah bahaya, sedangkan orang yang dipaksa keadaan
ingin memenuhi kebutuhan yang mendesak. Juga tak terjadi perbedaan yang
substansial bahwa dalam kasus paksaan, tangan manusia langsung terlibat dalam
bentuk seorang tiran, dan dalam kasus dipaksa keadaan, tangan manusia hanya
terlibat secara tak langsung dalam bentuk eksploitasi, kolonialisme dan
sebagainya.
Faktanya adalah
alasan kenapa Islam membedakan antara orang yang dipaksa dan orang yang dipaksa
keadaan, dan memandang perbuatan orang yang dipaksa tidak sah, sedangkan orang
yang dipaksa keadaan dipandang sah, ada di lain tempat. Baik orang yang dipaksa
maupun orang yang dipaksa keadaan, sama-sama didesak kebutuhan. Kebutuhan orang
yang dipaksa adalah menghindarkan kejahatan tiran. Di sini hukum Islam membantu
orang yang berada di bawah paksaan tersebut, dan menyatakan bahwa perbuatan
yang dilakukan karena dipaksa itu tidak sah. Sebaliknya orang yang dipaksa
keadaan membutuhkan langsung uang yang dicoba didapatnya melalui transaksi. Di
sini sekali lagi hukum Islam membantu orang yang dipaksa keadaan, dan
menyatakan bahwa transaksinya sah. Jika hukum Islam menyatakannya tidak sah,
maka akibatnya tentu merugikan orang yang dipaksa keadaan itu. Misal, dalam
contoh di atas, menjual rumah dinyatakan tidak sah. Maka akibatnya adalah si
pembeli tidak menjadi pemilik rumah, dan si penjual juga tidak menjadi pemilik
uang yang sangat dibutuhkannya untuk biaya pengobatan anaknya yang sakit.
Itulah sebabnya kenapa para faqih mengatakan bahwa menyatakan tidak sah
terhadap transaksi yang dilakukan di bawah paksaan berarti berpihak kepada
orang yang dipaksa. Namun menyatakan tidak sah terhadap transaksi yang
dilakukan karena dipaksa keadaan, berarti tidak berpihak kepada orang yang
dipaksa keadaan.
Di sini timbul
pertanyaan lagi. Bolehkah orang memanfaatkan kebutuhan mendesak orang lain dan
membeli barangnya dengan harga yang jauh di bawah harga wajar dan memandang
transaksi tersebut sah? Tentu saja tidak. Kini timbul pertanyaan lagi. Apakah
transaksi ini, sekalipun dilarang, tetap saja sah. Dan jika sah, apakah si
pemanfaat keadaan tersebut diminta menutup kerugian dan membayar dengan harga
pasar? Semua ini perlu dibahas lebih lanjut.
Pengertian yang
dewasa (rusyd) merupakan syarat sahnya, meski bukan syarat berlakunya hukum.
Dalam hukum Islam, orang yang ingin melakukan perbuatan yang mempengaruhi
masyarakat, seperti menikah atau melakukan transaksi atas kemauan sendiri,
harus memiliki keleluasaan dan penilaian, yaitu pengertian yang cukup dan
kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan dengan benar transaksi yang hendak
dilakukannya, selain memenuhi syarat umum lainnya seperti sudah akil balig,
sehat rohani, mampu, dan memiliki kehendak bebas.
Dalam hukum Islam,
belum cukup hanya dengan sehat rohani saja orang dapat menikah atau menjual
harta. Dia juga harus sudah berusia akil balig, dan transaksinya dilakukan atas
dasar kehendak bebas. Pernikahan anak lelaki dan anak perempuan baru sah kalau
keduanya memiliki kecerdasan yang memadai untuk dapat mengetahui makna
pernikahan: untuk apa pernikahan itu, apa tanggung jawabnya, dan bagaimana
dampaknya pada nasib individu. Anak lelaki atau anak perempuan tak boleh asal
menikah saja, karena menikah merupakan sesuatu yang sangat penting artinya.
Begitu pula, anak
lelaki atau anak perempuan yang memiliki harta sendiri yang didapat dari
warisan atau lainnya, tak dapat memiliki hartanya hanya karena sudah berusia
akil balig. Anak lelaki dan anak perempuan tersebut perlu diuji untuk
mengetahui apakah mereka cukup mengerti untuk memiliki dan memanfaatkan harta
mereka. Jika mereka belum memiliki pengertian yang memadai, maka harta mereka
tetap diurus oleh wali mereka yang sah. Al-Qur'an memfirmankan: Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta mereka. (QS. an-Nisâ': 6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar