Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Pembahasan masalah
imamah diakhiri dengan wacana ini. Selanjutnya pembahasan imamah terdiri dari telaah
atas hadis-hadis Nabi saw yang berkaitan dengan Imam All as dan para imam
lainnya serta sabda-sabda imam awal mengenai imam berikutnya. Semua hadis ini
sifatnya perintah umum otoritatif mengenai penunjukan dan pengangkatan imam.
Barangkali sejumlah poin dalam wacana ini sudah diliput dalam pembahasan
sebelumnya. Namun karena poin-poin ini mencerminkan jiwa masalah imamah, maka
akan dibahas lagi ketika membicarakan sabda-sabda para Imam dalam hubungan ini.
Juga kami akan mengutip dari "al-Kafi", "Kitab al-Hujjah". Sudah kami katakan
beberapa kali bahwa imamah dalam pengertian yang dibicarakan oleh kaum Syiah
atau setidak-tidaknya para imam mereka, beda dengan imamah yang dibicarakan
kaum Sunni. Imamah juga beda dengan pemerintahan, yang begitu sering menjadi
pokok pembicaraan atau telaah dewasa ini.
Pada dasarnya masalah
imamah ada karena adanya masalah kenabian, bukan dalam arti bahwa imamah lebih
rendah daripada kenabian, namun dalam arti bahwa imamah adalah seperti
kenabian. Para nabi besar juga adalah nabi sekaligus imam. Imamah adalah suatu
keadaan spiritual. Dalam hubungan ini imam menggarisbawahi konsep tentang
manusia. Konsep kita tentang manusia akan ditelaah agar poin ini jadi jelas.
Makhluk Apa Manusia
Itu?
Tahukah Anda makhluk
seperti apa manusia itu pada dasarnya? Ada dua sudut pandang. Menurut salah
satunya, manusia, seperti makhluk lainnya, adalah seratus persen makhluk
material, yang akibat terjadinya serangkaian perubahan material maka manusia
mengalami perkembangan sejauh mungkin sejauh dapat dialami makhluk material.
Kehidupan, entah dalam tumbuhan, hewan atau manusia merupakan perwujudan
perkembangan gradual materi tanpa adanya campur tangan unsur non-material dalam
eksistensi mereka (kami gunakan kata "unsur" hanya karena tak adanya
kata yang lebih tepat). Setiap kualitas luar biasa yang ada dalam makhluk
berasal dari struktur materialnya. Atas dasar ini maka manusia pertama atau
manusia pertama yang hadir di dunia ini tentunya manusia yang paling primitif.
Manusia ini berangsur-angsur berkembang. Memang begitu, entah kita menganggap
manusia diciptakan langsung dari tanah Hat menurut konsepsi kuno, entah
berkembang dari dunia binatang yang lebih rendah berdasarkan seleksi alam
menurut teori yang diajukan beberapa orang modern yang konsepsi mereka juga
patut dipertimbangkan setidak-tidaknya sebagai sebuah teori, dan menurut teori
ini akar final manusia adalah di bumi, meskipun menurut teori ini juga manusia
pertama tidak diciptakan langsung dari tanah liat.
Manusia Pertama dalam
Al-Qur'an
Bukan saja menurut
keyakinan Islam dan Al-Qur'an saja, namun juga menurut semua agama, manusia
pertama bukan saja lebih maju dibanding manusia selanjutnya, namun lebih maju
dibanding manusia modern sekalipun. Sejak menginjakkan kakinya di dunia ini,
manusia pertama adalah khalifah (wakil) Allah SWT maupun Nabi-Nya. Kenapa
manusia pertama datang sebagai nabi dan otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT,
padahal tampaknya lebih alamiah menurut proses evolusi kalau manusia pertama
datang sebagai manusia biasa, lalu setelah sampai pada tingkat perkembangan
yang cukup tinggi barulah salah satunya diangkat menjadi nabi. Ini merupakan
satu poin yang layak dipertimbangkan. Menurut Al-Qur'an, manusia pertama
sangat tinggi ke-dudukannya:
Ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi. " Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. " Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama ini jika kamu memang benar!" (QS.
al-Baqarah: 30-31)
Ringkas kata, manusia
pertama membuat para malaikat terkejut. Mengapa demikian? Mengenai manusia
pertama, digunakan kata-kata "Dan meniupkan ke dalamnya roh Ku." (QS.
al-Hijr: 29) Ini menunjukkan bahwa di dalam struktur makhluk ini ada satu unsur
yang lebih tinggi di samping unsur material, dan unsur yang lebih tinggi inilah
yang digambarkan oleh kata-kata di atas. Dengan kata lain, dalam struktur
manusia ini ada sesuatu yang sangat istimewa yang diletakkan oleh Allah SWT
yang menjadikannya sebagai khalifah-Nya: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah (wakil-Ku) di muka bumi. (QS. al-Baqarah:
30)
Dengan demikian
Al-Qur'an memberikan gambaran bahwa manusia pertama yang menginjakkan kakinya
di muka bumi ini adalah sebagai otoritas Allah, nabi dan makhluk yang punya
kontak dengan dunia gaib. Para imam menggarisbawahi asal-usul manusia ini untuk
menunjukkan bahwa manusia terakhir di muka bumi juga posisinya akan setinggi
dan semulia posisi manusia pertama. Sesungguhnya dunia manusia tak akan pernah
kosong dari satu makhluk yang memiliki roh, "Aku hendak jadikan seorang
khalifah (wakil) di muka bumi." Eksistensi manusia lainnya tergantung pada
eksistensinya. Jika manusia seperti itu tak ada, maka manusia lainnya pun tak
akan pernah ada. Manusia seperti itu disebut "otoritas Allah". Dunia
tak akan pernah kosong dari seorang pemimpin otoritatif yang diangkat oleh
Allah SWT. Kalimat ini dipetik dari "Nahj al-Balâghah" dan dikutip di
banyak buku. Aku pernah mendengar almarhum Ayatullah Burujerdi mengutipnya.
Almarhum mengatakan bahwa ini merupakan kalimat yang disampaikan Imam Ali as
ketika di Basrah, dan kalimat ini sering dikutip baik oleh kaum Syiah maupun
Sunni. Kalimat ini merupakan bagian akhir dari sebuah riwayat yang diberitakan
oleh Kumail. Kumail mengatakan, bahwa suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib as
memegang tangannya dan membawanya keluar kota. Ketika keduanya sampai di tempat
sunyi yang bernama Jabbin, Imam Ali as menghela napas dalam-dalam dan kemudian
berkata: "Wahai Kumail,
hati ini adalah wadah. Sebaik-baik hati adalah had yang kuat. Karena itu
ingatlah apa yang kukatakan kepadamu. Ada tiga macam manusia: ulama, murid yang
mencari keselamatan, dan lalat yang mendengung." (Nahj al-Balâghah, sabda
146)
Menurut terminologi
Imam Ali as, ulama bukanlah ulama biasa, meskipun sering kita menggunakan kata
ini secara sembarangan. Yang dimaksud Imam Ali as dengan ulama adalah yang
seratus persen cinta dan taat kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini, mungkin
istilah ini hanya dapat diterapkan pada para nabi dan para imam saja. Kelompok
kedua adalah para murid yang menerima pengetahuan dari kelompok pertama.
Kelompok ketiga adalah orang-orang "yang tidak mencari cahaya pengetahuan
dan tidak kuat dukungannya." Setelah mengatakan ini Imam Ali as mengeluh
tentang orang-orang di zamannya. Imam Ali as mengatakan memiliki banyak sekali
pengetahuan yang hendak disampaikannya namun tak ada orang yang tepat untuk
menerimanya. Imam Ali as menambahkan bahwa ada sebagian orang yang cukup cerdas
namun mereka menggunakan apa yang mereka pelajari untuk mencapai tujuan
pribadinya dan untuk mengeksploitasi agama demi keuntungan duniawi mereka.
Karena itu Imam Ali as tak mau memberikan pengetahuan kepada mereka. Ada juga
orang yang baik, namun mereka bodoh. Mereka tidak mengerti atau salah mengerti.
Dari apa yang dikatakan Imam Ali as sejauh ini kelihatannya beliau kecewa
sekali. Namun tidak demikian. Imam Ali as tengah bicara tentang mayoritas saja,
karena Imam Ali as menambahkan, "Tidak, sungguh tidak. Bumi tak pernah
kosong dari seorang otoritas Tuhan, entah dia terlihat dan dikenal atau gaib.
Eksistensi otoritas seperti itu sangat penting sekali sehingga hujah dan
argumen Allah SWT tak mungkin lemah. Namun berapa banyak dan di manakah orang
seperti itu? Sungguh sangat sedikit, namun mereka sangat dicintai oleh Allah
SWT. Melalui mereka Allah SWT berhujah dan berargumen. Mereka menyampaikan
pengetahuan mereka kepada orang-orang seperti mereka dan menanamkan pengetahuan
mereka di hati orang-orang seperti mereka."
Berbicara lebih jauh
mengenai orang-orang ini yang menerima pengetahuan dari sumber ilahiah, Imam
Ali as berkata, "Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai
pengetahuan mendalam tentang kebenaran." Dengan kata lain, pengetahuan
mereka intuitif, bukan hasil belajar, dan bebas dari kesalahan dan kekeliruan.
"Mereka memiliki roh keyakinan," karena mereka berhubungan langsung
dengan dunia gaib. "Yang sulit bagi orang-orang yang biasa hidup mewah,
mudah bagi mereka." "Yang paling sulit bagi orang-orang yang hidup
enak dan mewah adalah cinta dan taat kepada Allah." "Mereka akrab
dengan apa yang tidak disukai orang bodoh. Mereka hidup di dunia, sementara
jiwa mereka ada di tempat paling tinggi." Raga mereka ada bersama orang di
dunia ini, namun roh mereka ada di lain tempat. Orang melihat orang-orang itu
ada bersama mereka, namun orang tidak tahu bahwa jiwa mereka ada di tempat yang
tinggi.
Itulah logika imamah.
Itulah sebabnya kenapa ada satu bab dalam "al-Kâfî" yangjudulnya
"Bab al-Hujjah". Riwayat-riwayat dalam bab ini menyebutkan bahwa
meski hanya tinggal dua orang saja di dunia ini, salah satunya akan menjadi
hujah atau otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT. Saya akan mengutip dari
"Bab al-Hujjah" sehingga Anda akan lebih mengenal logika ini. Semua
soal lain, seperti bahwa umat pasti ada imamnya sehingga imam dapat menegakkan
keadilan atau imam dapat menyelesaikan kontroversi tentang masalah agama, merupakan
soal sekunder. Imam tidak harus menjalankan pemerintahan, karena itu imam tidak
dipilih oleh umat. Memimpin pemerintahan dapat disebut s^bagai urusan sampingan
imam. Sekarang akan kami kemukakan kata-kata pilihan dari berbagai riwayat agar
logika imamah jadijelas.
Diriwayatkan Imam
Ja'far Shadiq as berkata. Ini adalah riwayat berkenaan dengan para nabi.
Disebutkan bahwa seorang zindiq (atheis)[1] minta kepada Imam Shadiq as
untuk membuktikan eksistensi para nabi dan para rasul Tuhan. Dengan mendasarkan
jawabannya pada doktrin tauhid, Imam Shadiq as berkata, "Kita tahu pasti
bahwa ada satu Pencipta yang jauh di atas kita dan terutama sekali Dia adalah
pencipta. Pencipta itu arif dan sempurna, namun kita tak dapat berhubungan
langsung dengan-Nya. Makhluk-Nya mustahil melihat-Nya, berhubungan langsung
dengan-Nya, atau bertukar pandangan dengan-Nya. Namun kita butuh petunjuk-Nya,
karena hanya Dia saja yang tahu kepentingan kita dan apa yang bermanfaat bagi
kita. Karena itu tentu ada rasul-rasul-Nya yang menyampaikan risalah-Nya kepada
makhluk-Nya dan hamba-hamba-Nya dan menyampaikan kepada mereka apa yang bermanfaat
dan merugikan bagi mereka. Ini membuktikan bahwa ada beberapa pemberi
peringatan yang ditugaskan oleh Allah Maha Arif lagi Mahatahu."
Mengenai para pemberi
peringatan ini (para nabi dan para imam) Imam Shadiq as berkata, "Mereka
arif, terlatih dan diutus dengan risalah yang arif. Mereka diciptakan persis
seperti orang lain, namun mereka beda dengan orang lain." Ada dimensi lain
dan roh lain pada diri mereka. "Mereka mendapat dukungan dari Yang Maha
Arif lagi Mahatahu yang menganugerahi mereka kearifan. Eksistensi orang seperti
ini sangat penting di setiap zaman, sehingga dunia tak mungkin kosong dari
hujah yang memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia benar, jujur, akurat
dan tanpa cela."
Zaid bin Ali dan Imamah
Saudara Imam Muhammad
Baqir as, yaitu Zaid bin Ali Zainal Abidin, orangnya takwa. Para imam kita
memberikan warna moralitas kepadanya. Namun yang kontroversial adalah apakah
dia mengklaim kekhalifahan bagi dirinya sendiri atau mengupayakannya bagi
saudaranya, dan tujuan langkahnya hanyalah "beramar makruf dan bernahi
munkar." Namun, yang pasti para imam kita sangat menghormatinya dan
melukiskannya sebagai seorang syahid. Sebuah Mani sendiri mengklaim bahwa
dirinya adalah nabi. Dia bukan ahli tauhid, tetapi seorang dualis (penganut
faham bahwa di alam semesta ini ada dua kekuatan baik dan buruk, dan kedua
kekuatan ini sama seimbang—pen.) dan lebih dualis dibanding Zoroaster, karena
sebagian orang percaya bahwa Zoroaster mungkin seorang ahli tauhid yang
setidak-tidaknya mempercayai satu sumber abadi alam semesta, meskipun dari
tulisan-tulisannya tak ada bukti bahwa dia mempercayai satu Pencipta. Mani
justru jelasjelas seorang dualis dan menyatakan bahwa dirinya adalah nabi yang
diangkat oleh dewa kebaikan. Namun kemudian aliran Mani cenderung kepada
materialisme dan naturalisme, dan tak lagi mempercayai apa pun yang spiritual.
Sebuah riwayat dalam
"al-Kâfî" mengatakan, "Demi Allah! Dia meninggal sebagai
syahid." Riwayat lain yang akan kami kemukakan menunjukkan bahwa dia telah
berbuat keliru. Bagaimana orang agung seperti itu sampai berbuat keliru besar
seperti itu, itu merupakan masalah lain.
Salah seorang sahabat
Imam Muhammad Baqir as dikenal dengan nama Abu Ja'far Ahwal. Dia mengatakan
bahwa ketika Zaid bin Ali tengah melakukan aktivitas rahasia, suatu hari dia
memanggilku dan lalu berkata kepadaku, "Jika di antara kita ada yang
bangkit menentang pemerintahan yang ada, siapkah Anda untuk bekerja sama?"
Aku jawab, "Ya, asalkan ayah dan saudara Anda setuju." "Aku
bemiat bangkit sendiri tanpa melibatkan saudaraku," katanya. "Kalau
begitu, aku tak mau bekerja sama," kataku. Dia berkata, "Kenapa?
Apakah Anda tak mau berkorban jiwa untukku?" "Aku hanya punya satu
nyawa. Jika di dunia ini ada seorang hujah yang ditunjuk oleh Allah SWT, maka
orang yang tidak bersama Anda akan selamat, dan orang yang bersama Anda akan
celaka. Jika tak ada hujah yang ditunjuk oleh Allah SWT, maka orang yang tidak
bersamamu dan yang bersamamu sama saja." (Karena itu tidaklah penting
apakah aku bersamamu atau tidak bersamamu dalam pemberontakanmu).
Abu Ja'far Ahwal tahu
maksud Zaid. Menurut riwayat ini, Ahwal berkata kepada Zaid bahwa ada seorang
hujah di dunia ini dan bahwa hujah itu adalah saudara Zaid, bukan Zaid. Zaid
menjawab seperti ini, "Dari mana Anda tahu (bahwa saudaraku adalah hujah)
padahal aku sendiri tidak tahu? Ayahku sangat mencintaiku, namun dia tak pernah
berkata kepadaku tentang itu. Dia sangat sayang kepadaku, sampai-sampai ketika
aku kecil kalau makan dia selalu mendudukkan aku di sebelahnya. Kalau ada
makanan yang terlalu panas untukku, ayah selalu mendinginkannya dahulu,
kemudian baru menyuapkannya ke mulutku. Mana mungkin seorang ayah yang
penyayang dan tak mau kalau mulutku kepanasan membiar-kan aku terbakar di
neraka?" Abu Ja'far Ahwal berkata, "Karena ayahmu sangat sayang
kepadamu maka dia tak bercerita apa pun kepadamu tentang masalah ini. Dia
khawatir kalau mengatakan kepadamu, engkau akan menolaknya, dan karena
penolakan ini engkau akan masuk neraka. Ayahmu tahu kalau kamu itu suka
memandang rendah. Ayahmu mau agar kamu tetap tidak tahu agar setidak-tidaknya
kamu tidak memusuhi saudaramu. Namun ayahmu menyebutkan kebenaran itu kepadaku
agar aku menerima kebenaran itu, sehingga aku selamat. Jika tidak, aku pasti
akan celaka. Untung-nya aku menerima kebenaran itu."
Abu Ja'far Ahwal
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Zaid tentang siapa yang lebih
unggul, anggota keluarganya atau para nabi. Zaid menjawab para nabi. Lalu Abu
Ja'far berkata, "Nabi Yakub berkata kepada putranya, Yusuf, yang juga
seorang Nabi, 'Putraku, jangan ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu,
karena kalau kamu ceritakan, mereka akan bersekongkol menentangmu.' Nabi Yakub
memberikan nasihat ini karena menyayangi Yusuf. Nabi Yakub tahu jika
saudara-saudara Yusuf tahu bahwa Yusuf akan memperoleh kedudukan tinggi seperti
itu, mereka tentu akan segera memusuhi Yusuf. Kisah ayah dan saudaramu denganmu
persis seperti kisah Yakub dengan Yusuf dan saudara-saudara Yusuf."
Zaid tak dapat
menjawab. Pada akhimya Zaid berkata, "Sekarang semua ini telah kamu
ceritakan kepadaku. Aku juga akan ceritakan kepadamu bahwa sahabatmu di Madinah
(yang dimaksudnya adalah 'Imammu', yaitu Imam Muhammad Baqir as) memberitahuku
bahwa aku akan dibunuh dan disalib di tempat sampah di Kufah, dan bahwa dia
memiliki sebuah kitab yang meramalkan bahwa aku akan dibunuh dan disalib."
Di sini Zaid membuka
lembaran baru. Dia mengemukakan argumen yang sepenuhnya baru. Namun, apa yang
dikatakannya mendukung pandangan bahwa dia mempercayai imamah saudaranya. Pada
mulanya dia mengatakan sesuatu kepada Abu Ja'far dan terus bicara dengan nada
yang sama. Namun ketika tahu bahwa Abu Ja'far mempercayai imamah, dia mengubah
arah umum pembicaraannya dan menjelaskan bahwa dia menyadari posisi yang
sebenarnya. Dia menunjukkan bahwa dirinya akan melakukan perjuangan dengan
sepengetahuan dan seizin saudaranya. Abu Ja'far menambahkan bahwa suatu ketika
dia pergi ke Mekah. Di sana dia sampaikan cerita ini kepada Imam Ja'far Shadiq
as, dan Imam mendukung pandangannya.
Menurut riwayat lain,
Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Di dunia ini akan selalu ada seorang
imam." Dia juga diriwayatkan mengatakan, "Jika tinggal dua orang
saja, maka salah satunya akan menjadi hujah bagi yang lain."
Ada sebuah riwayat
dari Imam Ali Ridha as. Dalam kaitan ini ada banyak riwayat. Ada sebuah riwayat
terperinci yang berkaitan dengan Imam Ridha as. Seseorang bernama Abdul Aziz
bin Muslim berkata, "Kami sedang di Marw bersama Imam Ridha as, ketika dia
pergi ke Khurasan padahal dia masih sah sebagai ahli waris. Pernah di harijumat
kami tengah berada di Masjid Jami'. Imam Ridha as tak ada di sana. Di masjid
itu banyak orang tengah membicarakan masalah imamah. Seusai salat, aku
mendatangi Imam Ridha as. Aku katakan kepadanya apa yang telah terjadi di sana.
Imam Ridha as tersenyum, lalu berkata, 'Orang-orang ini tak tahu apa-apa,
pendapat-pendapat mereka tidak ada yang benar. Allah SWT mewafatkan Nabi-Nya
hanya setelah Nabi-Nya menyelesaikan misinya.' Allah SWT telah menurunkan
Al-Qur'an yangJberisi semua norma hukum dan segala yang halal atau haram."
Dalam Al-Qur'an telah ada apa yang dibutuhkan manusia dalam kaitannya dengan
agama mereka. Al-Qur'an sendiri mengatakan:
Tiadalah Kami
lalaikan sesuatu pun di dalam Kitab ini. (QS. al-An'âm: 38)
Dengan kata lain, tak
ada yang ketinggalan. (Setidak-tidaknya semua norma hukum telah dijelaskan di
dalamnya). Ketika berhaji perpisahan menjelang akhir hayatnya, Nabi Muhammad
saw membacakan ayat ini: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah
Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu.
(QS. al-Mâ`idah: 3)
Imam Ridha as
melanjutkan, "Agama belum sempurna tanpa doktrin imamah. Nabi saw baru
meninggalkan dunia ini setelah menjelaskan kepada umatnya semua poin utama
agama mereka, menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan menjadikan Imam
Ali as sebagai suar dan pendorong. Ringkas kata, Al-Qur'an dengan tegas
mengatakan bahwa tak ada yang ketinggalan. Namun bukankah Al-Qur'an tidak
menjelaskan secara terperinci? Sesungguhnya yang dibicarakan oleh Al-Qur'an
hanyalah masalah-masalah pokok dan norma umum yang dibutuhkan manusia. Salah
satu masalah utama yang dibicarakan oleh Al-Qur'an adalah masalah imamah.
Al-Qur'an menunjukkan
bahwa penerus Nabi saw adalah seseorang yang tahu interpretasi Al-Qur'an dan
makna sejatinya bukan berdasarkan logikanya sendiri, yang terkadang bisa benar
dan terkadang bisa salah, namun berdasarkan pengetahuan ilahiahnya tentang
karakter esensial Islam. Allah mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an telah Dia
sebutkan segalanya. Bahkan sedetail-detailnya pun tak ada yang terlewatkan,
namun yang tahu detail-detailnya itu hanyalah orang yang tahu Islam dari A
sampai Z. Orang yang sepenuhnya tahu Islam selalu ada dan akan selalu ada di
tengah-tengah umat. Jika ada yang mengira bahwa Allah SWT belum menyempurnakan
agama-Nya, berarti dia menafikan Kitab Allah. Dan siapa pun yang menafikan
Kitab Allah, berarti dia kafir. Apakah orang-orang yang berpendapat bahwa imam
dipilih oleh umat tahu nilai imamah dan posisi imamah dalam umat? Mereka
mengira bahwa memilih imam persis seperti memilih komandan tentara, padahal
arti imam adalah dengan ditunjuknya imam, menurut Al-Qur'an, maka agama jadi
sempurna. Kita tahu bahwa Al-Qur'an tidak membicarakan masalah-masalah kecil.
Pengetahuan tentang masalah-masalah kecil tersebut dianugerahkan kepada imam.
Pengetahuan imam mengenai Islam sangat sempurna. Orang tak bisa mengatakan
siapakah orang seperti ini. Itulah sebabnya mereka tak dapat memilih imam,
karena mereka tak dapat memilih nabi.
Imamah terlalu
berharga, terlalu tinggi, dan terlalu dalam bagi orang untuk memahaminya dengan
pikiran mereka. Imamah tak dapat dimengerti orang. Karena itu imamah tak dapat
diputuskan melalui pemilihan. Yang dapat ditentukan oleh orang hanyalah masalah
opsional. Untuk masalah opsional, agama tak campur tangan langsung. Pada
dasarnya agama tak campur tangan, karena kalau campur tangan, lantas apa
gunanya akal dan pikiran? Manusia sendiri yang memutuskan masalah yang menjadi
bidang pemikiran manusia, namun di luar bidang pemikiran manusia, tak ada
pilihan manusia. Imamah terlalu berharga, terlalu tinggi, terlalu sulit dan
terlalu dalam bagi manusia untuk tahu Imam mereka atau untuk memilih sendiri
imam mereka. Allah SWT mula-mula memilih Ibrahim as sebagai Nabi-Nya dan
sahabat-Nya, dan baru kemudian mengangkatnya menjadi Imam. Kalau Anda ingin
tahu makna sejati imamah, maka perlu Anda pahami bahwa imamah beda dengan apa
yang dewasa ini dikatakan orang. Imamah bukanlah memilih penerus Nabi saw untuk
mengurus urusan umat saja. Imamah merupakan suatu posisi yang dicapai oleh Nabi
Ibrahim as setelah menjadi seorang nabi. Setelah mencapai posisi Imam, Nabi
Ibrahim as begitu bahagia sampai-sampai dia mengatakan, "Dan dari
keturunanku" (Apakah akan jadi imam)? Dia ingin sebagian keturunannya juga
mencapai posisi seperti yang telah dicapainya. Jawabannya adalah:
"Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Sudah kami jelaskan
makna jawaban ini. Jelaslah Nabi Ibrahim as tak mungkin minta agar Allah SWT
menganugerahkan imamah kepada orang yang zalim. Yang dipikirkan Nabi Ibrahim as
hanyalah keturunannya yang baik. Karena itu arti jawaban ini adalah bahwa
imamah akan dianugerahkan hanya kepada keturunan Nabi Ibrahim as yang catatan
masa lalunya juga tak tercela.
Imam Ridha as
selanjutnya mengatakan: "Ayat ini meniadakan kemungkinan imamah diemban
oleh orang zalim sampai Hari Kiamat, dan imamah hanya diemban oleh orang-orang
pilihan dari keturunan Nabi Ibrahim as. Allah SWT telah memuliakan Nabi Ibrahim
as dengan menempatkan imamah pada orang-orang pilihan lagi suci dari
keturunannya.' Setelah berkata demikian, Imam Ridha as mengutip ayat-ayat ini
dan mendasarkan argumennya pada ayat-ayat ini: Dan telah Kami berikan kepadanya
(Ibrahim) Ishaq dan Yakub sebagai anugerah (dari Kami). Dan masing-masingnya
Kami jadikan orang-orang yang saleh. Telah Kamijadikan mereka Imam yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan
kebajikan. (QS. al-Anbiyâ': 72-73)
Al-Qur'an
menggarisbawahi fakta bahwa imamah akan selamanya berlanjut pada keturunan Nabi
Ibrahim as. Ulama terkemuka, Muhammad Taqi Syari'ati, dalam kitabnya,
"Khilafah dan Wilayah", membahas panjang lebar pertanyaan kenapa
Al-Qur'an yang tidak mengenal diskriminasi etnis sampai berkata demikian. Dari
sudut pandang etnis, keturunan merupakan istilah teknis. Mengapa hanya
keturunan Nabi Ibrahim as saja yang mampu mengemban imamah, itu lain masalah.
Imam Ridha as
menambahkan, "Mana mungkin orang-orang bodoh ini memilih Imam?" Nabi
Ibrahim as menjadi Imam hanya setelah dia menjadi Nabi. Mana mungkin
orang-orang bodoh ini memilih seseorang untuk mengemban jabatan tinggi seperti
itu? Dapatkah jabatan seperti itu diberikan kepada seseorang melalui pemilihan?
"Imamah adalah kualitas para nabi dan warisan ahli waris." Imamah
adalah sesuatu yang tradisional, dalam pengertian bahwa kompetensi untuk
mengemban Imamah diturunkan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian,
imamah tetap sama sekali bukan bersifat turun-temurun. "Imam adalah wakil
Allah SWT dan khalifah Nabi saw." Kedudukan sebagai wakil seperti inilah
yang pertama kali diemban Adam. "Imam mengurusi agama." .Imamah
merupakan suatu organisasi kaum Muslim dan sebuah sistem kehidupan mereka.
Kemakmuran, keselamatan dan kemuliaan mereka tergantung pada imamah. Imamah
adalah basis Islam dan bagian tertinggi dari Islam. "Penunaian salat, zakat,
puasa, haji dan jihad dan seterusnya berkaitan dengan eksistensi imam."
Kesimpulan
Semua ini membawa
kita kepada garis pemikiran yang logis. Kalau kita menerimanya, itu ada
dasarnya. Kalau seseorang menolaknya, itu lain soal. Garis pemikiran yang logis
ini beda dengan garis pertanyaan dangkal dan biasa-biasa saja yang dibicarakan
oleh mayoritas teolog ilmiah. Misal, mereka mengatakan bahwa Abu Bakar
menggantikan Nabi saw sebagai Khalifah pertama, sementara Ali as adalah
Khalifah keempat. Kini para teolog tersebut membahas masalah apakah Ali as
semestinya menjadi Khalifah pertama atau, misalnya, keempat, dan apakah Abu
Bakar memenuhi syarat untuk menjadi imam. Kemudian mereka membahas persyaratan
yang harus dipenuhi oleh seorang imam dalam pengertian kepala negara Muslim.
Tak diragukan lagi masalah ini juga mendasar nilai pentingnya, dan dari sudut
pandang ini kaum Syiah dalam hubungan ini merasa keberatan dan sangat absah
juga, namun berdasarkan sikap moral tidaklah benar mengacaukan isu imamah
dengan masalah apakah Abu Bakar memenuhi syarat untuk menjadi imam atau tidak.
Sesungguhnya kaum Sunni tidak mempercayai imamah dalam pengertian kaum Syiah.
Ringkas kata, kaum Sunni berpendapat bahwa aspek-aspek metafisis manusia yang
disebutkan Allah SWT dalam kaitannya dengan Adam as, Ibrahim as dan lainnya
hingga Nabi saw, sudah berakhir. Sekarang semua manusia adalah biasa-biasa
saja. Paling banter, ada yang menjadi ulama karena memiliki pengetahuan. Mereka
terkadang berbuat keliru, dan terkadang tidak. Ada yang menjadi penguasa.
Sebagian ada yang tanpa cela, sebagian ada yang tercela. Itulah ujung
masalahnya. Kaum Sunni tidak mempercayai adanya hujah Allah SWT yang punya
kontak dengan alam metafisis. Sedangkan kita percaya adanya hujah Allah SWT
yang seperti itu. Kaum Sunni berpendapat bahwa dengan wafatnya Nabi saw maka
semua ini sudah berakhir.
Menurut kaum Syiah,
jelas sudah bahwa akhir kenabian adalah kenabian Nabi Muhammad saw. Sekarang
tak ada lagi nabi, dan tak ada lagi agama baru yang akan dibawa oleh manusia
siapa pun.
Hanya ada satu agama,
dan itu adalah Islam. Nabi saw adalah Nabi terakhir. Namun masalah hujah dan
manusia sempurna sama sekali belum berakhir. Karena manusia pertama adalah dari
kategori ini, maka manusia terakhir tentu juga seperti manusia pertama. Di
antara kaum Sunni hanya kaum sufi yang mempercayai doktrin ini, sekalipun
mereka juga menyebutnya lain. Itulah sebabnya kita melihat bahwa sebagian sufi,
meskipun mereka itu Sunni, dalam tulisan-tulisan mereka, mereka menerima
doktrin imamah dalam pengertian kaum Syiah. Muhyiddin ibn Arabi adalah orang
Andalusia. Andalusia (Spanyol) adalah salah satu negeri yang penduduknya bukan
saja Sunni namun juga sangat anti-Syiah, dan ada warna Nasibisme pada diri
mereka. Alasannya adalah Andalusia mulanya ditaklukkan oleh Umayah yang lama
menguasainya. Umayah sangat membenci rumah tangga Nabi saw. Barangkali di
Andalusia tak ada orang Syiah. Kalau pun ada, jumlahnya sedikit sekali.
Muhyiddin adalah orang Andalusia, namun karena ada jiwa ahli irfannya, maka dia
percaya bahwa di muka bumi selalu ada seorang wali dan hujah. Muhyiddin
menerima sudut pandang Syiah dalam hubungan ini, dan menyebutkan secara
terperinci nama para imam. Ketika menyebutkan imam terakhir, dia bahkan sampai
mengklaim bahwa secara pribadi dirinya pernah bertemu Muhammad bin Hasan
al-Askari (Imam Mahdi as—peny.) di suatu tempat beberapa tahun setelah 600 H.
Meskipun demikian, dia tetap saja mengeluarkan pernyataan negatif tentang
doktrin Syiah. Pada dasarnya dia seorang Sunni yang berprasangka. Namun karena
ada kecenderungan ahli irfannya, maka dia mengakui bahwa mustahil di muka bumi
ini ada zaman yang tanpa wali (atau hujah seperti dikatakan para imam kami).
Bahkan dia menyatakan, "Aku pernah beraudiensi dengan Muhammad bin Hasan
al-Askari, yang sekarang tengah gaib dan usianya sekarang lebih dari tiga ratus
tahun."
Pertanyaan dan Jawaban
Pertanyaan: Seperti An da
katakan, memang pokok masalah utama perselisihan antara Syiah dan Sunni adalah
masalah Khilafah dan Wilayah. Sayangnya, kebanyakan orang Syiah yang tidak
mengetahui karakter hakiki imamah, bertanya mengapa Al-Qur'an hanya menyebut
kata wilayah saja, dan tak ditemukan kata khilafah di dalamnya, padahal
khilafah beda dengan wilayah. Itulah sebabnya kenapa saya ingin mengetahui dengan
pasti apakah kata "maula" juga diterjemahkan "khalifah"'.
Kemudian saya mendapati bahwa kamus terkenal "al-Munjid" menyebut
"khalifah" sebagai salah satu arti dan "maula". Dengan
demikian, menurut hernat saya, masalah ini sekarang perlu dipecahkan. Dalam
hubungan ini, saya ingin tahu mana kata yang benar, khalifah atau khalif. Tentu
saja Al-Qur'an menggunakan kata "khalifah".
Jawaban: Tidak betul. Dalam
Al-Qur'an kata "khalifah" tidak digunakan dalam pengertian seperti
yang biasa kita gunakan, meskipun dalam tradisi Syiah kata ini sering digunakan
dalam pengertian ini. Namun penggunaan kata khusus tidak begitu penting. Arti
penting khalifah dalam bangunan khalifah (wakil) Allah SWT sangat berbeda
dengan arti pentingnya dalam bangunan khalifah Rasul (pengganti Nabi saw). Kita
tidak perlu memberikan penekanan yang tidak perlu pada apakah kata ini
digunakan dalam Al-Qur'an atau sunah atau tidak. Yang penting adalah pengertian
kata itu, bukan kata itu sendiri.
Anda katakan bahwa
khalifah adalah salah satu arti dari maula. Itu tidak betul. Menurut saya, Anda
keliru. Dalam "al-Munjid" kata itu adalah halif, bukan khalif. Arti
halif adalah sekutu atau pendukung. Di kalangan kaum Arab, dua atau lebih
individu atau suku suka bersumpah mau saling membantu. Mereka disebut hulafa,
dan masing-masing disebut halif-nya yang lain. Jadi kalau kata maula digunakan
dalam pengertian halif, artinya tetap saja pembantu dan pendukung.
Catatan:
[1] Pada saat itu kata "zindiq" belum merupakan istilah yang
kasar atau menghina seperti sekarang. Pada masa itu sejumlah orang disebut
zindiq, dan mereka tidak merasa terhina disebut begitu. Di zaman kita, seperti itu pula kata
"materialis". Tentu saja ahli tauhid tak pernah mau disebut begitu.
Namun seorang materialis akan bangga kalau disebut materialis. Mengenai asal
kata "zindiq", ada berbagai teori. Kebanyakan percaya bahwa zindiq
adalah kaum Mani yang muncul pada awal abad kedua, yaitu masa hidupnya Imam
Shadiq as. Banyak orang Barat dan sarjana lain membahas masalah kaum zindiq
dalam Islam. Mereka berkesimpulan bahwa kaum zindiq adalah pengikut Mani. Perlu
diingat bahwa ajaran Mani bukanlah anti-Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar