Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Apakah Islam menerima
teori materialisme sejarah? Apakah analisis Al-Qur'an dan interpretasi
Al-Qur'an atas masalah sejarah didasarkan pada materialisme sejarah? Sebagian
orang beranggapan bahwa dasarnya memang materialisme sejarah. Mereka
berpandangan bahwa setidak-tidaknya seribu tahun sebelum Marx, Islam telah
mendasarkari analisisnya atas sejarah pada konsepsi ini. Dr. Ali al-Wardi,
seorang sarjana Syiah Irak yang menulis beberapa buku kontroversial, antara
lain yang berjudul "Manzilah al-Aql al-Basyari" (Posisi Akal
Manusia), termasuk salah satunya. Barangkali dialah orang pertama yang
mengemukakan konsepsi ini. Kini konsepsi ini popular di kalangan penulis Muslim
tertentu, dan dipandang sebagai tanda berpandangan liberal dan sekarang tengah
menjadi mode analisis sejarah dalam fraseologi (mode ekspresi) Islam dari sudut
pandang ini.
Namun dari sudut
pandang kami, orang-orang yang berpandangan seperti ini tidak memahami Islam
atau materialisme sejarah atau keduanya. Kalau memperhatikan lima poin pokok
materialisme sejarah yang sudah kami sebutkan terdahulu dan enam kesimpulannya,
maka mudah bagi orang-orang yang cukup mengenal pemikiran Islam untuk
berkesimpulan bahwa materialisme sejarah dan cara berpikir Islam saling
bertentangan sekali.
Konsepsi material
masyarakat dan sejarah, khususnya khususnya kalau diberi warna palsu
autentisitas Islam, sangat membahayakan ajaran dan budaya Islam. Karena itu
kami kira perlu dilakukan telaah seksama atas problem-problem yang telah atau
mungkin melahirkan pandangan bahwa Islam menganggap ekonomi sebagai
infrastruktur masyarakat dan materialisme sebagai karakter esensial sejarah.
Dapat ditunjukkan
bahwa dalam mengkaji pokok persoalan ini kami menggunakan lebih banyak argumen
dibanding pendukung pandangan ini. Mereka mendasarkan argumen mereka pada dua
atau tiga ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi, namun untuk mewujudkan kajian yang
komprehensif kami masukkan juga beberapa argumen lain, yang sekalipun tidak
digunakan oleh pendukung konsepsi ini, dapat dikutip untuk memperkuatnya:
Pertama: Al-Qur'an memberikan
beragam konsepsi sosial kepada dunia. Dalam studi kami tentang masyarakat, ada
sekitar lima puluh istilah yang mengandung arti sosial. Kalau ayat-ayat sosial
Al-Qur'an dan penggunaan istilah-istilah ini dalam Al-Qur'an ditelaah, maka
kelihatan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an, masyarakat terdiri atas dua
golongan orang yang bertentangan. Dari satu sudut, Al-Qur'an mengindikasikan
eksistensi masyarakat yang berdua kutub berdasarkan kemakmuran material.
Al-Qur'an menyebut satu kutub mala` (golongan orang yang suka memanjakan diri
dalam kesenangan, kelompok kecil ekslusif yang berkuasa), mustakbirun (kaum
yang arogan, penindas, tiran, eksesif, tidak moderat, dan suka mengumbar
kemewahan dan hawa nafsu), dan menyebut kutub lainnya mustadh'afun (kaum
tertindas dan tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak dalam
masyarakat), nas (massa, kaum mayoritas), zuriyya (kaum udik, hina, rendah, dan
tidak penting, yang beda dengan mala`. Al-Qur'an menempatkan dua kutub ini atau
dua golongan ini dalam posisi berseberangan. Dari sudut lain, Al-Qur'an
menggambarkan masyarakat berdua kutub berdasarkan konsepsi spiritual dan
konsepsi moral, dan membagi masyarakat menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
terdiri atas orang kafir, orang musyrik, orang munafik dan orang jahat.
Kelompok kedua terdiri atas orang saleh, orang takwa, pembaru, orang-orang yang
memperjuangkan tujuan suci dan orang-orang yang mengorbankan jiwa mereka untuk
tujuan suci itu.
Kalau kita perhatikan
dengan seksama makna ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan eksistensi dua
kategori material dan dua kategori spiritual ini, maka akan kita ketahui
keselarasan antara kategori material pertama dan kategori spiritual pertama,
dan juga antara kategori material kedua dan kategori spiritual kedua. Kaum
kafir, kaum musyrik, kaum munafik dan kaum jahat adalah juga kaum yang suka
mengumbar hawa nafsu dan kemewahan, kaum yang arogan, dan kaum yang eksesif.
Begitu pula, kaum mukmin, kaum pemegang tauhid (muwahhidun), kaum saleh, dan
prajurit serta pejuang tujuan suci (mujahidun) tak lain adalah orang-orang
miskin, tertindas, dan yang tidak menikmati standar hidup dan hak yang layak
dalam masyarakat. Karena itu dengan mempertimbangkan segala yang relevan, dalam
masyarakat hanya ada dua kutub, tidak lebih, atau dua kelompok yang
berseberangan. Golongan pertama adalah kaum kaya, kaum pengeksploitasi, kaum
tiran dan penindas. Mereka ini adalah kafir dan tidak beriman. Golongan kedua
adalah kaum tertindas dan orang-orang yang tidak menikmati standar hidup dan
hak yang layak dalam masyarakat. Mereka ini adalah orang-orang beriman. Dari
sini jelaslah bahwa karena masyarakat terdiri atas kaum penindas dan kaum
tertindas, maka dalam masyarakat ada dua golongan anggota masyarakat: kaum
beriman dan kaum kafir. Perilaku menindas melahirkan kekafiran, kemunafikan,
kejahatan dan kerusakan moral. Sedangkan keadaan tertindas melahirkan iman,
kesalehan dan kebajikan.
Untuk memahami persamaan
ini dengan jelas, cukup kita menelaah QS. al-A'râf: 59-137. Dalam ayat-ayat ini
kisah para nabi seperti Nuh, Hud, Saleh, Luth, Syu'aib dan Musa as dipaparkan
secara singkat. Dalam semua kisah ini, kecuali kisah Luth as, dapat dicatat
bahwa kelas para nabi adalah kelas yang tidak menikmati standar hidup atau hak
yang baku dalam masyarakat (kaum papa), sedangkan kelas yang berseberangan
dengan kelas ini adalah kelas kafir, kelas aristokrat yang arogan. Persamaan
ini tidak mungkin ada penjelasannya selain penjelasan tentang suara hati kelas,
dan eksistensi suara hati ini sangat penting dan natural, menurut teori
materialisme sejarah. Karena itu dari sudut pandang Al-Qur'an, konfrontasi
antara iman dan kekufuran hanyalah refleksi dari konfrontasi antara kaum
penindas dan kaum tertindas.
Al-Qur'an dengan
jelas mengatakan bahwa harta, yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai
"kekayaan", adalah penyebab penindasan dan arogansi, dua kualitas
yang benar-benar bertentangan dengan ajaran para nabi, para nabi ini mengajarkan
kesalehan, kesahajaan dan perdamaian. Al-Qur'an mengatakan: Ketahuilah,
sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika merasa dirinya serba
cukup. (QS. al-'Alaq: 6-7)
Untuk menggarisbawahi
efek negatif harta, Al-Qur'an menyebutkan kisah Qarun. Qarun adalah seorang
Isra'il, bukan Koptik, dan dari suku Nabi Musa. Dia termasuk orang yang tidak
menikmati standar hidup dan hak yang layak dalam masyarakat. Orang-orang
seperti Qarun ini oleh Fir'aun dianggap rendah derajatnya dan rendah kastanya.
Namun, begitu Qarun mendapat harta yang besar, dia jadi buruk sikapnya terhadap
kaumnya sendiri. Dia memandang rendah kaumnya. Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya
Qarun termasuk kaum Musa, maka dia berlaku aniaya terhadap mereka. (QS.
al-Qashash: 76)
Tidakkah ini
menjeiaskan bahwa penentangan para nabi terhadap penindasan sesungguhnya
merupakan konfrontasi dengan harta, pemiliknya, dan kepemilikan? Dalam sebagian
ayatnya, Al-Qur'an sendiri dengan tegas mengatakan bahwa penentang utama para
nabi adalah orang-orang yang tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan. Dalam
ayat berikut ini hal ini disebutkan sebagai norma umum: Dan Kami tidak mengutus
kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang
kamu diutus untuk menyampaikannya." (QS. Saba': 34)
Semua ini menunjukkan
bahwa konfrontasi para nabi dengan penentang mereka, dan konfrontasi iman
dengan kekufuran, mencerminkan konfrontasi dua kelas sosial: kelas tertindas
dan kelas penindas.
Kedua: Al-Qur'an menyebut audiensnya nâs
(massa), yaitu orang kebanyakan yang tidak menikmati standar hidup atau hak
yang baku dalam suatu masyarakat. Itu menunjukkan bahwa Al-Qur'an mempercayai
suara hati kelas dan beranggapan bahwa hanya massa yang tertindas atau yang
diperlakukan tidak baik sajalah yang dapat mendengarkan ajakan untuk menerima
Islam. Itu (juga menunjukkan bahwa Islam memiliki kecenderungan kelas. Islam
adalah agama kaum lemah dan kaum fakir miskin. Ideologi Islam ditujukan hanya
untuk massa yang mengalami ketidakberuntungan. Itulah bukti lain mengenai fakta
bahwa, menurut pandangan Islam, ekonomi merupakan infrastruktur masyarakat, dan
karakter hakiki sejarah adalah material.
Ketiga: Al-Qur'an menyatakan
bahwa pemimpin, pembaru, martir dan bahkan para nabi berasal dari kalangan
massa, bukan dari kalangan kaum aristokrat dan kelas berada. Mengenai
Rasulullah saw Al-Qur'an mengatakan: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang rasul di antara mereka. (QS. al-Jumu'ah: 2)
Massa ini tak bisa
lain keeuali massa yang tidak menikmati standar hidup atau hak yang baku dalam
suatu masyarakat. Mengenai orang-orang yang mengorbankan jiwa mereka demi
alasan yang benar, Al-Qur'an mengatakan, "Kami akan bangkitkan dari setiap
kaum seorang saksi, dan kemudian meminta mereka untuk mengemukakan hujah
mereka." Di sini juga kata kaum berkenaan dengan massa yang papa. Karena
butuh adanya keselarasan antara basis ideologis dan basis sosial di satu pihak,
dan basis ekonomi dan basis kelas di pihak lain, maka pemimpin semua gerakan
dan revolusi sosial selalu bersal dari kalangan massa yang papa. Kebutuhan ini
baru dapat dijelaskan kalau berbasis konsepsi materialis mengenai sejarah dan
sangat pentingnya ekonomi.
Keempat: Karakter hakiki
gerakan yang dilakukan para nabi dan konfrontasi para nabi seperti yang
digambarkan dalam Al-Qur'an adalah infrastruktural, bukan suprastruktural.
Sasaran misi para nabi adalah menegakkan keadilan, perilaku yang pantas,
keseimbangan sosial, dan merubuhkan dinding-dinding diskriminasi kelas.
Perhatian pertama para nabi selalu adalah masalah infra-struktur dan baru
kemudian masalah suprastruktur seperti doktrin, keyakinan, serta pembaruan
moral dan perilaku yang merupakan tujuan kedua para nabi. Nabi saw bersabda:
"Barangsiapa tidak memiliki sarana penghidupan, maka dia akan gagal di
akhirat."
Dengan kata lain, tak
mungkin ada kehidupan spiritual tanpa kehidupan material. Peribahasa ini
menyebabkan adanya kesimpulan bahwa kehidupan material mendahului kehidupan
spiritual dan bahwa kehidupan spiritual merupakan suprastruktur sedangkan
kehidupan material merupakan infrastruktur masyarakat. Nabi saw juga bersabda: "Ya
Allah, anugerahi kami rod yang banyak, karena kalau tak ada rod, maka kami tak
mungkin bersedekah, juga kami tak dapat salat."
Sabda Nabi saw
membuat kita percaya bahwa spiritualitas bergantung pada materialitas. Salah
sekali kalau mengatakan, seperd anggapan kebanyakan orang, bahwa aktivitas para
nabi hanya sebatas masalah suprastruktur saja, bahwa perhatian para nabi hanya
memperbarui masyarakat dan memperbaiki perilaku moral masyarakat, dan tak ada
kaitannya dengan masalah infrastruktur atau paling banter menganggap masalah
infrastruktur sebagai masalah yang arti pentingnya menduduki urutan kedua. Juga
salah kalau mengatakan bahwa para nabi beranggapan bahwa bila orang beriman
maka segalanya otomatis akan beres, keadilan akan tegak, dan penindas akan
dengan suka hati mengembalikan hak-hak kaum papa. Pendek kata, kebanyakan orang
berpandangan keliru, yaitu menganggap para nabi, untuk mencapai tujuannya,
menggunakan senjata iman, dan karena itu pengikut para nabi juga hams mengikuti
langkah yang sama. Pandangan ini merupakan rekayasa kelas pengeksploitasi, dan
tujuannya adalah agar ajaran para nabi tidak mencapai sasaran. Pandangan ini
dikemukakan sedemikian rupa sehingga diterima hampir dengan suara bulat. Dengan
kata-kata Marx, memberikan harta material kepada masyarakat, berarti memberikan
harta intelektual kepada masyarakat. Sesungguhnya penguasa material masyarakat
juga merupakan penguasa spiritual masyarakat, dan penguasa seperd inilah yang
menguasai pemikiran masyarakat.
Metode fungsional
para nabi beda dengan apa yang sekarang dipercaya kebanyakan orang. Para nabi
terlebih dahulu membebaskan masyarakat dari kemusyrikan sosial, diskriminasi
sosial, tirani dan kemusyrikan perilaku, baru kemudian memperhatikan ke-yakinan
pada tauhid dan kesalehan praktis.
Kelima: Al-Qur'an selain
menyebutkan argumen yang dikutip sebagai bukti oleh para penentang nabi di
sepanjang sejarah, juga menyebutkan argumen para nabi dan pengikut mereka.
Dengan jelas Al-Qur'an menunjukkan bahwa logika kaum penentang tersebut selalu
berupa logika konservatisme, konvensionalisme, dan merujuk ke masa lalu,
sedangkan logika para nabi dan pengikut mereka berupa non-konvensionalisme dan
melihat ke depan. Al-Qur'an menjelaskan bahwa, dari sudut pandang sosiologis,
penentang para nabi menggunakan argumen yang, dalam sebuah masyarakat yang
terbagi menjadi kelas pengeksploitasi dan kelas tereksploitasi, biasanya juga
digunakan oleh kelas pengeksploitasi. Di pihak lain, para nabi dan pengikut
mereka menggunakan argumen yang di sepanjang sejarah digunakan oleh kaum yang
menderita, kaum fakir miskin dan kaum papa.
Al-Qur'an dengan
seksama menyebutkan argumen kaum penentang dan kaum pendukung nabi, dan
menunjukkan logika mereka. Seperti dua kelompok ini, dua perangkat argumen
mereka selau berdampingan di sepanjang sejarah. Al-Qur'an menyebutkan argumen
ini agar bisa dibuat ukuran untuk menilai teori-teori dewasa ini sekalipun.
Dalam Al-Qur'an argumen para nabi dan argumen penentang para nabi dikemukakan
secara berdampingan.[1] Sebagai contoh, kami kutipkan beberapa ayat
Al-Qur'an dengan disertai penjelasan ringkasnya:
Dan mereka
mengatakan: "Kalau Allah berkehendak, tentu kami tidak akan menyembah
malaikat," (seperti yang kami lakukan sekarang, dan kalau kami menyembah
malaikat, itu artinya karena Allah menghendaki demikian. Doktrin takdir).
"Mereka tak mengetahui apa pun tentang itu," (tentang perkataan
mereka mengenai takdir. Perkataan mereka tidak didasarkan pada argumen yang
logis). "Mereka hanyalah menduga-duga saja. Bukankah telah Kami berikan
kepada mereka Kitab Suci sebelum Al-Qur'an, agar mereka berpegang teguh
padanya?" (Tak ada hal seperti itu. Mereka tidak memiliki Kitab wahyu yang
dapat mendukung konsepsi takdir mereka). Sesungguhnya perkataan mereka
hanyalah: "Kami dapati bapak-bapak kami menempuh suatujalan, dan kami
mendapat panduan darijejak mereka." Namun Kami tidak mengutus seorang
pemberi peringatan sebelum kamu (Nabi Muhammad saw) he kota, kecuali
orang-orangnya yang hidup mewah mengatakan: "Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menempuh suatu jalan dan kami mengikuti jejak mereka. "
Nabi mengatakan kepada mereka: "Meskipun aku bawakan untukmu petunjuk yang
lebih baik daripada yang kamu dapati bapak-bapak kamu mengikutinya?" (Dan
kamu tahu pasti bahwa secara logika petunjuk yang aku bawakan ini lebih baik,
namun kamu tetap saja mengikuti jejak bapak-bapak kamu). Mereka menjawab:
"Bagaimanapun juga kami menolak apa yang kamu bawa." (QS. az-Zukhruf:
20-24)
Ternyata kaum
penentang nabi sering menggunakan argumen takdir dan fatalisme. Seperti
ditunjukkan oleh sosiologi, ini merupa-kan logika orang-orang yang mendapat
keuntungan dari situasi yang ada, yaitu orang-orang yang ingin mempertahankan
status quo, dan menggunakan takdir sebagai dalih untuk mencegah terjadinya
perubahan. Mereka sering menggunakan praktik leluhur mereka untuk melegitimasi
perbuatan mereka, dan menggambarkan masa lalu sebagai sakara) dan patut
diteladani. Bagi mereka, cukup sudah kalau membuktikan kebenaran dan keabsahan
sesuatu yang ada hubungannya dengan masa lalu. Ini tak lain hanyalah logika
kaum konservatif dan kaum yang mendapat keuntungan dari situasi yang ada.
Sebaliknya, para
nabi, bukannya mendukung fatalisme dan konvensionalisme, tapi justru mendukung
sesuatu yang lebih logis, lebih ilmiah dan lebih bermanfaat. Inilah logika kaum
revolusioner yang menderita karena situasi yang ada. Kalau argumen kaum
penentang kalah dengan argumen para nabi, maka yang dapat mereka katakan
tinggallah, "Meskipun fatalisme itu sebuah teori yang benar atau tidak,
dan meskipun praktik konvensional itu patut dihormati atau tidak, yang pasti
kami menolak risalahmu, misimu dan ideologimu, karena risalahmu tidak sesuai
dengan kepentingan sosial dan kelas kami yang ada."
Keenam: Yang sangat penting
adalah orientasi Al-Qur'an dalam konflik antara kaum papa dan kaum arogan.
Kalau prediksi materialisme sejarah didasarkan pada logika dialektikanya, maka
Al-Qur'an percaya bahwa dalam konflik ini kemenangan terakhir ada di tangan
kaum papa. Dalam hubungan ini Al-Qur'an menggaris-bawahi arah tak terelakkan
dari progresi sejarah, dan menunjukkan bahwa kelas yang memiliki kualitas
revolusioner selalu memperoleh kemenangan dalam konfliknya dengan kelas yang
pada dasarnya berkualitas reaksioner dan konservatif dan bahwa kelas yang
memiliki kualitas revolusioner akan menggantikan kelas yang berkualitas
reaksioner dan konservatif dalam penguasaan atas bumi. Al-Qur'an mengatakan: Dan
Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi
(Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS. al-Qashash: 5)
Dalam ayat berikut
juga dikatakan: Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu
negeri-negeri bagian timur dan baratnya yang telah Kami beri berkah. Dan telah
sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Isra 'il
disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun
dan kaumnya dan apa yangtelah mereka bangun. (QS. al-A'râf: 137)
Pandangan Al-Qur'an
bahwa sejarah bergerak menuju kemenangan kaum tertindas dan tereksploitasi,
benar-benar sesuai dengan norma atau prinsip yang kami simpulkan sebelumnya
dari teori materialisme sejarah yang substansi umumnya adalah bahwa
reaksionisme dan konservatisme merupakan sifat khas eksploitasi. Karena sifat
ini bertentangan dengan hukum evolusi, maka eksploitasi cepat atau lambat pasti
sirna. Tidak pada tempatnya di sini mengutip, dengan disertai ulasan, satu
bagian dari sebuah artikel yang baru terbit dan ditulis oleh beberapa
intelektual yang telah meninggalkan intelektualisme menuju Marxisme. Ayat
Al-Qur'an yang terakhir dikutip itu digunakan sebagai judul artikel ini. Di
bawah judul ini artikel itu mengatakan:
"Yang lebih
menarik adalah dukungan dari Allah dan semua fenomena dunia untuk kaum tertindas.
Tak dapat dipungkiri bahwa, menurut pola pikir Al-Qur'an, kaum tertindas ini
adalah massa tertindas yang tak dapat ikut menentukan nasibnya sendiri. Kalau
melihat posisi massa ini dan dukungan Allah untuk mereka, maka pertanyaannya
adalah, Siapakah kaum yang melaksanakan kehendak Allah ini? Jawabnya sudah
jelas. Kalau masyarakat diakui terbentuk sedemikian rupa sehingga ada dua kelas
yang saling berseberangan, yaitu kelas penindas dan kelas tertindas, dan juga
diketahui bahwa kehendak Allahlah yang pada akhimya membuat kelas tertindas
mewarisi bumi dan menjadi pemimpin di muka bumi dan kelas penindas harus
lenyap, maka jelaslah bahwa kehendak Allah dilaksanakan oleh kelas tertindas
dengan kepemimpinan para pemimpin dan intelektualnya. Dengan kata lain, para
nabi dan martir dari kalangan kelas tertindas inilah yang mengambil langkah
pertama memerangi sistem tirani yang menindas, dan yang memuluskan jalan bagi
kepemimpinan dan supremasi kelas tertindas. Gagasan ini merefleksikan
pengetahuan kita tentang konsepsi Al-Qur'an mengenai revolusi agama dan
perubahan sejarah. Karena, dari sudut pandang sosial, revolusi kaum pengikut
tauhid berkisar pada kepemimpinan kaum tertindas dan diwarisinya bumi oleh kaum
tertindas, tentu pemimpin dan perintis gerakan mereka berasal dari kalangan
mereka sendiri, dan tentu pula ideologi sosial mereka adalah ideologi mereka
sendiri."
Dalam tesis di atas
ada beberapa poin: (1) Menurut Al-Qur'an, masyarakat memiliki dua kutub, selalu
ada dua kelas yang berseberangan dalam masyarakat, yaitu kelas penindas dan
kelas tertindas. (2) Kehendak Allah (atau, dalam kata-kata artikel terkutip di
atas, dukungan dari Allah dan semua fenomena) arahnya adalah mewujudkan
kepemimpinan kelas tertindas dan diwarisinya bumi oleh kelas tertindas sebagai
norma universal. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara kaum beriman dan kaum
kafir atau antara ahli tauhid dan kaum musyrik. Ayat terkutip di atas
merumuskan norma umum dan universal. Allah selalu menganugerahkan kemenangan
kepada kaum tertindas. Dengan kata lain, dalam sejarah selalu ada konflik
terutama antara kaum tertindas dan kaum penindas, dan hukum evolusi
menghentiaki kemenangan kaum tertindas atas kaum penindas. (3) Kehendak Allah
terealisasi dalam masyarakat melalui kaum tertindas. Pemimpin, perintis, nabi
dan martir berasal dari kalangan kaum tertindas, bukan dari kelas lain. (4)
Selalu ada keselarasan antara basis intelektual dan sosial masyarakat di satu
pihak dan basis kelas di pihak lain.
Jadi ternyata
beberapa prinsip Marxis mengenai sejarah di-bentuk dari ayat Al-Qur'an terkutip
di atas, dan ternyata pula Al-Qur'an menggemakan filosofi Marx 1200 tahun
sebelum Marx lahir. Karena konsepsi tentang sejarah ini diklaim dibentuk dari
Al-Qur'an, mari kita lihat bagaimana kesimpulan dari penerapan konsepsi ini
pada sejarah kontemporer. Mereka yang membentuk apa yang disebut konsepsi
Al-Qur'an ini segera menerapkan konsepsi ini sebagai batu ujian bagi analisis
mengenai gerakan agama. Menurut mereka, Al-Qur'an menyebutkan bahwa pemimpin
gerakan revolusi berasal dari kaum tertindas. Namun dewasa ini tampaknya ahli
teologi yang menjadi satu dari tiga dimensi sistem yang mencemari sejarah ini
telah menjadi revolusioner. Lantas bagaimana memecahkan keganjilan ini?
Menurut para
intelektual ini, jawabannya sederhana saja. Tak dapat dipungkiri bahwa ada
konspirasi. Ketika merasa eksistensinya terancam, penguasa, untuk menyelamatkan
kepentingannya, menyuruh ahli teologi yang bergantung padanya untuk berperan
sebagai revolusioner. Inilah kesimpulan dari konsepsi Marxis ini (maaf,
konsepsi Al-Qur'an). Jelaslah, menguntungkan siapa kesimpulan seperti itu.
Ulasan
Apa yang telah
dikemukakan untuk melegitimasi teori materialisme sejarah dari sudut pandang
Al-Qur'an itu sendiri, kalau tidak salah sama sekali, ya benar, meski
kesimpulannya salah. Sekarang mari kita telaah argumen-argumen di atas.
Pertama, mutlak salah kalau
mengatakan bahwa Al-Qur'an membagi masyarakat menjadi dua kelas material yang
berseberangan dan dua kelas spiritual yang juga berseberangan, dan dua kelas
ini sama. Dengan kata lain, salah kalau mengatakan bahwa, dari sudut pandang
Al-Qur'an, orang kafir, orang tidak beragama, orang munafik dan orang jahat
setali tiga uang dengan kaum aristokrat, kaum arogan dan tiran, dan begitu pula
kaum beriman, ahli tauhid dan syuhada setali tiga uang dengan kaum tertindas
dan kaum papa. Adalah dusta kalau mengatakan bahwa konfrontasi kaum kafir
dengan kaum beriman merefleksikan konfrontasi kaum penindas dengan kaum
tertindas. Kesamaan seperti itu sama sekali tidak dapat disimpulkan dari
Al-Qur'an. Justru yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an berbeda sekali dengan
itu.
Dalam pelajaran
sejarahnya Al-Qur'an menunjukkan bahwa ada orang-orang beriman yang berasal
dari kelas arogan dan aristokrat, dan mereka berjuang melawan kelas dan
nilai-nilai kelas mereka sendiri. "Anggota keluarga Fir'aun yang
beriman" yang kisahnya disebutkan dalam sebuah Surah Al-Qur'an dengan nama
ini, merupakan sebuah contoh. Al-Qur'an juga menyebutkan istri Fir'aun yang
memiliki hak-hak istimewa dan yang juga menikmati kesenangan seperti yang
dinikmati Fir'aun sendiri, meski demikian istri ini seorang beriman. Al-Qur'an
membawakan kisah tukang sihir Fir'aun. Kisah ini menunjukkan betapa naluri
manusia untuk mencari kebenaran memberontak melawan kepalsuan dan kecurangan,
dan memandang rendah kepentingan pribadinya. Para tukang sihir ini tidak takut
ancaman Fir'aun yang akan menggantung mereka dan memotong tangan dan kaki
mereka.
Menurut kisah yang
disebutkan Al-Qur'an ini, berontaknya Nabi Musa as pada dasarnya merupakan
pemberontakan yang menghancurkan teori materialitas sejarah. Memang Nabi Musa
adalah seorang Isra'il, bukan Koptik. Dia bukan dari keluarga Fir'aun. Namun
sejak bayi dia dibesarkan di istana Fir'aun bagaikan pangeran. Meski hidup di
tengah sistem ini dan memperoleh keuntungan dari sistem ini, dia tetap saja
menentang sistem Fir'aun ini. Dia meninggalkan istana Fir'aun, dan memilih jadi
gembala orang tua Madyan. Dia kemudian diangkat menjadi nabi, dan sejak itu dia
resmi konflik dengan Fir'aun.
Ketika kanak-kanak,
Nabi Muhammad saw adalah seorang yatim, dan miskin sampai usia muda. Nabi saw
baru jadi berada setelah menikah dengan Khadijah as. Al-Qur'an mengatakan: Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
(QS. adh-Dhuhâ: 6, 8)
Menurut prinsip
materialisme sejarah, ketika Nabi saw jadi orang berada, semestinya Nabi saw
berubah menjadi seorang konservatif yang melegitimasi status quo. Namun selama
periode ini misi revolusionernya justru dimulai, dan Nabi saw menentang kaum
kapitalis, kaum penjarah dan kaum pemilik sahaya dari Mekah, dan memerangi
penyembahan berhala, simbol gaya hidup itu.
Tidak betul kalau semua
orang beriman, ahli tauhid dan revolusioner tauhid adalah dari kelas papa. Dari
kelas penindas ada juga orang yang belum atau tidak begitu rusak dan menentang
dirinya sendiri (bertobat) atau menentang kelasnya (revolusi). Tidak semua
orang tertindas beriman, juga tidak semua orang tertindas revolusioner tauhid.
Karena itu jelaslah bahwa tidak semua orang beriman adalah dari kelas
tertindas, juga tidak semua kelas tertindas adalah beriman. Tidak masuk akal
kalau mengklaim bahwa dua kelas ini setali tiga uang. Namun, memang kebanyakan
pengikut Nabi saw adalah dari kelas tertindas atau seudaknya dari kelas yang
tangannya belum tercemari penindasan. Begitu pula, kebanyakan penentang para
nabi adalah penindas.
Sekalipun fitrah yang
mempersiapkan fondasi untuk menerima risalah Tuhan dimiliki semua manusia,
namun kaum aristokrat penindas yang hidup mewah jadi begitu biasa dengan
eksistensi posisi mereka sehingga gaya hidup mereka ini menjadi perintang
mereka sendiri. Agar dapat menerima kebenaran, mereka perlu melepaskan diri
dari efek pencemaran yang ditimbulkan oleh harta dan takhta, meski sedikit
sekali yang berhasil. Kelas tertindas justru tidak terintangi seperti itu.
Dengan menerima kebenaran, bukan sekadar menjawab seruan fitrah mereka, mereka
juga mendapatkan kembali hak mereka yang hilang. Bagi mereka, beriman selain
merupakan tanda yang baik, juga merupakan kenikmatan. Namun betul kalau
mayoritas pengikut para nabi berasal dari kelas tertindas dan hanya sedikit
yang berasal dari kelas lain. Namun masalah apa yang diklaim sebagai sama itu
sama sekali tidak masuk akal.
Konsepsi Al-Qur'an
mengenai karakter hakiki sejarah beda dengan apa yang dikatakan oleh
prinsip-prinsip materialisme sejarah. Menurut Al-Qur'an, rohani itu dasar, dan
materi sama sekali tidak mendahului rohani. Eksistensi kebutuhan rohani dan
dorongan rohani dalam diri manusia tak bergantung pada kebutuhan materialnya.
Pikiran dan kerja adalah sama-sama fundamental. Personalitas psikis manusia
jauh lebih penting dibanding personalitas sosialnya. AVQur'an mempercayai
fundamentalitas fitrah manusia. Al-Qur'an berpendapat bahwa dalam diri setiap
manusia, sekalipun dia itu Fir'aun, ada manusia fitah, dan manusia fitrah ini
mungkin saja tertawan. Al-Qur'an berpandangan bahwa bagi manusia yang sangat
jahat sekalipun selalu ada kemungkinan untuk menuju arah yang benar dan
menerima kebenaran, meskipun kemungkinan ini kecil sekali. Itulah sebabnya para
nabi menyuruh menasihati dahulu kaum tiran agar berubah haluan dan mengajak
personalitas fitrah mereka untuk bangkit menentang personalitas sosial mereka
yang sangat keji. Dalam banyak kasus, upaya seperti itu memperoleh sukses.
Kesuksesan ini disebut tobat.
Pada tahap pertama
misinya, Nabi Musa diperintahkan untuk menemui Fir'aun dan mencoba membangunkan
fitrahnya yang terlelap. Nabi Musa baru boleh memerangi Fir'aun kalau upayanya
ini menemui kegagalan. Dari sudut pandang Musa, Fir'aun memenjarakan manusia
fitrah di dalam dirinya sendiri, dan memenjarakan banyak orang di luar sana.
Mula-mula Musa as menemui Fir'aun untuk memprovokasi tawanan batinnya, yaitu
Fir'aun fitrah atau apa pun yang tersisa dari dirinya, untuk memberontak
melawan Fir'aun sosial atau Fir'aun sebagaimana adanya dalam masyarakat. Allah
berfirman kepada Nabi Musa as:
Pergilah kamu kepada
Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada
Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari
kesesatan). Dan kamu akan kupimpin kejalan Tuhanmu agar kamu takut
kepada-Nya?" (QS. an-Nâzi'ât: 17-19)
Untuk tujuan membimbing,
Al-Qur'an mempercayai nilai dan efektivitas nasihat dan argumen logis (dalam
kata-kata Al-Qur'an sendiri, kearifan). Dari sudut pandang Al-Qur'an, nasihat
dan argumen logis dapat memperbarui manusia, mengubah haluan hidupnya, mengubah
kepribadiannya dan mewujudkan revolusi rohani dalam dirinya. Al-Qur'an tidak
percaya kalau peran ideologi itu terbatas, padahal menurut Marxisme dan
Materialisme peran memberi petunjuk sekadar menyadarkan orang akan kontradiksi
kelas saja.
Juga salah kalau
menyatakan bahwa Al-Qur'an ditujukan untuk orang kebanyakan yang setali tiga
uang dengan massa yang papa, dan bahwa risalah Islam ditujukan untuk kelas
tertindas saja, atau bahwa ideologi Islam adalah ideologi kaum tertindas, dan
penganut serta prajurit Islam hanya dari kalangan massa tertindas. Sesungguhnya
Islam ditujukan untuk "nâs", dan arti "nâs" adalah manusia
pada umumnya. Tidak ada kamus yang mengartikan "nâs" massa tertindas.
Kata ini juga tidak digunakan oleh orang Arab dalam pengertian itu.
Sesungguhnya kata ini tak ada arti kelasnya. Al-Qur'an mengatakan: Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia (nâs) terhadap Allah, yaitu bagi orang yang.
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Âli 'Imrân: 97)
Dapatkah kata
"nâs" dalam ayat ini berarti massa tertindas? Al-Qur'an banyak
menggunakan frase, "Ya ayyuhannâs". Kata-kata ini tidak ada yang
berarti massa yang papa. Kata-kata ini selalu digunakan untuk menyapa manusia
pada umumnya. Generalitas audiens Al-Qur'an lahir dari teori fitrah manusia
seperti disebutkan dalam Al-Qur'an.
Ketiga, ada klaim bahwa
menurut Al-Qur'an semua pemimpin, perintis dan syuhada hanya berasal dari
kalangan massa tertindas. Ini juga merupakan pandangan yang salah. Tidak masuk
akal kalau, dengan berdasarkan Surah al-Jumu'ah ayat 2, menyimpulkan bahwa Nabi
saw adalah dari kalangan umat dan bahwa umat berarti massa. Kata yang digunakan
dalam ayat ini adalah ummiyyin, bentuk jamak dari ummi, yang artinya adalah
buta aksara. Kata ini adalah kata sifat dari umm dan bukan dari ummah. Bahkan
kata ummah artinya adalah masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok, yang
sering saling berselisih. Artinya sama sekali bukan massa. Bahkan yang lebih
tidak masuk akal adalah mengutip ayat berikut ini untuk dijadikan argumen.
Terjadi salah tafsir (distorsi) sehingga artinya adalah, "Kami datangkan
dari setiap umat (massa) seorang saksi," (yaitu revolusioner). Lalu Kami
berkata: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, " (yaitu revolusioner yang
gugur di jalan Allah). (QS. al-Qashash: 75)
Pertama: Ayat ini mengikuti
ayat lain. Kedua ayat ini saling berhubungan dan berkenaan dengan
kejadian-kejadian pada Hari Kebangkitan. Ayat sebelumnya adalah: Hari ketika
Allah akan berseru kepada kaum tak beragama: "Di manakah sekutu-sekutu
yang kamu klaim (ada)?"
Kedua: Kata
"naza'na" dalam ayat ini artinya adalah "Kami cabut", bukan
"Kami datangkan".
Ketiga: Kata
"syahid” dalam ayat ini bukan berarti martir atau syuhada, artinya adalah
saksi. Menurut Al-Qur'an, setiap nabi adalah saksi atas perbuatan kaumnya.
Dalam Al-Qur'an tak ada satu contoh pun yang menggunakan kata
"syahid" dalam pengertian martir atau syuhada seperti yang umumnya
digunakan dewasa ini. Namun, dalam sabda Nabi saw dan para imam, kata itu
digunakan dalam pengertian ini. Namun dalam Al-Qur'an tidak demikian. Jadi,
jelaslah betapa ayat-ayat Al-Qur'an disalahtafsirkan untuk kepentingan
melegitimasi konsepsi sesat Marx.
Keempat: Perlu
diketahui tujuan para nabi. Apakah tujuan pertama dan utama mereka adalah
menegakkan keadilan dan mewujudkan perilaku tercerahkan, atau menciptakan
ikatan iman dan pengetahuan spiritual antara manusia dan Allah, atau mewujudkan
keduanya? Dengan kata lain, apakah para nabi bersikap ganda berkenaan dengan
tujuan mereka, atau adakah kemungkinan lain? Masalah ini sudah dibahas ketika
membicarakan topik Kenabian, dan karena itu tidak perlu dibahas lagi di sini.
Di sini yang ditelaah hanyalah metode yang digunakan para nabi untuk mencapai
tujuan mereka. Seperti sudah ditunjukkan ketika membahas tauhid praktis, para
nabi mengerahkan segenap upaya mereka bukan untuk membebaskan manusia dari
dalam dan memutuskan hubungan manusia dengan hal-hal lain seperti diklaim kaum
sufi, juga tidak untuk meningkatkan dan memodifikasi hubungan keluarnya seperti
diklaim beberapa mazhab lain. Dengan ringkas Al-Qur'an mengatakan: Marilah
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia
dengan apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah. (QS. Âli 'Imrân: 64)
Sekarang masalahnya
adalah apakah kerja para nabi dimulai dari dalam atau dari luar. Apakah para
nabi mula-mula berupaya mewujudkan revolusi rohaniah dengan cara membentuk iman
dan antusiasme spiritual, baru kemudian membangkitkan orang-orang yang sudah
siap pikiran dan emosinya untuk menegakkan tauhid sosial, melakukan pembaruan
sosial dan menegakkan keadilan sosial. Ataukah para nabi mula-mula menaruh
perhatian pada masalah-masalah keadilan sosial dan membangkitkan prang-orang
seperti itu untuk melenyapkan kemusyrikan sosial dan diskriminasi sosial, dan
baru kemudian menanamkan iman serta kebajikan doktrin dan moral.
Kalau metode para
nabi ini sedikit kita kaji, maka akan kelihatan bahwa tak seperti para pembaru,
para nabi dan imam mengawali dengan menanamkan iman, keyakinan dan kesungguhan
jiwa, dan mengingatkan orang akan awal dan tujuan ras manusia. Masalah ini akan
jadi jelas kalau kita telaah urutan turunnya Surah-surah dan ayat-ayat
Al-Qur'an, dan kalau kita kaji masalah-masalah yang menjadi perhatian Nabi saw
selama misi 13 tahun di Mekah dan misi 10 tahun di Madinah.
Kelima: Wajar saja
kalau penentang para nabi pada umumnya berpandangan konservatif. Namun dari
Al-Qur'an tak dapat disimpulkan bahwa tanpa kecuali para penentang tersebut
berpandangan seperti itu, atau bahwa semuanya dari kelas berada kaum
pengeksploitasi. Yang dapat disimpulkan dari Al-Qur'an adalah bahwa
konservatisme merupakan logika pemimpin para penentang nabi. Tak dapat dipungkiri
mereka adalah aristokrat yang angkuh dan, dalam kata-kata Marx, karena
menguasai barang-barang material dalam masyarakat, mereka juga memberikan
barang-barang intelektual kepada orang lain. Juga wajar saja kalau logika para
nabi adalah logika dinamisme, nalar dan menganggap tak penting adat dan
kebiasaan lama. Namun pola pikir mereka bukanlah hasil tak terelakkan dan
refleksi dari rasa kepapaan mereka, melainkan lahir akibat fakta bahwa mereka
adalah manusia sempurna, pikiran dan sentimen mereka sepenuhnya matang. Nanti
akan ditunjukkan bahwa kalau manusia mencapai kematangan sisi manusiawinya,
maka ketergantungannya pada lingkungan alamnya, atmosfer sosialnya, dan kondisi
materialnya tereduksi, dan dia pun lalu tak tergantung semua itu. Pola pikir mandiri
para nabi menuntut mereka untuk tidak terikat tradisi dan adat lama, dan untuk
membebaskan manusia dari taklid butanya.
Keenam: Perkataan
mengenai Surah al-Qashash ayat 5 juga tak dapat diterima, karena beberapa ayat
lain berbeda penggambarannya mengenai nasib sejarah, dan secara sambil lain
menjelaskan evolusi sejarah. Meskipun arti ayat ini dianggap persis seperti apa
yang telah dinyatakan, namun ayat dijelaskan lebih lanjut oleh ayat-ayat lain.
Pada dasamya ayat ini tidak merumuskan norma universal, karena itu tak perlu
menjelaskannya ketika membandingkannya dengan ayat lain. Sesungguhnya ayat ini
berkaitan erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Dan jika ketiga ayat ini
dilihat sebagai satu kesatuan, maka sangat jelas bahwa dalam ayat ini tak disebut-sebut
norma universal. Menurut kami, tepat kalau melihat ayat ini dalam dua bagian.
Pada bagian pertama, kami akan melihatnya terlepas dari ayat sebelum dan
sesudahnya, dengan anggapan ayat itu secara sendirian merumuskan norma
universal sejarah. Kemudian kami akan membandingkannya dengan ayat-ayat lain,
yang dari ayat-ayat ini dirumuskan norma sejarah yang sebaliknya, dan melihat
apa yang dapat disimpulkan dari semua ayat itu kalau disatukan. Pada bagian
kedua akan ditunjukkan bahwa pada dasarnya ayat ini tidak menyebutkan norma
sejarah apa pun sebagaimana yang diklaim.
Bagian pertama: Dalam beberapa ayat,
Al-Qur'an menyebut evolusi sejarah, dan mengatakan bahwa nasib sejarah adalah
kemenangan final iman atas kekufuran, kesalehan atas ketidak-bermoralan, kebajikan
atas kerusakan, dan amal saleh atas perbuatan dosa. Dalam ayat berikut ini
terbaca:
Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akun menuhar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (QS.
an-Nûr: 55)
Dalam ayat ini janji
kemenangan final dan suksesi di muka bumi diberikan kepada orang-orang beriman
yang beramal saleh. Tak seperti aval dalam Surah al-Qashash, dalam ayat ini
titik beratnya adalah pada kebajikan moral dan ideologis, bukan pada
keterlindasan. Sesungguhnya dinyatakan bahwa kemenangan final merupakan
kemenangan iman dan perilaku tertentu. Dengan kata lain, kemenangan final
merupakan kemenangan orang yang beriman, lurus dan beramal saleh. Dalam
kemenangan final ini dijanjikan tiga hal. Yang pertama adalah suksesi yang
berarti orang beriman berkuasa dan kekalahan final orang yang berkuasa pada
masa itu. Yang kedua adalah nilai-nilai moral dan sosial seperti keadilan,
kesalehan, keberanian, pengorbanan diri, cinta, kesungguhan dan penyucian diri
menjadi kenyataan aktual. Hal ketiga yang dijanjikan adalah penafian terhadap
setiap bentuk kemusyrikan, entah yang berkaitan dengan ibadah atau ketaatan.
Al-Qur'an mengatakan: Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan
kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah.
Dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan
hesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-A'râf:
128). Dan sungguk telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam)
Lauh al-Mahfuzh bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS.
al-Anbiyâ': 105)
Juga ada ayat-ayat
lain mengenai pokok masalah ini. Apakah ayat tentang suksesi (Surah an-Nûr)
atau ayat tentang penindasan (Surah al-Qashash) kita anggap sebagai hujah?
Mungkinkah dikatakan bahwa sekalipun arti dua ayat itu berbeda, namun kedua
ayat itu tetap menggambarkan kebenaran yang sama, karena kaum beriman dan kaum
saleh setali tiga uang dengan kaum tertindas, sebab keadaan tertindas merupakan
simbol sosial dan kelas mereka, sedangkan kesalehan merupakan simbol ideologis
mereka? Tentu saja tidak!
Sudah dibuktikan
sebelumnya bahwa teori yang menyebutkan bahwa apa yang disebut suprastruktur,
seperti iman, kebajikan dan kesalehan dapat disamakan dengan ketertindasan dan
kepapaan, adalah salah, bila dilihat dari sudut pandang Al-Qur'an. Menurut
Al-Qur'an, mungkin saja beberapa kelompok beriman, meski mereka tidak
tertindas. Juga mungkin saja beberapa kelompok lain tertindas, namun mereka
tidak beriman. Al-Qur'an menyebutkan dua golongan ini secara terpisah. Namun,
seperti sudah ditunjukkan sebelumnya, bila dalam sebuah masyarakat yang
didominasi kelas disodorkan sebuah ideologi berbasis nilai-nilai ilahiah
seperti keadilan, pengorbanan diri dan kemurahan hati, tentu saja kaum
tertindasnya yang paling banyak menerima ideologi seperti itu, karena mereka lidak
menghadapi kendala seperti yang ada dalam karakter asasi kelas lain. Meskipun
demikian itu tidak berarti bahwa semua orang beriman adalah dari kelas
tertindas.
Kedua ayat ini
menunjukkan mekanisme lain sejarah. Ayat dalam Surah al-Qashash itu menggambarkan
progresi sejarah sebagai perang kelas di mana semangat kaum penindas selalu
reaksioner, sedangkan semangat kaum tertindas pada dasarnya revolusioner.
Pergulatan sebagai norma ini puncaknya adalah kemenangan kaum tertindas, entah
mereka beriman dan beramal saleh, seperti pengertian Al-Qur'an, atau tidak.
Misalnya, kata "tertindas" mencakup semua orang tertindas, termasuk
yang di Vietnam, Kamboja dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa ayat ini membela
hak semua orang tertindas, dan mengindikasikan prinsip keadilan Tuhan: Janganlah
sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orangyang zalim. (QS. Ibrâhîm: 42)
Semua kasus di mana
kaum tertindas dianugerahi atau akan dianugerahi tongkat kepemimpinan dan
mewarisi atau akan mewarisi bumi, merupakan perwujudan keadilan Tuhan. Adapun
ayat yang berkaitan dengan istikhlâf (suksesi, QS. an-Nûr: 55) dan ayat-ayat
lain yang serupa, menjelaskan mekanisme lain yang berlaku dalam sejarah sebagai
proses alamiah. Norma yang menggambarkan mekanisme ini lebih luas ruang
lingkupnya dibanding norma keadilan Tuhan, sekalipun norma tersebut mencakup
juga prinsip keadilan Tuhan.
Menurut mekanisme
yang disebutkan ayat ini dan beberapa ayat lain, selain banyak jenis perjuangan
yang terjadi di dunia ini yang motivasinya keuntungan material, selalu saja ada
perjuangan yang motivasinya bukan keuntungan material. Perjuangan seperti ini
murni demi Allah, dan selalu dilakukan oleh para nabi dan, sepeninggal mereka,
oleh pengikut mereka. Perjuangan ini saja yang membuat manusia mempcroleh
kemajuan di bidang budaya, dan tepat kalau disebut perjuangan kebenaran melawan
kepalsuan. Perjuangan ini telah membuat sejarah manusia dan spiritualitasnya
memperoleh kemajuan. Alasan mama perjuangan ini bukan tekanan kelas lain.
Alasannya adalah kecenderungan fitri manusia kepada keadilan dan kebenaran,
untuk mendapatkan pengetahuan tentang sistem eksistensi dan untuk membangun
masyarakat seperti yang seharusnya.
Bukan rasa kepapaan
yang membuat manusia memperoleh kemajuan, melainkan hasrat naluri alamiahnya
untuk meraih kesempurnaan yang mendorongnya membuat kemajuan. Kemampuan
hewaniah manusia tetap tak mengalami perubahan sejak awal sejarah. Kemampuan
tersebut tidak berkembang dan juga tidak dapat berkembang lebih jauh. Namun
kemampuan insaniah manusia masih terus mengalami perkembangan gradual. Di masa
mendatang, lebih daripada sekarang, manusia diperkirakan akan membebaskan
dirinya dari belenggu ekonomi dan materialnya, dan semakin condong kepada iman
dan agama. Perjuangan material, ekonomi dan kelas tidak membuat sejarah
memperoleh kemajuan. Perjuangan ideologis, doktrinal dan keagamaan sajalah yang
membuat sejarah memperoleh kemajuan. Ini merupakan mekanisme alamiah evolusi
manusia, dan inilah yang dimaksud dengan kemenangan final orang-orang yang
berbuat kebaikan, yang menunjukkan kelurusan moral dan yang berjuang demi
kebenaran.
Dalam kemenangan ini
ada segi ilahiahnya. Segi ilahiah ini berupa perwujudan rahmat Allah dan
dukungan-Nya yang menuntut adanya evolusi segala sesuatu, sedangkan keadilan
ilahiah hanya menghendaki adanya kompensasi. Segi ilahiah ini berkembang
sepanjang sejarah dan akan mencapai tahap akhirnya pada akhir sejarah. Dengan
kata lain, kabar baik yang diberikan dalam Al-Qur'an adalah tentang datangnya
rahmat dan dukungan Allah, dan bukan semata-mata tentang datangnya kuasa Tuhan
dan pembalasan.
Kita tahu bahwa kedua
ayat tersebut di atas (dan ayat-ayat lain yang serupa) masing-masing memiliki
logika khasnya sendiri. Ayat yang satu berbicara tentang kelas yang memperoleh
kemenangan, dan ayat yang lain tentang jalan yang harus ditempuh sejarah untuk
sampai pada tahap kemenangan itu. Ayat yang satu menggambarkan mekanisme yang
menggerakkan sejarah, dan ayat yang lain menggambarkan segi ilahiah dari sejarah,
yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah. Kedua ayat ini masing-masing
memiliki logika khasnya sendiri. Juga jelas bahwa ayat 55 Surah an-Nûr lebih
terperinci mengenai hasil-hasilnya dibanding ayat 5 Surah al-Qashash. Yang
didapat manusia, menurut ayat kedua, hanyalah sebagian dari yang didapatnya
menurut ayat pertama. Surah al-Qashash hanya menunjukkan bahwa Allah SWT
menolong kaum tertindas, sedangkan Surah an-Nur bicara tentang beberapa karunia
lain yang dianugerahkan-Nya kepada kaum beriman.
Bagian kedua: Mengenai bagian kedua
dari pembahasan ini, fakta menunjukkan bahwa ayat 5 Surah al-Qashash tidak
merumuskan norma atau prinsip universal. Konsekuensinya, ayat itu tidak
menjelaskan progresi sejarah, juga tidak menggambarkan mekanismenya. Ayat itu
tidak menyebutkan bahwa kaum tertindas akan memperoleh kemenangan hanya karena
mereka tertindas. Terjadinya anggapan yang keliru bahwa ayat ini menyebutkan
prinsip universal, karena ayat ini, yang berkaitan dengan ayat sebelum dan
sesudahnya, dikeluarkan dari konteksnya. Lalu, kata "alladzina" dalam
ayat ini diartikan "semua yang", dan dari situ kemudian diturunkan
sebuah prinsip atau norma. Mari kita bahas ketiga ayat ini:
Sesungguhnya Fir'aun
telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah
belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki
mereka dan membiarkan hidup anah-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun
termasuk orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberikan karunia
kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan
akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan
kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan
dari mereka itu. (QS. al-Qashash: 4-6)
Ketiga ayat ini
saling berkaitan, dan semuanya kalau disatukan menceritakan satu kisah. Ketiga
ayat ini dihubungkan dengan kata penghubung, karena itu ketiganya tidak dapat
dipisah-pisahkan. Lagi pula, ayat ketiga selain menggambarkan nasib Fir'aun,
yang keangkuhannya disebutkan dalam ayat pertama, juga melengkapi ayat pertama
dan tak dapat dipisahkan dari ayat pertama.
Seandainya ayat
ketiga tidak ada, atau seandainya nasib Fir'aun tidak disebutkan, tentu mungkin
saja memisahkan ayat kedua dari ayat pertama dan memandang ayat kedua sebagai
gambaran tersendiri mengcnai sebuah prinsip atau norma umum. Namun hubungan tak
terpisahkan antara ketiga ayat ini menyingkirkan kemungkinan seperti itu. Kalau
dilihat dari bentuknya, arti ayat-ayat ini adalah bahwa Fir'aun mengagungkan
dirinya sendiri, memecah belah rakyatnya dan menindas scbagian dari mereka.
Allah hendak menolong mereka yang ditindas olehnya dan menjadikan mereka
pemimpin dan pcwaris. Karena itu kata garni penghubung dalam ayat kedua hanya
menggambarkan kaum tertentu, bukan semua orang pada umumnya.
Ada poin lainnya.
Ayat ini mengatakan: "Kami hendak mengunugerahkan kepada (menolong) mereka
dan menjadikan mereka pemimpin.'" Ayat ini tidak mengatakan: "Kami
hendak menolong mereka dengan menjadikan mereka pemimpin." Dengan kata
lain, ada dua kalimat yang berdiri sendiri dan kemudian digabungkan dengan kata
penghubung. Karena itu arti ayat ini adalah: "Kehendak Kami adalah menolong
kaum tertindas dengan mengutus seorang nabi yang membawa sebuah Kitab Suci
kepada mereka, dengan mendidik mereka dan dengan menanamkan agama tauhid dalam
diri mereka. Dan sebagai hasilnya, kehendak Kami adalah menjadikan mereka
pemimpin dan pewaris bumi (mereka sendiri)." Meskipun ayat ini mengenai
kasus tertentu, namun kasus ini termasuk kasus yang disebutkan ayat 55 Surah
an-Nûr. Terlepas dari semua itu, tidaklah logis kalau beranggapan ayat ini
mengatakan bahwa Bani Isra'il akan dijadikan pemimpin semata-mata karena mereka
tertindas, tak soal apakah ada seorang nabi yang diutus kepada mereka atau
tidak, dan tak soal apakah mereka menerima atau menolak ajaran nabi itu.
Para pendukung teori
materialisme sejarah dari sudut pandang Islam dapat mengemukakan poin lain dan
mengatakan bahwa budaya Islam, kalau dilihat dari semangatnya, adalah budaya
kelas tertindas, atau budaya kelas penindas, atau budaya keduanya. Jika itu
adalah budaya kelas tertindas, tentu warnanya adalah warna kelas tertindas,
yang ditujunya tentu kaum tertindas, dan misinya serta orientasinya tentu di
seputar mereka. Jika budaya Islam adalah budaya kelas penindas, seperti klaim
unsur-unsur anti-Islam, bukan saja karakter budaya itu tentu karakter kelas
penindas dan tentu berkisar di seputar kelas penindas, namun juga tentu
reaksioner, anti-kemanusiaan, dan jahat.
Tentu saja tak ada
seorang Muslim pun yang mau menerima proposisi seperti itu. Lagi pula, ciri
khas budaya Islam adalah saksi atas budaya lain. Mengatakan bahwa budaya Islam
adalah budaya kaum tertindas dan kaum penindas, sama saja dengan mengatakan
bahwa budaya Islam adalah budaya yang cuek, tak ada hubungannya dengan
masyarakat, dan tidak bertanggung jawab, yang mempercayai scrahkan pekerjaan
Allah kepada Allah, dan pekerjaan Kaisar kepada Kaisar—sebuah budaya yang tak
peduli dengan baik dan buruk, kaum penindas dan kaum tertindas, kaum
pengeksploitasi dan kaum tereksploitasi, dan memperlakukan sama terhadap mereka
sernua. Praktiknya budaya seperti itu budaya konservatif dan menguntungkan kaum
penindas dan kaum pengeksploitasi. Jika dalam konflik sosial antara si penindas
dan si tertindas, sebagian orang menganut kebijakan netral tak bertanggung
jawab, mereka praktis mendukung pihak yang tak peduli dan netral, maka praktis
itu adalah budaya kaum penindas. Karena itu, kalau dilihat fakta bahwa budaya
Islam tidak netral dan tidak cuek, juga tidak mendukung kaum penindas, maka
budaya Islam harus dianggap sebagai budaya kaum tertindas. Tujuannya, misinya
dan orientasinya harus dilihat dari sudut ini.
Namun, tesis ini
mutlak salah. Menurut kami, ada dua alasan kenapa sebagian intelektual Muslim
condong kepada materialisme sejarah. Pertama, mereka beranggapan bahwa budaya
Islam adalah budaya revolusioner, karena itu menurut mereka kecondongan mereka
kepada materialisme sejarah adalah tak terelakkan. Argumen lain seperti bahwa
Al-Qur'an mengindikasikan begini atau begitu, atau bahwa ini adalah makna yang
dapat dipetik dari Al-Qur'an atau ayat tertentunya, hanyalah dalih untuk
melegitimasi konsepsi itu. Di sinilah para intelektual ini meninggalkan pola
pikir Islam dan menyederhanakan logika Islam yang manusiawi, realistis dan
religius menjadi sekadar logika materialistis.
Para intelektual ini
berpandangan bahwa sebuah budaya bisa revolusioner kalau perhatiannya khusus
kepada kaum papa dan kaum tertindas, orientasinya adalah kelas ini dan semua
pemimpinnya adalah dari kelas ini. Hubungannya dengan kelas lain bisa berupa
hubungan permusuhan, antagonisme dan konflik saja.
Para intelektual ini
beranggapan bahwa tujuan perjalanan budaya revolusioner adalah perut, dan bahwa
semua revolusi besar sejarah, termasuk revolusi yang diwujudkan para nabi,
adalah revolusi perut dan untuk perut. Para intelektual ini menjadikan Abu Dzar
yang agung, seorang arifnya umat, yang tulus beribadah kepada Allah, penganjur
kebaikan, dan prajurit heroik yang berjuang demi Allah, semata-mata seorang
Abuzar yang hanya peduli dengan perutnya saja dan merasa bukan saja tepat namun
juga harus berjuang demi perut. Bahkan sifat Abu Dzar yang paling hebat,
menurut para intelektual ini, adalah dia tahu betapa pedihnya lapar itu, karena
dia sendiri mengalami rasa sakiinya lapar. Dia mengembangkan kebencian terhadap
orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya situasi yang menyebabkan
kelaparan, dan karena itu terus-menerus berjuang melawan mereka. Luqmannya umat
Muslim ini, arifnya agama tauhid ini, prajurit setia Islam ini, dan manusia
hebat ini yang merupakan orang kedua yang masuk Islam, diturunkan derajatnya
menjadi sekadar seorang materialistis.
Para intelektual ini
mengira bahwa, seperti anggapan Marx, revolusi dapat terjadi hanya kalau ada
gerakan massa yang memberontak. (Andre Peter, Marx and Marxism)
Mereka tak dapat
membayangkan bahwa sebuah budaya, sebuah mazhab, sebuah ideologi, yang
tujuannya adalah kebenaran, yang ditujukan kepada fitrah manusia, yang pesannya
universal dan yang berorientasi kepada keadilan, kesucian, spiritualitas,
cinta, kemurahan hati dan perjuangan melawan kezaliman, dapat melahirkan
gerakan dan revolusi yang hebat—revolusi insaniah yang penuh dengan rahmat
Allah, cahaya spiritual dan nilai-nilai manusiawi, sekalipun kita telah
berulang kali menyaksikan contoh-contohnya dalam sejarah. Revolusi Islam itu
sendiri merupakan contoh cemerlang revolusi seperti ini.
Para intelektual ini
tidak dapat memahami bahwa karena suatu budaya bertanggung jawab dan tidak
boleh berpandangan netral, maka tidak boleh lahir dari kelas tertindas. Menurut
mereka, budaya yang lengkap tentunya netral dan tidak berpihak. Mereka tidak
dapat membayangkan bahwa mazhab yang lengkap atau budaya yang lengkap yang
basisnya ilahiah dan yang ditujukan untuk fitrah manusia, mustahil tidak
bertanggung jawab, tidak peduli dan tidak berpihak, dan ketaatan kepada Allah
dan ke-setiaan kepada hati nuranilah yang membentuk tanggung jawab dan
komitmen, bukan kesetiaan kepada kelas tertindas. Inilah salah satu alasan
utama kesalahpahaman para intelektual ini mengenai hubungan antara Islam dan
revolusi.
Alasan fundamental
lain kenapa mereka salah paham, supaya dicari dalam hubungan antara Islam dan
orientasinya. Para intelektual ini jelas-jelas melihat dalam interpretasi
Al-Qur'an mengenai gerakan-gerakan suci adanya suatu kecenderungan kuat para
nabi untuk melindungi kepentingan kaum tertindas. Pada saat yang sama, dari
sudut pandang para intelektual ini, prinsip Marxis mengenai keselarasan kondisi
ekonomi suatu kaum dengan orientasi mereka, atau basis sosial mereka di satu
pihak dengan basis doktrinal dan praktis di pihak lain, merupakan fakta yang
tak dapat dipungkiri. Dari dua premis ini mereka berkesimpulan bahwa karakter
sejarah tentunya materialistik, dan ekonomi tentunya mempakan landasan struktur
sosial.
Dari uraian sejauh
ini jelaslah bahwa Al-Qur'an mempercayai prinsip kondisi sejati fitrah manusia,
dan berpandangan bahwa kehidupan manusia diatur oleh logika kondisi ini. Yang
bertentangan sekali dengan logika ini adalah logika keuntungan, yaitu logika
manusia yang turun derajatnya ke derajat hewan. Islam tidak mempercayai teori
keselarasan antara basis ekonomi dan basis doktrinal. Islam memandang teori ini
tidak manusiawi, dalam arti bahwa itu hanya berlaku untuk manusia yang belum
mencapai derajat manusia. Logika manusia seperti ini saja yang mempakan logika
keuntungan. Mengenai mereka yang terlatih moral dan intelektualnya, logika
mereka adalah logika kondisi sejati fitrah.
Mubazir saja kalau
mengatakan bahwa orientasi Islam adalah melindungi kepentingan kelas tertindas.
Sesungguhnya Islam berorientasi kepada keadilan dan keseimbangan, meski tentu
saja kelas tertindaslah yang terutama memperoleh manfaat dari orientasi ini,
dan kelas penindaslah yang dirugikan orientasi ini.
Bahkan kalau Islam
hendak melindungi hak dan kepentingan kelas tertentu, tujuan utamanya adalah
mewujudkan sebuah nilai dan fondasi bagi sebuah prinsip manusiawi. Di sinilah
sekali lagi jadi jelaslah luar biasa pentingnya prinsip kondisi sejati fitrah
manusia, yang dengan jelas disebutkan dalam Al-Qur'an dan yang dalam ilmu Islam
dipandang sebagai prinsip paling penting.
Prinsip ini sudah
banyak dibicarakan, namun yang kurang diperhatikan adalah kedalaman dan
dimensi-dimensinya. Pada umumnya yang terlihat adalah bahwa orang bicara
tentang fitrah manusia, namun mereka kurang memperhatikan dimensi luas prinsip
ini, akhirnya pandangan mereka pun sangat bertentangan dengan prinsip ini.
Contoh mengerikan mengenai salah paham seperti ini adalah salah pandangan
mengenai asal-usul agama. Sejauh ini sudah dibahas karakter esensial dan
asal-usul fenomena sejarah dari sudut pandang agama (khususnya Islam). Kini
akan dibahas agama iiu sendiri sebagai fenomena sosio-historis, yang selalu
eksis sejak awal sejarah, dan akan dijelaskan asal-usul dan orientasinya. Sudah
berulang-ulang disebutkan bahwa teori materialisme sejarah inclahirkan prinsip
Marxis. Menurut prinsip ini tentu ada keselarasan antara kondisi yang
melahirkan sebuah budaya dan orientasi budaya itu.
Ada sebuah prinsip
yang, menurut kaum sufi dan teosof, berlaku pada semua sistem yang bekerja di
alam semesta. Prinsip ini mengatakan, "Tujuan kembali ke asal."
Maulana Rumi berkata:
Bagian mau tak-mau
menuju ke keseluruhan,
Burung bulbul
terpesona wajah mawar,
Yang dari laut,
kembali ke laut,
Dan segalanya kembali
ke sumbernya,
Bak gelombang demi
gelombang yang tersembur dari puncak gunung,
Jiwaku yang terbakar
cinta, gelisah ingin bebas dari jasad.
Kaum Marxis
menyebutkan prinsip yang sama berkenaan dengan masalah intelektual, filosofis
dan keagamaan, dan akhirnya menerapkannya pada fenomena budaya dan sosial juga.
Kaum Marxis mengatakan bahwa setiap konsepsi berorientasi ke arah asal-usulnya.
Ini nyaris setali tiga uang dengan konsepsi yang menyebutkan bahwa tujuan atau
akhir kembali ke asal-usulnya. Kaum Marxis mengatakan bahwa tak ada konsepsi,
agama atau budaya, entah berpihak atau tidak berpihak, yang tujuannya adalah
meningkatkan posisi sosial kelas lain selain kelas yang melahirkannya. Menurut
mazhab ini, sctiap kelas ada warna berpikir dan selera khususnya sendiri.
Itulah sebabnya dalam masyarakat yang didominasi kelas selalu ada dua jenis
penyakit, dua pola pikir filosofis, dua sistem moral, dua gaya seni dua jenis
sastra dan puisi, dua pandangan hidup, dan terkadang bahkan dua jenis
pengetahuan. Karena ada dua bentuk infrastruktur dan hubungan milik, maka semua
hal ini terbagi menjadi dua bentuk dan dua sistem.
Marx sendiri
berpendapat bahwa ada dua kekecualian untuk sistem dua lapis ini, yaitu agama
dan pemerintah. Menurut Marx, agama dan pemerintah ini khusus diciptakan oleh
kelas peng-eksploitasi, dan merupakan metode khusus untuk melakukan
eksploitasi. Tentu saja agama dan pemerintah orientasinya adalah keuntungan
kelas yang menciptakannya. Kelas tereksploitasi, karena posisinya, tidak
melahirkan agama dan pemerintah. Agama dan pemerintah dipaksakan atas mereka
oleh kelas pcngeksploitasi. Itulah sebabnya tak ada dua sistem agama atau
pemerintah. Sebagian intelektual Muslim berpendapat bahwa, beda dengan
pandangan Marx, sesungguhnya ada dua sistem agama. Menurut mereka, karena dalam
masyarakat yang didominasi kelas ada dua sistem moral, seni, sastra dan masalah
budaya lainnya, dan setiap sistem ada asal-usul dan orientasinya sendiri, yang
satu dari kelas penguasa dan yang satunya lagi dari kelas rakyat, rnaka selalu
ada dua sistem agama dalam masyarakat. Yang satu adalah agama kelas penguasa
dan yang satunya lagi agama rakyat.
Agama penguasa adalah
agama kemusyrikan, sedangkan agama rakyat adalah agama tauhid. Agama penguasa
adalah agama diskriminasi, sedangkan agama rakyat adalah agama keseimbangan.
Agama penguasa adalah agama yang melegitimasi situasi yang ada, sedangkan agama
rakyat adalah agama revolusi yang mengecam situasi yang ada. Agama penguasa
adalah agama stagnasi, sedangkan agama rakyat adalah agama perlawanan, agitasi
dan protes. Agama penguasa adalah candu masyarakat, sedangkan agama rakyat
adalah obat kuat masyarakat.
Karena itu teori Marx
bahwa orientasi agama selalu kepada kepentingan kelas penguasa dan merugikan
kepentingan rakyat sedangkan agama adalah candu masyarakat, baru benar kalau untuk
agama yang berasal dari kelas penguasa, meskipun ada suatu masa ketika agama
penguasa praktis satu-satunya agama yang ada. Di pihak lain, teori ini tidak
benar untuk agama rakyat, yaitu agama para nabi, meskipun agama ini tidak
mendapat kesempatan dari sistem yang berkuasa untuk dominan dan sukses.
Beginilah para
intelektual ini berupaya menyangkal atau menentang teori Marxis yang mengatakan
bahwa orientasi agama selalu untuk kepentingan kelas penguasa. Para intelektual
ini beranggapan bahwa dengan demikian mereka membuktikan kesalahan Marxisme,
namun mereka tidak sadar bahwa sekalipun perkataan mereka bertentangan dengan
pandangan pribadi Marx, Engels, Mao dan tokoh Marxis lainnya, namun tetap
merupakan interpretasi Marxis dan materialis mengenai agama. Yang mengejutkan,
mereka tidak memperhatikan poin ini. Mereka mengira bahwa agama rakyat juga ada
asal-usul kelasnya, dan dengan demikian tanpa disadari mereka menerima teori
keselarasan antara asal-usul fenomena budaya dan orientasinya. Dengan kata lain,
mereka menerima teori materialitas agama. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa
bertentangan dengan pandangan Marx dan kaum Marxis, mereka berpendapat bahwa
bisa ada agama yang lahir dari kalangan kelas tereksploitasi dan papa dan yang
orientasinya adalah kepentingan kelas ini. Jadi meskipun mereka mampu menemukan
teori yang menarik mengenai orientasi agama rakyat, namun mereka mempercayai
materi dan kelas sebagai sumber agama.
Lantas bagaimana
kesimpulan pandangan para intelektual ini? Kesimpulannya adalah bahwa agama
penguasa, yaitu agama kemusyrikan, adalah satu-satunya agama historis, yang
perannya dalam kehidupan tak dapat dipungkiri, karena kekuatan sejarah
mendukung penguasa dan kekuatan politik-ekonomi ada di tangan penguasa. Dalam
keadaan seperti ini hanya agama penguasa sajalah yang bisa tegak dan dominan.
Adapun agama tauhid, agama ini tak mungkin tegak dan konkret bentuknya.
Konsekuensinya, agama ini tak dapat memainkan peran historis dalam masyarakat,
karena suprastruktur tak mungkin mendahului infrastruktur.
Karena itu gerakan
tauhid para nabi dipastikan gagal. Para nabi mendakwahkan agama keseimbangan,
namun segera agama kemusyrikan yang berkedok tauhid mendistorsi ajaran para
nabi. Agama kemusyrikan bukan saja justru terus tumbuh berkembang, namun juga
semakin kuat dibanding sebelumnya dan semakin aktif menganiaya kaum papa.
Meskipun para nabi berupaya menyiapkan roti untuk masyarakat, sebenarnya mereka
diperalat oleh lawan mereka untuk mengalungkan tali di leher kaum tertindas dan
kaum tereksploitasi. Yang ingin dicapai para nabi dengan ajaran mereka tak
terwujud, dan yang terwujud ternyata bukan yang mereka kehendaki. Dalam
kata-kata faqih, yang dikehendaki ternyata tidak terjadi, sedangkan yang
terjadi ternyata yang tidak dikehendaki.
Unsur-unsur
materialis dan anti-agama mengklaim bahwa agama adalah candu masyarakat. Agama
adalah narkotik dan penyebab stagnasi. Agama melegitimasi tirani dan
diskriminasi, dan melestarikan kebodohan. Klaim ini baru benar kalau untuk
agama penguasa, yaitu agama kemusyrikan, yang adalah agama diskriminasi dan
yang dominan dalam sejarah. Namun salah kalau untuk agama sejati, agama tauhid,
yaitu agama kaum tertindas, yang selalu tersingkir dari gelanggang kehidupan
dan sejarah. Satu-satunya peran yang dapat dimainkan agama rakyat adalah
mengkritik dan mengutuk. Posisinya adalah sebagai pihak minoritas di devvan
legislatif. Pihak mayoritas adalah sebagai pemerintah, melaksanakan program dan
rencananya. Namun pihak minoritas, meskipun progresif, tak dapat berbuat apa-apa
selain mengkritik kebijakan pihak mayoritas dan mengajukan keberatan. Pihak
mayoritas tak memperhatikan kritik ini. Pihak mayoritas mengatur masyarakat
sekehendaknya, dan terkadang menggunakan kritik pihak minoritas untuk
memperkuat posisinya sendiri. Tanpa kritik ini, pihak mayoritas akan hancur
karena tekanan terus-menerus dari pihak lawan. Namun kritik dari pihak
penentang malah menjadi tanda peringatan bagi pihak mayoritas, sehingga pihak
mayoritas dapat mengambil langkah yang tepat untuk semakin memperkuat
posisinya.
Tesis di atas juga
tidak benar, baik menyangkut analisisnya mengenai karakter hakiki kemusyrikan
dan tauhid, maupun menyangkut peran dua ideologi ini seperti yang tergambar
dalam sejarah. Tak mungkin dipungkiri bahwa agama tertentu selalu eksis di
dunia, entah itu agama tauhid atau kemusyrikan. Bahkan dua agama ini hidup
berdampingan. Mengenai apakah agama kemusyrikan atau agama tauhid yang pertama
ada, kaum sosiolog berbeda pandangan. Kebanyakan sosiolog berpendapat bahwa
pada awalnya yang ada hanya agama kemusyrikan saja. Berangsur-angsur
gagasan-gagasan keagamaan berkembang dan manusia sampai pada tahap tauhid.
Namun ada juga sosiolog yang berpandangan sebaliknya.
Tradisi keagamaan dan
beberapa doktrin keagamaan juga mendukung teori kedua. Namun, mengapa agama
kemusyrikan muncul juga? Apakah agama seperti ini rekayasa para lalim untuk
melegitimasi tirani mereka dan kebijakan diskriminasi mereka, ataukah ada
alasan lain mengapa ada agama seperti ini? Kebanyakan pakar menyebutkan alasan lain,
karena mustahil menganggap kemusyrikan sebagai semata-mata akibat diskriminasi
sosial. Bahkan semakin tidak ilmiah kalau menggambarkan agama tauhid sebagai
dalih kelas papa untuk menentang diskriminasi sosial dan sebagai ekspresi
aspirasi kelas papa untuk mewujudkan keseimbangan dan persaudaraan. Pandangan
ini juga bertentangan sekali dengan prinsip-prinsip Islam.
Klaim di atas
menggambarkan para nabi gagal, meski kegagalan ini tak bisa disalahkan kepada
mereka. Menurut pendukung teori ini, para nabi gagal karena mereka dikalahkan
oleh kepalsuan, dan dalam periods sejarah apa pun mereka tak berhasil. Agama
para nabi tidak mempcngaruhi bagian terpenting masyarakat, juga tak mampu
mengambil bagian penting dalam kehidupan keagamaan penguasa. Pcrannya hanyalah
mengkritik dan melancarkan keberatan tcrhadap agama penguasa. Para nabi tak
dapat disalahkan, karena bertcntangan dengan klaim kaurri materialis, para nabi
tak pernah berganclcngan tangan dengan kaum pengeskploitasi, juga tidak menjadi
faktor stagnasi dan kelambaman. Para nabi tak pernah mendukung kelas
pengeksploitasi. Para nabi justru berasal dari kelas papa, mendukung kelas ini
dan berjuang untuk mengembalikan hak-hak kelas ini yang hilang.
Karena para nabi tak
dapat disalahkan berkenaan dengan semangat misi mereka, yang setali tiga uang
dengan orientasi mereka, para nabi juga tak dapat disalahkan berkenaan dengan
kegagalan mereka yang bukan tanggung jawab mereka, karena kekuatan sejarah yang
muncul akibat adanya sistem milik pribadi mendukung lawan mereka. Munculnya
sistem milik pribadi mau tak mau memecah masyarakat menjadi dua: kelas
pengeksploitasi dan kelas tereksploitasi. Bagian masyarakat yang terdiri atas
pengeksploitasi, yang menguasai produk-produk material masyarakat, tentu saja
menguasai juga produk-produk spiritual masyarakat. Dalam kondisi seperti ini
para nabi tak dapat dimintai tanggung jawab kalau mereka gagal, karena bila
kita melihat kekuatan sejarah, mustahil kalau para nabi dapat melawan kaum
pengeksploitasi. Kekuatan sejarah merupakan nasib dan hukum ilahiah versi
material, sekalipun dalam kasus ini hukum tersebut bukan dari Allah di langit,
melainkan dari tuhan di bumi, bukan dari Allah Mahamutlak, namun dari tuhan
material, yaitu kekuatan penguasa yang disebut infrastruktur ekonomi
masyarakat, yang sumber utamanya adalah alat produksi.
Berdasarkan analisis
situasi ini para nabi tak dapat disalahkan, namun yang salah adalah sistem
dunia yang pada umumnya dilukiskan sebagai sistem yang tepat di mana kebaikan
selalu mengalahkan kebatilan. Para teosof Islam yang berpandangan optimistik
mengenai sistem dunia mengklaim bahwa dunia itu baik. Kebatilan dan kepalsuan
sifatnya sementara saja, eksistensi keduanya sifatnya tidak hakiki. Sistem
dunia atau sungguh demikian sistem sosial manusia pada dasarnya baik. Al-Qur'an
mengatakan: Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya,
adapun yang bermanfaat bagi manusia, itu tetap di bumi. (QS. ar-Ra'd: 17)
Al-Qur'an mengatakan
bahwa dalam konflik antara kebenaran dan kebatilan, kebenaran selalu menang. Sesungguhnya
Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak menghancurkannya,
maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. (QS. al-Anbiyâ`: 18). Al-Qur'an
juga mcngatakan hahwa dukungan dan pertolongan Allah selalu untuk para nabi: Sesungguhnya
Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan dunia
dun pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat). (QS. al-Mukmin: 51). Al-Qur'an
juga mengatakan: Dan sesungguhnya telak letap janji Kami kepada hamba-hamba
Kami yang menjadi rasul, sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat
kemenangan. (QS. ash-Shâffât: 171)
Namun apa yang
dikatakan oleh apa yang disebut intelektual ini bertentangan dengan prinsip
ini. Meskipun mereka tidak menyalahkan nabi dan pembaru lainnya, perkataan
intelektual ini sama saja dengan menyalahkan Allah.
Sesungguhnya ini
merupakan problem yang sulit. Di satu pihak, Al-Qur'an memandang optimis
terhadap sistem dunia, dan menegaskan bahwa kehidupan sosial manusia berkisar
di seputar kebenaran, teosofi juga, sesuai dengan prinsip-prinsipnya sendiri,
mengklaim bahwa kebaikan dan kebenaran selalu mengalahkan kebatilan dan
kepalsuan, dan bahwa eksistensi kebatilan dan kepalsuan sifatnya tidak hakiki,
dan eksistensinya sendiri tidak hakiki dan tidak mandiri. Di pihak lain, studi
atas sejarah masa lalu dan sekarang melahirkan pesimisme terhadap sistem yang
dominan, dan mendukung pandangan orang-orang yang menyatakan bahwa sejarah
merupakan serangkaian tragedi, tirani, kezaliman dan eksploitasi. Cukup sulit
untuk mengatakan apakah kita salah memahami sistem dunia atau sistem sosial
manusia, ataukah kita salah menganggap Al-Qur'an memandang optimis terhadap
sejarah dan kehidupan? Ataukah kita tidak salah memahami apa pun, namun ada
kontradiksi yang tak terpecahkan antara aktualitas dan Al-Qur'an?
Sejauh menyangkut
sistem dunia, sudah kami bahas dalam buku kami, "al-'Adl al-Ilahi"
(Keadilan Ilahi), dan dengan rahmat Allah kontradiksi ini sudah terpecahkan.
Sejauh menyangkut progresi sejarah dan kehidupan sosial manusia, sebaiknya
dibahas nanti di bawah judul, "Konflik antara Kebenaran dan
Kepalsuan", dan di sini pandangan-pandangan kami akan dipaparkan. Senang
rasanya kalau pemikir lain juga mengutarakan pandangan-pandangannya mengenai masalah
ini.
Catatan:
[1] Keingintahuan ini mungkin berkenaan dengan Surah az-Zukhruf: 40-50, Surah
al-Mukmin: 23-44, Surah Thâhâ: 49-71, Surah asy-Syu'arâ: 16-49 dan Surah
al-Qashash: 36-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar