Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Pandangan sebuah
mazhab pemikiran tentang masyarakat dan sejarah berperan penting dalam ideologi
mazhab tersebut. Karena itu perlu mengetahui pandangan Islam tentang masyarakat
dan sejarah dalam perspektif konsepsi Islam tentang dunia. Jelas Islam bukanlah
mazhab sosiologi, bukan filsafat sejarah. Dalam Al-Qur'an tak ada problem
sosial maupun sejarah yang tidak dibahas dalam bahasa dua ilmu pengetahuan ini.
Al-Qur'an juga tidak menggunakan terminologi yang lazim digunakan dua ilmu
pengetahuan yang relevan itu ketika membahas masalah moral, hukum atau
filosofis. Pandangan Islam mengenai banyak masalah yang berkaitan dengan dua ilmu
pengetahuan ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat Al-Qur'an.
Pemikiran Islam
mengenai masyarakat dan sejarah, karena sangat penting, patut ditelaah secara
mendalam. Seperti banyak ajaran Islam lainnya, pemikiran Islam mengenai
masyarakat dan sejarah juga merupakan tanda bahwa ajaran Islam sangat mendalam.
Untuk singkatnya, pemikiran Islam tentang masyarakat dan sejarah akan dibahas
dalam satu bab, dan yang dibahas hanyalah masalah-masalah yang menurut hemat
kami sangat penting untuk mengetahui ideologi Islam. Pembahasan pertama adalah
masyarakat, baru kemudian sejarah. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang
relevan adalah:
(i). Apa masyarakat
itu? (ii). Apakah manusia pada dasarnya makhluk sosial? (iii). Apakah individu
adalah ide dasarnya, bukan masyarakat, atau sebaliknya, atau adakah alternatif
ketiga? (iv). Bagaimana hubungan antara masyarakat dan tradisi? (v). Apakah
individu memiliki pilihan bebas untuk berbuat dalam masyarakat dan lingkungan
sosial? (vi). Bagaimana segmen-segmen utama masyarakat?
(vii). Apakah semua
masyarakat manusia pada umumnya sifat dan esensinya sama, perbedaan antara satu
masyarakat dan masyarakat lain seperti perbedaan antar individu dari satu
spesies? Ataukah sifat-sifatnya beragam sesuai dengan perbedaan rasionalnya,
kondisi ruang dan waktunya, dan tataran budayanya? Kalau demikian, tentu saja
berbagai masyarakat memiliki sosiologi yang beragam, dan kalau demikian
tiap-tiap masyarakat dapat memiliki ideologi khasnya sendiri. Kita tahu semua
manusia, meski dari sudut pandang fisis beda wilayah, ras dan sejarahnya,
adalah dari satu spesies, dan itulah sebabnya pada mereka berlaku hukum medis
dan fisiologis yang sama. Sekarang pertanyaannya adalah apakah mereka—dari
sudut pandang sosial— membentuk satu spesies dan konsekuensinya diatur oleh satu
sistem moral dan sosial? Dapatkah satu ideologi berlaku untuk semua manusia,
atau apakah setiap masyarakat mesti memiliki ideologi khusus sesuai dengan
kondisi wilayah, budaya, sejarah dan sosiologi khususnya?
(viii). Apakah
masyarakat-masyarakat manusia, yang sejak fajar sejarah hingga sekarang
berserak, satu sama lain independen, dan setidaknya beragam sifat
individualnya, dapat bersatu dan seragam? Apakah masa depan ras manusia adalah
satu masyarakat, satu budaya, dan lenyapnya kontradiksi dan konflik? Ataukah
ras manusia memang harus tetap beragam budaya dan ideologinya? Inilah sebagian
pertanyaan yang, dari menurut kita, perlu dijelaskan dari sudut pandang Islam.
Satu per satu pertanyaan ini akan dibahas secara ringkas.
Apa Masyarakat Itu?
Masyarakat adalah
sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu,
konvensi dan hukum tertentu yang sama dan hidup bersama. Hidup bersama tidak
berarti sekelompok orang mesti hidup berdampingan di satu daerah tertentu, memanfaatkan
iklim yang sama, dan mengkonsumsi makanan yang sama. Pepohonan di taman hidup
berdampingan, memanfaatkan iklim yang sama, dan mengkonsumsi makanan yang
sama. Begitu pula, kawanan rasa makan rumput bersama dan ke mana-mana bersama.
Namun pepohonan maupun kawanan rusa itu tidak hidup bersama atau bermasyarakat.
Kehidupan manusia
adalah kehidupan sosial, dalam arti bahwa kehidupan manusia "bersifat
sosial". Kebutuhan, prestasi, kesenangan dan aktivitas manusia semuanya
bersifat sosial, karena semuanya itu terjalin erat dengan adat, kebiasaan, dan
sistem kerja, pembagian keuntungan, dan pembagian pemenuhan kebutuhan tertentu.
Yang membuat sekelompok tertentu orang tetap bersatu adalah pikiran dan
kebiasaan tertentu yang dominan. Dengan kata lain, masyarakat adalah kumpulan
orang yang, karena desakan kebutuhan dan pengaruh keyakinan, pikiran dan ambisi
tertentu, tersatukan dalam kehidupan bersama.
Kebutuhan sosial
bersama dan hubungan khusus dalam kehidupan manusia mempersatukan manusia
sehingga mereka seperti para penumpang yang tengah mengadakan perjalanan dalam
satu mobil, satu pesawat udara atau satu kapal menuju tujuan tertentu. Di
tengah perjalanan, kalau ada bahaya, mereka menghadapinya bersama, dan nasibnya
sama. Ketika menjelaskan filosofi di balik amar makruf nahi munkar, Nabi saw
menggunakan perumpamaan yang bagus. Sabda Nabi saw:
"Sekelompok
orang naik sebuah kapal. Kapal berlayar membelah lautan. Setiap penumpang duduk
di tempatnya masing-masing. Salah seorang penumpang yang berdalih bahwa tempat
duduknya adalah khusus miliknya mulai membuat lubang di tempat duduknya. Kalau
penumpang yang lain segera mencegah perbuatannya, mereka bukan saja akan
menyelamatkan diri mereka sendiri namun juga menyelamatkannya."
Apakah Manusia pada
Dasarnya Makhluk Sosial?
Pertanyaan
faktor-faktor apa yang membuat manusia jadi makhluk sosial, telah dibahas sejak
dulu. Apakah manusia sejak awal diciptakan sebagai makhluk sosial? Dengan kata
lain, apakah manusia memang diciptakan sebagai bagian dari keseluruhan, dan secara
naluriah cenderung menyatu dengan keseluruhannya? Ataukah diciptakan bukan
sebagai makhluk sosial, namun faktor-faktor dari luar telah memaksanya hidup
bermasyarakat? Dengan kata lain, apakah sesuai fitrahnya manusia cenderung
bebas dan tak mau dibatasi oleh kehidupan bersama, namun berdasarkan pengalaman
dia tahu tak mampu hidup sendirian, maka dia terpaksa mau dibatasi oleh
kehidupan bersama? Teori lain mengatakan bahwa kendatipun manusia pada dasarnya
tidak butuh bermasyarakat, bukan faktor paksaan yang membuat manusia jadi butuh
bermasyarakat. Namun manusia, melalui akalnya, menyadari bahwa dengan kerja
sama dan kehidupan bersama dia dapat lebih menikmati karunia alam. Menurut
teori ini, manusia mau bekerja sama dengan sesamanya karena pilihannya sendiri.
Dengan demikian, baik karena fitrahnya, karena terpaksa, atau karena pilihannya
sendiri, manusia hidup bermasyarakat.
Menurut teori
pertama, kehidupan sosial manusia dapat disamakan dengan kehidupan rumah tangga
suami-istri. Suami-istri merupakan bagian dari keseluruhan. Masing-masing
secara alamiah cenderung menyatu dengan keseluruhannya. Menurut teori kedua,
kehidupan sosial dapat disamakan dengan aliansi dan kerja sama antara dua
negara yang merasa tak mampu bila sendirian menghadapi musuh yang sama, karena
itu kedua negara ini terpaksa membuat perjanjian aliansi dan kerja sama demi
kepentingan bersama. Menurut teori ketiga, kehidupan sosial dapat disamakan
dengan kemitraan dua orang pemodal yang atas kemauan sendiri sepakat mendirikan
usaha komersial, pertanian atau industri untuk memperoleh keuntungan yang lebih
besar.
Menurut teori
pertama, faktor utama yang membuat manusia hidup bermasyarakat adalah
fitrahnya. Menurut teori kedua, penyebab utamanya adalah kekuatan dari luar.
Menurut teori ketiga, penyebabnya adalah kemampuannya untuk berpikir dan
membuat perhitungan. Menurut teori pertama, hidup bermasyarakat merupakan
tujuan umum yang secara naluriah ingin dicapai fitrah manusia. Menurut teori
kedua, hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang kebetulan dan tidak esensial
atau, dalam terminologi filosof, tujuan sekunder. Dan menurut teori ketiga,
hidup bermasyarakat merupakan salah satu tujuan intelektual dan bukan salah
satu tujuan alamiah.
Beberapa ayat
Al-Qur'an menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat
merupakan bagian dari penciptaannya. Al-Qur'an Suci mengatakan: Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang
paling takwa di antara kamu. (QS. al-Hujurât: 13)
Dalam ayat ini
disebutkan filosofi sosial penciptaan manusia. Ayat ini mengatakan bahwa
manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga terbentuk berbagai bangsa dan suku.
Orang diidentifikasi dengan merujuk ke bangsa dan sukunya. Dengan demikian,
ayat ini memecahkan problem sosial, karena syarat penting kehidupan
bermasyarakat adalah mampu mengenal satu sama lain. Kalau saja tak ada bangsa,
suku dan afinitas lain yang serupa, yang merupakan ciri pemersatu dan pembeda,
maka mustahil mengidentifikasi orang, dan akibatnya adalah mustahil ada
kehidupan sosial yang dasarnya adalah saling hubungan antar manusia. Afiliasi
kebangsaan dan kesukuan serta perbedaan lain seperti bentuk tubuh dan warna
kulit membentuk identitas tiap individu. Kalau saja semua individu sama bentuk
tubuhnya, sama warna kulitnya, dan sama ciri-cirinya, dan kalau saja
afiliasinya sama, maka semua individu akan sama seperti produk buatan pabrik
dan satu sama lain tak dapat dibedakan. Akibatnya, mustahil mengenali satu per
satu mereka, sehingga tak mungkin ada kehidupan sosial yang didasarkan pada
saling hubungan dan pertukaran pikiran, produk dan jasa. Karena itu afiliasi
manusia ke suku dan komunitas yang berbeda ada maksud dan tujuannya. Ini
merupakan syarat penting bagi kehidupan sosial. Namun afiliasi ke ras atau
keluarga tertentu bukanlah soal kebanggaan atau bukan dasar untuk mengklaim
lebih unggul. Sesungguhnya dasar keunggulan tak lain adalah kemuliaan manusia
dan ketakwaan individu. Al-Qur'an mengatakan: Dan Dia (pula) yang menciptakan
manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan hubungan
kekeluargaan (yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan
sebagainya). (QS. al-Furqân: 54)
Ayat ini
menggambarkan hubungan darah dan perkawinan yang mengikat satu individu dengan
individu lainnya dan membentuk dasar untuk mengidentifikasinya, karena skema
penciptaan dirancang untuk tujuan yang arif. Di tempat lain Al-Qur'an
mengatakan: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS. az-Zukhruf: 32)
Dalam pembahasan
tentang tauhid (konsepsi tauhid tentang dunia), sudah dijelaskan makna ayat
ini. Ringkasnya dapat di-katakan, ayat ini menunjukkan bahwa manusia tidak
diciptakan sama bakat dan kemampuannya. Seandainya diciptakan sama, tentu
setiap orang memiliki apa yang dimiliki orang lain, dan tidak memiliki apa yang
tidak dimiliki orang lain. Kalau demikian, tentu saja satu sama lain saling
tidak membutuhkan, sehingga tak terjadi pertukaran jasa. Allah menciptakan
manusia berbeda-beda bakatnya, kemampuan fisisnya, kemampuan spiritualnya, dan
kemampuan emosionalnya. Allah SWT menjadikan sebagian manusia unggul atas
sebagian lainnya dalam hal-hal tertentu, sementara sebagian lainnya itu sering
unggul dalam hal-hal lain. Maka semua manusia saling bergantung satu sama lain,
sehingga ada hasrat untuk saling bekerja sama. Dengan demikian Allah SWT telah
memuluskan jalan bagi terbentuknya kehidupan sosial manusia. Ayat di atas
menunjukkan bahwa kehidupan sosial itu alamiah. Manusia tidak dipaksa untuk
hidup bermasyarakat. Juga, kalau manusia hidup bermasyarakat, maka itu bukan
karena pilihan manusia sendiri.
Apakah Eksistensi
Masyarakat Itu Riil dan Substansial?
Masyarakat terbentuk
dari individu-individu. Seandainya tak ada individu-individu, maka tak ada
masyarakat. Lantas bagaimana karakter komposisi masyarakat, dan bagaimana
hubungan antara masyarakat dan manusia. Dalam hal ini, dikemukakan teori-teori
berikut ini:
1. Komposisi
masyarakat tidaklah riil. Dengan kata lain, sesungguh-nya tak terjadi
persenyawaan. Sesungguhnya persenyawaan hanya terjadi kalau, akibat aksi dan
reaksi dua atau lebih benda, muncul fenomena baru dengan segenap ciri khasnya
seperti yang terjadi pada senyawa kimiawi. Misal, akibat aksi dan reaksi dua
gas, oksigen dan hidrogen, muncul fenomena baru yang disebut air. Fenomena baru
ini memiliki ciri khasnya sendiri. Yang esensial adalah, setelah terjadi
perpaduan, maka komponen-komponen yang membentuk perpaduan itu kehilangan sifat
dan efek individualnya dan sepenuhnya larut menjadi senyawa baru. Dalam
kehidupan sosialnya, manusia tak pernah seperti ini. Manusia tidak larut menjadi
masyarakat Karena itu eksistensi masyarakat tidak riil dan tidak substansial.
Eksistensi masyarakat hanyalah imajiner. Individu saja yang riil eksistensinya.
Karena itu, .sekalipun kehidupan manusia dalam masyarakat ada bentuk sosialnya,
namun individu-individu tidak membentuk senyawa yang riil yang bernama
masyarakat.
2. Teori kedua
mengatakan bahwa kendatipun masyarakat bukan senyawa yang riil seperti
senyawa-senyawa alamiah, namun masyarakat merupakan senyawa sintetis. Senyawa
sintetis juga merupakan sejenis senyawa riil, sekalipun bukan senyawa alamiah.
Senyawa sintetis merupakan suatu keseluruhan yang terbentuk dari hasil
perakitan seperti mesin. Dalam senyawa alamiah, komponen-komponen pembentuk
senyawa itu kehilangan identitas dan efeknya dan larut dalam keseluruhan. Namun
dalam senyawa sintetis, komponen-komponennya kehilangan efeknya, sementara
identitasnya tetap ada.
3. Dengan cara
tertentu komponen-komponennya berpadu, dan akibatnya efeknya juga berpadu.
Komponen-komponen tersebut memiliki bentuk efek baru yang sama sekali bukan
total dari efek-efek independen komponen-komponen tersebut. Misal, sebuah mobil
membawa barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain, namun efek ini bukan
berkaitan dengan satu komponennya, juga bukan berkaitan dengan total efek
independen semua komponennya. Dalam mobil, semua komponennya saling berkaitan
dan bekerja bersama. Namun identitasnya tidak hilang dalam keseluruhan.
Sesungguhnya dalam kasus ini keseluruhan ada karena adanya komponen.
Sesungguhnya mobil setara dengan jumlah seluruh komponen
nya plus hubungan khusus antar komponen.
nya plus hubungan khusus antar komponen.
Begitu pula dengan
masyarakat. Masyarakat terdiri atas sistem primer dan sistem sekunder. Sistem
dan individu yang terkait dengan sistem, saling berkaitan. Kalau ada perubahan
pada salah satu sistem—budaya, agama, ekonomi, hukum atau pendidikan—maka
sistem lainnyajuga berubah. Jadi kehidupan sosial adalah produk akhir dari
seluruh proses sosial. Namun dalam proses ini individu tidak kehilangan
identitasnya dalam masyarakat sebagai keseluruhan maupun dalam sistem
masyarakat.
Teori ketiga
mengatakan bahwa masyarakat merupakan senyawa yang riil seperti senyawa alamiah
lainnya. Namun masyarakat merupakan perpaduan pikiran, emosi, hasrat, kehendak
dan juga budaya. Masyarakat bukanlah perpaduan fisik. Kalau terjadi aksi-reaksi
elemen-elemen material maka bisa muncul fenomena baru, atau seperti kata
filosof, bisa ada bentuk baru, sehingga lahir senyawa baru. Begitu pula, kalau
individu-individu manusia memasuki kehidupan sosial, maka yang terbaur adalah
semangatnya, sehingga lahir identitas semangat baru yang dikenal dengan nama
"semangat bersama". Senyawa ini alamiah namun unik. Alamiah dan
aktual, dalam pengertian bahwa komponen-komponennya saling beraksi, bereaksi,
membuat perubahan dan menjadi bagian-bagian dari satu identitas baru. Namun
senyawa ini beda dengan senyawa alamiah lainnya, karena dalam kasus ini
"keseluruhan" atau senyawa itu tidak eksis sebagai "unit yang
riil". Dalam kasus senyawa lain, perpaduannya riil, karena komponen-komponennya
saling beraksi dan saling bereaksi secara riil dan sedemikian rupa sehingga
identitas bagian-bagiannya berubah, dan konsekuensi aktualnya berupa senyawa
berbentuk satu unit riil, karena pluralitas bagian-bagiannya berubah menjadi
unit keseluruhan.
Namun dalam kasus
berpadunya individu-individu menjadi masyarakat, kendatipun perpaduan ini
sekali lagi riil karena akibat aksi-reaksi aktualnya individu-individu
memperoleh identitas baru, namun pluralitasnya sama sekali tidak berubah
menjadi unitas. "Manusia total" yang memadukan semua individu menjadi
keseluruhan, eksistensinya bukan sebagai unit. Hanya total agregat
individu-individulah yang dapat disebut manusia total. Namun eksistensinya
hanya imajiner.
4. Menurut teori
keempat, masyarakat merupakan senyawa riil dan sungguh juga senyawa yang tinggi
tingkat kesempurnaannya. Dalam kasus semua senyawa alamiah, masing-masing
komponen-nya, sebelum berpadu, memiliki identitas sendiri. Terlepas dari
eksistensi sosialnya, manusia semata-mata binatang yang hanya memiliki potensi
manusia atau perasaan ego manusia. Pikiran dan perasaan manusia seperti emosi
dan hasrat manusia baru ada setelah adanya semangat kolektif. Semangat inilah
yang mengisi kevakuman dan membentuk personalitas manusia. Semangat kolektif selalu
ada pada manusia, dan manifestasinya selalu terlihat dalam etika, agama, ilmu
pengetahuan, filsafat dan seni. Manusia saling memberikan pengaruh spiritual
dan kultural kepada satu sama lain, dan mendapat pengaruh melalui—dan
menyusul—semangat kolektif ini, bukan pada tahap sebelum semangat kolektif ini.
Sesungguhnya
sosiologi manusia mendahului psikologinya, kebalikan dart teori sebelumnya yang
mengatakan bahwa psikologi manusia mendahului sosiologinya. Teori ini
mengatakan jika manusia belum memiliki eksistensi sosial dan sosiologi, maka
dia tak akan dapat memiliki jiwa manusia dan psikologi individual. Teori
pertama murni tentang fundamentalitas individual saja. Menurut teori ini,
eksistensi masyarakat tidak riil, masyarakat tak punya hukum, norma atau nasib.
Hanya individu saja yang eksistensinya aktual dan dapat diidentifikasi. Nasib
setiap individu tidak ditentukan oleh nasib individu lainnya.
Menurut teori kedua,
yang penting adalah individu. Para pendukung teori ini tidak percaya kalau
masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan suatu perpaduan individu eksistensinya
aktual. Namun mereka mengatakan bahwa memang ada ikatan antar individu dan
ikatan ini sama dengan ikatan fisis. Menurut teori ini, sekalipun eksistensi
masyarakat tergantung pada individu, dan hanya individu inilah yang
eksistensinya aktual, namun kalau melihat faktanya bahwa individu dalam sebuah
masyarakat berhubungan dengan satu sama lain seperti berbagai komponen pabrik
dan semua tindakannya jalin berjalin dalam rangkaian mekanis sebab-akibat, maka
individu ini memiliki nasib yang sama, dan karena masyarakat terdiri atas
komponen-komponen yang saling berhubungan, maka identitas masyarakat juga tidak
ditentukan oleh identitas komponennya, yaitu individu.
Adapun teori ketiga,
teori ini mengatakan bahwa individu dan masyarakat sama-sama fundamental.
Menurut teori ini, karena eksistensi komponen masyarakat (individu) tidak
hilang dalam eksistensi masyarakat, dan komponen masyarakat tetap eksis,
seperti yang terjadi pada senyawa kimiawi, maka individu juga fundamental.
Namun masyarakat juga fundamental, karena perpaduan individu, dari sudut
pandang intelektual dan emosional, sama dengan perpaduan kimiawi. Individu
dalam masyarakat memiliki identitas baru, yaitu identitas masyarakat,
kendatipun individu tetap mempertahankan identitasnya sendiri. Menurut teori
ini, akibat saling aksi-reaksi komponerinya, maka muncul realitas baru dan
hidup dalam bentuk masyarakat. Selain hati nurani individu, kehendak, hasrat
dan pikiran individu muncul dalam bentuk masyarakat, muncul hati nurani baru,
kehendak baru, hasrat baru dan pikiran baru. Hati nurani ini mendominasi hati
nurani dan kesadaran individu.
Menurut teori
keempat, hanya masyarakatlah yang fundamental. Segala yang ada merupakan
semangat kolektif, had nurani kolektif, kesadaran kolektif, kehendak dan hasrat
kolektif, serta jiwa kolektif. Hati nurani dan kesadaran individu hanyalah
manifestasi hati nurani dan kesadaran kolektif.
Teori ketiga mendapat
dukungan dari aval Al-Qur'an. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembahasan
Al-Qur'an mengenai persoalan manusia tidak seperti pembahasan buku ilmu
pengetahuan atau filsafat. Pembahasan Al-Qur'an beda. Namun pembicaraan
Al-Qur'an mengenai persoalan masyarakat dan individu sedemikian rupa sehingga
memperkuat teori ketiga. Al-Qur'an mengatakan bahwa masyarakat memiliki nasib
yang sama, buku catatan perbuatan yang sama, pengertian dan kesadaran yang
sama. Ada yang taat, ada yang membangkang. Jelaslah kalau eksistensi masyarakat
tidak aktual, maka tak ada nasib, pengertian, kesadaran, ketaatan dan
pembangkangan. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an mempercayai kehidupan kolektif
dan sosial. Kehidupan kolektif bukan kiasan belaka, namun sebuah realitas,
seperti halnya kematian kolektif. Al-Qur'an mengatakan:
Tiap umat mempunyai
ajal. Maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. al-A'râf: 34). Lagi,
kata Al-Qur'an: Tiap-tiap umat dipanggil untuk (metihat) buku catatan amalnya.
(QS. al-Jâtsiyah: 28). Ini menunjukkan bahwa tiap bangsa memiliki buku catatan
perbuatannya. Sebagai wujud yang hidup, sadar dan bertanggung jawab, maka tiap
bangsa akan disuruh melihat buku catatan perbuatannya. Kata Al-Qur'an: Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaannya. (QS. al-An'âm: 108)
Ayat ini menunjukkan
bahwa setiap bangsa rnemiliki pandangan khusus, cara berpikir yang khusus, dan
standar yang khusus pula. Setiap bangsa rnemiliki cara khusus dalam melihat dan
memahami sesuatu. Penilaian setiap bangsa didasarkan pada standar khusus-nya.
Setiap bangsa rnemiliki seleranya sendiri. Perbuatan yang tampak baik bagi satu
bangsa, tampak tidak baik bagi bangsa lain. Lingkungan sosial suatu bangsalah
yang menentukan selera individu bangsa tersebut. Al-Qur'an mengatakan: Tiap-tiap
umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya, dan
mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan
yang batil itu. Karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedih) azab-Ku? (QS.
al-Mukmin: 5)
Ayat ini merujuk
kepada keputusan kolektif yang memalukan yang bermaksud memerangi kebenaran.
Dalam ayat itu juga disebut-sebut hukuman umum bagi kejahatan kolektif ini.
Dalam Al-Qur'an ditunjukkan tentang perbuatan seseorang yang dianggap sebagai
perbuatan masyarakat, atau perbuatan satu generasi dianggap sebagai perbuatan
generasi berikutnya.[1] Ini mungkin hanya bila masyarakat tertentu
rnemiliki satu cara berpikir kolektif dan memiliki satu semangat kolektif.
Misal, dalam kisah suku Tsamud, perbuatan satu orang yang membunuh unta betina
Nabi Saleh as dianggap sebagai perbuatan seluruh suku. Al-Qur'an mengatakan,
"Mereka membunuhnya." Jadi seluruh suku dianggap bersalah dan patut
dihukum. "Maka Tuhanmu menghancurkan mereka."
Menjelaskan pokok
persoalan ini, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali bin Abi Thalib as
mengatakan, "Wahai manusia! Satu-satunya yang mempersatukan manusia dan
membuat mereka bernasib sama adalah rasa senang dan rasa tidak senang."
Bila orang sama-sama
merasa senang atau merasa tidak senang dengan sesuatu yang dilakukan seseorang,
maka mereka dianggap satu orang, dan nasib mereka sama. Unta betina Tsamud
dibunuh oleh seseorang, namun Allah SWT menghukum seluruh suku, karena mereka
senang dengan perbuatan orang itu. Allah SWT berfirman: Kemudian mereka
membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal. (QS. asy-Syu'arâ`: 157)
Allah SWT menghukum
mereka semua, karena mereka semua menyetujui keputusan yang diambil satu orang.
Karena itu, ketika keputusan itu dilaksanakan, sesungguhnya keputusan itu
merupakan keputusan kolektif mereka semua. Kendatipun membunuh merupakan
perbuatan satu orang, namun Allah SWT memandang perbuatan tersebut sebagai
perbuatan mereka pada umumnya. Allah SWT berflrman bahwa mereka membunuh unta
betina. Allah SWT tidak mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka
membunuhnya.
Di sini ada satu hal
lagi yang patut diingat. Kalau cuma senang dengan suatu dosa namun tidak
melakukan dosa itu, maka tidak dianggap berdosa. Jika seseorang merasa senang
karena tahu orang lain telah berbuat dosa atau mau berbuat dosa, maka orang itu
sendiri tidak dianggap berdosa. Sekalipun seseorang memutuskan mau berbuat
dosa, namun ternyata belum berbuat dosa, maka dia belum berdosa. Menyetujui
atau mendukung perbuatan dosa yang dilakukan orang lain baru dapat dianggap
berdosa kalau persetujuan atau dukungan ini setali tiga uang dengan ikut
memutuskan untuk berbuat dosa itu atau ikut melakukan perbuatan dosa itu.
Itulah karakter semua dosa kolektif. Pertama lingkungan sosial dan semangat
kolektif masyarakat menyetujui perbuatan dosa tertentu dan memuluskan jalan
untuk perbuatan dosa itu. Kemudian seseorang yang keputusannya menjadi bagian
dari keputusan orang lain, dan yang persetujuannya menjadi bagian dari
persetujuan orang lain. Maka orang ini sesungguhnya juga melakukan perbuatan
dosa itu. Dalam kasus ini dosa seseorang merupakan dosa semua anggota
masyarakat itu. Pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib as menggambarkan situasi
seperti ini, dan antara lain menjelaskan makna ayat di atas. Namun kalau
sekadar senang, sementara tidak ikut dalam keputusan dan tindakan orang yang
melakukan dosa, belum dianggap melakukan dosa.
Dalam Al-Qur'an
terkadang perbuatan satu generasi juga dianggap perbuatan generasi selanjutnya.
Misal, perbuatan kaum Israel di masa lalu dianggap perbuatan kaum Yahudi di
zaman Nabi saw. Al-Qur'an mengatakan bahwa kaum ini pantas mendapat penghinaan
dan aib karena mereka suka membunuh nabi. Dikatakan demikian karena dari sudut
pandang Al-Qur'an kaum Israel pada zaman Nabi saw merupakan kelanjutan dan
proyeksi pendahulu mereka. Pendahulu mereka ini suka membunuh nabi. Bukan saja
itu, namun dari sudut pandang pikiran kolektif, mereka tak ubahnya kaum di masa
lalu itu yang masih terus eksis. Filosof Perancis, Auguste Comte, mengatakan: "Masyarakat
manusia lebih terdiri atas orang yang sudah mati ketimbang orang yang masih
hidup."
Dengan kata lain,
dalam semua periode sejarah, orang-orang yang hidup di masa lampau lebih
mempengaruhi umat manusia ketimbang orang-orang yang hidup di masa kini.
Pemyataan bahwa "orang yang hidup di masa lalu masih terus menguasai orang
yang hidup di masa sekarang," artinya sama saja. (lihat Raymond Aron, Main
Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 91)
Al-Mîzân, kitab
tafsir Al-Qur'an yang ternama, membahas masalah itu. Menurut Al-Mîzân, suatu
masyarakat yang semangatnya satu dan pemikiran kolektifhya satu tak ubahnya
satu manusia, dan semua anggota masyarakat seperti itu seakan-akan organ satu
orang. Selanjutnya Al-Mîzân mengatakan bahwa semua anggota masyarakat menjadi
bagian dari personalitas masyarakat sehingga kebahagiaan dan kesedihan anggota
masyarakat menjadi ke-bahagiaan dan kesedihan masyarakat, kesejahteraan dan
kesengsaraan anggota masyarakat menjadi kesejahteraan dan kesengsaraan
masyarakat. Kata "Al-Mîzân": "Al-Qur'an mengungkapkan pandangan
ini berkenaan dengan bangsa dan masyarakat yang pemikirannya kolektif, dan
pemikiran seperti ini merupakan hasil dari kecenderungan keagamaan atau
nasionalnya. Al-Qur'an mengatakan bahwa generasi selanjutnya bertanggungjawab
atas perbuatan leluhurnya. Jelaslah ini merupakan satu-satunya cara yang benar
untuk menilai masyarakat yang pikiran dan jiwanya pikiran dan jiwa
kolektif." (Al-Mîzân, Jilid 4 halaman 112)
Masyarakat dan
Tradisi
Kalau eksistensi
masyarakat nil, tentu masyarakat memiliki hukum dan adatnya sendiri. Namun
kalau kita terima teori pertama tentang karakter masyarakat seperti yang
diuraikan di atas, dan kita tolak eksistensi aktualnya, maka kita harus
mengakui bahwa masyarakat tak memiliki hukum atau adatnya sendiri. Kalau kita
terima teori kedua, kemudian kita berpendapat bahwa perpaduan masyarakat
sifatnya sintetis dan mekanis, tentu masyarakat memiliki hukum dan adatnya
sendiri, namun hukum dan adat yang berkaitan dengan sistem kausatif
(sebab-akibat) komponennya dan efek mekanis yang ditimbulkan komponennya
terhadap satu sama lain. Maka masyarakat tak memiliki karakteristik kehidupan.
Kalau kita terima teori ketiga, maka masyarakat memiliki hukum dan adatnya
sendiri yang tak ditentukan oleh hukum dan adat komponennya (individu), karena
dalam kasus ini masyarakat memiliki kehidupan kolektif yang independen.
Kehidupan kolektif yang independen ini tak terlepas dari kehidupan individu-individunya.
Kehidupan kolektif ini berserak dalam kehidupan individu-individunya. Begitu
terbentuk menjadi masyarakat, individu relatif kehilangan independensi
identitasnya. Kehidupan individu, sumbangsih dan kecakapan individu tidak
sepenuhnya larut dalam kehidupan kolektif. Menurut teori ini, manusia hidup
dengan dua jiwa, dua semangat dan dua ego. Yang pertama adalah kehidupan
manusiawinya, semangat manusiawinya dan ego manusiawinya yang lahir dari
fitrahnya. Yang kedua adalah kehidupan kolektifnya, semangat kolektifnya dan
ego kolektifnya yang lahir dari kehidupan kolektifnya dan terserap ke dalam ego
individualnya. Itulah sebabnya yang mengatur manusia adalah hukum psikologis
dan hukum sosiologis. Menurut teori keempat, satu-satunya hukum dan adat yang mengatur
manusia adalah adat sosial.
Pakar Muslim pertama
yang berpandangan bahwa ada hukum dan adat yang mengatur masyarakat, dan
membedakan hukum dan adat ini dari hukum dan adat individu, dan konsekuensinya
berpandangan bahwa masyarakat memiliki personalitas, karakter dan realitas,
adalah Abdurrahman ibn Khaldun dari Tunis. Dalam karya terkenalnya, Mukadimah
Sejarah, Ibn Khaldun membahas masalah ini secara terperinci. Pakar modern
pertama yang berpendapat bahwa ada adat yang mengatur komunitas, adalah Filosof
Perancis abad ke-18, Montesquieu. Tentangnya Raymond Aron mengatakan:
Tujuannya adalah
menjelaskan sejarah. Dia berupaya memahami kebenaran sejarah. Dia melihat
kebenaran sejarah berbentuk keragaman moral, adat, pikiran, hukum dan lembaga,
keragaman yang nyaris tak ada batasnya. Persisnya telaahnya dimulai dari
keragaman yang kelihatannya membingungkan ini. Tujuan telaah ini semestinya
mengganti keragaman yang membingungkan ini dengan tatanan konseptual. Dapat
dikatakan bahwa keinginan Montesquieu, persis seperti Max Weber, adalah
berangkat dari fakta yang tak ada artinya ke tatanan yang jelas. Sikap ini
adalah sikap sosiolog." (Raymond Aron, Main Currents in Sociological
Thought, Jilid 1 halaman 14)
Pokok uraian ini
adalah bahwa di balik begitu banyak bentuk fenomena sosial yang kelihatannya
satu sama lain bertentangan, sosiolog melihat adanya kesatuan sehingga aneka
ragam fenomena itu diidentifikasi sebagai manifestasi kesatuan itu. Begitu
pula, semua fenomena dan peristiwa sosial yang sama, asal-usulnya adalah
rangkaian sebab yang sama. Inilah kutipan dari telaah atas sebab-sebab kejayaan
dan keruntuhan bangsa Romawi:
"Bukan nasib
baik yang mengatur dunia. Kita dapat bertanya kepada bangsa Romawi, bangsa yang
meraih sukses demi sukses ketika mengikuti rencana tertentu, dan ditimpa
bencana terus-menerus ketika mengikuti rencana yang lain. Ada sebab-sebab umum,
entah itu sebab moral atau sebab fisis yang efektif pada setiap kerajaan, yaitu
sebab kejayaan dan keruntuhan kerajaan. Semua kejadian terjadi karena
sebab-sebab ini. Dan jika hasil dari sebuah pertempuran, yaitu sebab tertentu,
berupa hancurnya negara, ada sebab umum yang membawa negara itu binasa melalui
sebuah pertempuran. Ringkas kata, semua kejadian itu ada dorongan
utamanya." (Raymond Aron, Mam Currents in Sociological Thought, Jilid 1
halaman 4)
Al-Qur'an dengan
jelas mengatakan bahwa bangsa dan masyarakat memiliki hukum dan norma. Kemajuan
dan kehancuran bangsa dan masyarakat itu ditentukan oleh hukum dan norma itu.
Ketika dikatakan bahwa sebuah bangsa atau masyarakat memiliki nasib yang sama,
maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa masyarakat memiliki hukum. Mengenai
bangsa Israel, Al-Qur'an mengatakan:
Dan telah Kami
tetapkan atas Bani Isra'il dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri
dengan kesombongan yang besar." Maka bila datang saat hukuman bagi
(kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu
hamba-hamba Kami yang memUiki kekuatan yang besar, lain mereka merajalela di
kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami
berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu
dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih
besar. Jika kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, danjika kamu berbuat jahat,
maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan bila datang saat hukuman bagi
(kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan
muka-muka kamu, dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu
memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja
yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu.
Dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali
(mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam penjara bagi orang-orang yang
tidak beriman. (QS. al-Isrâ`: 4-8)
Kalimat, "Dan
sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali
(mengazabmu)," ditujukan untuk komunitas, bukan ditujukan untuk individu.
Karena itu ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa hukum yang mengatur
masyarakat bersifat universal.
Terpaksa atau Tidak
Salah satu masalah
pokok yang dibicarakan di kalangan sarjana, khususnya pada abad terakhir ini,
adalah masalah apakah kalau dikaitkan dengan semangat kolektif, semangat
individu sifatnya terpaksa atau tidak. Kalau teori pertama—teori tentang
susunan masyarakat—-dianggap benar, dan susunan masyarakat dianggap imajiner
belaka, kemudian dikatakan bahwa hanya individulah yang fundamental, maka tak
ada masalah pemaksaan kolektif, karena dalam kasus itu tak ada kekuatan
kolektif. Karena itu, jika ada paksaan, maka paksaan tersebut datang dari
individu. Individu tak dapat dipaksa oleh masyarakat, dalam pengertian seperti
yang dibicarakan oleh pendukung teori paksaan kolektif. Namun seandainya teori
keempat dianggap benar, kemudian individu saja yang dianggap sebagai bahan baku
dan wadah kosong dari sudut pandang personalitas manusia, dan yang dirujuk
adalah basis masyarakat, dan segenap personalitas manusia, akal dan kehendak
manusia—yang dari basis kemauan individu—dipandang sebagai perwujudan kehendak
dan akal kolektif dan sebagai dalih semangat kolekuf untuk mempromosikan
tujuannya, maka tak ada tempat bagi konsepsi yang mengatakan bahwa dalam
masalah sosial individu memiliki kehendak bebas.
Sosiolog Perancis,
Emile Durkheim, yang percaya bahwa masyarakat fundamental dan sangat penting,
mengatakan: Tak seperti hal-hal semisal makan dan tidur yang mengandung segi
hewaniah, sernua masalah sosial dan manusia merupakan produk masyarakat, bukan
produk pikiran atau kehendak individu. Masalah-masalah ini memiliki tiga
karakteristik: ekstemal, mendorong, dan umum. Ekstemal karena masalah ini
datang dari luar, yaitu dari masyarakat. Masalah ini sesungguhnya sudah ada
dalam masyarakat, bahkan sebelum individu lahir. Individu menerima masalah ini
karena pengaruh masyarakat. Begitulah individu menerima moral dan adat sosial,
ajaran agama dan sebagainya. Masalah sosial bersifat memaksa, dalam pengertian
masalah itu menimpa individu dan mewarnai suara hati, penilaian, pikiran dan
sentimen individu. Karena memaksa, maka masalah ini otomatis juga bersifat umum
dan universal."
Namun kalau teori
ketiga dipandang benar, dan dikatakan bahwa individu dan masyarakat
fundamental, maka sama sekali tidak berarti bahwa individu tak berdaya dalam
masalah manusia dan sosial sekalipun diakui bahwa kekuatan masyarakat
mengalahkan kekuatan individu. Durkheim mempercayai paksaan, karena Durkheim
mengabaikan pentingnya karakter manusia. Karakter manusia berkembang berkat
evolusi manusia, suatu evolusi yang sifatnva fundamental dan substansial.
Karena karakter manusia ini, maka manusia merdeka, sehingga manusia dapat
menentang pengaruh masyarakat. Begitulah keseimbangan terjadi dalam hubungan
antara masyarakat dan individu.
Al-Qur'an mengatakan
bahwa masyarakat memiliki karakter, personalitas dan aktualitas. Kata
Al-Qur'an, masyarakat hidup dan mati. Masyarakat memiliki had nurani dan kekuatan
untuk taat dan durhaka. Pada saat yang sama, Al-Qur'an juga mengatakan bahwa
individu cukup berdaya untuk mengabaikan pengaruh atau tekanan masyarakat,
kalau dia mau, dan kalau dia mendasarkan doktrinnya pada apa yang disebut
Al-Qur'an "fitrah Allah".
Di Mekah ada sebagian
orang yang menggambarkan bahwa diri mereka lemah. Kelompok orang ini
mengemukakan kelemahan mereka sebagai alasan untuk mengelak dari tanggung
jawab. Mereka mengatakan tak berdaya dan tak dapat menghadapi masyarakat
Al-Qur'an mengatakan bahwa alasan mereka tak dapat diterima karena
setidak-tidaknya mereka dapat hijrah dari lingkungan sosial itu. Kata
Al-Qur'an: Bukankah bumi Allah luas sehingga kamu dapat ke mana saja. (QS.
an-Nisâ': 97). Di tempat lain dikatakan: Wahai orang-arang beriman, jagalah
dirimu. Tiadalah orangyang sesat itu akan memberi mudarat hepadamu apabila kamu
telah mendapat petunjuk. (QS. al-Mâ`idah: 105)
Dalam ayat Al-Qur'an
yang populer disebut-sebut juga sifat fitrah manusia. Dalam ayat itu, setelah
disebutkan bahwa Allah telah menanamkan perjanjian tauhid ke dalam fitrah
manusia, Allah SWT menambahkan: Agar kamu tidak dapat mengatakan bahwa
orang-orang tua kami musyrik, dan kami, karma kami ini keturunan mereka, maka
kami mau tak mau harus mengikuti mereka. (QS. al-A'râf: 173)
Dengan demikian,
karena fitrah ini, maka tak ada masalah paksaan. Ajaran Al-Qur'an sepenuhnya
didasarkan pada rasa tanggung jawab—tanggung jawab terhadap diri sendiri dan
masyarakat. Menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan perwujudan
pemberontakan individu melawan kemerosotan moral dan kelemahan masyarakat.
Kisah-kisah yang dibawakan Al-Qur'an kebanyakan menunjukkan unsur pemberontakan
individu melawan lingkungan masyarakat yang merosot moralnya ini. Kisah Nabi
Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, Nabi Muhammad saw, Ashabul Kahfi, orang
mukmin suku Fir'aun, semuanya mengandung unsur ini.
Penyebab miskonsepsi
tentang ketakberdayaan individu terhadap masyarakat dan lingkungan sosial
adalah salah anggapan bahwa untuk senyawan riil maka komponennya sepenuhnya
larut, dan dengan munculnya realitas baru, maka pluralitasnya menjadi unitas
keseluruhan. Katanya hanya ada dua alternatif: eksistensi personalitas,
kemerdekaan dan independensi individu diakui dan konsekuensinya harus ditolak kalau
masyarakat merupakan aktualitas dan kalau masyarakat merupakan senyawa riil;
atau harus diakui bahwa masyarakat merupakan senyawa riil. Untuk alternatif
pertama, posisinya seperti teori pertama dan kedua, dan untuk alternatif kedua,
hams ditolak kalau individu memiliki personalitas, kemerdekaan atau
independensi. Begitulah yang dikatakan proposisi Durkheim. Namun mustahil
memadukan teori-teori alternatif ini. Karena semua indikasi dan argumen
sosiologis mendukung aktualitas masyarakat, maka kontra-teorinya harus dianggap
tidak sahih.
Sesungguhnya semua
senyawa riil—dari sudut pandang filsafat—tidak sama. Alam, dalam tingkatannya
yang rendah, yaitu dalam kasus benda non-organis dan benda mati, menurut
filosof, setiap yang ada diatur oleh satu kekuatan, dan alam menghadapi
semuanya itu dengan cara yang sama. Untuk setiap yang ada itu, komponennya
sepenuhnya mengalami asimilasi, dan eksistensi komponen tersebut sepenuhnya
larut dalam eksistensi keseluruhan. Itulah yang terlihat pada kasus air. Air
merupakan senyawa oksigen dan hidrogen. Namun semakin tinggi tingkatan senyawa,
maka komponennya semakin relatif independensinya terhadap keseluruhan,
akibatnya terjadi pluralitas dalam unitas dan unitas dalam pluralitas. Kita
melihat bahwa manusia, sekalipun dia itu satu, namun dalam dirinya terjadi
pluralitas. Bukan saja kemampuannya dan kekuatan subordinatnya yang untuk
sebagian besarnya tetap plural, namun ada pula pergulatan dan konflik permanen
antarkekuatan internalnya. Masyarakat adalah wujud yang sangat riil, dan
komponennya relatif memiliki banyak independensi.
Komponen masyarakat
adalah manusia. Manusia memiliki akal dan kehendak. Eksistensi individual dan
alamiah manusia mendahului eksistensi sosialnya. Seperti sudah disebutkan
sebelumnya, komponen senyawa yang tinggi tingkatannya relatif tetap independen.
Kalau melihat semua fakta ini, maka semangat individual manusia mampu
menghadapi atau melawan semangat kolektif masyarakat.
Catatan:
[1] Maka kecelakaan yang besarlah bagi arang-orang yang menulis al-Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: "Ini dari Allah",
(dengan maksud) untuk mempewleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka
kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan
mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang
mereka kerjakan. (QS. al-Baqarah: 79) Mereka diliputi kehinaan di mana saja
mereka berada, kecuali jika berpegang pada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah
dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karma mereka kafir kepada
ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Âli 'Imrân: 112)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar