Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Kendatipun pada
masyarakat ada kesatuan, namun dari dalam, masyarakat terbagi menjadi berbagai
kelompok dan kelas, yang terkadang tidak layak. Beberapa masyarakat
setidak-tidaknya begitu. Karena dalam masyarakat ada kutub-kutub yang berbeda
dan terkadang bertentangan, maka dapat dikatakan bahwa pada masyarakat ada
kesatuan dan keragaman. Menurut terminologi kaum fllosof Muslim, masyarakat
diatur oleh "kesatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam kesatuan."
Pada bab-bab
terdahulu sudah dibahas sifat kesatuan pada masyarakat. Sekarang akan dibahas
sifat keragaman pada masyarakat Dalam hubungan ini ada dua teori yang terkenal.
Teori yang pertama didasarkan pada materialisme sejarah dan kontradiksi
dialektika. Menurut teori ini, yang nanti akan diuraikan, masalah kesatuan dan
keragaman masyarakat bergantung pada prinsip kepemilikan. Masyarakat yang tak
ada hak milik pribadi bagi individu-individunya, seperti masyarakat primitif
atau masyarakat yang bisa saja ada di masa mendatang, pada dasarnya masyarakat
satu kutub. Karena itu masyarakat, kalau tidak satu kutub, tentu dua kutub. Tak
ada masyarakat tiga kutub atau lebih. Dalam masyarakat dua kutub, semua manusia
dibagi menjadi dua kelompok atau kelas: yang mengeksploitasi dan yang
dieksploitasi, atau "penguasa dan yang dikuasai". Tak ada kelompok
lain selain dua kelompok ini. Pembagian ini juga berlaku untuk semua urusan
masyarakat, seperti filsafat, etika, agama dan seni. Dengan kata lain, dalam
masyarakat dua kutub ada dua jenis filsafat, dua jenis etika, dua jenis agama
dan seterusnya, yang masing-masing jenis memiliki karakter ekonominya yang
khas. Bagaimanapun juga kalau yang dominan hanya satu filsafat, satu agama atau
satu perangkat aturan moral, maka filsafat, agama atau moralitas itu selalu
diwarnai kelas yang berhasil mewarnai kelas lain seperti yang terkadang
terjadi. Tak mungkin ada filsafat, seni, agama atau moralitas yang bisa lepas
dari pengaruh kelas ekonomi dan yang tak ada warna kelasnya.
Menurut teori yang
kedua, satu kutub atau banyak kutubnya masyarakat tidak ditentukan oleh prinsip
kepemilikan pribadi. Faktor budaya, sosial, ras dan ideologi juga dapat membuat
masyarakat memiliki banyak kutub. Khususnya faktor budaya dan ideologi dapat
berperan penting dalam membagi masyarakat menjadi kubu-kubu yang bertentangan,
atau membuat masyarakat menjadi masyarakat satu kutub bahkan tanpa menghapus
hak milik pribadi.
Sekarang bagaimana
pandangan Al-Qur'an tentang keragaman pada masyarakat. Apakah Al-Qur'an
menerima atau menolak adanya keragaman ini? Jika menerima, apakah Al-Qur'an
berpandangan bahwa adanya dua kutub dalam masyarakat adalah akibat adanya hak
milik pribadi dan eksploitasi, atau Al-Qur'an mengemukakan pandangan lain?
Tampaknya jalan
terbaik atau setidak-tidaknya jalan yang baik untuk memastikan sudut pandang
Al-Qur'an dalam hal ini adalah mengutip kata-kata yang mengandung konotasi
sosial yang dipakai dalam Al-Qur'an, dan mengetahui apa artinya. Kata-kata yang
mengandung arti sosial yang digunakan dalam Al-Qur'an ada dua jenis. Sebagian
hanya berkaitan dengan satu fenomena sosial. Misal, millah (komunitas),
syari'ah (hukum Allah), syir'an (hukum), minhaj (cara hidup), sunnah (tradisi)
dan sebagainya. Kata-kata ini di luar lingkup pembahasan kita sekarang.
Ada kata-kata lain
yang fungsinya adalah sebagai identifikasi sosial bagi semua atau beberapa
kelompok orang. Dengan kata-kata inilah maka dapat diketahui sudut pandang
Al-Qur'an. Kata-kata tersebut adalah qaum (kaum), ummah (umat, komunitas), nas
(manusia), syu'ub (bangsa-bangsa), qaba'U (suku-suku), rasul (rasul Allah), nabi
(nabi), imam (pemimpin), wah (wali), mu'min (orang beriman), kafir (orang tak
beriman), munafiq (munafik), musyrik (orang musyrik), mudzabdzab (orang yang
tak punya pendirian), shiddiq (orang yang benar, setia), syahid (saksi),
muttaqi (orang takwa), shalih (orang saleh), mushlih (pembaru), mufsid
(perusak), amr bil-ma'ruf (menyuruh kebaikan), nahi 'anil-munkar (mencegah
kejahatan), 'alim (orang berilmu), nasih (pemberi peringatan), zhalim (tiran),
khalifah (wakil), rabbani (pendeta, biasanya ahli teologi ), rabbi (rabi
(pendeta Yahudi—peny.)), kahin (tukang tenung, tukang ramal), ruhban (rahib),
ahbar (teolog dan ahli hukum Yahudi), jabbar (yang kuat, lalim), 'ali (yang
kuat, tinggi), musta'li (superior), mustakbir (yang angkuh), mustadh'af (orang
tertindas), mubadzdzir (yang royal, boros), mutrof (yang hidup mewah), thaghut
(penindas, berhala), mala (orang terkemuka, tokoh), ghani (kaya), faqir
(miskin), mamluk (yang diperintah, yang dikuasai), malik (pemilik, tuan), hurr
(orang merdeka), 'abd (hamba), rabb (Tuhan), dan sebagainya.
Ada kata-kata
tertentu lainnya yang kelihatannya menyerupai kata-kata di atas, seperti
mushalli (yang beribadah), mukhlish (yang tulus, yang punya dedikasi), shiddiq
(yang benar, yang setia), munfiq (yang murah hati), mustaghfir (yang berupaya
mendapatkan ampunan dari Allah), ta'ib (yang bertobat), 'abid (yang memuja),
hamid (yang terpuji), dan sebagainya. Bedanya adalah kata-kata ini digunakan
untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan tertentu, bukan untuk menunjukkan
kelompok-kelompok orang. Karena itu tidaklah mungkin kalau kata-kata ini
mengandung arti kelas-kelas sosial.
Ayat-ayat yang
menyebutkan kelompok kata yang pertama, khususnya ayat-ayat yang berkaitan
dengan orientasi sosial, perlu dikaji dengan saksama untuk mengetahui dengan
pasti apakah ayat-ayat itu meliput dua kelompok manusia atau lebih. Misal saja
ayat-ayat itu dianggap meliput dua kelompok, lantas bagaimana karakteristik
khusus kelompok-kelompok ini?
Misal, semua ayat itu
dapat dianggap meliput dua kelompok, yaitu kelompok mukmin dan kelompok kafir,
berdasarkan orientasi keagamaannya, atau dua kelompok, yaitu kelompok kaya dan
kelompok miskin, berdasarkan posisi ekonominya? Dengan kata lain, perlu
diketahui apakah semua kelas dan klasifikasi pada akhirnya berubah menjadi satu
kelas utama, dan semua kelas lainnya hanyalah sub-sub kelasnya? Jika pada
akhirnya berubah menjadi satu kelas, lantas apa dasarnya? Sebagian berpendapat
bahwa, menurut pandangan Al-Qur'an, dalam masyarakat ada dua kutub.
Dalam masyarakat
terutama ada dua kelompok: (1) penguasa dan pengeksploitasi; (2) yang dikuasai,
yang dieksploitasi dan yang ditaklukkan. Kelompok penguasa digambarkan
Al-Qur'an sebagai kelompok "angkuh", sedangkan kelompok yang dikuasai
digambarkan Al-Qur'an sebagai kelompok "tertindas". Klasifikasi lain
seperti kelompok orang beriman dan kelompok kafir, kelompok ahli tauhid dan
kelompok musyrik, atau kelompok orang bajik dan kelompok orang yang berbuat
kerusakan, sifatnya sekunder. Dengan kata lain, penyebab kekafiran, kemusyrikan,
kemunafikan dan sepertinya adalah keangkuhan dan eksploitasi, sedangkan
penyebab beriman, hijrah, jihad, kebajikan, reformasi dan sepertinya adalah
keadaan tertindas. Dengan kata lain, akar dari semua yang oleh Al-Qur'an
disebut penyimpangan dogmatis, moral atau praktis adalah keadaan tertentu dalam
hubungan ekonomi yang dikenal sebagai eksploitasi. Begitu pula, akar dari semua
yang dianjurkan dan didukung Al-Qur'an dari sudut pandang dogmatis, moral atau
praktis adalah keadaan tereksploitasi. Pada dasarnya had nurani manusia
dipengaruhi oleh keadaan kehidupan materialnya. Mustahil terjadi perubahan
keadaan spiritual, psikologis dan moral manusia kalau kondisi kehidupan
materialnya tidak berubah. Berdasarkan ini Al-Qur'an mengatakan bahwa bentuk fundamental
dari upaya sosial adalah upaya kelas. Dengan kata lain, Al-Qur'an memandang
lebih penting upaya sosial ketimbang upaya ekonomi atau moral. Menurut
Al-Qur'an, kaum kafir, kaum munafik, kaum musyrik, kaum pembuat kerusakan dan
kaum tiran merupakan produk dari kelompok-kelompok yang oleh Al-Qur'an disebut
royal, berlebihan, elite, imperial, angkuh dan yang semacam itu. Orang kafir
dan orang yang membuat kerusakan tidak mungkin dari kelompok sebaliknya. Para
nabi, para imam, para wali, para syahid, orang-orang yang hijrah dan kaum
mukmin, semuanya berasal dari kelas tertindas. Tak mungkin mereka ini berasal
dari kelas sebaliknya (kelas penindas). Yang membentuk hati nurani sosial dan
mengarahkan hati nurani seperti ini adalah keadaan menjadi penindas atau
keadaan menjadi tertindas. Semua kualitas lainnya hanyalah perwujudan dari dua
keadaan ini.
Al-Qur'an memandang
semua kelompok yang disebutkan di atas itu sebagai manifestasi dan produk dari
dua kelas yang benar-benar saling bertentangan: (1) kelas angkuh; (2) kelas
tertindas. Al-Qur'an menyebutkan sejumlah kualitas baik seperti bersahaja,
jujur, tulus, beribadah, berwawasan, baik hati, penyayang, ksatria, pa tub,
khidmat, murah hati, mau berkorban, takwa, dan rendah hati. Al-Qur'an juga
menyebutkan sejumlah kualitas buruk seperti berdusta, berkhianat, cabul, sok,
berlagak, tidak bermoral, keras
kepala, keras hati,
kikir, angkuh dan yang semacamnya. Al-Qur'an memandang kualitas jenis pertama
sebagai kualitas yang dimiliki kaum tertindas, dan kualitas jenis kedua sebagai
kualitas yang dimiliki kaum penindas.
Karena itu keadaan
sebagai penindas dan keadaan sebagai tertindas bukan saja merupakan ciri dari
dua kelas yang berbeda dan bertentangan ini, namun juga melahirkan dua jenis
kualitas yang saling bertentangan. Menjadi penindas dan menjadi tertindas
merupakan basis dari semua orientasi, kecenderungan dan pilihan, dan merupakan
akar dari semua fenomena budaya dan publik. Etika, filsafat, seni, sastra dan
agama yang datang dari kelas penindas, menggambarkan orientasi kelas itu,
berfungsi membenarkan status quo dan menyebabkan terjadinya stagnasi dan
fosilisasi. Sebaliknya, etika, filsafat, sastra, seni atau agama yang datang
dari kelas tertindas selalu informatif, membangkitkan semangat, dinamis dan revolusioner.
Kaum yang arogan,
karena mereka penindas dan memiliki prestise sosial, mereka tidak tercerahkan,
tidak lapang hati. Mereka anti-pencerahan, konservatif dan suka damai.
Sebaliknya, kaum tertindas suka perubahan dan revolusioner. Pendek kata, menurut
para pendukung teori ini, Al-Qur'an mendukung pandangan yang mengatakan bahwa
kondisi ekonomilah yang membentuk manusia, menentukan kelas manusia,
mengarahkan manusia dan membentuk fondasi intelektual, moral, religius dan
ideologis manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat Al-Qur'an sebagai keseluruhan,
akan terlihat bahwa pandangan ini merupakan dasar dari ajaran Al-Qur'an.
Karena itu, kriteria
segala sesuatu adalah kelas. Semua klaim dapat dinilai dengan menggunakan
standar ini. Berdasarkan ini maka klaim yang menyatakan bahwa seseorang itu
mukmin, pembaru atau pemimpin, dapat diterima atau ditolak. Kriteria ini bahkan
dapat digunakan untuk menilai klaim nabi atau imam. Sesungguhnya dasar teori
ini adalah konsepsi material tentang manusia dan masyarakat. Tak syak lagi,
Al-Qur'an memandang sangat penting kondisi sosial individu. Namun apakah ini
tidak berarti Al-Qur'an memandang kondisi sosial sebagai fondasi seluruh kelas
dan klasifikasi manusia? Hemat kami, konsepsi tentang masyarakat ini tidak
sesuai dengan pandangan Islam ten tang manusia, alam dan masyarakat, dan
konsepsi tersebut merupakan hasil dari telaah dangkal tentang Al-Qur'an.
Masalah ini dibahas secara terperinci pada judul "Apakah Sejarah Pada
Dasarnya Materialistis ?"
Satu Masyarakat atau
Banyak Masyarakat
Sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa masalah ini penting bagi setiap mazhab, karena masalah ini
menentukan apakah semua masyarakat mungkin ideologinya satu, atau tiap bangsa,
kaum dan budaya harus sendiri-sendiri ideologinya. Kita tahu bahwa arti ideologi
adalah skema untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan dan kesempurnaan.
Kita juga tahu bahwa tiap spesies di dunia ini memiliki sifat dan kemampuannya
sendiri. Karena itu konsepsi tentang kesejahteraan dan kesempurnaan bagi tiap
spesies beda-beda. Kesejahteraan dan kesempurnaan kuda adalah berbeda dengan
kesejahteraan dan kesempurnaan domba atau manusia.
Karena itu, jika
berdasarkan aktualitas masyarakat kita mengira semua masyarakat sifat dan
esensinya satu, dan keragamannya hanya dalam ruang keragaman individualistis
satu spesies, maka dapat kita katakan dengan benar bahwa pada semua masyarakat
ada satu ideologi yang kuat, dan ideologi ini cukup fleksibel untuk diterapkan
pada semua keragaman individualistis. Namun kalau keragaman masyarakat berarti
keragaman sifat dan esensinya, tentu saja untuk mewujudkan kesejahteraan
masing-masing maka dibutuhkan skema yang beragam pula, dan tak mungkin satu
ideologi untuk semua masyarakat.
Muncul pertanyaan
serupa berkenaan dengan perubahan yang dialami masyarakat dengan berlalunya
waktu. Berubahkah esensi masyarakat dengan terjadinya perubahan pada
masyarakat? Apakah perubahan ini bersifat perubahan spesies, ataukah
semata-mata bersifat perubahan sebagian anggota masyarakat, sementara sifat
spesiesnya itu sendiri pada dasarnya tetap tidak mengalami perubahan di tengah
terjadinya berbagai perubahan?
Pertanyaan pertama di
atas berkaitan dengan masyarakat, sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan
sejarah. Sekarang yang dibahas adalah pertanyaan pertama, sedangkan pertanyaan
kedua, pembahasannya nanti ketika membahas sejarah. Melalui telaah sosiologis,
maka akan jelaslah bahwa meskipun masyarakat beragam namun pada dasarnya ada
beberapa karakteristiknya yang sama, bahwa keragamannya hanya bersifat superfisial,
bukan fundamental; atau pada dasarnya masyarakat beda antara yang satu dan yang
lainnya, kendatipun secara lahiriah kelihatannya sama.
Inilah jalan
filosofis untuk memperoleh jawaban pasti bahwa terjadi paradoks (kekacauan,
ambiguitas) sehubungan dengan apakah masyarakat itu tunggal atau beragam.
Ada pula jalan yang
lebih pendek, yaitu melakukan telaah atas manusia itu sendiri. Merupakan fakta
yang tak terpungkiri bahwa semua manusia itu spesiesnya satu. Dari sudut
pandang biologis, manusia tidak mengalami perubahan biologis sejak awal
eksistensinya. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa alam, setelah membawa makhluk
hidup ke tingkat manusia, telah berubah jalannya. Alam telah menggeser proses
evolusi, dari perubahan biologis dan fisis ke perkembangan spiritual.
Pada bagian
terdahulu, ketika membahas sosialitas manusia, sudah disimpulkan bahwa karena
spesies manusia itu satu, bukan banyak, maka pada dasarnya manusia bersifat
sosial. Dengan kata lain, sosialitas manusia dan semangat kolektifnya merupakan
sifat esensialnya yang dibawa sejak lahir. Untuk dapat mencapai kesempurnaan
yang sesuai dengan kemampuannya, manusia memiliki kecenderungan sosial, dan
kecenderungan sosial ini memudahkan lahirnya semangat kolektif, dan pada
gilirannya semangat ini menjadi sarana untuk membawa manusia mencapai
kesempurnaan puncaknya. Fakta bahwa manusia adalah dari spesies tertentu,
menentukan skema semangat kolektif manusia. Dengan kata lain, semangat kolektif
manusia adalah untuk kepentingan fitrahnya. Selama fitrah ini tetap eksis pada
manusia, maka semangat kolektif manusia akan terus menjalankan fungsinya.
Karena itu dapat dikatakan bahwa semangat kolektif manusia merupakan produk
sampingan dari semangat individual manusia, dan, dengan kata lain, itu
merupakan bagian dari fitrahnya. Karena semua manusia itu spesiesnya satu, maka
semua masyarakat manusia juga satu sifatnya.
Karena individu
terkadang menyimpang dari jalan normal fitrahnya, maka masyarakat juga begitu.
Keragaman masyarakat sama dengan keragaman moral individu, yang masih dalam
batas sistem fundamental manusia. Dengan demikian semua masyarakat, budaya dan
semangat kolektif yang mendominasi masyarakat, sekalipun bentuknya beragam,
selalu memiliki warna manusiawi, dan sifatnya tak mungkin keluar dari sifat
manusiawi.
Tentu saja, kalau
yang diterima adalah teori keempat, yaitu teori komposisi masyarakat, dan
individu dipandang hanya sebagai materi reseptif seperti wadah kosong, serta
prinsip fitrah ditolak, maka yang dapat dipertimbangkan hanyalah hipotesis
keragaman fundamental masyarakat. Namun teori ini, seperti dikemukakan
Durkheim, tak dapat diterima, karena pertanyaan terpenting yang masih belum
terjawab oleh teori ini adalah: Kalau semangat kolektif pada prinsipnya bukan berasal
dari semangat individual manusia dan bukan produk sampingan dari fitrah
manusia, lantas dari mana? Apakah semangat kolektif tersebut eksis dari
non-eksistensi mutlak? Untuk menjawab pertanyaan ini, cukup kalau dikatakan
bahwa karena manusia eksis, maka masyarakat pun eksis.
Lagi pula, Durkheim
sendiri berpandangan bahwa masalah sosial seperti agama, prinsip moral, seni
dan sebagainya, eksis dan akan selalu eksis pada semua masyarakat. Dalam
kata-kata Durkheim, permanensinya bersifat termporal dan penyebarannya bersifat
spasial. Ini sendiri membuktikan bahwa semangat kolektif manusia jenisnya satu
dan sifatnya satu.
Menurut ajaran Islam,
hanya ada satu agama. Perbedaan yang terjadi dalam hukum baku, semata-mata
sekunder sifatnya, bukan substansial. Kita juga tahu bahwa agama tak lain
adalah skema evolusi individual dan kolektif. Ini menunjukkan bahwa ajaran
Islam didasarkan pada konsepsi yang menyebutkan bahwa jenis masyarakat itu
tunggal. Seandainva masyarakat itu jenisnya banyak, tentu tujuan evolusionernya
dan cara mencapai tujuan tersebut beragam, dan tentu pula agama itu beragam,
yang pada dasarnya antara agama yang satu dan agama yang lain berbeda. Namun
Al-Qur'an menegaskan bahwa hanya ada satu agama di semua tempat dan masyarakat,
dan di semua zaman dan masa. Dari sudut pandang Al-Qur'an, tak pernah ada
beragam agama. Yang ada adalah satu agama. Semua nabi mendakwahkan dan
mengajarkan satu agama, satu jalan hidup, dan satu tujuan. Al-Qur'an
memfirmankan:
Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. (QS. asy-Syûrâ: 13)
Beberapa ayat Al-Qur'an
mengindikasikan bahwa di mana dan kapan pun para nabi yang diutus oleh Allah
SWT mendakwahkan agama yang sama. Prinsip bahwa pada dasarnya agama tak lebih
dari satu, didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia spesiesnya satu, tak
lebih dari satu. Begitu pula, masyarakat manusia sebagai aktualitas pada
dasarnya jenisnya satu, tidak lebih dari itu.
Masa Depan Masyarakat
Bahwa pada dasarnya
karakter masyarakat dan budaya modern itu berbeda-beda, tak dapat kita terima.
Namun yang tak dapat dinafikkan adalafa bahwa bentuk dan kualitas masyarakat
dan budaya modern memang beragam. Sekarang pertanyaannya adalah: Bagaimana masa
depan masyarakat manusia? Akankah budaya dan peradaban ini, dan masyarakat
serta nasionalitas ini, selalu mem-pertahankan posisinya yang ada? Ataukah
manusia akan menuju kepada satu budaya, satu peradaban dan satu masyarakat, dan
akankah semua masyarakat kelak nanti berpadu menjadi satu? Pertanyaan ini
bergantung pada pertanyaan tentang karakter masyarakat dan hubungan antara semangat
individual dan semangat kolektif.
Jelaslah kalau kita
mempercayai teori bahwa fitrah manusia itu esensial, dan berpandangan bahwa
eksistensi kolektif manusia, kehidupan kolektif manusia dan semangat kolektif
masyarakat merupakan sarana yang dipilih fitrah manusia untuk mencapai
kesempumaannya, maka dapat dikatakan bahwa semua masyarakat, semua budaya dan
semua peradaban tengah dalam proses penyatuan. Masa depan masyarakat manusia
berupa satu masyarakat dunia yang mengalami perkembangan penuh sehingga semua
nilai manusiawi yang mungkin ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai
kesempurnaan, kesejahteraan dan pada akhirnya kebajikan yang aktual.
Dari sudut pandang
Al-Qur'an, bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang dan kepalsuan yang
akan sirna, merupakan fakta yang tak terpungkiri. Pada akhirnya kesalehan dan
ketakwaanlah yang akan jaya. Allamah Thabathaba'i, dalam bukunya
"al-Mîzân", mengatakan: "Kalau kondisi dunia ditelaah dengan
seksama, maka akan terlihat jelas bahwa di masa depan manusia, yang juga bagian
dari dunia, akan mencapai kesempumaannya. Al-Qur'an mengatakan bahwa tegaknya
Islam di dunia tak terelakkan. Itulah bentuk lain dari perkataan bahwa manusia
akan mencapai kesempumaannya. Bila Al-Qur'an mengatakan: ' Wahai orang-orang
beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya.' (QS. al-Mâ`idah: 54) Maka sesungguhnya Al-Qur'an ingin
menegaskan untuk apa perlunya ada alam semesta, dan ingin menggarnbarkan nasib
atau puncak takdir manusia." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 106)
Al-Qur'an
memfirmankan sebagai berikut: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun
dengan Aku. (QS. an-Nûr: 55)
Di tempat lain
Al-Qur'an memfirmankan: Sesungguhnya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang
saleh. (QS. al-Anbiyâ': 105). Allamah Thabathaba'i, penulis
"al-Mîzân", pada Bab "Percaya Pada Batas Dunia Islam, bukan
Batas Geografis atau Kontraktualnya", mengatakan sebagai berikut:
"Islam mencabut
prinsip yang menyebutkan bahwa adanya bangsa-bangsa efektif perannya dalam
membentuk masyarakat. Ada dua faktor utama yang menyebabkan adanya
bangsa-bangsa ini. Faktor pertama adalah kehidupan suku yang primitif yang
didasarkan pada afinitas (persamaan) rasial, dan faktor kedua adalah perbedaan
wilayah geografis. Kedua faktor ini merupakan penyebab utama terbaginya umat
manusia menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku. Kedua faktor ini juga merupakan
sumber perbedaan bahasa dan warna kulit. Kedua faktor ini pada tahap
selanjutnya merupakan alasan kenapa setiap bangsa menguasai wilayah tertentu,
lalu menyebutnya tanah airnya dan mempertahankannya. Sekalipun ini merupakan
proses yang alamiah, namun membawa sesuatu yang bertentangan dengan fitrah
manusia. Fitrah manusia ini menghendaki seluruh umat manusia hidup sebagai satu
keseluruhan dan satu unit. Hukum alam juga didasarkan pada menyusun apa yang
berserak dan menyatukan apa yang terpisah. Melalui proses ini alam mencapai
tujuannya.
Efektivitas hukum ini
akan kelihatan kalau kita telaah fenomena alam dan kalau kita tahu mengapa
materi primer berbentuk elemen dan kemudian berbentuk tumbuhan, kemudian
berbentuk binatang dan akhirnya berbentuk manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku
meski menyatukan orang-orang yang sama negaranya dan sama sukunya, namun juga
menempatkan orang-orang ini berhadap-hadapan dengan unit-unit manusia lainnya.
Orang-orang yang sama negaranya memandang satu sama lain sebagai saudara,
memandang orang-orang yang tidak senegara sebagai orang asing, dan memandang
mereka seakan-akan objek tak bernyawa yang hanya layak dieksploitasi. Itulah
sebabnya mengapa Islam menghapus perbedaan bangsa dan suku, suatu perbedaan
yang memecah-belah ras manusia. Islam menyatakan bahwa iman (upaya menemukan
kebenaran yang memiliki nilai yang sama bagi semua orang dan yang tentu saja
jadi kecenderungan semua orang), bukannya ras, negara atau kebangsaan,
merupakan tempat berkumpulnya umat manusia. Bahkan dalam masalah-masalah
seperti nikah dan waris, Islam menegaskan seiman sebagai kriterianya."
(al-Mîzân, Jilid 4 halaman 132-133)
Masih dalam buku yang
sama, pada Bab "Akhirnya Agama yang Benar yang Menang", penulis
mengatakan: "Umat manusia, atas kekuatan fitrahnya, secara kolektif
berupaya mewujudkan kesejahteraan dan kesempurnaan sejati. Dengan kata lain,
ingin mencapai posisi yang paling tinggi dalam kehidupan material dan
spiritual, dan kelak umat manusia tentu akan mencapai posisi itu. Islam, karena
merupakan agama monoteisme sejati, memberikan skema untuk meraih tujuan yang
didambakan ini. Penyimpangan yang menjadi nasib manusia ketika manusia menempuh
perjalanan panjang untuk sampai ke tujuan ini, jangan diartikan bahwa fitrah
manusia atau kematiannya tidak memiliki kekuatan hukum. Sesungguhnya manusia
selalu mendapat instruksi otoritatif dari fitrahnya. Penyimpangan dan kesalahan
terjadi akibat semacam salah menerapkan instruksi otoritatif fitrahnya. Cepat
atau lambat kelak manusia akan meraih kesempurnaan itu, kesempurnaan yang
diupayakannya atas dasar fitrahnya. Konsepsi ini dapat disimpulkan dari
Al-Qur'an Surah ar-Rûm: 30-41. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa instruksi
otoritatif fitrah manusia bersifat final, dan bahwa manusia pasti akan
menemukan jalannya setelah melakukan beberapa eksperimen dan setelah mencari ke
mana-mana. Begitu menemukan jalannya, manusia akan tetap padajalannya ini.
Jangan dengarkan orang-orang .yang mengatakan bahwa Islam merupakan satu tahap
budaya manusia yang sudah selesai misinya dan sekarang Islam tak lebih dari
sebuah peninggalan sejarah yang masa pakainya lebih lama daripada kegunaannya.
Islam, dalam pengertian yang kita tahu dan kita bahas, adalah kesempumaan
puncak yang kelak pasti dicapai manusia, karena kesempumaan puncak merupakan
tuntutan hukum alam." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 14)
Sebagian berpandangan
bahwa Islam sama sekali tidak menganjurkan budaya dan masyarakat manusia yang
tunggal. Islam justru mendukung dan mengakui budaya dan masyarakat yang
beragam. Mereka mengatakan bahwa kepribadian dan identitas suatu bangsa sama
dengan budayanya, sedangkan budaya mewakili semangat atau jiwa kolektifnya.
Jiwa kolektif suatu bangsa terbentuk oleh sejarah khusus bangsa tersebut, dan
sejarah khusus ini tidak di-miliki bangsa lain. Alam membentuk manusia. Sejarah
membentuk budaya manusia, kepribadiannya dan ego sejatinya. Setiap bangsa memiliki
karakteristiknya dan budaya khasnya, dan karakteristik serta budaya khas ini
membentuk kepribadiannya. Kalau suatu bangsa melindungi budayanya, sesungguhnya
artinya adalah bahwa bangsa itu melindungi identitasnya.
Kita tahu bahwa
kepribadian dan identitas setiap individu adalah kepribadian dan identitasnya.
Mencampakkan kepribadian dan identitas sendiri, dan kemudian mengambil
kepribadian dan identitas orang lain, berarti melucuti diri sendiri, dan
berarti pula menjadi jauh dari diri sendiri. Bagi setiap bangsa, budaya yang
tidak menjadi bagian dari kehidupannya selama sejarah panjangnya, maka budaya
tersebut asing baginya. Setiap bangsa memiliki perasaan dan sentimen tertentu.
Setiap bangsa memiliki pandangan dan cita rasanya sendiri. Setiap bangsa memiliki
sastra, musik dan adabnya sendiri. Setiap bangsa suka hal-hal tertentu yang
tidak disukai bangsa lain. Budaya suatu bangsa merupakan produk dari kesuksesan
dan kegagalannya selama periode panjang sejarahnya. Budaya mencerminkan suka
duka suatu bangsa, pergaulan suatu bangsa, iklim wilayah suatu bangsa,
kepribadian suatu bangsa, dan gelombang imigrasi yang diterima suatu bangsa.
Budaya suatu bangsa memberikan bentuk tertentu dan dimensi tertentu kepada jiwa
kolektif dan jiwa nasional bangsa yang bersangkutan. Filsafat, ilmu
pengetahuan, sastra, agama dan etika merupakan unsur-unsur yang selama periode
demi periode sejarah-bersama suatu kelompok manusia terbentuk dan terpadu
sedemikian sehingga memberikan eksistensi yang pada dasarnya khas kepada kelompok
itu. Proses ini melahirkan suatu jiwa atau semangat yang menciptakan hubungan
organis dan sangat penting di antara pribadi-pribadi yang membentuk kelompok
itu. Proses ini juga membuat pribadi-pribadi itu menjadi anggota dari suatu
kelompok khas. Jiwa inilah yang menjadikan eksistensi kelompok ini independen
dan nyata. Jiwa ini pulalah yang memberi kelompok itu suatu kehidupan yang
membedakan kelompok itu dari kelompok budaya lainnya untuk selamanya.
Jiwa ini jelas terasa
bukan saja dalam perilaku kolektif dan jiwa kolektif kelompok itu, namun juga
terasa dalam reaksi kelompok itu terhadap alam, kehidupan dan segala yang
terjadi. Mungkin terasa bukan saja dalam sentimen, hasrat dan kecenderungan
kelompok itu, namun juga dalam karya ilmiah dan seni produk kelompok itu.
Ringkas kata, jiwa ini dapat terlihat dan terasa dalam segala bidang kehidupan
manusia, baik material maupun spiritual.
Dikatakan bahwa agama
adalah ideologi, iman dan sentimen serta tindakan yang lahir dari iman.
Sedangkan nasionalitas adalah "kepribadian" dan segi-segi khas yang
diciptakan oleh jiwa yang sama dari individu-individu yang bernasib sama.
Karena itu hubungan antara nasionalitas dan agama persis seperti yang terjadi
antara kepribadian dan iman. Juga dikatakan bahwa kalau Islam menentang
diskriminasi rasial dan hegemoni nasional, itu tidak berarti Islam menentang
keragaman nasionalitas dalam masyarakat manusia. Prinsip persamaan hak dalam
Islam tidak berarti menolak nasionalitas. Artinya justru Islam mengakui
eksistensi nasionalitas sebagai fakta tak terbantahkan dan fenomena alam yang
tak teringkari. Ayat berikut ini, yang sering dikutip sebagai hujah penolakan
Islam akan nasionalitas, sesungguhnya menegaskan dan mendukung eksistensi
nasionalitas. Ayat ini mengatakan: Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu soling mengenal Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.
(QS. al-Hujurât: 13)
Ayat ini,
pertama-tama menyebutkan golongan-golongan manusia dari sudut pandang jenis
kelamin. Dan golongan seperti ini alamiah sifatnya. Segera setelah itu ayat ini
menyebutkan penggolongan selanjutnya dari sudut pandang bangsa dan suku. Ini
menunjukkan bahwa penggolongan kedua ini juga alamiah dan merupakan takdir
Allah SWT, seperti halnya penggolongan manusia menjadi laki-laki dan perempuan.
Karena itu jelaslah kalau Islam menginginkan hubungan khusus antara laki-laki
dan perempuan, dan tidak ingin menghapus perbedaan jenis kelamin, maka Islam
juga mendukung terbinanya hubungan antarbangsa berdasarkan persamaan hak, dan
tidak menginginkan terhapusnya kebangsaan. Fakta bahwa Al-Qur'an menyebutkan
bahwa Allahlah yang menciptakan bangsa-bangsa, dan Allah jugalah yang
menciptakan laki-laki dan perempuan, artinya adalah bahwa eksistensi
bangsa-bangsa merupakan realitas alamiah yang selaras dengan skema alam
semesta. Fakta bahwa Al-Qur'an menyebut saling mengenal sebagai filosofi di
balik eksistensi banyak bangsa, menunjukkan bahwa setiap bangsa memiliki
karakter khusus, dan karena karakter khusus inilah maka bangsa yang satu beda
dengan bangsa yang lain, dan karakter khusus ini juga yang mengkristalisasikan
dan melahirkan kepribadian setiap bangsa.
Dengan demikian, beda
dengan kepercayaan umum, Islam tidak menentang nasionalisme seperti itu.
Sesungguhnya Islam mendukung nasionalisme dalam pengertian budayanya. Yang
ditentang oleh Islam adalah nasionalisme dalam pengertian rasialnya. Dengan kata
lain, Islam menentang rasisme saja. Teori ini sekali lagi salah dalam beberapa
hal. Teori ini didasarkan pada konsepsi tertentu tentang manusia dan pandangan
tertentu tentang material budaya: filsafat, ilmu pengetahuan, seni dan etika.
Kedua gagasan ini salah.
Ada anggapan bahwa
manusia—dari sudut pandang akal, yaitu bagaimana dia melihat dunia ini dan
bagaimana pengertiannya tentang dunia ini, dan sudut pandang emosi dan
perilaku, yaitu apa maunya, bagaimana langkahnya dan bagaimana maksud atau
tujuannya—secara potensial bahkan tak ada isi dan bentuknya. Baginya, semua
pikiran, sentimen, adab dan tujuan sama saja. Dia bagaikan wadah kosong yang
tak ada bentuk atau wamanya. Setiap sisi kepribadiannya ditentukan oleh apa
yang kemudian masuk ke dirinya. Sesungguhnya manusia memiliki ego, kepribadian,
cara dan adab serta tujuan, setelah dia memperoleh masukan yang terjadi
kemudian. Berkat masukan ini dia jadi berbentuk dan berkepribadian. Apa pun
warna, bentuk, kualitas, kepribadian dan tujuan yang diberikan masukan
ini—yaitu masukan yang pertama—kepadanya, maka itulah warna sejatinya, bentuk
sejatinya, kualitas sejatinya, kepribadian sejatinya dan tujuan sejatinya,
karena "diri"-nya dibentuk oleh masukan ini. Kalau terjadi perubahan
pada kepribadian dan warnanya akibat masukan yang diterimanya di kemudian hari,
itu hanya pinjaman dan asing, karena masukan yang terjadi di kemudian hari itu
tetap asing baginya, karena tidak selaras dengan kepribadian sejatinya.
Perubahan tersebut terjadi semata-mata karena kejadian sejarah. Teori ini
diilhami oleh teori keempat tentang fundamentalitas individu dan masyarakat.
Menurut teori keempat tersebut, hanya masyarakadah yang esensial. Teori ini
sudah diulas sebelumnya.
Pandangan ini tentang
manusia tidak kuat, baik dari sudut pandang filsafat maupun Islam. Manusia,
dengan kekuatan fitrahnya, setidaknya secara potensial, memiliki kepribadian
tertentu dan tujuan tertentu yang didasarkan pada karakter bawaannya, suatu
karakter yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, dan karakter bawaan ini membentuk
"diri" sejatinya. Distorsi yang terjadi pada karakter dasarnya dan
dehumanisasinya harus dinilai dengan standar kualitas esensial dan bawaannya,
bukan dengan standar sejarah. Budaya yang sesuai dengan fitrah manusia dan yang
membantu perkembangan fitrah, maka budaya itu adalah sebenar-benar budaya,
sekalipun budaya itu mungkin saja bukan budaya pertama yang didapatnya dari
kondisi sejarah. Dan budaya yang tidak sesuai dengan fitrahnya, maka budaya itu
asing baginya, semacam penyimpangan identitasnya, dan berarti pemalsuan
"diri"-nya, kendatipun mungkin saja produk sejarah bangsanya. Misal,
ajaran tentang dualitas dan pengkudusan api merupakan penyimpangan manusia
Iran, meskipun diyakini sebagai produk sejarah Iran. Sebaliknya, ajaran tentang
monoteisme dan penolakan untuk menyembah selain Allah SWT merupakan kembali ke
identitas sejati manusia, kendatipun ajaran tersebut mungkin bukan produk tanah
air bangsa Iran.
Mengenai material
budaya manusia, ada salah anggapan bahwa material budaya tersebut bentuknya
tidak pasti, dan bahwa yang menentukan bentuk dan kualitas material budaya
tersebut adalah faktor-faktor sejarah. Namun filsafat tetap filsafat, apa pun
bentuknya. Begitu pula, ilmu pengetahuan tetap ilmu pengetahuan, agama tetap
agama, prinsip moral tetap prinsip moral, dan seni tetap seni, apa pun bentuk
dan warnanya. Kualitas dan bentuknya relatif, bergantung pada sejarah. Sejarah
dan budaya setiap bangsa melahirkan bentuk tertentu filsafat, agama, etika dan
seni, yang khas bag! bangsa itu. Dengan kata lain, kalau manusia tidak memiliki
identitas atau bentuk, dan dia memiliki sifat-sifat ini dari budaya, maka
prinsip dan material utama budaya manusia juga tak ada bentuk atau warnanya.
Sejarahlah yang memberinya bentuk dan menanamkan sifatnya padanya. Beberapa
sosiolog, seperti Spengler misalnya, dalam hal ini bahkan sampai mengklaim
bahwa: Temikiran matematis pun dipengaruhi oleh pendekatan tertentu suatu
budaya." (Dikutip oleh Raymond Aron, Main Currents in Sociological
Thought, Jilid 1 halaman 107)
Teori ini juga yang
dikenal sebagai teori relativitas budaya manusia. Dalam "Prinsip-prinsip
Filsafat" sudah dibahas masalah kemutlakan dan relativitas pikiran, dan
sudah dibuktikan bahwa hanya persepsi dan ilmu praktis saja yang relatif dan
berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Persepsi seperti itu tidak
mencerminkan realitas dan tidak mungkin menjadi kriteria untuk menilai mana
yang benar dan otentik serta mana yang salah dan palsu. Sebaliknya, pikiran dan
persepsi teoretis yang merupakan produk filsafat dan ilmu teoretis, seperti
prinsip-prinsip konsepsi religius tentang dunia dan prinsip-prinsip pokok
etika, justru solid, mutlak dan tidak relatif. Sayangnya masalah ini tak dapat
dibahas lebihjauh.
Kedua, mengatakan
bahwa agama adalah iman, sedangkan nasionalitas adalah identitas pribadi, bahwa
hubungan antara keduanya ini adalah hubungan iman dan kepribadian, dan bahwa
Islam menegaskan dan mengakui kepribadian bangsa sebagaimana adanya, sama saja
dengan menafikan misi terpenting agama. Misi agama, khususnya agama Islam,
adalah menanamkan konsepsi tentang dunia, suatu konsepsi yang didasarkan pada
pengetahuan yang benar tentang sistem universal yang mempengaruhi
prinsip-prinsip tauhid, untuk membangun kepribadian spiritual dan moral manusia
dengan berlandaskan konsepsi itu, dan untuk mendidik individu dan masyarakat
dengan suatu dasar yang menunjukkan fondasi suatu budaya baru, budaya yang
manusiawi, bukan kebangsaan. Islam membawa suatu budaya untuk dunia, budaya
yang sekarang dikenal sebagai budaya Islam. Islam melakukan itu bukan
semata-mata karena setiap agama begitu ada kontak dengan budaya yang ada,
kurang lebih mempengaruhi budaya yang ada itu atau justru dipengaruhi budaya
yang ada itu. Alasannya adalah membawa budaya baru merupakan bagian dari misi
agama Islam. Misi Islam antara lain adalah melucuti manusia dari budayanya,
suatu budaya yang semestinya tidak menjadi budayanya, kemudian memberi manusia
budaya yang bukan budayanya namun semestinya menjadi budayanya, dan menegaskan kepada
manusia tentang apa yang dimilikinya dan apa yang semestinya dimilikinya. Suatu
agama yang tidak ikut campur dalam budaya-budaya nasional yang ada dan yang
tidak selaras dengan semua budaya itu, manfaatnya hanya sekali seminggu, yaitu
di gereja.
Ketiga, Surah al-Hujurât
ayat 13 tidak berarti mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan kamu dalam dua
jenis kelamin, sehingga dapat dinyatakan bahwa dalam ayat ini yang mula-mula
disebutkan adalah penggolongan manusia dari segi jenis kelamin, dan segera
setelah itu disebutkan penggolongan yang lain dari segi kebangsaan. Tak dapat
diklaim bahwa ayat ini menunjukkan perbedaan jenis kelamin itu alamiah, karena
itu ideologi harus dirumuskan dengan berdasarkan perbedaan ini, bukan
berdasarkan penolakan akan perbedaan ini, dan bahwa hal yang sama berlaku pula
untuk keragaman bangsa.
Sesungguhnya arti
ayat ini adalah "Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan." Maksud ayat ini adalah bahwa semua manusia adalah keturunan
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, atau bahwa semua manusia adalah
sama sepanjang masing-masing beribu-bapak satu, dan dalam hal ini tak ada
perbedaan.
Keempat, frase agar
kamu saling mengenal, yang disebutkan sebagai tujuannya, tidak berarti bahwa
terjadinya keragaman bangsa adalah untuk tujuan ini. Karena itu salah kalau
berkesimpulan bahwa bangsa-bangsa harus independen personalitasnya sehingga
antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain dapat dibedakan. Seandainya
tujuannya seperti ini, maka frase yang digunakan bukannya agar kamu saling
mengenal melainkan semestinya agar mereka saling mengenal Ayat ini mengatakan
bahwa keragaman ini ada hikmahnya, dan hikmah tersebut adalah agar mereka
saling mengenal melalui suku dan bangsa mereka. Kita tahu bahwa tujuan ini
dapat dicapai dengan cara lain pula, dan bangsa-bangsa serta
komunitas-komunitas tidaklah perlu personalitasnya tetap independen terhadap
satu sama lain.
Kelima, pembicaraan
sebelumnya tentang teori Islam mengenai ketunggalan dan keragaman karakter
masyarakat sudah cukup untuk membuktikan kesalahan teori di atas. Dalam
pembahasan itu sudah kami jelaskan bahwa secara alamiah masyarakat melangkah
menuju terbentuknya satu masyarakat dan satu budaya. Dalam Islam, filosofi
Mahdisme didasarkan pada konsepsi tentang masa depan Islam, manusia dan dunia
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar