Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Definisi dan Arti
Penting Ideologi
Apakah ideologi itu,
dan bagaimana definisinya? Perlukah manusia sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat untuk mengikuti mazhab dan mempercayai ideologi? Apakah
keberadaan ideologi diperlukan oleh orang seorang atau masyarakat? Sebelum
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu adanya mukadimah.
Ada dua macam
aktivitas manusia: yang menyenangkan dan yang politik. Aktivitas yang
menyenangkan adalah aktivitas yang dilakukan manusia untuk mendapatkan
kesenangan atau untuk melepaskan diri dari kepedihan yang terjadi akibat
pengaruh langsung nalurinya, karakter pembawaan atau kebiasaannya (yang juga
merupakan kecenderungan yang terbentuk akibat lingkungan atau pengalaman dan
sudah menjadi naluri, dan bukan karakter bawaan). Misal, kalau orang merasa
haus, dia akan mengambil segelas air, bila dia melihat binatang penyengat, dia
akan mengambil langkah seribu, dan kalau dia merasa ingin merokok, dia akan
menyalakan rokok.
Perbuatan seperti itu
sesuai dengan keinginan manusia dan berhubungan langsung dengan kesenangan dan
kesedihan. Perbuatan yang menyenangkan membuat manusia tertarik untuk
melakukannya, sedangkan perbuatan yang menyedihkan menjauhkan manusia dari
perbuatan seperti itu. Politik merupakan aktivitas, yang aktivitas itu sendiri
tidak menarik dan juga tidak menjijikkan. Naluri manusia atau karakter fitrinya
tidak mendorong manusia untuk melakukan aktivitas seperti itu dan juga tidak
menjauhkannya dari aktivitas seperti itu.
Manusia melakukan
aktivitas seperti itu atau menghindari aktivitas seperti itu atas dasar
kehendaknya sendiri karena dia merasa berkepentingan untuk melakukan aktivitas
seperti itu atau tidak melakukan aktivitas seperti itu. Dengan kata lain, dalam
kasus ini penyebab utama dan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu adalah kepentingannya dan bukan kesenangan. Yang
mendorong manusia untuk memperoleh kesenangan adalah nalurinya, sedangkan yang
mendorong manusia untuk melakukan kepentingannya adalah akal. Kesenangan
merangsang hasrat, sedangkan kepentingan membangkitkan kehendak. Manusia
memperoleh kesenangan dari perbuatan yang menyenangkan ketika melakukan
perbuatan itu. Namun manusia tidak memperoleh kesenangan dari perbuatan politik,
sekalipun mungkin dia merasa bahagia karena merasa melakukan sesuatu yang dalam
jangka panjang benar dan baik bagi dirinya. Ada perbedaan antara perbuatan yang
mendatangkan kesenangan dan perbuatan yang tidak mendatangkan kesenangan dan
mungkin justru menimbulkan kesulitan, meskipun manusia mungkin melakukannya
dengan suka hati. Perbuatan politik tidak mendatangkan kesenangan, karena
tidak memberikan hasil langsung. Namun demikian, perbuatan politik memberikan
kepuasan. Kesenangan dan kesulitan lazim dialami oleh manusia dan binatang.
Namun kebahagiaan dan ketidakbahagiaan serta kepuasan dan kekecewaan hanya
dialami oleh manusia. Begitu pula, menghasratkan sesuatu hanya terjadi pada
manusia. Kepuasaan, kekecewaan dan berkeinginan merupakan fungsi-fungsi mental.
Ketiga hal ini hanya ada dalam wilayah pikiran manusia, bukan dalam wilayah
persepsi inderawi.
Telah kami sebutkan
bahwa manusia melakukan perbuatan politik dengan bantuan akalnya dan
pengendalian dirinya. Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan kesenangan
dilakukan oleh manusia atas perintah perasaan dan kecenderungannya. Maksud dari
perbuatan yang dilakukan atas perintah akal adalah bahwa kemampuan akal dalam
mengkalkulasi melihat adanya manfaat, kesenangan atau kesempurnaan, menemukan
cara untuk memperolehnya, yang terkadang boleh jadi melelahkan, dan kemudian
berencana mendapatkannya. Arti dari melakukan perbuatan dengan bantuan
pengendalian diri adalah bahwa manusia memiliki kemampuan yang menjadi
sifatnya. Peran kemampuan ini adalah melakukan tindakan yang direstui oleh
akal. Tindakan ini boleh jadi terkadang bertentangan dengan kecenderungan
naluriahnya. Naluri muda seorang pelajar mengajaknya makan, minum, bersukaria,
tidur dan bersetubuh, namun pikirannya yang tajam mengingatkannya tentang akibat
buruk dari perbuatan-perbuatan ini dan mendorongnya untuk tetap jaga, bekerja
keras dan untuk tidak memperturutkan kata hati untuk hidup mewah dan untuk
tidak memperturutkan hawa nafsu. Pada masa ini manusia lebih suka mengikuti
ajakan akal, karena menguntungkan dirinya, dan lebih suka mengabaikan ajakan
nalurinya yang hanya menunjukkan kesenangan saja. Begitu pula, pasien tak suka
minum obat yang pahit rasanya, namun dia tetap saja harus minum obat karena
perintah akalnya yang memberikan petunjuk yang benar atau karena kekuatan
kehendaknya yang dapat mengatasi kecenderungan naluriahnya.
Semakin kuat akal dan
kehendak, semakin kuat kendalinya atas naluri, sekalipun kecenderungannya
menghendaki sebaliknya. Dalam melakukan aktivitas politiknya, manusia pada
setiap tahap mempraktikkan teori atau rencana. Semakin maju akal dan kehendak
seseorang, semakin bersifat politik aktivitasnya, bukannya bersifat kesenangan.
Semakin dekat dia dengan cakrawala sisi hewaninya, aktivitasnya semakin
bersifat kesenangan bukannya politik, karena aktivitas yang bersifat mencari
kesenangan kebanyakan merupakan aktivitas hewaniah.
Kita juga melihat
binatang yang aktivitas tertentunya diarahkan untuk mencapai tujuan jangka
panjang, seperti membuat sarang, migrasi, kawin dan reproduksi. Namun binatang
tersebut melakukan aktivitas ini secara tidak sadar dan bukan karena
pilihannya sendiri yang diambil setelah menentukan apa yang ingin dicapainya
dan cara pencapaiannya. Sebaliknya, binatang tersebut melakukan aktivitas ini
atas dasar ilham naluriah dari luar dirinya.
Mungkin saja ruang
lingkup aktivitas politik manusia berkembang sehingga mencakup beberapa
aktivitas kesenangan. Karena itu semua aktivitas manusia, sejauh mungkin, harus
direncanakan dengan matang sehingga aktivitas kesenangan juga ada manfaatnya di
samping sebagai kesenangan. Setiap aktivitas naluriah yang menanggapi perintah
naluri, hendaknya mematuhi perintah akal juga. Kalau dalam aktivitas politik
juga ada aktivitas kesenangan, dan jika aktivitas kesenangan menjadi bagian
dari rencana politik umum kehidupan, maka naluri akan selaras dengan akal dan
hasrat akan selaras dengan kehendak. Karena aktivitas politik berkisar pada
seputar tujuan jangka panjang, tentu saja aktivitas ini membutuhkan
perencanaan, metode dan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan. Mengingat
aktivitas ini ada segi individualistisnya, karena direncanakan oleh para
induvidu untuk kepentingan dirinya, maka akal individulah yang menetapkan
metode dan sarananya. Tentu saja, pilihan ditentukan oleh pengetahuan,
informasi dan kemampuan menilainya.
Kendatipun aktivitas
politik manusia penting sekali bagi sisi manusiawinya, namun aktivitas itu
saja, apa pun kualitasnya, belumlah cukup untuk memberikan karakteristik
manusiawi kepada semua aktivitasnya. Memang akal, pengetahuan dan perencanaan
merupakan separo dari sisi manusiawi manusia, namun belum memadai untuk
memberikan karakteristik manusiawi kepada aktivitas manusia. Aktivitas manusia
baru dapat disebut manusiawi kalau sesuai dengan kecenderungan yang lebih
tinggi, di samping rasional dan didasarkan pada kesadaran, atau setidaknya
tidak bertentangan dengan kecenderungan yang lebih tinggi itu. Kalau tidak,
maka aktivitas kriminal pun terkadang perencanaan dan pelaksanaannya sangat
bagus. Rencana imperialis yang jahat menunjukkan fakta ini. Dalam Islam,
rencana atau upaya yang dibuat untuk mencapai tujuan material dan hewani yang
tidak sesuai dengan kecenderungan manusiawi dan religius dianggap buruk dan
jahat. Bagaimanapun juga, aktivitas politik tidak manusiawi. Kalau aktivitas
tersebut sifatnya hewani, maka jauh lebih berbahaya danpada aktivitas yang
murni kesenangan. Misal, binatang, untuk mengisi perutnya, mencabik-cabik
binatang lain atau manusia. Namun manusia yang dapat berhitung dan berencana, maka
untuk mencapai tujan yang sama dia menghancurkan banyak kota dan membantai
berjutajuta orang tak berdosa.
Pertanyaan apakah
tujuan yang diusulkan oleh akal cukup atau tidak cukup untuk memenuhi
kepentingan para individu, kita kesampingkan. Dengan kata lain, kita
kesampingkan pertanyaan mengenai batas efektivitas akal para individu dalam
menentukan kepentingannya masing-masing. Namun, bagaimanapun juga, tak ada
keraguan bahwa kemampuan berpikir diperlukan dan bermanfaat untuk membuat
perencanaan hidup yang parsial dan terbatas. Dalam hidupnya, manusia menghadapi
banyak problem seperti memilih teman, memilih bidang pendidikan, memilih
pasangan hidup, memilih pekerjaan, bepergian, perilaku dalam masyarakat,
rekreasi, aktivitas yang bajik, melawan praktik tidak bermoral dan jahat, dan
seterusnya. Untuk semua ini, manusia tentu saja perlu berpikir dan membuat
perencanaan. Semakin keras berpikir, semakin besar kemungkinannya untuk sukses.
Dalam beberapa kasus dia bahkan perlu bantuan pikiran dan pengalaman orang lain
(prinsip konsultasi). Dalam semua kasus ini manusia membuat perencanaan dan
kemudian melaksanakannya.
Namun demikian,
pertanyaan yang masih mengganjal adalah, apakah pada skala yang lebih luas
manusia mampu membuat perencanaan umum yang meliputi semua problem kehidupan
pribadinya dan yang dapat diterapkan pada segala situasi, atau dia hanya mampu
menangani beberapa kasus tertentu dan skalanya juga terbatas, dan apakah
meliputi segala situasi dan menjamin kesuksesan di segala hal berada di luar
kemampuan akal manusia.
Kita tahu bahwa
beberapa filosof mempercayai teori "mampu memenuhi kebutuhan
sendiri". Mereka mengklaim menemukan jalan untuk bahagia dan tidak
bahagia, dan dapat hidup bahagia dengan hanya bersandar pada kehendak dan
kekuatan pikir mereka sendiri. Kita juga tahu bahwa tak dapat ditemukan dua
filosof yang, berkenaan dengan jalan ini, pendapatnya satu.
Kebahagiaan itu
sendiri, yang menjadi tujuan final, termasuk dalam hal-hal yang sangat mendua,
sekalipun konsepsi mengenai kebahagiaan sekilas tampak sangat jelas. Masih
belum jelas apa sebenarnya kebahagiaan dan apa saja yang mewujudkan kebahagiaan.
Manusia sendiri dan kemampuannya belum diketahui. Sepanjang manusia belum
diketahui, mana mungkin kita dapat mengetahui apa sebenarnya kebahagiaan dan
bagaimana memperoleh kebahagiaan?
Lagi pula, manusia
adalah makhluk sosial. Kehidupan sosialnya membawa beribu-ribu problem bagi
dirinya yang tak dapat dipecahkannya. Biar bagaimanapun tugasnya haruslah
jelas. Mengingat manusia adalah makhluk sosial, maka kebahagiaannya,
aspirasinya, standar baik dan buruknya, jalan hidupnya, pilihannya akan sarana
hidup, jalin berkelindan dengan kebahagiaan sesama manusia, aspirasi mereka,
standar baik dan buruk mereka, jalan hidup mereka dan pilihan mereka akan sarana
hidup. Manusia tidak dapat memilih jalannya tanpa bergantung pada sesamanya.
Manusia harus mencari kebahagiaannya di jalan yang membawa masyarakat ke
kebahagiaan dan kesempurnaan.
Jika mempertimbangkan
masalah roh yang abadi, dan akal yang tidak memiliki pengalaman dengan
kehidupan akhirat, maka problemnya menjadi jauh semakin sulit. Kini di sini
terlihat kebutuhan akan mazhab, ideologi, teori umum atau sistem yang
komprehensif dan harmonis, yang tujuan pokoknya adalah ke-sempurnaan manusia
dan kebahagiaan bagi semua. Sistem ini harus memerinci prinsip-prinsip pokok,
berbagai metode, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, perbuatan baik dan
buruk, tujuan dan sarana, tuntutan dan pemecahannya, tanggung jawab dan
kewajiban. Juga harus menjadi sumber yang mendorong semua individu untuk
menjalankan kewajiban.
Sejak awal, atau
setidaknya sejak perkembangan kehidupan sosial melahirkan begitu banyak
perselisihan,[1] manusia membutuhkan ideologi atau, dalam terminologi Al-Qur'an
disebut dengan "syariat". Waktu berlalu, dan manusia semakin maju,
kebutuhan ini pun kian kuat. Di masa dahulu, kecenderungan rasial, kebangsaan
dan kesukuan menguasai masyarakat-masyarakat manusia, seperti misalnya semangat
kebersamaan. Semangat ini kemudian melahirkan serangkaian ambisi—sekalipun
tidak manusiawi—yang memper-satukan masing-masing masyarakat, dan memberinya
orientasi tertentu. Sekarang kemajuan ilmu pengetahuan dan akal telah
melemahkan ikatan-ikatan seperti ini. Watak ilmu pengetahuan adalah cenderung
kepada individualisme, melemahkan sentimen dan ikatan yang didasarkan pada
sentimen. Juga hanyalah sebuah filsafat hidup yang rasional yang dipilih secara
sadar, atau dengan kata lain sebuah ideologi yang komprehensif dan sempurna,
yang dapat mempersatukan umat manusia dewasa ini atau malah umat manusia di
masa depan, memberinya orientasi, ideal bersama dan standar bersama untuk
menilai mana yang benar dan mana yang salah.
Dewasa ini, lebih
daripada sebelumnya, manusia membutuhkan filsafat hidup seperti itu, sebuah
filsafat yang mampu menarik perhatiannya kepada realitas di luar para individu
dan di luar kepentingan mereka. Fakta bahwa mazhab atau ideologi merupakan
salah satu yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial, tak lagi diragukan.
Kini pertanyaannya
adalah: Siapa yang dapat merumuskan ideologi seperti itu? Tak pelak lagi, akal
para individu tak dapat merumuskannya. Dapatkah akal kolektif merumuskannya?
Dapatkah manusia, dengan menggunakan segenap pengalamannya serta informfei lama
dan barunya, merumuskan ideologi seperti itu? Kalau kita akui bahwa manusia
tidak mengenal dirinya sendiri, maka mana mungkin kita berharap dia mengenal
masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Lantas harus bagaimana? Kalau saja
konsepsi kita tentang alam semesta benar, dan kita percaya bahwa dunia memiliki
sistem yang seimbang dan tak ada yang tak beres atau tak masuk akal pada dunia,
maka harus kita akui bahwa mesin kreatif yang hebat ini memperhatikan masalah
besar ini dan sudah memerinci skema pokok sebuah ideologi dari cakrawala yang
berada di atas cakrawala akal manusia, yaitu dari cakrawala wahyu (prinsip
kenabian). Kerja akal dan ilmu pengetahuan adalah mengikuti skema ini.
Dengan bagus Ibnu
Sina mengemukakan masalah ini ketika menguraikan kebutuhan umat manusia
terhadap hukum Tuhan (syariat) yang diturunkan melalui seorang manusia. Dalam
Kitab-nya "Najat", dia berkata: "Nabi dan penjelas hukum Tuhan
serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi
pencapaian manusia akan kesempumaan eksistensi manusiawinya, ketimbang
tumbuhnya alls mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang
paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu
sekali."
Dengan kata lain,
mana mungkin mesin kreatif yang hebat ini, yang kebutuhan kecil dan sepele pun
bahkan diperhatikannya, tidak memperhatikan kebutuhan yang sangat penting ini?
Namun jika kita tidak
memiliki konsepsi yang benar mengenai alam semesta, kita dapat mengambil
gagasan yang menyebutkan bahwa manusia sudah digariskan nasibnya untuk
kebingungan dan salah, dan bahwa ideologi manusiawi tak lebih daripada rekreasi
atau upaya yang menarik. Pembahasan di atas bukan saja menjelaskan kebutuhan
akan adanya mazhab atau ideologi, namun juga memperlihatkan perlunya para
individu mengikuti mazhab atau ideologi.
Sesungguhnya, arti
dari mengikuti ideologi adalah meyakini ideologi tersebut, sedangkan keyakinan
tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipandang sebagai masalah praktis.
Orang dapat saja dipaksa tunduk kepada sesuatu, namun ideologi tidak menuntut
ketundukan. Yang dituntut ideologi adalah keyakinan. Ideologi adalah untuk
diterima dan dimengerti. Ideologi yang bermanfaat harus didasarkan pada
konsepsi ten tang dunia yang dapat meyakinkan akal dan memupuk pikiran, dan
harus mampu menangkap sasaran yang menarik dari konsepsinya tentang alam
semesta. Keyakinan dan semangat merupakan dua unsur dasar dari agama. Kedua
unsur ini secara bersama-sama membentuk ulang dunia.
Namun ada beberapa
pertanyaan yang harus dibahas secara ringkas. Kalau ada kesempatan yang lebih
baik, pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dengan terperinci.
Jenis-jenis Ideologi
Ada dua jenis
ideologi: Ideologi manusiawi dan ideologi kelas. Ideologi manusiawi adalah
ideologi yang didedikasikan untuk seluruh umat manusia, bukan untuk kelas, ras
atau masyarakat tertentu saja. Format ideologi seperti ini meliput seluruh
lapisan masyarakat dan tidak hanya lapisan atau kelompok tertentu saja.
Sebaliknya, ideologi
kelas didedikasikan untuk kelas, kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, dan
tujuannya adalah emansipasi atau supremasi kelompok tertentu. Format yang
dikemukakannya terbatas pada kelompok itu saja, dan pendukung serta pembela
ideologi ini berasal dari kelompok itu saja. Dua ideologi ini masing-masing
didasarkan pada konsepsi tertentu tentang manusia. Setiap ideologi yang umum
dan manusiawi sifatnya, seperti misalnya ideologi Islam, sikapnya terhadap
manusia adalah seperti itu, dan sikap ini dapat disebut sikap alamiah. Dari
sudut pandang Islam, manusia diciptakan untuk mengungguli faktor sejarah dan
faktor sosial. Manusia memiliki dimensi eksistensial yang khusus dan
kualitas-kualitas (kemampuan-kemampuan) yang tinggi yang membedakan dirinya dengan
binatang. Menurut pandangan ini, desain kreatif manusia adalah sedemikian
sehingga semua manusia memiliki semacam kesadaran dan intuisi. Karena
kesadaran dan intuisi inilah manusia layak diseru dan mampu menjawab seruan.
Ideologi-ideologi manusiawi menjadikan intuisi alamiah manusia untuk dasar
ajarannya dan menyunukkan semangat berbuat pada manusia.
Beberapa ideologi
berbeda pandangan mengenai manusia. Menurut mereka, spesies manusia tidak tepat
untuk diseru, juga tidak dapat menjawab seruan. Mereka berpendapat bahwa
kesadaran dan kecenderungan manusia ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dalam
kehidupan nasionalnya, dan faktor-faktor sosial yang menghidupkan status
kelasnya. Kalau kita abaikan faktor sejarah dan sosial, maka manusia, dalam
pengertiannya yang utuh, tidak memiliki kesadaran atau kemampuan intuitif, dia
juga tidak tepat untuk diminta mengemban misi. Dalam kasus itu, dia bukan
manusia yang konkret, dan eksistensinya konseptual belaka. Marxisme dan begitu
pula berbagai filsafat nasional didasarkan pada pandangan tentang manusia
seperti itu. Filsafat-filsafat ini berupaya mendapatkan keuntungan kelas, atau
didasarkan pada sentimen nasional dan rasial, atau paling banter pada budaya
nasional.
Tak ayal lagi, bahwa
ideologi Islam termasuk jenis yang pertama, dan dasarnya adalah fitrah manusia.
Itulah sebabnya Islam menyampaikan pesannya kepada "orang
kebanyakan", bukan kepada kelompok atau kelas tertentu. Islam praktis
mampu merekrut pendukungnya dari semua kelompok, bahkan dari kalangan yang diperangi
oleh Islam, yaitu kalangan yang oleh Islam disebut orang-orang yang hidup
mewah. Merupakan suatu prestasi yang luar biasa ketika Islam mampu menarik
pendukung dari sebuah kelas untuk memerangi kelas bersangkutan, dan dari sebuah
kelompok untuk memerangi kepentingan kelompok bersangkutan, dan bahkan
menggerakkan individu-individu untuk memerangi dirinya sendiri. Inilah yang
dilakukan Islam, dan masih dilakukannya. Islam, yang merupakan sebuah agama
yang tumpuannya adalah fitrah manusia dan yang mewarnai ciri paling pokok dari
eksistensinya, dapat menggerakkan para individu untuk berjuang dan mewujudkan
revolusi melawan dirinya sendiri. Revolusi ini disebut rasa sesal. Kekuatan
revolusioner sebuah ideologi kelas atau kelompok hanya sekadar menggerakkan orang
untuk menentang orang lain atau kelas menentang kelas lain, namun tak dapat
meyakinkan orang untuk melakukan revolusi terhadap dirinya sendiri, juga tidak
dapat membuat orang mampu mengendalikan sentimen dan keinginannya sendiri.
Istilah 'orang kebanyakan'
pada umumnya sering disalahartikan dan disamaartikan dengan "massa"
yang dibedakan dari kalangan kelas atas. Karena Islam ditujukan untuk 'orang
kebanyakan', maka Islam dianggap sebagai agama rakyat. Malahan hal ini dianggap
sebagai keistimewaan bagi Islam. Tetapi kita mesti ingat, bahwa Islam tidak
hanya menujukan pesan-pesannya hanya bagi 'orang kebanyakan' semata, begitu
pula ideologinya bukan merupakan ideologi pemisahan kelas. Keistimewaan Islam
yang sesungguhnya terletak pada kenyataan bahwa kemajuan Islam adalah dengan
dukungan dari rakyat, bukan karena Islam ditujukan hanya kepada rakyat semata.
Yang membuat Islam lebih istimewa lagi adalah bahwa Islam telah menggugah
kepedulian kalangan kelas atas—di antara Muslimin—terhadap kelas bawah.
Islam, sebagai sebuah
agama, dan sesungguhnya agama terakhir, lebih dari agama lain, datang untuk
menegakkan sistem keadilan sosial.[2] Tentu saja, tujuan Islam adalah membebaskan kaum
tertindas dan kaum kurang mampu. Namun pesan Islam bukan kepada kaum tertindas
dan kaum kurang mampu saja. Islam mendapat pendukungnya bukan dari kelas ini
saja. Sebagaimana kesaksian sejarah, dengan menggunakan kekuatan iman dan
fitrah manusia, Islam mampu mendapat pendukungnya, bahkan dari kalangan
kelas-kelas yang hendak diperangi oleh Islam. Islam membawa teori kemenangan
sisi manusiawi manusia atas sisi hewani manusia, kemenangan ilmu pengetahuan
atas kebodohan, kemenangan keadilan atas tirani, kemenangan persamaan hak atas
diskriminasi, kemenangan kebajikan atas keburukan, kemenangan ketakwaan atas
hawa nafsu, dan kemenangan tauhid atas kesyirikan. Kesuksesan kaum tertindas
melawan kaum tiran dan lalim merupakan perwujudan kemenangan ini.
Pembahasan terdahulu
melahirkan pertanyaan, apakah sesungguhnya budaya manusia itu seragam sifatnya,
atau budaya manusia yang seragam itu tak ada, dan bahwa yang ada dan akan ada
di masa mendatang adalah banyak budaya yang masing-masing memiliki sifat
nasional, komunal atau kelas?
Pertanyaan ini
berkaitan dengan pertanyaan lain. Apakah fitrah manusia itu seragam dan
orisinal, sehingga melahirkan budaya manusia yang seragam? Jika fitrah manusia
seragam, tentu budaya manusia juga seragam. Kalau tidak, tentu masuk akal bila
percaya bahwa budaya merupakan produk dari faktor-faktor historis, nasional dan
geografis, atau produk dari kepentingan finansial kelas. Islam, berkat konsepsi
khasnya tentang dunia, percaya bahwa fitrah manusia seragam. Islam mendukung
pandangan bahwa ideologi dan budaya juga seragam. Jelaslah, hanya ideologi
manusiawi, bukan ideologi kelas, ideologi yang seragam, bukan ideologi yang
didasarkan pada pengkotak-kotakan manusia, dan ideologi alamiah, bukan ideologi
yang diilhami oleh kepentingan lintah darat, yang dapat ditegakkan dengan
nilai-nilai manusiawi dan dapat memiliki sifat-sifat manusiawi.
Apakah karakter
setiap ideologi ditentukan oleh ruang dan waktunya? Perlukah manusia memiliki
ideologi yang berbeda dengaa berubahnya zaman, keadaan dan lingkungan? Apakah
ideologi tunduk kepada prinsip perubahan dengan berbedanya tempat, dan tunduk
kepada prinsip penghapusan dengan berbedanya zaman? Apakah ideologi manusia
seragam atau banyak ragam? Dengan kata lain, apakah ideologi manusia mudak atau
relatif? Pertanyaan apakah dan sudut pandang ruang dan waktu ideologi mutlak
atau relatif, bergantung pada pertanyaan lain: apakah sumbemya adalah fitrah
manusia dan tujuannya adalah kesejahteraan ras manusia, atau sumbernya adalah
kepentingan kelompok serta perasaan nasional dan kelas?
Dari sudut lain,
pertanyaan ini bergantung pada bagaimana pendapat kita tentang karakter
perubahan sosial. Bila masyarakat mengalami perubahan dan memasuki era baru,
apakah perubahan karakternya sedemikian esensialnya sehingga tak lagi diatur
oleh hukum yang sebelumnya telah mengaturnya. Misal, bila air, karena suhunya
naik, berubah menjadi uap. Air ini diatur oleh hukum gas, bukan oleh hukum zat
cair. Apakah kita percaya bahwa yang terjadi dengan perubahan dan perkembangan
sosial tidaklah seperti ini, dan bahwa perubahan sosial hanyalah satu tahap
dalam evolusi masyarakat dan tidak mempengaruhi hukum pokok atau evolusi,
seperti yang kita lihat pada binatang. Binatang, karena mengalami perkembangan,
berubah jalan hidupnya, namun hukum perkembangannya tidak berubah?
Dari sudut lain,
pertanyaan apakah ideologi itu mudak atau tergantung ruang dan waktu,
bergantung pada apakah ilmiah, filosofis atau religius konsepsinya tentang
dunia. Konsepsi ilmiah tentang dunia yang fana ini, sebuah ideologi yang
didasarkan pada konsepsi seperti itu, tidak mungkin abadi. Sebaliknya, konsepsi
filosofis tentang dunia didasarkan pada kebenaran yang terang benderang,
sedangkan konsepsi religius didasarkan pada wahyu Tuhan dan Kenabian. Karena
ini bukan kesempatan yang tepat, maka kita tinggalkan pembahasan mengenai
bagaimana sebenarnya fitrah manusia itu, yang merupakan salah satu topik sangat
penting dalam ilmu Islam. Juga kita tinggalkan saja pembahasan mengenai
perubahan masyarakat. Namun demikian, bagaimana kalau kita bahas masalah
perubahan masyarakat dan hubungan perubahan tersebut dengan keadaan sejati
fitrah manusia ketika kita membicarakan topik sejarah dan masyarakat nanti.
Kini pertanyaannya
adalah apakah ideologi itu sendiri diatur oleh prinsip ketidakberubahan atau
prinsip perubahan. Sebelum-nya telah kita bahas apakah ideologi manusia berbeda
untuk periode dan tempat yang berbeda. Nah, persoalannya adalah persoalan
penghapusan ideologi. Kini kita bahas persoalan yang berbeda, yaitu persoalan
perkembangan ideologi. Terlepas dari fakta apakah ideologi itu mutlak atau relatif,
dan berkenaan dengan isinya, apakah ideologi itu bersifat umum atau khusus,
namun yang jelas ideologi merupakan fenomena. Karena setiap fenomena dapat
berubah, berkembang dan mengalami evolusi, tentu saja timbul pertanyaan, apakah
begitu pula dengan ideologi. Apakah realitas ideologi pada saat kelahirannya
beda dengan realitas selama masa pertumbuhannya dan selama masa ke-matangannya?
Dengan kata lain, apakah ideologi harus selalu direvisi, diperbaiki dan
dimodernisasikan oleh pemimpin dan ideolognya, seperti yang kita lihat dialami
oleh ideologi-ideologi materialistis pada zaman kita? Jika ideologi modern
tidak terus-menerus direvisi, maka ideologi tersebut segera kehilangan
vitalitasnya dan jadi usang serta ketinggalan zaman. Namun demikian, pertanyaannya
adalah apakah mungkin memiliki ideologi yang sungguh-sungguh selaras dengan
perkembangan manusia dan masyarakat, sehingga tak perlu direvisi dan diperbaiki
lagi. Untuk ideologi seperti itu, peran pemimpinnva dan ideolog hanyalah
menafsirkan makna dan isinya, dan perkembangan ideologi terjadi dalam wilayah
interpretasi, bukan dalam teks ideologi itu sendiri.
Menurut Al-Qur'an,
perselisihan ini terjadi pada zaman Nabi Nuh. Istilah "orang kebanyakan
atau orang biasa" sering disalah-pahami dan dianggap sinonim dengan
"massa" atau "rakyat" yang beda dengan kelas yang lebih
tinggi. Ketika berbicara dengan rakyat biasa, klaim Islam adalah bahwa Islam
adalah agama massa atau rakyat. Sambil lalu, ini dianggap sebagai kekhasan
Islam. Namun harus diingat bahwa Islam tidak menujukan pesannya kepada massa
atau rakyat saja, dan ideologinya bukanlah ideologi kelas. Kekhasan sejati
Islam terletak pada fakta bahwa Islam mendukung massa atau rakyat, bukan bahwa
Islam untuk massa atau rakyat saja. Yang lebih khas adalah bahwa Islam
membangun sentimen kelas mampu di kalangan kaum Muslim untuk kepentingan kelas
kurang mampu.
Catatan:
[2] Sesungguhnya Kami telah menguttu rastU-rasul Kami dengan membawa
bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. al-Hadid: 25) Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan." (QS. al-A'raf: 29)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar