Saya
tak sepenuhnya mengerti apa yang saya sebut sebagai ingatan. Tetapi, dengan
keterserakannya, dengan potongan-potongan dan serpihan-serpihannya, mereka
justru memberikan kesempatan dan kebebasan pada seseorang untuk mengumpulkannya
dan merangkainya menjadi sebuah narasi yang tidak mesti sama dengan
peristiwa-peristiwa sesungguhnya. Saya tergoda menyebutnya sebagai
historiografi angan-angan. Karena mereka semua tak lebih sejumlah jejak yang
samar. Ketika sebuah tulisan yang ingin menceritakannya tak ubahnya warna-warna
pada sebuah kanvas.
Historiografi
angan-angan dituliskan dan digambar dari keakraban kita dengan cuaca, angin,
cahaya, tanah, dan sudut-sudut langit yang pernah kita tinggali dan kita akrabi
dengan bathin kita. Seperti ketika Giovanni Segantini menggambar dan melukis
Saint Moritz. Di mana ia menumpahkan kerinduan dan kesepian bathinnya sebagai
seorang lelaki. Atau, katakanlah, ingatan itu seperti ketika seseorang
memandangi warna-warna dan figur-figur yang tercerai-berai di sudut-sudut
kanvas, sobekan-sobekan cahaya yang justru memberi kesempatan pada kita untuk
menyusun dan menambalnya dengan angan-angan kita sendiri.
Tetapi
saya, kadang akan memahaminya seperti seorang perempuan belia yang merendam separuh
tubuhnya di sebuah sungai pada waktu senja.
Entah
ini tercela ataukah tidak, kadang-kadang saya mengumpamakan salah-satu
pengalaman di masa kanak-kanak seperti salah-satu figur dalam lukisan
impresionistik, di mana ketika saya menuliskannya tidak berarti saya menulis
tentang diri saya sendiri, melainkan tentang ingatan itu sendiri. Atau biarlah
saya umpamakan ingatan itu seperti sebuah samar figur di antara desir angin dan
gemerisik lembut dedaunan. Atau seperti seorang bocah yang berjalan telanjang
kaki sendirian di bawah barisan rindang pepohononan senjahari. Seorang bocah
yang menyusuri setapak jalan sepanjang aliran sungai.
Tetapi
yang pasti, di waktu-waktu sorehari di 20 tahunan silam, saya suka sekali
memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang
hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan saya tentang kegembiraan. Mereka
membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil,
gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan
ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan.
Pada
saat-saat seperti itu, mereka seakan-akan asik bercanda dengan hembus angin dan
lembab cuaca. Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau
burung-burung yang merasa kedinginan. Dingin yang tentu saja meresap pada
bulu-bulu mereka. Dan saya sendiri, ketika itu, duduk di bawah rimbun pepohonan
bambu pinggir sungai kecil yang airnya mengaliri sawah-sawah.
Anggaplah
ketika itu, saya memang sudah jatuh cinta pada kebisuan dan kesenduan alam,
yang pada akhirnya menggambar dan melukis kesenduan hidup itu sendiri. Kebisuan
dan kesenduan yang memberi kedamaian yang aneh. Kedamaian yang merupakan
keheningan musim yang basah dengan gerak-gerak yang samar dalam pandangan kedua
mata saya sendiri sebagai seorang bocah yang hendak beranjak menjadi lelaki
remaja.
Tentulah
di saat-saat seperti itu, matahari sudah merasa terlambat untuk menampakkan
diri. Di saat malam datang lebih awal. Kesunyian-kesunyian seperti itu pada
akhirnya sangat berpengaruh pada keadaan bathin. Keadaan bathin yang mudah
tersulut oleh kondisi-kondisi yang mendorong saya untuk mencipta dunia-dunia
khayalan.
Di
saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih
mirip figur-figur bisu. Dan saya sendiri, bila dilihat dari sudut pandang orang
lain lagi, merupakan salah-satu figurnya. Katakanlah saya telah bersatu, atau
paling tidak, telah menjadi bagian dari mereka. Sebagai seseorang yang turut
mengambil bagian dalam keheningan itu sendiri.
Konon,
kecendrungan-kecendrungan seperti itu sebenarnya merupakan salah-satu bentuk
keterasingan dan pelarian karena kecewa dan rasa tak puas. Atau karena amarah
yang terpendam. Amarah yang menyamarkan dirinya untuk menggandrungi keindahan.
Semacam kegilaan yang lembut. Dan kalau pun ya, saya takkan menganggapnya
sebagai persoalan atau pun masalah yang perlu disikapi dengan serius. Sebab
jika pun itu semua benar, saya akan mengakuinya. Saya akan menerimanya sebagai
sesuatu yang mungkin saja malah akan memberikan kebaikan-kebaikan tak terduga.
Dalam
cuaca seperti itu, saya pun sebenarnya tak hanya memandangi capung-capung yang
saya umpamakan sebagai para peri mungil yang tengah bergembira. Sesekali saya
pun melihat juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang
terbang. Sementara itu, di malam hari, bila saya keluar dari rumah untuk
memandangi bintang-bintang di langit, saya akan bertemu dengan kunang-kunang.
Saya sangat mengagumi tubuh-tubuh mereka yang seperti lampu-lampu kecil yang
bergerak dan beterbangan.
Namun
sekarang, di saat saya telah menjadi seorang lelaki dewasa, saya hampir tak
pernah melihat kunang-kunang masa kanak dan masa remaja saya itu.
Kadang-kadang, ada kerinduan dalam hati yang terasa sangat kuat sekali untuk
bisa kembali melihat mereka, binatang-binatang ciptaan Tuhan yang menurut saya
sendiri termasuk dalam golongan binatang-binatang kecil paling indah.
Makhluk-makhluk yang sampai saat ini saya golongkan sebagai makhluk-makhluk
keluarga para peri mungil bersama dengan kupu-kupu dan para capung itu. (Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar