Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Islam adalah sebuah agama yang realistis. Arti kata
"Islam" adalah tunduk, patuh, menerima. Ini menunjukkan bahwa syarat
pertama menjadi seorang Muslim adalah menerima realitas dan kebenaran. Islam
menolak setiap bentuk keras kepala, prasangka, taklid buta, berat sebelah dan
egoisme. Islam memandang semua itu bertentangan dengan realisme dan pendekatan
realistis terhadap kebenaran.
Dari sudut pandang Islam, orang yang mencari kebenaran,
namun upayanya ini menemui kegagalan, dapat dimaafkan. Menurut Islam, kalau
kita secara membuta atau karena keturunan menerima kebenaran, sementara itu kita
keras kepala dan angkuh, maka apa yang kita lakukan itu tak ada nilainya.
Seorang Muslim sejati, baik laki-laki maupun perempuan, mesti dengan gairah
menerima kebenaran di mana pun kebenaran itu didapatinya. Sejauh menyangkut
menuntut ilmu pengetahuan, seorang Muslim tidak memiliki prasangka, atau
sikapnya tidak berat sebelah. Upayanya mendapatkan ilmu pengetahuan dan
kebenaran tidak hanya pada masa tertentu dalam hidupnya dan juga tidak hanya di
wilayah tertentu. Dia juga tidak menuntut ilmu pengetahuan dari orang tertentu
saja. Nabi saw bersabda bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah wajib bagi
setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Nabi saw juga meminta kaum
Muslim agar menerima ilmu pengetahuan dari seorang penyembah berhala sekalipun.
Dalam sabda lain, Nabi saw mendesak kaum Muslim untuk
menuntut ilmu pengetahuan sekalipun harus pergi ke negeri Cina. Menurut
riwayat, Nabi saw bersabda: "Tuntutlah ilmu pengetahuan, sejak dari ayunan
hingga liang lahat."
Memahami problem secara parsial dan dangkal, secara
membuta mengikuti orang-orang tua, dan menerima tradisi turun-temurun yang
tidak logis, karena semua ini bertentangan dengan jiwa menerima kebenaran, maka
Islam mengecamnya, dan dianggap menyesatkan.
Allah Adalah
Realitas Absolut dan Sumber Kehidupan
Manusia adalah makhluk realistis. Anak yang baru
lahir, sejak detik-detik pertama kehidupannya, seraya mencari-cari susu ibunya,
mencarinya sebagai realitas. Secara berangsur-angsur tubuh dan jiwa bayi ini
berkembahg sedemikian sehingga dia dapat membedakan antara dirinya dan
sekitarnya. Kendatipun kontak bayi ini dengan sekitarnya terjadi melalui
serangkaian pemikirannya, namun dia tahu bahwa realitas sekitarnya itu beda
dengan realitas pemikirannya yang juga digunakannya sebagai perahtara saja.
Karakteristik
Integral Alam Semesta
Realitas yang dapat ditangkap oleh manusia melalui
inderanya dan yang kita sebut dunia, memiliki sifat-sifat khas integral berikut
ini:
1. Terbatas
Segala yang dapat ditangkap oleh indera, dari partikel
yang paling kecil sampai bintang yang paling besar, ruang dan waktunya
terbatas. Tidak ada yang dapat eksis di luar ruang dan waktunya yang terbatas
itu. Benda-benda tertentu menempati ruang yang lebih besar dan masa eksisnya
lebih panjang, sementara sebagian benda lain menempati ruang yang lebih kecil
dan masa eksisnya lebih pendek. Namun pada akhirnya benda-benda tersebut
terbatas ruang dan waktunya.
2. Berubah
Segala sesuatu berubah dan tidak tahan lama. Segala
yang dapat ditangkap oleh indera di dunia ini, keadaannya tidak berhenti. Kalau
tidak berkembang, ya rusak. Benda material yang dapat ditangkap oleh indera,
sepanjang masa eksistensinya, selalu mengalami perubahan sebagai bagian dari
realitasnya. Kalau tidak memberikan sesuatu, ya menerima sesuatu, atau memberi
sekaligus menerima. Dengan kata lain, kalau tidak menerima sesuatu karena
realitas benda-benda lain dan menambahkan sesuatu itu pada realitasnya sendiri,
ya memberikan sesuatu karena realitasnya atau menerima sekaligus memberi.
Bagaimanapun juga, tak ada yang tetap statis. Sifat khas ini juga menjadi sifat
khas segala yang ada di dunia ini.
3. Ditentukan
Sifat khas lain dari benda-benda kasat indera adalah
ditentukan. Kita dapati bahwa benda-benda tersebut semuanya ditentukan. Dengan
kata lain, eksistensi masing-masing ditentukan oleh dan bergantung pada
eksistensi benda lainnya. Tidak ada yang dapat eksis jika benda-benda lainnya
tidak eksis. Kalau kita perhatikan dengan saksama realitas benda-benda material
kasat indera, ternyata banyak "jika" menyangkut eksistensinya. Tak
dapat ditemukan satu benda kasat indera yang bisa eksis tanpa syarat dan tanpa
tergantung benda lain. Eksistensi segala sesuatu tergantung pada eksistensi
sesuatu yang lain, dan eksistensi sesuatu yang lain juga tergantung pada
eksistensi sesuatu yang lainnya lagi, dan seterusnya.
4. Bergantung
Eksistensi segala sesuatu tergantung pada terpenuhinya
banyak syarat. Eksistensi masing-masing syarat ini tergantung pada terpenuhinya
syarat lain. Tak ada sesuatu yang dapat eksis dengan sendirinya, yaitu tak ada
syarat untuk eksistensinya. Dengan demikian, bergantung merupakan sifat segala
yang ada.
5. Relatif
Eksistensi dan kualitas segala sesuatu itu relatif.
Kalau kita menyebutnya besar, kuat, indah, berusia tua dan bahkan ada, kita
mengatakan begitu dalam bandingannya dengan benda-benda lain. Kalau kita
mengatakan, misalnya, bahwa matahari sangat besar, yang kita maksud adalah
bahwa matahari lebih besar daripada bumi dan planet lain dalam sistem tata
surya kita. Kalau tidak, sesungguhnya matahari ini sendiri lebih kecil daripada
banyak bintang. Juga, ketika kita mengatakan bahwa kapal atau binatang tertentu
hebat, kita membandingkannya dengan manusia atau sesuatu yang lebih lemah
daripada manusia. Bahkan eksistensi sesuatu itu komparatif. Bila kita bicara
soal eksistensi, kesempurnaan, kearifan, keindahan, atau kekuatan, berarti kita
mempertimbangkan tingkat lebih rendah dari kualitas itu. Kita selalu dapat
memvisualisasikan tingkatannya yang lebih tinggi juga, dan kemudian tingkatan
lebih tinggi yang berikutnya. Setiap kualitas yang dibandingkan dengan
tingkatannya yang lebih tinggi, diubah menjadi sebaliknya. Eksistensi menjadi
non-eksistensi, sempurna diubah menjadi tidak sempurna. Juga, kearifan,
keindahan, keagungan dan kehebatan masing-masing diubah menjadi kebodohan,
keburukan dan kehinaan.
Daya berpikir manusia, yang ruang lingkupnya—beda
dengan ruang lingkup indera—tidak hanya hal-hal lahiriah, namun juga sampai
kepada apa yang ada di balik layar eksistensi, menunjukkan bahwa yang eksis itu
bukan saja segala yang kasat indera yang terbatas, berubah, relatif dan
tergantung itu.
Panorama eksistensi yang kita lihat tampaknya, pada
umumnya, ada dengan sendirinya dan berdikari. Karena itu, tentunya ada satu
kebenaran yang abadi, tak bersyarat, mudah, tak terbatas, dan ada selalu di
balik panorama eksistensi itu. Segala sesuatu bergantung pada kebenaran ini.
Kalau tidak, panorama eksistensi tak mungkin seperti ini. Dengan kata lain,
tidak ada yang eksis sama sekali.
Al-Qur'an menggambarkan bahwa Allah ada sendiri dan
berdikari. Al-Qur'an mengingatkan bahwa segala yang ada, yang tergantung dan
relatif itu, membutuhkan adanya suatu kebenaran yang ada sendiri untuk menopang
eksistensinya. Allah berdikari dan segala sesuatu bergantung pada-Nya. Allah
sempurna, karena segala sesuatu itu tidak ada dari dalam dan membutuhkan suatu
Kebenaran yang akan menutupi ketidakadaan tersebut dengan eksistensi.
Al-Qur'an menggambarkan segala sesuatu sebagai
"tanda" atau "ayat". Dengan kata lain, pada gilirannya
segala sesuatu merupakan ayat dari "wujud tak terbatas lagi abadi serta
ilmu, kuasa, dan kehendak-Nya". Menurut Al-Qur'an, alam semesta laksana
sebuah kitab yang disusun oleh satu wujud yang arif, yang setiap baris dan
katanya merupakan tanda kearifan penulisnya. Dari sudut pandang Al-Qur'an,
kalau orang semakin tahu realitas segala sesuatu, maka dia semakin mengenal
kearifan Allah, kuasa dan rahmat-Nya.
Dari satu sudut, setiap ilmu alam (maksudnya adalah
ilmu yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis. Misalnya, fisika, kimia,
biologi, geologi, botani—pen.) merupakan cabang dari kosmologi. Dari sudut lain
dan cara melihat sesuatu yang lebih dalam, setiap ilmu alam merupakan cabang
dari pengetahuan (pengenalan atau pengakuan) tentang Allah. Untuk menjelaskan sudut pandang Al-Qur'an, dalam hal
ini dikutipkan satu ayat Al-Qur'an saja di antara banyak ayat serupa. Ayat
tersebut mengatakan:
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (QS.
al-Baqarah: 164).
Dalam ayat tersebut, manusia diajak untuk
memperhatikan kosmologi umum, industri pembuatan kapal, turisme beserta
keuntungan finansialnya, meteorologi, asal-usul angin dan hujan, gerakan awan,
biologi dan ilmu hewan. Al-Qur'an memandang perenungan tentang filosofi
ilmu-ilmu ini sebagai sesuatu yang membawa kepada pengenalan akan Allah.
Sifat-sif at
Allah
Al-Qur'an mengatakan bahwa Allah memiliki semua sifat
yang sempurna. Dialah yang memiliki Nama-nama yang paling baik. (QS. al-Hasyr:
24). Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. (QS. ar-Rûm:
27)
Sebagaimana sudah dipaparkan, Allah Mahahidup,
Mahatahu, Maha Berkehendak, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk,
Maha Pencipta, Maha Arif, Maha Pengampun dan Maha Adil. Seluruh sifat yang
Mahatinggi, dimiliki-Nya. Allah bukanlah tubuh dan juga bukan tersusun. Dia
tidak lemah dan juga tidak kejam. Kelompok pertama sifat Mahatinggi Allah, yang
menunjukkan kesempurnaan-Nya, disebut sifat positif; sedangkan kelompok kedua,
sifat-Nya yang menunjukkan bahwa Dia tidak memiliki kelemahan, kekurangan dan
ketidaksempurnaan, disebut sifat negatif. Kita memuji dan menyucikan Allah.
Bila kita memuji-Nya, kita menyebut sifat positif-Nya, dan bila kita
menyucikan-Nya, kita mengatakan bahwa Dia bebas dari semua yang tidak patut
bagi-Nya.
Dalam kedua kasus itu kita menegaskan Pengetahuan-Nya
untuk kepentingan kita sendiri, dan dengan demikian kita mengangkat moril kita
sendiri.
Monoteisme
Allah tidak mempunyai sekutu. Tak ada yang
seperti-Nya. Pada dasarnya mustahil bila ada yang seperti-Nya, karena kalau
begitu berarti ada dua Tuhan atau lebih, bukannya satu. Ada dua, tiga atau
lebih merupakan sifat khas sesuatu yang terbatas dan relatif. Dalam kaitannya
dengan wujud yang mutlak lagi tak terbatas, pluralitas tak ada artinya.
Misalnya, kita dapat punya satu anak. Juga dapat punya dua anak atau lebih.
Kita juga dapat memiliki seorang teman. Juga dapat memiliki dua teman atau
lebih. Teman atau anak merupakan wujud yang terbatas, dan wujud yang terbatas
bisa ada yang menyerupainya, dan bisa banyak jumlahnya. Namun wujud yang tak
terbatas sama sekali tak mungkin berlipat jumlahnya. Contoh yang berikut ini,
meskipun tidak memadai, dapat juga ada gunanya untuk menjelaskan masalah ini.
Mengenai dimensi-dimensi alam material, yaitu alam
semesta yang dapat kita lihat dan rasakan, para ilmuwan memiliki dua teori.
Sebagian berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam semesta itu terbatas. Dengan
kata lain, alam ini ada titik akhirnya. Namun sebagian yang lain berpendapat
bahwa dimensi-dimensi alam material itu tak ada tengahnya, tak ada awalnya, dan
tak ada akhirnya. Kalau kita menerima teori bahwa alam material terbatas, maka
timbul pertanyaan apakah alam itu hanya ada satu atau lebih dari satu? Namun
kalau kita berpendapat bahwa alam ini tak ada batasnya, maka masalah adanya
alam lain menjadi tak masuk akal. Apa pun dugaan kita mengenai alam lain,
tentunya alam lain tersebut identik dengan alam ini, atau bagian dari alam ini.
Contoh ini berlaku untuk alam material maupun wujud
material yang terbatas, bergantung dan diciptakan. Realitas alam material dan
wujud material tersebut tidak mutlak, tidak mandiri, dan tidak ada sendiri.
Alam material ini, meskipun tidak terbatas bila dilihat dari
dimensi-dimensinya, terbatas bila dilihat dari realitasnya. Kalau
dimensi-dimensinya tidak terbatas, maka tidak dapat kita bayangkan adanya alam
lain.
Eksistensi Allah SWT tidak ada batasnya. Dia merupakan
realitas mutlak. Dia ada di segala sesuatu. Dalam ruang dan waktu ada Dia. Dia
lebih dekat dengan kita ketimbang urat leher kita sendiri. Karena itu, mustahil
kalau ada yang menyerupai-Nya. Bahkan kita tak dapat membayangkan adanya wujud
lain yang seperti Dia.
Kita melihat tanda-tanda kearifan-Nya ada di
mana-mana. Kita melihat satu kehendak dan satu sistem mengatur segenap alam
semesta. Itu menunjukkan bahwa dunia ini pusatnya satu, tidak banyak.
Seandainya ada dua Tuhan atau lebih, tentu dua kehendak atau lebih berlaku pada
segala sesuatu, dan dua realitas atau lebih yang pusatnya berbeda tentu eksis
di segala sesuatu yang ada. Akibatnya, segala sesuatu menjadi dua atau lebih.
Kalau mengikuti proposisi yang tak masuk akal ini, maka sesungguhnya tidak ada
yang eksis sama sekali. Inilah apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an ketika
mengatakan, Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa (QS. al-Anbiyâ': 22).
Menyembah dan
Memuja
Karena mengakui bahwa Allah Maha Esa dan Mahasempurna,
yang memiliki sifat-sifat paling tinggi, dan yang tidak memiliki kekurangan dan
kelemahan, dan karena mengetahui hubungan-Nya dengan alam semesta, yaitu bahwa
Dia Penciptanya, Penjaganya, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang, muncul
reaksi dalam diri kita, dan reaksi tersebut disebut pemujaan dan penyembahan.
Menyembah merupakan satu bentuk hubungan antara
manusia dan Penciptanya. Bentuk hubungan tersebut adalah tunduk patuhnya
manusia kepada Allah, pujiannya, pemujaannya dan rasa bersyukurnya kepada-Nya.
Hubungan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh manusia dengan Penciptanya
saja. Kalau hubungan seperti itu dilakukan dengan selain Penciptanya, maka itu
tidak mungkin dan dilarang. Karena mengenal Allah sebagai satu-satunya sumber
eksistensi dan satu-satunya Penguasa dan Tuhan segala sesuatu, maka kita merasa
berkewajiban untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya dalam pemujaan
kita. Al-Qur'an menegaskan bahwa hanya Allah sajalah yang harus disembah. Tak
ada dosa yang lebih besar daripada menyekutukan-Nya. Kini mari kita bahas apa
ibadah itu dan hubungan seperti apa yang khusus bagi Allah dan yang tak dapat
dilakukan dengan selain-Nya.
Definisi
Ibadah
Untuk menjelaskan makna ibadah, dan untuk
mendefinisikannya dengan benar, perlu disebutkan dua hal sebagai pengantar.
1. Ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan.
Perkataan terdiri atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca, seperti
memuji Allah, membaca Al-Qur'an atau membaca zikir atau doa yang lazim dibaca
ketika melakukan salat, dan mengucapkan "Labbaik" selama haji.
Sedangkan yang perbuatan adalah seperti berdiri, rukuk dan sujud ketika
menunaikan salat, tawaf mengitari Ka'bah dan berada di Arafah dan Mahsyar
ketika haji. Kebanyakan tindak ibadah, seperti salat dan haji, terdiri atas
perkataan dan perbuatan sekaligus.
2. Perbuatan manusia ada dua macam. Sebagian perbuatan
tidak memiliki tujuan yang jauh. Perbuatan seperti ini dilakukan bukan sebagai
simbol sesuatu yang lain, melainkan dilakukan untuk mendapatkan efek
alamiahnya sendiri. Misalnya, seorang petani melakukan kegiatan bertani untuk
mendapatkan hasil wajar dari kegiatannya itu. Kegiatannya tersebut dilakukan
bukan sebagai simbol, bukan untuk mengungkapkan perasaan. Begitu pula dengan
seorang penjahit yang melakukan kegiatan jahit-menjahit. Ketika kita melangkah
ke sekolah, yang ada dalam benak kita tak lain adalah sampai di sekolah. Dengan
perbuatan ini kita tidak bermaksud membawa tujuan lain atau makna lain.
Namun ada perbuatan yang kita lakukan sebagai simbol
dari beberapa objek lain atau untuk mengungkapkan perasaan kita. Kita
menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, kita menunduk kepada seseorang
sebagai tanda hormat kepada orang tersebut. Kebanyakan perbuatan manusia
tergolong jenis pertama, dan hanya sedikit yang tergolong jenis kedua. Namun
demikian, ada perbuatan yang dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kita atau
untuk menunjukkan maksud lain. Perbuatan ini dilakukan menggantikan kata-kata,
untuk mengungkapkan maksud.
Berdasarkan dua hal di atas, maka dapat kita katakan
bahwa ibadah, baik yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata maupun tindakan,
merupakan perbuatan yang memiliki makna. Melalui dedikasinya, manusia
mengungkapkan suatu kebenaran. Juga, melalui perbuatan seperti rukuk, sujud,
tawaf dan seterusnya, manusia ingin menyampaikan apa yang diucapkannya ketika
membaca bacaan ibadah.
Semangat
Memuja dan Ibadah
Melalui ibadahnya, baik yang dilakukan dengan
menggunakan kata-kata maupun perbuatan, manusia menyampaikan hal-hal tertentu:
1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus
Allah yang mengandung arti kesempurnaan mutlak, seperti Mahatahu, Mahakuasa dan
Maha Berkehendak. Arti kesempurnaan mutlak adalah bahwa ilmu, kuasa dan
kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain, dan merupakan
akibat wajar dari independensi total dan sempurna-Nya.
2. Menyucikan Allah, dan menyatakan bahwa Dia tidak
memiliki kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak berdaya,
pelit, kejam, dan seterusnya.
3. Bersyukur kepada Allah, dan memandang-Nya sebagai
sumber sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat.
Percaya bahwa segala rahmat dan karunia diperoleh dari Allah saja, dan bahwa
yang lain hanya perantara yang ditentukan oleh Allah.
4. Mengungkapkan ketundukan dan kepatuhan penuh kepada
Allah, dan mengakui bahwa kepatuhan tanpa pamrih wajib diberikan kepada Allah.
Karena Allah Penguasa Mutlak dari segala yang ada, yang berhak mengeluarkan
perintah, dan karena kita sebagai hamba, wajib menaati Allah.
5. Dalam sifat-sifat-Nya diatas, Allah tidak mempunyai
sekutu. Hanya Dialah yang mutlak sempuma, dan hanya Dialah yang tidak memiliki
kekurangan. Hanya Dialah sumber sejati segala karunia, dan hanya Dialah yang
patut disyukuri atas semuanya itu. Hanya Dialah yang patut dipatuhi sepenuhnya
dan ditaati tanpa pamrih. Setiap kepatuhan lainnya, seperti menaati Nabi saw,
para Imam, penguasa Muslim yang sah, orang tua dan guru, puncaknya haruslah
berupa kepatuhan kepada-Nya, dan harus untuk mendapatkan rida-Nya. Itulah
tanggapan yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada Allah.
Tanggapan seperti ini hanya dapat dan boleh dilakukan terhadap Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar