Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Berbagai aspek imamah
sudah kami bahas. Di sana kami jelaskan bahwa untuk dapat membahas masalah
imamah dari sudut pandang yang benar, perlu dipahami dengan jelas aspek-aspek
itu. Satu aspek imamah, seperti sudah kami sebutkan, adalah masalah
pemerintahan. Setelah wafatnya Nabi saw, tugas siapakah memilih penerus beliau
saw? Apakah umat itu sendiri yang bertanggung jawab untuk memilih pemimpin
mereka dari kalangan mereka sendiri, ataukah Nabi saw sendiri telah menunjuk
penerusnya? Belakangan ini pertanyaan tersebut diajukan sedemikian rupa
sehingga sepintas lalu sudut pandang Sunni dalam hal ini kelihatan lebih benar.
Biasanya
pertanyaannya bunyinya begini: Kami ingin mengetahui seperti apa pemerintahan
versi Islam. Apakah turun-temurun, setiap penguasa menunjuk penerusnya, dan
rakyat tak berhak campur tangan dalam urusan pemerintahan? Apakah Nabi saw
menunjuk orang tertentu menjadi penerusnya, orang itu menunjuk penerusnya, dan
penerus itu menunjuk penerusnya, dan dengan demikian bentuk pemerintahannya
didasarkan pada penunjukan dan pengangkatan sampai Hari Kiamat? Tentu saja
proses ini tak mungkin berlaku pada para imam saja, karena menurut keyakinan
kaum Syiah, jumlah imam hanya dua belas orang saja, dan jumlah ini tak mungkin
bertambah atau berkurang. Menurut pandangan ini, prinsip umum berkenaan dengan
pemerintahan ini dapat disamakan dengan prosedur ini. Nabi saw, yang juga
menjadi kepala negara, menunjuk penerusnya, dan penerusnya kemudian menunjuk
penerusnya dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Dalam kasus ini, jika Islam
menguasai seluruh dunia—dan Islam pernah menguasai separo dunia—kemudian ajaran
atau hukum Islam berjalan di seluruh penjuru dunia, maka hukum yang sama akan
berjalan entah ada satu pemerintahan di dunia atau beberapa pemerintahan.
Menurut pandangan tersebut, berdasarkan norma umum itulah kepala negara
haruslah orang yang ditunjuk, Nabi saw menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as
sebagai penerusnya. Namun, dengan memperhatikan filosofi ini, maka Nabi saw
tidak perlu segera menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as begitu menerima perintah
dari Allah SWT, karena hanya Nabi dan para imam—yang memiliki pengetahuan
ilahiah melalui Nabi—yang dapat menerima perintah ilahiah seperti itu. Karena
itu, jika diakui bahwa dari sudut pandang Islam pemerintahan harus didasarkan
pada prinsip penunjukan, maka Nabi saw tidak perlu menunjuk Imam Ali bin Abi
Thalib as dengan wahyu. Nabi saw dapat menunjuknya sesuai kehendaknya. Para
imam juga dapat berbuat sama. Berdasarkan ini penunjukan Imam Ali as untuk
mengemban khilafah sama dengan penunjukan gubernur Mekah atau penunjukan Amir
al-Haj. Dalam kasus-kasus seperti itu, tak ada yang mengatakan bahwa Nabi saw,
begitu menerima wahyu, langsung menunjuk si polan menjadi gubernur Mekah atau,
misalnya, mengutus Mu'azd bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah Islam. Setiap
orang justru mengakui bahwa Nabi saw mendapat amanat dari Allah SWT, yaitu
untuk memerintah atau memimpin umat. Maka Nabi saw mendapat wewenang untuk
bertindak menurut pandangannya dalam semua masalah yang tak ada ketentuan
wahyunya. Dalam kasus penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk mengemban
khilafah, dapat dikatakan bahwa ini merupakan keputusan pribadi Nabi saw.
Jika masalah imamah
ini dikemukakan dengan cara sederhana seperti itu, maka jadilah masalah
pemerintahan duniawi, dan tak lagi masalah imamah. Kalau seperti ini karakter
masalahnya, sungguh wahyu ilahiah tak perlu campur tangan. Paling banter yang
dapat dikatakan wahyu ilahiah kepada Nabi saw adalah bahwa Nabi saw
berkewajiban menunjuk siapa pun yang dipandangnya tepat untuk menjadi
penerusnya, dan bahwa penerusnya juga, dengan cara yang sama, menunjuk
penerusnya. Dan seterusnya sampai Hari Kiamat. Jika imamah artinya hanya
sekadar pemerintah atau penguasa, maka apa yang dikatakan kaum Sunni tampaknya
lebih menarik dibanding apa yang dikatakan kaum Syiah, karena kaum Sunni
berpendapat bahwa penguasa tak berhak memilih penguasa selanjutnya, dan bahwa
penggantinya dipilih dengan cara demokratis oleh rakyat, khususnya oleh mereka
yang berhak memilih. Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pada umumnya
keyakinan kaum Syiah pada penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as dan imam-imam
lain untuk mengemban khilafah merupakan cabang dari masalah lain yang lebih
fundamental.
Di sini muncul
masalah penting. Masalahnya adalah bahwa jumlah imam tak lebih dari dua belas.
Lantas setelah dua belas imam ini, siapa penerusnya. Misal saja, Imam Ali bin
Abi Thalib as menjadi pemimpin dengan cara persis seperti dia diangkat oleh
Nabi saw, dan diikuti oleh Imam Hasan as, Imam Husain as dan seterusnya sampai Imam
kedua belas. Kalau begini keadaannya, berdasarkan filosofi kami kaum Syiah, tak
ada alasan untuk gaibnya Imam kedua belas. Seperti para pendahulunya, Imam
kedua belas hidupnya tidak akan seperti sekarang dan kemudian meninggal. Apa
yang terjadi sepeninggal Imam kedua belas ini. Mungkinkah jumlah imam
bertambah? Bagaimana dengan masalah lain— masalah pemerintahan yang normal
dalam keadaan yang ada sekarang. Jelaslah Imam Zaman (Imam kedua belas—peny.),
selama gaib, tak mungkin menjadi pemimpin politik untuk kaum Muslim. Karena
itu, masalah pemimpin politik dan pemerintahan duniawi masih belum terpecahkan.
Pemerintah adalah
Cabang Imamah
Bila membahas masalah
imamah dari sudut pandang Syiah, jangan sampai keliru menyederhanakannya dan
mengatakan bahwa arti imamah adalah administrasi pemerintahan, karena
penyederhanaan berlebihan seperti itulah yang menimbulkan kesulitan-kesulitan
tersebut di atas. Jika imamah diartikan penguasa, timbul masalah apakah
kandidat untuk menjadi kepala negara perlu yang terbaik. Apakah belum cukup
kalau kandidat itu adalah relatif yang terbaik. Dengan kata lain, apakah belum
cukup kalau dia seorang negarawan yang baik, administrator yang baik dan jujur
orangnya, meskipun dalam beberapa hal lain lebih rendah di-banding beberapa orang?
Perlukah penguasa itu maksum? Apa perlunya ia maksum? Perlukah ia suka
melakukan salat malam? Jika demikian, kenapa? Perlukah ia ahli hukum Islam?
Tidak dapatkah ia berkonsultasi bila perlu? Orang yang relatif terbaik tentulah
cukup baik. Semua pertanyaan ini muncul kalau problemnya dilihat dari sudut
yang sempit. Keliru sekali kalau beranggapan bahwa imamah dan penguasa identik.
Sebagian ulama awal, khususnya sebagian teolog akademis, membuat kekeliruan
ini. Dewasa ini sekali lagi kekeliruan ini sudah terlalu umum. Kalau orang
bicara imamah, maka yang terbayang di benaknya adalah penguasa, padahal
sesungguhnya masalah penguasa merupakan bagian kecil dari masalah imamah, dan
dua masalah ini jangan dikacaukan. Lantas bagaimana imamah itu?
Imam Merupakan Penerus
Nabi dalam Menjelaskan Agama
Yang terpenting dalam
kaitannya dengan masalah imamah adalah masalah siapa yang menggantikan Nabi saw
untuk menjelaskan agama secara terperinci. Tak syak lagi, Nabi saw sajalah yang
menerima wahyu, dan tak lagi turun wahyu dengan wafatnya Nabi saw. Sekarang
masalahnya adalah sepeninggal Nabi saw siapakah yang bertanggung jawab
menjelaskan secara terperinci ajaran-ajaran samawi yang tak memungkinkan
pendapat pnbadi.
Apakah tanggung jawab
ini beralih ke seseorang yang menjadi tempat bertanya seperti Nabi saw, yang
jawabannya selalu benar, yang tak dapat dicurigai memberikan jawaban
berdasarkan pendapat pribadi, atau pernah berbuat keliru dan kemudian
meturuskannya? Mengenai Nabi saw, tak dapat dikatakan bahwa jawabannya pernah
ada yang salah atau dipengaruhi kehendak pribadi. Tuduhan seperti ini berarti
tidak mengakui kenabiannya. Kalau Nabi saw mengatakan sesuatu, kita tak dapat
mengatakan bahwa itu salah atau bahwa Nabi saw bisa saja keliru. Sebaliknya,
kalau pembuat undang-undang, yang undang-undangnya ditaati orang, bisa saja
dikatakan bahwa mengenai masalah tertentu dia berbuat keliru atau dia tidak
memberikan perhatian penuh kepada masalah tertentu itu atau dia dipengaruhi
pertimbangan dari luar. Namun tidak bisa mengatakan demikian terhadap Nabi saw,
sebagaimana tidak bisa mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an ada yang keliru atau
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.
Sepeninggal Nabi saw,
adakah orang yang dapat dipandang sebagai otoritas yang kompeten untuk semua
masalah agama dan yang dapat menjelaskan hukum agama dengan terperinci seperti
Nabi saw? Adakah manusia sempurna yang memiliki semua sifat ini? Kami katakan
bahwa manusia seperti itu memang ada. Yang membedakan dia dengan Nabi saw
hanyalah kalau yang dikatakan Nabi saw dasarnya adalah wahyu langsung dari
Allah, sedangkan yang dikatakan imam dasarnya adalah ilmu yang didapatnya dari
Nabi saw, bukan dalam pengertian dia dididik dengan cara yang lazim kita kenal,
namun dalam pengertian seperti dikatakan oleh Imam All as bahwa Nabi saw
membukakan baginya pintu ilmu, dengan terbukanya pihtu ilmu mi seribu pintu
yang lain terbuka pula baginya. Kita tak mungkin menjelaskan bagaimana
kejadiannya, sebagaimana kita tak dapat menjelaskan wahyu dan menjelaskan cara
Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah SWT.
Kita tak mungkin
menjelaskan hubungan spiritual seperti apa antara Nabi saw dan Imam Ali bin Abi
Thalib as, namun yang pasti Nabi saw mengajarkan dengan lengkap kepada Imam Ali
as semua realitas, dan Nabi saw tidak mengajarkan ilmu itu kepada orang lain.
Imam Ali as mengatakan bahwa ketika tengah bersama Nabi saw di gua Mira dia
mendengar suara seakan-akan sesebrang tengah menangis. Dia berkata kepada Nabi
saw, "Wahai Rasul Allah, aku mendengar tangisan setan ketika wahyu turun
kepadamu." Nabi saw berkata, "Wahai Ali, engkau mendengar apa yang
aku dengar, dan engkau melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukan
Nabi." (Nahj al-Balâgkah, khotbah 192)
Seandainya ada orang
lain di tempat itu bersama Imam Ali as, orang lain itu tentu tak akan mendengar
suara itu, karena mendengar seperti itu bukan menangkap gelombang suara
sehingga siapa pun yang punya telinga dapat mendengarnya. Mendengar seperti itu
adalah persepsi yang lain.
Hadis Tsaqalain
Mengenai imamah,
masalah pokoknya adalah aspek spiritualnya. Imam adalah pemimpin spiritual,
kedudukannya di bawah Nabi. Imam tahu Islam secara spiritual. Imam maksum
seperti Nabi. Imam adalah otoritas mutlak agama. Dalam perkataannya tak ada
kekeliruan atau penyimpangan yang disengaja. Itulah yang kami maksud dengan
maksum. Dalam hubungan ini Syiah menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku
tinggalkan kepada kalian dua amanat: Kitab Allah dan keturunanku." (Shahih
Muslim, Jilid VII, hal. 122)
Sesungguhnya tak
dapat dipungkiri bahwa Nabi saw memang berkata demikian. Ini bukanlah hadis
yang diriwayatkan oleh Syiah saja, namun juga diriwayatkan oleh lebih banyak
sumber Sunni ketimbang Syiah. Ketika kami di Qum, sebuah majalah bernama
"Risalah at-Taqrib" diluncurkan oleh Dar at-Taqrib Mesir. Dalam salah
satu nomornya seorang ulama Sunni mengutip hadis tsaqalain dengan kata-kata
seperti ini: "Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah
dan sunahku." Almarhum Ayatullah Burujerdi, seorang ulama dalam arti yang
sebenarnya, membahas masalah seperti itu dengan sangat seksama. Seorang
muridnya adalah Syaikh Qawam Wisynawahi, seorang yang baik, sangat antusias
menelaah banyak buku dan mengumpulkan banyak rujukan.
Almarhum Ayatullah
Burujerdi minta kepadanya untuk melacak sumber-sumber hadis ini dalam buku-buku
Sunni yang menyebutkan hadis tersebut. Karena itu, dia mengumpulkan
rujukan-rujukan seperti itu dan menyebutkan lebih dari dua ratus kitab Sunni
tepercaya yang meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan
kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan keturunanku." Jelaslah
Nabi saw mengungkapkan masalah ini dalam bentuk ini di banyak kesempatan dan di
beberapa tempat. Namun kita tidak dapat menafikan kemungkinan Nabi saw bersabda
di kesempatan tertentu bahwa Nabi saw akan meninggalkan dua perkara: Kitab
Allah dan sunahnya. Tak ada perbedaan antara keturunan Nabi dan sunahnya,
karena yang dapat menjelaskan sunahnya adalah keturunannya saja. Sedangkan
eksistensi keturunannya dan sunahnya satu sama lain tidak terpisah. Keturunan
Nabi saw-lah yang menjelaskan secara terperinci dan menjaga sunahnya. Bila Nabi
saw menyebut keturunannya bersama Kitab Allah, Nabi saw bermaksud mengatakan
bahwa kalau mau mengetahui sunahnya merujuklah ke keturunannya. Bahkan
pernyataan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku tinggalkan kepada kalian dua
amanat berat: Kitab Allah dan keturunanku," itu sendiri adalah sunah.
Karena itu tak ada perbedaan antara sunah Nabi saw dan keturunan Nabi saw.
Kalau di satu tempat, dan bahkan ini belum pasti, Nabi saw mengatakan,
"Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat berat: Kitab Allah dan
sunahku," di sedemikian banyak tempat lainnya Nabi saw menggunakan
ungkapan lain. Jika dalam satu kitab hadis ini ditulis dalam satu bentuk, di
dua ratus kitab lainnya ditulis dalam bentuk lain.
Syaikh Qawam
mempersiapkan sebuah risalah dan mengirimkannya kepada Dar at-Taqrib Mesir. Dar
at-Taqrib juga bukan tidak adil. Dar at-Taqrib menerbitkan risalah itu. Karena
autentik, maka tak dapat ditolak. Tak ada seorang pun yang dapat mengajukan
keberatan terhadap risalah itu. Seandainya almarhum Ayatullah Burujerdi
melakukan apa yang biasa dilakukan orang lain dalam kasus-kasus seperti ini,
tentu dia akan berteriak-teriak, akan menyebut orang-orang Dar at-Taqrib tidak
jujur, dan akan menuduh mereka bersekohgkol melawan orang-orang pilihan
keturunan Nabi saw.
Menjelaskan secara
terperinci agama merupakan roh sejati imamah. Islam adalah agama yang lengkap
dan cemerlang. Namun masalahnya adalah apakah ajaran Islam itu hanya berupa
prinsip dan norma umum seperti disebutkan dalam Al-Qur'an dan dijelas-kan lebih
lanjut dalam sabda-sabda Nabi saw. Apakah Islam hanya-lah sebatas ini saja? Tak
syak lagi, wahyu Allah SWT tidak turun lagi sepeninggal Nabi saw. Islam sudah
lengkap. Namun apakah setiap rukun Islam sudah dijelaskan pada masa itu? Atau
apakah banyak masalah hukum, yang berada di bawah kepedulian protektif Imam Ali
as dan yang harus diketahui orang, dijelaskan secara gradual atau dijelaskan
pada beberapa kesempatan yang tepat? Dalam kasus yang disebutkan terakhir ini
hadis ini membuktikan kemaksuman para imam, karena Nabi saw telah menyuruh kaum
Muslim urituk mendapatkan agama mereka dari dua sumber: Kitab Allah dan
keturunannya. Karena sebagai satu dari dua sumber ini Al-Qur'an maksum dan
bebas dari segala kesalahan, maka sumber yang satunya lagi, yaitu keturunan
Nabi saw, haruslah maksum juga. Mustahil Nabi saw menyuruh pengikutnya untuk
mendapatkan agama dari orang yang tidak terlepas dari kemungkinan berbuat
salah.
Di sinilah ajaran
Syiah pada dasarnya beda dengan ajaran Sunni berkenaan dengan masalah
mendapatkan dan menjelaskan agama secara terperinci. Kaum Sunni mengatakan
bahwa karena sudah tak ada lagi wahyu sepeninggal Nabi saw, maka yang tepercaya
menjelaskan secara terperinci agama juga sudah tak ada lagi. Sekarang yang ada
hanyalah menarik kesimpulan logis dari Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi saw.
Larangan Mencatat
Hadis
Kaum Sunni sendiri
telah menciptakan suatu situasi yang membuat lemah posisi mereka. Umar melarang
penulisan hadis. Ini fakta sejarah, bukan cerita rekayasa orang Syiah. Ini
diakui oleh orientalis-orientalis Eropa yang bukan Syiah dan juga bukan Sunni.
Bahkan para orientalis itu mengatakan bahwa Umar melarang penulisan hadis
karena Umar takut hadis akan mengalihkan perhatian orang dari Al-Qur'an,
padahal Umar mau Al-Qur'an menjadi satu-satunya sumber hukum. Ini merupakan
fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri lagi, dan bukan tuduhan kaum Syiah.
Pada masa Umar, orang tak berani menulis hadis Nabi saw dan tak berani memperlihatkan
tulisannya kepada orang lain. Tentu saja menyampaikan hadis secara lisan
dibolehkan. Situasi ini berlangsung sampai masa Umar bin Abdul Aziz, yang
menjadi Khalifah pada 99 H dan meninggal pada 101 H. Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis-hadis Nabi saw. Dengan demikian
Umar bin Abdul Aziz mengganti kebijakan Umar bin Khathab. Perlu dicatat bahwa
setelah perintah Umar bin Abdul Aziz itu orang-orang yang sejauh itu
menyampaikan hadis Nabi saw secara lisan segera melakukan pencatatan hadis Nabi
saw, namun sementara itu sebagian hadis sudah hilang.
Kita tahu bahwa hukum
Islam yang disebutkan dalam Al-Qur'an sangat ringkas. Al-Qur'an terutama hanya
menyebutkan aturan umumnya saja. Misal, Al-Qur'an sangat menekankan salat.
Namun apa yang dikatakan Al-Qur'an tentang salat tak lebih dari Tegakkan salat,
rukuk dan sujudlah. Bahkan tidak dijelaskan bagaimana melakukan salat itu.
Juga banyak sekali ritus yang berkaitan dengan haji. Nabi saw secara pribadi
menjalankannya. Kalau saja hadis-hadis Nabi saw bentuknya tidak praktis seperti
yang ada sekarang, tentu kaum Muslim tak akan tahu hadis-hadis Nabi saw. Namun
masalahnya adalah sempatkah Nabi saw menyampaikan semua ajaran. Selama 13 tahun
di Mekah, karena kerasnya penentangan dan situasi yang sangat sulit, jumlah
orang yang memeluk Islam mungkin tak lebih dari 400 orang. Orang, kalau mau
menemui Nabi saw, secara diam-diam. Sekitar 70 keluarga, yang merupakan separo
atau bahkan lebih dari separo total penduduk Muslim, terpaksa harus hijrah ke
Ethiopia.
Dari sudut pandang
ini Madinah merupakan tempat yang lebih baik. Namun di sana Nabi saw memiliki
sedemikian banyak komitmen lain. Meskipun Nabi saw bekerja seperti guru penuh
waktu, namun selama 23 tahun ini Nabi saw tak punya cukup waktu untuk
menyampaikan semua ajaran Islam, khususnya kalau melihat fakta bahwa Islam
adalah aturan hidup manusia yang lengkap terutama di zaman kita ini.
Penggunaan Analogi
Akibat pandangan kaum
Sunni dalam hubungan ini, kaum Sunni menghadapi banyak kesulitan praktis
berkenaan dengan hukum Islam. Mereka menghadapi banyak masalah yang tak
disebut-sebut dalam Al-Qur'an. Mereka merujuk ke koleksi-koleksi hadis mereka,
namun tak juga menemukan jawabannya. Lantas harus bagaimana? Untuk memecahkan
problem, mereka menggunakan analogi (berdasarkan kesamaan yang ada,
dikembangkan norma yang ada dalam nash untuk diterapkan pada kasus yang tak ada
jawabannya dalam Al-Qur'an dan sunah. Misal kita katakan bahwa dalam kasus itu
hakum mengatakan demikian. Karena kasus ini agak sama dengan kasus itu, maka
norma yang sama diterapkan pada kasus ini juga. Mungkin dalam kasus itu Nabi
saw memberikan keterituan tertentu karena alasan tertentu, dan karena alasan
itu ada dalam kasus ini juga, maka ketentuan yang sama juga berlaku pada kasus
ini.
Seperti diketahui,
pengambilan kesimpulan analogis didasarkan pada kemungkinan saja. Kasus-kasus
yang tak ada hadis Nabinya, terlalu banyak. Dunia Islam bertambah luas selama
periode Abasiyah. Banyak negara ditaklukkan. Akibatnya, bermunculan problem-problem
baru setiap hari, dan solusinya tak ada dalam Al-Qur'an serta sunah. Akibatnya
adalah pengambilan kesimpulan analogis menjadi praktik umum. Kaum Sunni terbagi
menjadi dua kelompdk. Yang pertama adalah kelompok Ahmad bin Hanbal dan Malik
bin Anas. Kelompok ini mencurigai pengambilan kesimpulan analogis. Konon Malik
bin Anas banyak menggunakan analogi. Abu Hanifah suka mengatakan bahwa apa yang
dianggap sebagai sabda-sabda Nabi saw tak dapat dipercaya. Dia menyatakan hanya
me-nemukan lima belas hadis Nabi saw yang dapat dipercaya. Dalam kasus'kasus
lainnya dia menggunakan pengambilan kesimpulan analogis. Syafi'i mengambil
sikap tengah. Dalam sebagian kasus dia menggunakan hadis Nabi saw, dan dalam
sebagian kasus lainnya dia menggunakan analogi. Akibatnya dia melahirkan
semacam hukum yang kacau. Konon Abu Hanifah begitu banyak menggunakan analogi
karena dia asalnya dari Iran, dan orang Iran pada dasarnya cenderung sangat
memperhatikan upaya mental, dan karena dia tinggal di Irak yang jauh dari Madinah,
pusat ahli hadis. Namun dia terlalu asyik dengan analogi.
Seorang penulis Sunni
mengatakan bahwa suatu hari Abu Hanifah pergi ke tukang cukur. Jenggotnya
sebagian hitam dan sebagian beruban, namun jumlah ubannya tidak begitu banyak.
Dia minta kepada si tukang cukur agar mencabut ubannya. Si tukang cukur
berkata, "Jika uban dicabuti, maka tumbuhnya cenderung semakin
banyak." Abu Hanifah berkata, "Kalau begitu, cabuti pula rambut
hitamnya, karena analogiku mengatakan kalau uban dicabuti maka tumbuhnya semakin
banyak, berarti begitu pula rambut yang masih hitam." Namun faktanya
adalah bahwa jika ada kaidah seperti itu, berlakunya hanya pada uban saja,
tidak pada rambut yang masih hi tarn. Untuk yurisprudensi pun pengambilan
kesimpulan yang dilakukan Abu Hanifah juga seperti itu.
Analogi dari Sudut
Pandang Syiah
Kalau kita merujuk ke
hadis-hadis Syiah, kita akan tahu bahwa menurut Syiah dirasakannya kebutuhan
akan analogi hanya akibat anggapan yang keliru bahwa Al-Qur'an dan sunah belum
cukup untuk memberikan semua hukum yang diperlukan. Faktanya adalah bahwa
anggapan seperti ini salah mutlak. Kami menerima banyak sekali hadis Nabi saw
baik secara langsung atau melalui orang-orang pilihan keturunan Nabi saw,
sehingga kalau kami merujuk ke prinsip-prinsipnya, kami sama sekali tak
memerlukan pengambilan kesimpulan analogis. Itulah jiwa imamah dari sudut
pandang agama.
Islam bukanlah
sekadar doktrin. Tak dapat dikatakan bahwa setelah ideologinya disampaikan oleh
pembawanya, maka yang diperlukan hanyalah adanya pemerintah untuk melaksanakan
ideologi itu. Islam adalah aturan yang lengkap, dan ini harus dicamkan.
Tak Ada Pemilihan
Kalau Ada Imam yang Maksum
Dari sudut pandang
kepemimpinan dan kepenguasaan, posisi-nya adalah bahwa Imam Ali bin Abi Thalib
as adalah penerus Nabi saw yang sama maksumnya dengan Nabi saw sendiri, dan
yang ditunjuk oleh Nabi saw untuk menjadi penerusnya, tak dapat digantikan oleh
orang lain. Posisinya luar biasa seperti posisi Nabi saw sendiri. Karena itu
dalam kasus Imam Ali as tak ada ruang bagi pemilihan, musyawarah atau hal
lainnya seperti itu. Dalam kasus Nabi saw tak ada yang pernah mengatakan bahwa
Nabi saw hanyalah Rasul Allah dan umat bebas memilihnya atau siapa pun untuk
menjadi penguasa mereka. Setiap orang tahu bahwa karena beliau saw manusia luar
biasa dan punya kontak dengan alam ilahiah, maka dengan adanya beliau saw, tak
ada pemilihan. Sepeninggal Nabi saw juga, tak ada ruang bagi pemilihan, karena
Nabi saw telah menunjuk dua belas penerusnya untuk memperkuat Islam pada dua
atau tiga abad selanjutnya, dan untuk menjelaskan Islam secara terperinci
dengan penjelasan yang bebas dari kesalahan. Dengan adanya orang-orang seperti
itu yang mampu menjelaskan semua ajaran Islam, maka tak ada pemilihan dan
seterusnya. Apakah masuk akal memilih orang lain padahal ada seseorang yang
mudak maksum, dan luar biasa kompeten dan berilmu dalam setiap arti katanya?
Selanjutnya, ketika
Imam All bin Abi Thalib as ditunjuk menjadi Imam dalam pengertian yang kami
sebutkan, kepemimpinan duniawi tentu saja juga menjadi prerogatifnya.
Sesungguhnya Nabi saw telah menunjuk Imam Ali as untuk mengemban jabatan ini,
karena Imam Ali as adalah seorang Imam dan maksum. Namun, kasusnya lain selama
gaibnya Imam yang sekarang ini (Imam kedua belas—peny.), karena tak ada imam
yang maksum yang leluasa mengemban otoritas duniawinya.
Begitu pula, kasusnya
akan lain jika peristiwa-peristiwa pada periode awal Islam tidak terjadi, dan
Imam Ali as menjadi Khalifah begitu Nabi saw wafat dan Imam Ali as digantikan
oleh Imam Hasan as, kemudian oleh Imam Husain as dan seterusnya sampai zaman
Imam terakhir. Kalau begini keadaannya, maka tak akan ada alasan untuk gaib.
Sepeninggal Imam maksum terakhir, maka bentuk penguasanya akan lain. Kemudian
dapat dipertanyakan bagaimana pemecahan masalah ini. Apakah seorang mujtahid
yang memenuhi syarat lantas menjadi penguasa? Dapatkah umat memilih penguasa
mereka?
Karena itu, sejak
awal masalah imam tidak kami pandang sebagai sekadar masalah pemerintahan
duniawi. Adalah keliru kalau pada tahap ini bertanya apakah Islam menginginkan
pemerintahan yang berdasarkan penunjukan atau pemerintahan yang berdasarkan
pemilihan, dan kemudian bertanya kenapa Syiah mertganjurkan bentuk pemerintahan
tertentu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Haras diakui bahwa kalau ada imam
yang maksum, maka orang lain tak bisa mengklaim menjadi penguasa, seperti
halnya dengan adanya Nabi saw maka orang lain tak bisa menjadi penguasa.
Nabi saw telah
menunjuk Ali as sebagai Imam, dan karena itu menjadi hak istimewa Ali as untuk
juga menjadi penguasa. Selain itu, pada beberapa kesempatan Nabi saw
menjelaskan bahwa Imam Ali as yang akan menggantikannya sebagai penguasa kaum
Muslim. Perlu diingat bahwa Nabi saw melakukan penunjukan ini atas dasar karena
Imam Ali as adalah Imam setelah Nabi saw.
Masalah Wilayah
Spiritual
Sebelumnya sudah saya
sebutkan satu poin yang saya yakini dan saya anggap sebagai doktrin yang
fundamental, meskipun mungkin bukan prinsip pokok Syiah. Masalah tersebut
adalah bagaimana karakter khusus posisi Nabi? Bahwasanya yang diwahyukan kepada
Nabi, apakah hanya sebatas perintah ilahiah, prinsip-prinsip pokok dan ajaran
tambahan Islam? Apakah yang diketahuinya hanya realitas-realitas Islam saja,
ataukah informasi lain juga disampaikan kepadanya oleh Allah SWT? Apakah dia
unggul dalam ketakwaan karena dia maksum? Hampir semua pertanyaan seperti ini
juga dilontarkan berkenaan dengan para imam. Meskipun para imam tidak menerima
wahyu dari Allah SWT, namun mereka menerima pengetahuan tentang Islam melalui
Nabi saw, dan pengetahuan mereka bebas dari kemungkinan salah seperti halnya
pengetahuan Nabi saw sendiri. Mengenai ketakwaan, para imam juga maksum.
Sekarang
pertanyaannya adalah apakah Nabi saw atau para imam, selain memiliki
sifat-sifat ini, juga memiliki sifat-sifat khusus lainnya. Selain ilmu agama,
cabang-cabang ilmu apa lagi yang dikuasainya? Benarkah berita tentang perbuatan
umat Nabi disampaikan kepada Nabi saw, dan berita serupa juga disampaikan
kepada tiap imam selama hayatnya. Sekarang, imam yang ada mengetahui, mendengar
dan melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia. Dia melihat perbuatan bukan
saja dari kaum Syiah saja tetapi juga dari semua orang. Dalam hal ini tak ada
bedanya antara imam yang masih hidup dan imam yang sudah meninggal. Seperti
disebutkan sebelumnya, bila Anda berziarah ke makam Imam Ali Ridha as, dan
memberi salam kepadanya, perbuatan ini terjadi seakan-akan Anda tengah menyapa
seseorang yang hidup di dunia ini. Bila Anda memberi salam kepada imam, imam
mendengar dan melihat Anda. Itulah manifestasi dari wilayah spiritual.
Sudah kami kemukakan
sebelumnya bahwa masalah wilayah merupakan titik pertemuan tasawuf dan Syiah.
Konsepsi mereka dalam hal ini sangat dekat. Kaum sufi mengatakan bahwa pada
setiap zaman tentu ada seorang sempurna yang mereka sebut quthb. Menurut kaum
Syiah, pada setiap zaman tentu ada imam dan otoritas keagamaan, yang adalah
seorang yang sempurna. Karena masalah ini tidak menjadi perselisihan antara
Syiah dan Sunni, kami rasa pada tahap ini tak perlu membahasnya lebih lanjut.
Pokok perselisihannya ada dua, yaitu imamah dalam pengertian menjelaskan secara
terperinci agama, dan imamah dalam pengertian pemimpin duniawi kaum Muslim.
Makna Penting Hadis
Tsaqalain
Mengenai masalah
imamah, perlu diperhatikan arti penting hadis ini. Kalau kebetulan Anda bertemu
ulama Sunni atau bahkan non-ulama, tanyakan kepadanya apakah Nabi saw
mengucapkan kalimat seperti itu atau tidak. Jika jawabannya tidak, tunjukkan
kepadanya sedemikian banyak kitab Sunni itu sendiri. Sesungguhnya ulama Sunni
tak dapat, dan umumnya tidak, menafikan eksistensi dan kesahihan hadis seperti
itu.[1]
Lalu katakan kepadanya, "Nabi saw menyebut Al-Qur'an sebagai otoritas
nomor satu dan orang-orang pilihan keturunannya sebagai otoritas nomor dua.
Sekarang sebutkan siapa keturunan ini."
Dapat dicatat bahwa
kaum Sunni tidak membedakan antara keturunan Nabi saw dan yang lainnya. Mereka
meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw lebih sering dari sahabat-sahabat lain
dibanding dari Imam Ali bin Abi Thalib as. Bahkan bila mereka mengutip Imam Ali
as, mereka mengutipnya sebagai perawi hadis Nabi saw, bukan sebagai otoritas.
Hadis Ghadir
Seperti sudah
dikemukakan, orang yang ahli agama harus juga menjadi pemimpin agama itu.
Sejauh menyangkut kepemimpinan, Nabi saw khususnya menunjuk Imam Ali as sebagai
pemimpin agama. Hadis Ghadir merupakan contoh deklarasi seperti itu. Deklarasi
Ghadir dibuat oleh Nabi saw pada kesempatan Nabi saw menunaikan haji terakhir.
Mungkin sekali Nabi saw hanya menunaikan haji sekali saja setelah penaklukan
Mekah, dan Nabi saw menunaikan umrah sekali sebelum haji perpisahannya. Pada
kesempatan haji perpisahannya, Nabi saw menyerukan ajakan umum kepada semua
Muslim untuk menunaikan ibadah haji tahun itu. Ketika semua Muslim sudah berkumpul,
Nabi saw menyampaikan khotbah pada kesempatan yang berbeda di Masjidil Haram,
di Arafah, di Mina, di luar Mina dan di Ghadir Khum. Setelah menyebutkan
beberapa poin lain di Ghadir Khum, Nabi saw akhirnya menyebutkan satu poin yang
sangat ditekankannya. Menurut kami, Nabi saw menjadikan poin itu sebagai poin
terakhir disebabkan oleh ayat ini yang Nabi saw bacakan di sana: Wahai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu. Danjika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
risalah-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 67)
Nabi saw mengemukakan
banyak prinsip Islam dan masalah tambahan dalam khotbah-khotbah yang
disampaikannya di Arafah, Mina dan Masjidil Haram. Pada semua kesempatan ini
Nabi saw membahas masalah-masalah penting. Namun di Ghadir Khum Nabi saw
membuat deklarasi. Mengenai deklarasi ini Nabi saw mengatakan jika Nabi saw
tidak membuat deklarasi itu, maka semua yang telah disampaikannya akan batal.
Kemudian Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih dekat dengan kalian
dibanding diri kalian sendiri?" Nabi saw tengah merujuk ke sebuah ayat
Al-Qur'an yang mengatakan: Nabi lebih dekat dengan kaum mukmin dibanding diri
mereka sendiri. (QS. al-Ahzâb: 6). Selanjutnya Nabi saw bersabda,
"Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding kalian
sendiri?" Semua yang hadir mengatakan, "Betul, Ya Rasulullah."
Kemudian Nabi saw membuat deklarasi, "Ali ini adalah pemimpin (penguasa)
orang yang menjadikan aku sebagai pemimpin (penguasa)-nya."
Ikhtisar lengkap
mengenai masalah Ghadir diterbitkan beberapa tahun lalu di Masyhad dalam bentuk
buku oleh Lembaga Publikasi Kebenaran Islam. Saya belum membaca buku ini, namun
sahabat-sahabat saya yang telah membacanya mengatakan sangat bagus,
setidak-tidaknya patut dibaca.
Akan menyita terlalu
banyak tempat untuk menelaah semua sumber hadis Ghadir yang, menurut kami,
merupakan hadis mutawatir atau hadis Tsaqalain. Mir Hamid Husain, penulis
"'Abaqat al-Anwar", telah melacak sumber hadis ini dalam 400 halaman
ukuran besar. Dalam membahas substansi problem imamah, kami hanya ingin
menyebutkan secara ringkas otoritas-otoritas yang menjadi dasar klaim mereka
dalam hal ini, meskipun masalahnya mungkin perlu dibahas lebih terperinci.
Catatan:
[1] Sebagian ulama salah menggunakan hadis ini, karena mereka selalu
meng-gunakannya sebagai pengantar kisah tentang kemalangan orang-orang pilihan keturunan Nabi.
Mungkin ada anggapan bahwa ketika Nabi saw mengatakan akan meninggalkan dua
hal, yaitu Al-Qur'an dan keturunannya, yang dimaksud Nabi adalah agar dua hal
dihormati dan jangan dihina. Sesungguhnya yang dimaksud Nabi adalah Nabi akan
meninggalkan dua otoritas yang menjadi tempat bertanya tentang semua masalah
keagamaan dan sosial. Dalam bagian akhir hadis ini, Nabi bersabda, "Selama
kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan sesat." Jadi
persoalannya adalah persoalan mengikuti (berpegang). Nabi saw mendeklarasikan
bahwa keturunannya sama dengan Al-Qur'an. Nabi sendiri mengatakan bahwa
Al-Qur'an adalah tsaqal besar, sedang keturunannya adalah tsaqal kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar