Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Manusia berupaya
mengenal dirinya dan mengenal dunia. Manusia ingin lebih tahu siapa dirinya dan
bagaimana dunia. Dua jenis pengetahuan ini menentukan evolusi, kemajuan dan
kebahagiaannya. Dari dua jenis pengetahuan ini mana yang lebih penting dan mana
yang kurang penting? Jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah mudah. Ada yang
menganggap mengenal diri itu lebih penting, dan ada yang memandang mengenal
dunia lebih penting. Perbedaan jawaban untuk pertanyaan ini terjadi akibat
perbedaan cara berpikir Timur dan Barat. Juga akibat perbedaan pandangan ilmu
pengetahuan dan pandangan agama. Ilmu pengetahuan adalah sarana untuk
mengetahui dunia, sedangkan agama adalah produk dari kenal, tahu atau sadar
diri.
Ilmu pengetahuan,
selain berupaya membuat manusia mengenal dirinya, juga berupaya membuat manusia
mengenal dunia. Tanggung jawab ini diemban berbagai cabang psikologi. Namun
kalau manusia mengenal dirinya melalui ilmu pengetahuan, maka kenal diri
seperti ini menjemukan dan tidak hidup. Kenal diri seperti ini tidak
menghidupkan jiwa manusia dan juga tidak membangkitkan kemampuan terpendam
manusia. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui agama, maka kenal diri
seperti ini membuatnya mengetahui realitasnya, menghilangkan apatinya, membakar
jiwanya dan membuatnya memiliki rasa kasih sayang dan simpati. Tugas seperti
ini tak mungkin diemban oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Bukan saja itu,
ilmu pengetahuan dan filsafat terkadang justru membuat manusia tidak sensitif
dan lupa akan dirinya. Itulah sebabnya mengapa ilmuwan dan filosof tidak
sensitif dan egois. Kata pepatah, mereka ini laksana anjing dalam palungan (bak
tempat makanan dan minuman ternak—pen.). Mereka lupa akan dirinya, sedangkan
banyak orang tak berpendidikan sadar akan dirinya.
Agama mengajak
manusia untuk mengenal dirinya. Pokok-pokok ajaran agama adalah: Kenalilah
dirimu agar kamu tahu Tuhanmu. Jangan lupa Tuhanmu agar kamu tidak lupa akan
dirimu. Al-Qur'an mengatakan: Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
akan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka
itulah orang-arang yang fasik. (QS. al-Hasyr: 19). Nabi saw bersabda,
"Barangsiapa kenal dirinya, maka kenal Tuhannya." Imam All bin Abi
Thalib as mengatakan, "Pengetahuan yang paling bermanfaat adalah
pengetahuan tentang diri." Imam Ali as juga mengatakan, "Saya heran
mengapa orang yang mencari apa-apa yang dihilangkan oleh dirinya, tidak mencari
dirinya."
Kritik pokok yang
dilontarkan berbagai kalangan berpendidikan dunia terhadap budaya Barat, adalah
bahwa budaya Barat merupakan budaya mengenal dunia dan budaya lupa diri. Di
sinilah sesungguhnya penyebab merosotnya altruisme atau kebajikan di Barat.
Jika manusia, dalam kata-kata Al-Qur'an Suci, kehilangan dirinya, maka kalau
dia memperoleh dunia, perolehannya itu tak ada manfaatnya. Sejauh pengetahuan
kita, Mahatma Gandhi, mendiang pemimpin India, inilah yang dari sudut pandang
ini sangat cerdas kritiknya terhadap budaya Barat. Dia mengatakan: "Manusia
Barat dapat menyelenggarakan pesta besar. Pesta yang bagi bangsa-bangsa lain
hanya dapat diadakan oleh Tuhan saja. Namun manusia Barat tak mampu melakukan
satu hal. Dia tak dapat menelaah diri rohaniahnya. Fakta ini saja sudah cukup
untuk membuktikan bahwa gemerlap palsu budaya modern tak ada artinya. Jika
budaya Barat telah menyebabkan orang Eropa berkubang minuman anggur dan seks,
itu karena orang Eropa cenderung lupa dan menyia-nyiakan 'diri' mereka, 'diri'
yang semestinya mereka cari. Sebagian besar prestasi besar mereka dan bahkan
perbuatan baik mereka merupakan produk dari lupa diri. Kemampuan praktis
manusia Barat untuk membuat penemuan, dan menciptakan peralatan perang, terjadi
karena dia lari dari 'diri' dan bukan karena kontrol dirinya yang hebat. Kalau
manusia kehilangan jiwanya, maka apa manfaatnya dia menaklukkan dunia?"
Selanjutnya Gandhi mengatakan: "Hanya ada satu kebenaran di dunia ini, dan
kebenaran itu adalah mengetahui diri. Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia
mengenal Tuhan dan lainnya. Barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka dia tidak
mengetahui apa pun. Di dunia ini ada satu kekuatan, satu kemerdekaan dan satu
keadilan, dan kekuatan itu adalah kekuatan penguasaan diri. Di dunia ini hanya
ada satu kebajikan, yaitu kebajikan menyayangi orang lain seperti menyayangi
diri sendiri. Dengan kata lain, orang lain harus dilihat seperti kita melihat
diri kita sendiri. Seluruh soal lainnya imajiner dan tak ada." (Introduction
to My Religion, 1959)
Entah kita memandang
lebih penting mengenal diri atau mengenal dunia, atau kita memandang keduanya
itu sama penting, maka yang pasti perluasan pengetahuan berarti perluasan
kehidupan manusia. Hidup sama saja dengan pengetahuan, dan pengetahuan sama
saja dengan hidup. Barangsiapa lebih mengenal dirinya dan dunia, maka dia lebih
memiliki kehidupan. Jelaslah dalam konteks ini arti mengenal diri bukanlah
mengetahui isi kartu identitas diri seperti nama diri, nama kedua orang tua,
nama tempat kelahiran, nama tempat tinggal dan sebagainya. Juga artinya bukan
mengetahui biologi diri yang dapat diikhtisarkan dalam pengetahuan tentang
binatang yang lebih tinggi daripada beruang dan kera. Untuk lebih jelasnya,
kita lihat secara ringkas berbagai jenis sadar diri. Kita loncati saja sadar
diri sebagai mengetahui kartu identitas itu, yang sifatnya kiasan dan tidak
riil itu. Ada beberapa jenis sadar (mengenal) diri yang riil:
Sadar Diri yang Fitri
Sifatnya
Manusia secara fitrah
tahu siapa dirinya. Bukanlah ego manusia yang terbentuk duluan baru kemudian
dia jadi sadar diri. Lahirnya ego sama dengan lahirnya sadar diri. Pada tahap
itu, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang. Ego adalah realitas, dan realitas
itu sendiri adalah mengenal diri. Pada tahap-tahap selanjutnya, ketika manusia
kurang lebih mengetahui hal-hal lain, dia tahu dirinya juga, seperti dia tahu
hal-hal lain. Dengan kata lain, dia membuat gambar tentang dirinya di benaknya.
Secara teknis, dia jadi mengenal dirinya berkat pengetahuan yang didapatnya.
Namun sebelum mengenal dirinya dengan cara seperti ini, dan bahkan sebelum
mengenal hal lain, dia sudah mengenal dirinya melalui pengenalan diri yang
fitri sifatnya. Para psikolog yang biasanya membahas masalah mengenal diri,
cuma mempertimbangkan fase kedua dari mengetahui diri, yaitu pengetahuan mental
yang didapat melalui upaya. Sedangkan para filosof kebanyakan fokusnya adalah
fase pertama, yaitu tahap pengetahuan non-mental yang fitri sifatnya.
Pengetahuan seperti ini tak lain adalah apa yang dalam filsafat digambarkan
sebagai salah satu bukti kuat keniskalaan (abstraksi) ego.
Dalam kasus
pengetahuan seperti ini tak ada masalah keraguan atau pertanyaan seperti
"Adakah aku? Kalau aku ada, lantas siapa aku?" Keraguan muncul hanya
dalam kasus pengetahuan yang didapat melalui upaya, yaitu dalam kasus di mana
pengetahuan tentang sesuatu beda dengan eksistensi aktual sesuatu itu. Namun di
mana pengetahuan, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang, dan
pengetahuan ini sifatnya fitri, maka tak dapat dibayangkan adanya keraguan.
Dengan kata lain, mustahil adanya keraguan dalam kasus seperti itu. Di sinilah
Descartes membuat kekeliruan yang fundamental. Dia tidak tahu bahwa "aku
ada" tak menimbulkan keraguan, sehingga tak perlu meniadakannya dengan
perkataan "aku berpikir, karena itu aku ada."
Kendatipun tahu diri
yang sifatnya fitri itu nyata adanya, namun pengetahuan seperti itu bukanlah
pengetahuan yang didapat melalui upaya. Seperti eksistensi ego, pengetahuan
seperti itu merupakan sifat khas manusia yang sifatnya fundamental. Karena itu
kenal diri yang sifatnya fitri ini bukanlah pengetahuan tentang diri, suatu
pengetahuan yang manusia selalu diseru untuk memilikinya. Al-Qur'an menyebutkan
berbagai tahap perkembangan janin dalam rahim. Ketika menggambarkan tahap
terakhimya, Al-Qur'an mengatakan, Sesudah itu Kami jadikan ia ciptaan yang
berbeda. Yang dirujuk ayat ini adalah sadar diri yang sifatnya fitri itu, dan
sadar diri ini berkembang akibat perubahan materi non-sadar menjadi substansi
spiritual yang sadar diri.
Sadar Diri Filosofis
Filosof ingin tahu
karakter riil ego sadar diri. Apakah ego sadar diri itu substansi atau bentuk?
Apakah materi atau abstraksi? Bagaimana hubungannya dengan tubuh? Apakah sudah
ada sebelum adanya tubuh, atau eksistensinya bersamaan dengan eksistensi tubuh,
atau ada setelah adanya tubuh? Dan seterusnya. Pada tahap sadar diri ini
pertanyaan utamanya adalah bagaimana karakter dan jenis ego? Jika filosof
mengklaim memiliki sadar diri, itu artinya bahwa dia mengklaim tahu karakter,
jenis dan substansi ego.
Sadar Diri Universal
Sadar diri universal
artinya adalah mengetahui diri dalam kaitan diri dengan dunia—mengetahui
jawaban pertanyaan "Dari mana aku berasal?" "Hendak ke mana
aku?" Dalam sadar diri seperti ini manusia menyadari dirinya adalah bagian
dari suatu keseluruhan yang disebut dunia. Dia juga sadar bahwa dirinya
bukanlah makhluk yang independen, namun dirinya bergantung pada makhluk lain.
Kedatangannya bukan tanpa bantuan, kehidupannya bukan tak membutuhkan yang
lain, untuk mencapai tujuannya manusia tidak bisa sendirian. Pada tahap ini
manusia berupaya menentukan posisinya dalam keseluruhan ini yang dikenal dengan
sebutan dunia ini.
Kata-kata penting
Imam Ali as berikut menggambarkan sadar diri seperti ini. Imam Ali as
mengatakan, "Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang
tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya." Sadar diri
seperti ini membuat manusia sangat mendambakan kebenaran. Sadar diri seperti
ini tak ada dalam diri binatang, juga tak ada dalam diri makhluk lain. Sadar
diri seperti inilah yang membuat manusia ingin tahu, dan meyakinkan manusia
untuk mencari jawaban dan kepastian. Dalam diri manusia, sadar diri seperti ini
mengobarkan api keraguan dan penyangkalan, sehingga manusia jadi ragu apakah
pandangan ini atau pandangan itu yang hams diikuti. Api ini pulalah yang
membakar jiwa "orang-orang seperti Ghazali," sehingga mereka resah,
tak dapat tidur, tak dapat makan, turun dari jabatan pemimpin Nizamiah, dan
kemudian mengembara di gurun, dan bertahun-tahun hidup resah jauh dari rumah.
Api ini pulalah yang membuat "orang-orang seperti Inwan Basri"
mencari kebenaran dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, dan dari kota ke
kota. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia memperhatikan ide nasib.
Sadar Diri Kelas
Sadar diri kelas
merupakan bentuk sadar diri sosial. Artinya adalah kesadaran orang akan
hubungan dirinya dengan kelasnya. Dalam masyarakat yang didominasi kelas, dari
sudut pandang gaya hidup dan suka-dukanya, setiap orang mesti menjadi bagian
dari lapisan tertentu, atau sadar diri kelas merupakan kesadaran orang akan
posisi kelasnya dan tanggung jawab kelasnya. Berdasarkan teori-teori tertentu,
mamttia memiliki ego yang melampaui kelasnya. Ego setiap orang merupakan
jumlah seluruh kekuatan psikisnya, yaitu jumlah seluruh perasaan, pikiran, niat
dan hasratnya. Semua ini terbentuk dalam kerangka kelas tertentu. Para
pendukung teori ini berpandangan bahwa tidak eksis manusia sebagai semata-mata
manusia. Eksistensinya hanyalah konseptual, bukan riil. Yang sungguh-sungguh
eksis adalah kaum aristokrat dan massa. Manusia hanya dapat eksis dalam
masyarakat tak berkelas, kalau saja masyarakat seperti ini ada. Karena itu
dalam masyarakat yang didominasi kelas, sadar diri sosial itu identik dengan
sadar din kelas.
Menurut teori ini,
sadar diri kelas sepadan dengan kesadaran orang akan kepentingannya sendiri,
karena filosofi teori ini didasarkan pada pandangan bahwa personalitas setiap
indtvidu diatur oleh kepentingan materialnya. Dalam struktur sosial, faktor
terpentingnya adalah basis ekonominya. Kehidupan material yang sama dan
kepentingan material yang sama membuat individu-individu dari kelas tertentu
memiliki suara had yang sama, cita rasa yang sama, dan penilaian yang sama.
Kehidupan kelas melahirkan pandangan kelas, dan pandangan kelas membuat orang
melihat dunia dan masyarakat dari sudut tertentu dan menafsirkannya sesuai
dengan tuntutan kepentingan kelas. Karena itu upaya dan pandangan sosialnya
selalu berorientasi kelas. Marxisme meyakini sadar diri seperti ini, dan sadar
diri seperti ini dapat disebut sadar diri Mantis.
Sadar Diri Nasional
Artinya adalah
kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan orang lain yang memiliki ikatan
rasial dan kebangsaan dengan dirinya. Manusia —akibat menjalani kehidupan
bersama dengan sekelompok orang yang memiliki hukum yang sama, jalan hidup yang
sama, sejarah yang sama, sukses dan gagal sejarah yang sama, bahasa dan sastra
yang sama, dan akhirnya budaya yang sama— mengembangkan perasaan yang sama dan
rasa sebagai bagian dari kelompok itu. Karena individu memiliki ego, maka
bangsa pun— karena memiliki budaya yang sama—mengembangkan ego kebangsaan.
Budaya yang sama—yang lahir akibat menjadi bagian dari ras yang sama—mewujudkan
kesamaan dan kesatuan di kalangan individu-individu manusia. Kebangsaan, yang
didukung budaya yang sama, mengubah "aku" menjadi "kita".
Demi kepentingan "kita" ini orang sering mau bekorban. Mereka merasa
bangga kalau bangsanya sukses, dan merasa sedih kalan bangsanya gagal. Sadar
diri nasional artinya adalah kesadaran akan budaya nasional, personalitas
nasional, dan ego nasional. Pada dasarnya budaya dunia itu tak ada. Berbagai
budaya eksis secara serempak, dan masing-masing budaya memiliki sifat khasnya
sendiri. Karena itu ide satu budaya dunia yang tunggal merupakan ide yang
mustahil. Nasionalisme yang populer pada abad ke-19, dan lebih kurang masih
digembar-gemborkan, didasarkan pada filosofi ini. Dalam sadar diri seperti ini
segalanya—yaitu penilaian, pembuatan keputusan, dan orientasi—mengandung aspek
nasional dan berada dalam orbit nasional, sedangkan dalam sadar diri kelas,
segalanya mengandung aspek kelas.
Kendatipun sadar diri
nasional bukan tergolong kesadaran akan kepentingan diri, namun tergolong
egoisme. Sadar diri seperti ini mengidap penyakit egoisme seperti prasangka,
sikap memihak, keangkuhan dan mengabaikan kesalahan sendiri. Karena itu,
seperti sadar diri kelas, sadar diri nasional juga tidak ada sisi moralnya.
Sadar Diri Manusiawi
Arti sadar diri
manusiawi adalah kesadaran orang akan hubungannya dengan orang lain. Dasar
sadar diri manusiawi adalah filosofi bahwa semua manusia merupakan satu unit
tunggal, dan semua manusia memiliki "hati nurani manusiawi yang
sama." Semua manusia memiliki rasa mencintai manusia dan memiliki perasaan
yang sama. Sa'di, penyair Persia terkenal kelas dunia, mengatakan, "Semua
manusia seperti organ-organ satu tubuh. Seorang manusia yang tak memiliki rasa simpati
kepada manusia lainnya, tak layak disebut manusia."
Itulah gagasan yang
dianut orang-orang yang, seperti Auguste Comte, senantiasa mencari agama
manusia. Itulah juga prinsip pokok humanisme yang kurang lebih merupakan sebuah
filosofi yang dianut sebagian besar orang di zaman kita yang lapang hatinya.
Humanisme melihat semua manusia sebagai satu unit tunggal, terlepas dari kelas,
kebangsaan, budaya, agama yang dianut dan rasnya. Humanisme menolak setiap
bentuk diskriminasi. Piagam hak asasi manusia yang diisukan di dunia dari waktu
ke waktu juga didasarkan pada filosofi ini. Piagam ini juga mendakwahkan sadar
diri manusiawi seperti ini.
Kalau sadar diri
seperti ini dikembangkan oleh individu, maka perasaan dan hasratnya menjadi
manusiawi, maka orientasi upayanya adalah manusiawi, dan persahabatan serta
permusuhannya berwarna manusiawi. Dia mulai menyukai ilmu, budaya, aktivitas
yang sehat, kesejahteraan manusia, kemerdekaan, keadilan dan kebaikan hati. Dia
juga mulai membenci kebodohan, kemiskinan, kekejaman, penyakit, penindasan dan
diskriminasi. Kalau dikembangkan, maka sadar diri manusiawi ini, beda dengan
sadar diri nasional dan sadar diri kelas, ada makna moralnya. Kendatipun sadar
diri manusiawi ini lebih logis ketimbang sadar diri jenis lain, dan sekalipun banyak
digembar-gemborkan, namun dalam praktiknya sadar diri manusiawi merupakan
sesuatu yang relatif langka. Kenapa?
Jawabnya ada dalam
aktualitas manusia. Karakter aktualitas manusia beda dengan karakter aktualitas
selain manusia, entah itu benda non-organis, tumbuhan atau binatang. Segala
yang ada di dunia ini selain manusia, sesungguhnya merupakan bagaimana segala
yang ada itu. Karakternya, aktualitasnya dan sifat khasnya ditentukan oleh
faktor-faktor penciptaan. Namun sejauh menyangkut manusia, tahap bakal seperti
apa dia, dimulai setelah dia diciptakan. Manusia bukanlah bagaimana dia
diciptakan. Manusia adalah ingin bagaimana dia. Manusia adalah bagaimana dia
dibentuk oleh faktorfaktor asuhan atau didikan, termasuk di dalamnya adalah
kehendak dan pilihannya sendiri.
Dengan kata lain,
mengenai karakter dan kualitasnya, maka selain manusia sesungguhnya merupakan
bagaimana dia diciptakan. Namun manusia, dari sudut pandang ini, diciptakan
hanya secara potensial saja. Dalam diri manusia ada benih sisi manusiawi, dan
bentuknya adalah berbagai potensinya. Jika benih ini tetap aman dari gangguan
hama, maka benih ini berangsur-angsur tumbuh dari eksistensi manusia dan
berkembang menjadi naluri manusia dan kemudian menjadi hati nurani natural dan
sifat manusiawinya.
Tak seperti benda
non-organis, tumbuhan dan binatang, maka manusia memiliki person dan
personalitas. Person manusia, yaitu jumlah seluruh sistem fisisnya, datang ke
dunia dalam bentuk yang benar-benar ada. Kalau dilihat dari segi sistem
fisisnya, maka manusia sama "aktuar”-nya dengan binatang. Namun kalau
diingat perkembangan yang terjadi kemudian pada personalitas manusiawinya,
maka manusia secara spiritual hanyalah makhluk potensial.
Nilai-nilai manusiawi
ada dalarn eksistensinya, dan nilai-nilai ini siap untuk dikembangkan.[1] Formasi
spiritual dan moral manusia merupakan satu tahap setelah formasi fisisnya.
Tubuh manusia dibentuk dalam rahim oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sistem
spiritual dan moral manusia serta berbagai komponen personalitasnya harus
dikembangkan kemudian. Karena itu setiap manusia merupakan pembangun dan
perekayasa personalitasnya sendiri. Kuas yang digunakan untuk melukis
personalitas manusia, telah diserahkan ke tangan manusia sendiri.
Memisahkan
non-manusia dari karakternya merupakan sesuatu yang tak terbayangkan. Batu tak
dapat dipisahkan dari karakternya sebagai batu. Begitu pula dengan pohon,
anjing dan kucing. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ada, yang ada
bedanya antara dirinya dan karakternya, yaitu antara manusia dan sisi
manusiawinya. Banyak manusia yang tak dapat memiliki sisi manusiawi dan,
seperti sebagian orang biadab dan pengembara, tetap berkutat dalam sisi
hewaniahnya. Banyak juga orang yang kehilangan sifat khas manusiawinya, seperti
yang terjadi pada sebagian besar kaum yang sok berbudaya. Mengenai masalah
bagaimana karakter sesuatu dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri ketika
karakter sesuatu itu sangat penting bagi eksistensi segala sesuatu, dapat
dikatakan bahwa jika eksistensi sesuatu aktual, maka karakter sesuatu itu
konsekuensinya juga aktual. Namun jika sesuatu ada hanya secara potensial, maka
tentu saja sesuatu itu tak memiliki karakter yang sesuai.
Itulah satu-satunya
penjelasan filosofis teori eksistensial, sebuah teori yang mengatakan bahwa
eksistensi bersifat fundamental dan bahwa manusialah yang memilih karakternya.
Kaum filosof Muslim, khususnya Mulla Sadra, sangat menggarisbawahi poin ini.
Mulla Sadra mengatakan: "Manusia bukan tergolong satu spesies tunggal.
Manusia adalah makhluk multi-spesies. Sesungguhnya individu suatu saat menjadi
bagian dari satu spesies dan di saat lain menjadi bagian dari spesies yang
berbeda."
Dari sini jelaslah
bahwa manusia biologis bukanlah manusia nil. Manusia biologis hanya menjadi
dasar bagi dapat eksisnya manusia nil. Dalam bahasa filosof, manusia biologis
cenderung memiliki sisi manusiawi, meski sebenarnya tidak memilikinya. Maka tak
ada artinya kalau kita bicara tentang sisi manusiawi tanpa menerima peran pokok
jiwa. Setelah pembahasan pendahuluan ini, kini kita lebih dalam posisi untuk
memahami makna sadar diri manusiawi. Seperti sudah dijelaskan, sadar diri
manusiawi didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia secara kolektif
membentuk satu unit dan memiliki had nurani manusiawi yang sama, suatu hati
nurani yang lebih penting daripada hati nurani religius, nasional, rasial dan
kelas mereka.
Sekarang perlu
dijelaskan manusia-manusia seperti apa yang secara kolektif memiliki satu ego
dan diatur oleh satu semangat, yang di kalangan manusia-manusia seperti ini
terjadi perkembangan kesadaran manusiawi dan perasaan yang sama? Apakah
kesadaran manusiawi tumbuh berkembang hanya dalam diri orang-orang yang
sesungguhnya telah mencapai sisi manusiawi dan nilai-nilai manusiawi, atau
dalam diri orang-orang yang belum melewati tahap potensialitas, atau dalam diri
orang-orang yang telah mengalami transformasi menjadi seburuk-buruk binatang,
atau dalam diri semua jenis orang yang disebutkan barusan?
Jelaslah bahwa saling
simpati dan perasaan yang sama hanya terjadi pada orang-orang yang penuh
kebajikan dan merasa bahwa semua manusia adalah organ dari satu tubuh.
Tentu saja perasaan
seperti ini tidak mungkin dimiliki semua manusia. Manusia yang masih berada
dalam tahap kanak-kanak dan yang fitrahnya masih tidur, tak mungkin memiliki
rasa simpati yang aktif. Manusia seperti ini tidak dapat diatur oleh satu
semangat bersama. Untuk kasus orang-orang yang kehilangan sifat khas
manusiawinya, terlalu jelas untuk diberi ulasan. Hanya orang-orang yang telah
mencapai sisi manusiawi dan yang fitrahnya telah mengalami perkembangan penuh
sajalah yang sesungguhnya merupakan organ-organ dari satu tubuh dan yang
benar-benar diatur oleh satu roh atau semangat yang sama.
Hanya orang beriman
sajalah yang bisa menjadi orang-orang yang dalam dirinya terjadi perkembangan
seluruh nilai alamiah, karena iman merupakan nilai manusiawi yang pokok dan
sangat penting. Iman yang sama, bukan ras yang sama, bukan negara yang sama
atau hubungan darah yang sama, inilah yang sesungguhnya membentuk manusia
menjadi "kita" dan mengobarkan semangat yang sama pada diri mereka.
Keajaiban ini hanya dapat diwujudkan oleh iman saja. Seorang Musa tak mungkin
punya rasa simpati kepada seorang Fir'aun. Seorang Abu Dzar tak mungkin punya
rasa simpati kepada seorang Muawiyah.
Yang merupakan fakta
aktual maupun ideal adalah kesatuan manusia-manusia nil yang telah mencapai
sisi manusiawi dan kebajikan. Itulah sebabnya Nabi saw, bukannya membuat
pernyataan umum yang kira-kira isinya adalah bahwa semua manusia adalah organ
dari satu tubuh, namun justru mengatakan, "Kaum mukmin merupakan
organ-organ dari tubuh yang satu. Bila satu organ mengalami kesakitan, demam
atau tak bisa tidur, maka organ yang lain secara otomatis bersimpati."
Tak terpungkiri lagi
bahwa orang yang telah mencapai sisi manusiawi, maka dia memperlihatkan
kelembutan hati kepada semua orang atau juga kepada segala sesuatu, bahkan
kepada orang yang kehilangan sifat khas manusawinya, orang yang telah mengalami
kerusakan fitrah. Itulah sebabnya Allah SWT melukiskan Nabi-Nya sebagai rahmat
bagi alam semesta. Orang-orang yang telah mencapai sisi manusiawi,
memperlihatkan kebaikan hati, sekalipun kepada orang-orang yang memusuhinya.
Imam Ali bin Abi Thalib as berkenaan dengan Abdurahman Ibn Muljam Muradi
(pembunuh Imam Ali bin Abi Thalib as—peny.), mengatakan: "Aku mau dia
hidup sekalipun dia mau aku terbunuh." Hanya dalam masyarakat mukmin
sajalah dapat dibicarakan saling cinta dan saling simpati. Jelaslah kalau umat
manusia sudah saling cinta bukan berarti kedamaian total, bukan berarti tak ada
tanggung jawab, bukan berarti perbuatan orang yang jahat dibiarkan saja. Justru
sebaliknya, karena ada perasaan yang sama, maka ada tanggung jawab yang berat.
Pada masa ini
Bertrand Russell, ahli matematika sekaligus pemikir Inggris kenamaan, dan
Jean-Paul Sartre, pemikir eksistensialis Perancis termasyhur, keduanya
merupakan tokoh yang terkenal karena humanismenya. Russel mendasarkan filosofi
moralnya pada sebuah prinsip yang bertentangan dengan humanismenya: filosofinya
didasarkan pada pragmatisme dalam keuntungan (perolehan) personal, yaitu dalam
pemastian keuntungan personal yang optimal seraya tetap tunduk kepada
prinsip-prinsip moral. Dia tidak mempercayai filosofi moral lainnya. Karena itu,
dari sikap memandang pending kepentingan personal semata lahir humanismenya.
Kelas masyarakat menengah ke atas, yang telah menaklukkan masa lalu dan
membentangkan panji-panji nasionalisme, tak ada lagi yang perlu dipikirkannya
kecuali kesembronoan. Generasi muda Eropa tengah di ambang ketidakpantasan.
Dewasa ini Barat tengah menerima kembali apa yang pemah diekspomya. Kekacauan
sosial, keputusasaan, kebingungan, nihilisme (sikap menolak semua prinsip agama
dan moral; skeptisisme ektrem yang menganggap tak ada yang benar-benar
eksis—pen.) merupakan hal-hal yang suka ditransfer Barat ke bangsa dan budaya
lain Kaum nihilis beranggapan kalau sesuatu itu bukan milik kami, maka orang
lain pun tidak usah memiliki sesuatu itu. Itulah sebabnya kaum nihilis cenderung
membuat kehancuran bagi dirinya sendiri.
Reaksi lain terhadap
situasi ini berupa munculnya gerakan romantis, semacam filosofi pro-manusia
yang mengundang perhauan masyarakat Barat pada berbagai tataran. Pada satu
ujungnya ada Russel dengan pandangan-pandangannya yang sederhana dan praktis,
dan pada ujung lainnya ada Sartre dengan filosofinya yang kompleks dan gelisah.
Di tengahnya ada banyak ekonom dan politisi yang lapang hati. Ekonom dan
politisi seperti ini berupaya menemukan solusi praktis untuk berbagai problem
yang dihadapi mereka dan orang lain. Adapun Sartre, dengan teori tanggung
jawabnya yang kompleks serta dengan pandangannya yang bebas, merupakan
perwujudan lain dari semangat Barat yang dengan rasa bersalah berkeinginan
membayar kerugian akibat kesalahan di masa lalu. Seperti kaum stoic (pengikut
mazhab filosofi Yunani kuno yang didirikan di Athena oleh Zeno sekitar 308
sebelum Masehi, mazhab ini memandang kebajikan sebagai kebaikan tertinggi, dan
mengajarkan pengendalian perasaan dan nafsu— pen.), Sartre mempercayai
persaudaraan dan persamaan hak bagi umat manusia, pemerintahan dunia,
kemerdekaan dan kebajikan (kebaikan tertinggi). Dewasa ini dia mewakili
kecenderungan masyarakat Barat yang lapang hati, suatu masyarakat yang berupaya
mengatasi keresahan mentalnya, keresahan mental yang timbul akibat kehampaan
budaya Barat. Upaya masyarakat seperti ini adalah bersandar sepenuhnya pada ras
manusia murni, dan mengganti agama dengan humanisme (pandangan atau sistem
berpikir yang perhatiannya adalah masalah-masalah manusiawi bukan
masalah-masalah supranatural atau ilahiah, kepercayaan atau pandangan yang
menekankan kebutuhan bersama manusia dan mengupayakan semata-mata cara rasional
untuk memecahkan problem manusia, dan perhatiannya adalah manusia sebagai
makhluk intelektual yang progresif dan bertanggung jawab—pen.). Mereka
mengupayakan bagi diri mereka sendiri dan juga bagi Barat seluruhnya,
pengampunan untuk ras manusia sebagai suatu keseluruhan yang, menurut mereka,
telah mengganti ide Tuhan.
Hasil yang mencolok
dari humanisme Sartre adalah Sartre sekali-kali meneteskan air mata buaya atas
apa yang diduga sebagai kezaliman terhadap Israel, dan atas apa yang disebut
sebagai tirani bangsa Arab, khususnya para pengungsi Palestina. Dunia telah
menyaksikan dan masih terus menyaksikan demonstrasi praktis humanisme kaum
humanis Barat yang telah menandatangani piagam hak asasi manusia yang
mentereng. Demonstrasi ini tak perlu dikomentari. Sadar diri sosial, entah itu
kesadaran sebagai bangsa, sebagai manusia atau sebagai kelas, di zaman sekarang
ini dikenal sebagai kesadaran yang tidak picik pendiriannya. Orang yang tidak
picik pikirannya memiliki beragam sadar sosial. Dia peduli kepada problem
bangsa, problem manusia atau problem kelas. Dia berupaya memajukan dan
memerdekakan kelasnya, bangsanya atau seluruh umat manusia. Dia berupaya
menularkan kesadarannya kepada orang lain. Dia berupaya agar orang lain juga
bekerja untuk kemerdekaan sosial.
Sadar Diri Sufi
Sadar diri sufi
adalah tahu tentang diri dalam hubungannya dengan Allah. Menurut kaum sufi,
hubungan ini bukan jenis hubungan yang lazim terjadi antara dua wujud, seperti
hubungan antara seseorang dan orang lain dari masyarakatnya. Namun hubungan
yang terjadi antara pokok dan cabang, atau antara yang sejati dan yang
perlambang. Dalam terminologi kaum sufi itu sendiri, hubungan antara yang
mutlak dan yang terbatas.
Perasaan seorang sufi
beda dengan perasaan seorang yang berpikiran liberal. Perasaan seorang sufi
tidak merepresentasikan kesadaran akan derita batin yang dirasakan orang
sebagai kebutuhan alamiahnya. Orang yang liberal pikirannya pertama-tama
menyadari derita yang terjadi di luar, baru kemudian merasakan deritanya
sendiri. Di pihak lain, derita sufi merupakan kesadaran batin akan kebutuhan spiritual,
persis sebagaimana derita jasmani merupakan peringatan tentang adanya kebutuhan
jasmani.
Derita yang dirasakan
seorang sufi juga beda dengan derita yang dirasakan seorang filosof . Baik sufi
maupun filosof sama-sama merindukan kebenaran. Kalau filosof ingin tahu
kebenaran, maka sufi ingin mencapai kebenaran dan terserap dalam kebenaran.
Derita filosof merupakan sifat khas yang membedakan filosof dengan fenomena
alam lainnya: tumbuhan, binatang dan benda non-organis. Di antara semua makhluk
yang ada di alam ini, hanya manusia saja yang berkeinginan untuk memiliki
pengetahuan. Namun derita sufi merupakan derita yang terjadi akibat cinta yang
kuat dan pengagungan rohani. Derita seperti ini bukan saja tak terjadi pada
binatang, bahkan juga tak terjadi pada malaikat, sekalipun esensi malaikat itu
sendiri adalah sadar diri.
Derita filosof
merupakan pernyataan tentang kebutuhan naluriah filosof untuk mencari
pengetahuan. Dan pada fitrahnya manusia itu menginginkan pengetahuan. Derita
sufi, di pihak lain, merupakan pernyataan tentang kebutuhan naluriah rasa
cintanya. Rasa cintanya itu ingin melayang tinggi dan tak mungkin terpuasi
kecuali setelah dia dengan segenap eksistensinya mencapai kebenaran. Seorang
sufi percaya bahwa sadar diri yang sejati tak lain adalah mengetahui Allah.
Menurut sufi, apa yang oleh filosof disebut ego manusia, bukanlah ego yang
sejati. Bisa jadi itu adalah roh, semangat, jiwa manusia atau faktor-faktor
yang menentukan eksistensi manusia. Ego yang sejati adalah Allah. Hanya dengan
menerobos faktor-faktor yang menentukan eksistensinya, baru manusia dapat
mengetahui diri sejatinya. Filosof dan teolog skolastis banyak menulis tentang
masalah sadar diri. Namun melalui metode-metode seperti itu, diri tak mungkin
diketahui. Orang yang percaya bahwa apa yang diketahui filosof ini tentang
sadar diri merupakan suatu fakta, maka orang seperti itu keliru sekali. Orang
seperti itu telah berbuat keliru. Dia telah salah mengira, bengkak dianggapnya
gemuk.
Menjawab pertanyaan
apa diri dan ego itu, Syaikh Mahmud Syabistar menyusun syair sufi yang
terkenal, "Gulsyan-e Râz". Dalam syair ini Syaikh mengatakan,
"Bila kebenaran sudah jelas bentuknya berkat fakta-fakta yang menentukan,
maka dalam kata, kebenaran itu terungkapkan sebagai 'aku' dan 'kamu'. Namun
sesungguhnya 'aku' dan 'kamu' hanyalah perwujudan dari satu eksistensi yang
nil. Jiwa dan raga merupakan refleksi dari cahaya yang sama yang terkadang
tampak dalam lampu dan terkadang tampak dalam cermin."
Mengkritisi
pandangan-pandangan kaum filosof tentang jiwa, ego dan sadar diri, Syaikh
mengatakan, "Dikira kata 'aku' selalu merujuk ke jiwa. Kamu tidak tahu apa
diri itu, karena kamu mengikuti akal. 'Aku' dan 'kamu' lebih daripada jiwa dan
raga, karena keduanya merupakan bagian dari ego. 'Aku' tidak merujuk ke person
tertentu sehingga merujuk ke jiwanya. Upayakan untuk menjadi lebih daripada
seluruh makhluk. Tinggalkan dunia, maka otomatis kamu akan menjadi dunia."
Jadi menurut sufi,
jiwa bukanlah ego, juga mengetahui jiwa tidak sama dengan sadar diri. Jiwa
hanyalah manifestasi ego dan diri. Ego yang sejati adalah Allah. Bila manusia
melenyapkan dirinya, maka dia menghancurkan faktor-faktor yang menentukan
eksistensinya, sehingga tak ada lagijejak jiwanya. Pada saat itu tetes air yang
pernah terpisah dari laut, balik ke laut dan lenyap di laut. Itulah tahap sadar
diri yang sejati. Pada tahap ini manusia melihat dirinya ada dalam segala
sesuatu dan segala sesuatu ada dalam dirinya. Dengan demikian dia tahu diri
sejatinya.
Sadar Diri Nabi
Sadar diri nabi beda
dengan semua jenis sadar diri. Nabi memiliki kesadaran akan Tuhan dan juga
kesadaran akan dunia. Nabi memiliki dedikasi kepada Allah dan juga kepada
makhluk-Nya. Itu tidak berarti nabi mempercayai dualisme. Juga tidak berarti
separo perhatian nabi kepada Allah dan separo lagi kepada makhluk. Tujuan nabi
sama sekali tidak terpecah-pecah. Al-Qur'an mengatakan: "Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rangganya." (QS. al-Ahzâb:
4) Karena hanya ada satu hati, maka tak mungkin ada dua jantung hati.
Para nabi senantiasa
memperjuangkan monoteisme (tauhid). Tak mungkin ada jejak kemusyrikan dalam
segenap perbuatan para nabi, dalam doktrin mereka, dalam tujuan mereka, dan
juga dalam dedikasi mereka. Para nabi menyayangi setiap partikel alam semesta,
karena semua partikel alam semesta itu merupakan menifestasi person dan
sifat-sifat Allah. Seorang penyair berkata, "Senang rasanya bersama dunia,
karena dunia yang tumbuh subur ini milik-Nya, dan aku suka seluruh dunia,
karena seluruh dunia milik-Nya."
Cinta orang-orang
suci kepada dunia merupakan cermin cinta mereka kepada Allah SWT, bukan cinta
kepada selain Allah SWT. Mereka peduli kepada makhluk hanya karena mereka
memiliki dedikasi kepada Penciptanya, dan bukan karena alasan lain. Tujuan dan hasrat
tunggal mereka adalah naik (memajukan kekuatan spiritual mereka) selangkah
demi selangkah menuju Allah SWT dan membawa manusia bersama mereka. Perjalanan
kenabian para nabi diawali dengan cinta berat kepada Tuhan. Cinta seperti ini
mendorong para nabi untuk dekat dengan Allah SWT dan mempercepat laju evolusi
para nabi. Cinta seperti ini mendorong para nabi melakukan perjalanan yang
dikenal dengan nama "perjalanan dari makhluk ke Pentipta." Rasa cinta
kepada Tuhan ini tak memungkinkan para nabi berhenti sebentar, sampai para
nabi, menurut kata-kata Imam All as, sampai di "tempat yang sentosa."
Akhir perjalanan ini
merupakan awal perjalanan yang lain yang dikenal dengan nama "perjalanan
dari Allah ke Allah." Selama perjalanan ini para nabi diliputi kebenaran,
dan masih mengalamai evolusi yang lain. Bahkan pada tahap ini nabi tidak
berhenti. Karena diliputi kebenaran, karena telah menyelesaikan siklus
eksistensi, dan karena telah akrab dengan berbagai tahap spiritual, maka nabi
diangkat menjadi nabi, dan kemudian memulai perjalanannya yang ketiga, yaitu
perjalanan dari Allah ke manusia. Namun ini tidak berarti nabi kembali ke titik
awal dan kehilangan semua yang telah dicapainya. Dia kembali, bersama segenap
pencapaiannya. Perjalanan nabi dari Allah ke manusia dilakukan bersama Allah,
dan bukan tanpa atau jauh dari Allah. Inilah tahap ketiga dalam evolusi seorang
nabi.
Diangkatnya nabi
menjadi nabi pada akhir perjalanannya yang kedua, artinya adalah lahirnya
kesadaran diri akan manusia karena kesadaran diri nabi akan Allah, dan lahirnya
dedikasi kepada manusia karena dedikasi nabi kepada Allah SWT. Awal perjalanan
keempat nabi dan awal periode keempat evolusi nabi adalah ketika nabi kembali
kepada manusia. Selama perjalanan ini, bersama Allah nabi berada di tengah
manusia. Nabi berada di tengah manusia untuk membawa manusia menuju
kesempurnaan yang tak ada batasnya melalui jalan kebenaran, keadilan dan
nilai-nilai manusiawi, dan untuk memberikan bentuk konkret kepada kemampuan
potensial manusia yang tak ada batasnya.
Dari sini jelaslah
bahwa tujuan akhir pembaru yang berpikiran liberal hanyalah salah satu tahap
yang dilalui nabi, yaitu membantu manusia. Begitu pula, tahap tertinggi yang
diklaim telah dicapai sufi hanyalah satu tahap dalam perjalanan nabi. Menggambarkan
perbedaan antara sadar diri nabi dan sadar diri sufi, Dr. Iqbal mengatakan,
"Nabi Muhammad saw dari Arabia naik ke langit tertinggi, dan kemudian
balik. Aku bersumpah demi Allah, kalau aku yang sampai ke langit tertinggi itu,
pasti aku tak akan balik. Inilah kata-kata seorang suci besar dari Gangoh,
Abdul Quddus. Dalam segenap literatur sufi, barangkali sulit menemukan
kata-kata yang dengan satu kalimat rnenjelaskan persepsi tajam seperti itu
tentang perbedaan psikologis antara kesadaran nabi dan kesadaran sufi. Ketika
merasakan kedamaian menyatu, sufi tak mau melepaskannya untuk kembali ke
masyarakat. Kalau pun kembali, kembalinya ini tidak banyak artinya bagi umat
manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif. Nabi kembali untuk berada
dalam jalannya waktu, dengan maksud mengendalikan kekuatan sejarah untuk
menciptakan dunia baru, yaitu dunia ideal." (The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, hal. 145-144)
Sekarang ini
perhatian kita bukan apakah interpretasi sufi itu benar atau salah. Ada fakta
yang tak terbantahkan, yaitu pada awalnya nabi sangat kuat kerinduannya kepada
Allah. Itulah satu-satunya derita jiwa yang dirasakan nabi. Nabi mendambakan
Allah, dan naik menuju Allah. Nabi mendekati sumber itu. Kemudian nabi merasa
simpati kepada sesama manusia. Simpati nabi beda dengan simpati pembaru
berpikiran liberal atau filantropis (orang yang cinta kasih kepada sesama
manusia—pen.). Simpati nabi bukan sekadar perasaan manusia, juga tidak seperti
rasa kasihan karena melihat orang pincang. Derita jiwa nabi sifatnya beda
sekali, dan tak sama dengan rasa kasihan lainnya. Sadar diri nabi akan manusia
juga khas. Api yang membakar jiwanya beda sekali. Personalitas nabi memang
berkembang, sehingga bukan saja jiwanya menyatu dengan jiwa orang lain, namun
personalitas nabi juga meliputi seluruh dunia. Nabi merasa sedih ketika melihat
penderitaan umat manusia. Al-Qur'an mengatakan: Sesungguhnya tdah datang
kepadamu seorang Rasid dan kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan keselamatan bagimu. (QS. at-Taubah: 128). Kepada Nabi Saw.
Al-Qur'an mengatakan: Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih
hati sesudah mereka berpating, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan
ini (Al-Qur'an). (QS. al-Kahfi: 6)
Nabi merasa sedih
karena melihat manusia menderita kelaparan, kehilangan, penyakit, dirundung
kemiskinan, dianiaya dan di-ganggu. Nabi begitu cemas sehingga tak dapat tidur
dengan nyenyak karena tahu seseorang di salah satu penjuru terjauh negerinya
tengah kelaparan. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah mengatakan: "Sungguh
buruk rasanya kalau aku sampai dikuasai hawa nafsuku dan akibat keserakahan
lalu aku memilih hidangan lezat padahal di Hijaz atau Yamamah bisa jadi ada
seseorang yang tak punya harapan untuk memperoleh roti kasar dan yang belum
pernah makan sampai kenyang! Pantaskah kalau aku tidur dalam keadaan perut
kenyang padahal ada perut-perut yang keroncongan dan hati-hati yang tersiksa di
sekitarku?" (Nahj al-Balâghah, Surat No. 45)
Perasaan-perasaan
seperti ini jangan dianggap lahir dari rasa kasih sayang dan kebaikan hati
semata. Nabi, yang juga seorang manusia, pada awal perjalanan kenabiannya
memiliki semua kebajikan manusiawi yang bentuk dan warnanya sama dengan yang
dimiliki manusia lainnya. Namun setelah segenap eksistensi nabi terbakar api
ilahiah, maka kebajikan-kebajikan nabi bentuk dan warnanya baru, yaitu warna
ilahiah. Orang-orang yang mendapat pendidikan dari nabi mutlak beda dengan
orang-orang yang mendapat pendidikan dari pembaru berpikiran liberal. Dan
masyarakat yang dibentuk oleh nabi beda dengan masyarakat yang dibentuk oleh
pemikir dan intelektual.
Perbedaan utamanya
adalah nabi berupaya membangkitkan kekuatan-kekuatan naluriah yang dimiliki
manusia. Nabi membangkitkan kesadaran terpendam manusia dan mengobarkan
cintanya yang terpendam. Nabi menyebut dirinya sendiri "pemberi
peringatan" atau "pembangkit". Nabi menciptakan dalam diri
manusia rasa peka terhadap segenap eksistensi, dan menularkan kesadaran dirinya
akan segenap eksistensi itu kepada orang lain. Adapun pembaru yang berpikiran
liberal, paling banter dia membangkitkan suara hati sosial orang, dan
memperkenalkan orang dengan kepentingan nasional atau kelasnya.
Catatan:
[1] Konsepsi Islam mengenai fitrah manusia beda dengan konsepsi
Descartes, Kant dan sebagainya. Fitrah manusia artinya bukan eksistensi aktual
jumlah tertentu pengertian atau eksistensi aktual kecenderungan dan hasrat
tertentu dalam diri manusia sejak dia lahir, atau seperti kata filosof babwa
manusia lahir dalam keadaan memiliki rasionalitas dan kehendak. Begitu pula,
Islam menolak teori kaum Marxis dan Eksistensialis yang menyangkal eksistensi
fitrah dan mengatakan bahwa manusia lahir seperti selembar kertas kosong dan
mampu menerima gagasan yang ditanamkan ke dalam benaknya. Menurut Islam, pada awal
periode setelah kelahirannya, manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan
potensial tertentu, dan manusia ingin mewujudkan kecenderungan-kecenderungan
tersebut Kekuatan yang ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk
mewujudkan tujuannya, tentu saja dengan bantuan kondisi-kondisi dari luar.
Kalau manusia sungguh-sungguh mendapatkan apa yang sesuai dengan dirinya,
berarti dia mendapatkan apa yang disebut sisi manusiawi. Kalau sebaliknya,
berarti dia mengalami distorsi. Itulah satu-satunya penjelasan yang logis
mengenai metamorfosis manusia, dan metamorfosis manusia ini juga menjadi pokok
pembicaraan kaum Marxis dan Eksistensialis. Dari sudut pandang mazhab ini,
hubungan antara manusia sejak lahir dan nilai-nilai serta kebajikan-kebajikan
manusiawi sama dengan hubungan antara anak pohon pir dan pohon pir yang sudah
mencapai puncak pertumbuhannya. Hubungan internal, dengan bantuan faktor-faktor
dari luar, mengubah anak pohon itu menjadi pohon. Hubungan ini tidak sama
dengan hubungan antara papan kayu dan kursi. Karena untuk kasus papan kayu dan
kursi, hanya faktor-faktor dari luariah yang mengubah papan kayu menjadi kursi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar